Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17| Bunga matahari

Tuhan satu
Semuanya tahu
Tertera pula begitu
Di sila kesatu

Tuhan Esa
Walau berbeda rupa
Di tiap sudut pandang
Yang ada di jagat raya

🌻🌻🌻

Minggu tidak sekadar mengajak saya jalan-jalan menikmati wahana hari itu. Selepas dari bianglala, jemari-jemari saya diamit tangannya hingga ke parkiran. Ia diam, tak banyak bicara. Membiarkan kami-atau hanya saya-menikmati euforia yang masih membekas.

Ah, sepertinya bulan dan bintang juga sudah berencana dengan Minggu. Lihat saja, langit gelap Jakarta penuh dengan gemerlap cahaya. Es krim di tangan saya masih ada, Minggu mengajak ke kedai es krim-sekadar singgah membeli. Satu matcha untuknya dan satu cokelat untuk saya.

"Saya pikir kamu suka strawberry, Senin."

"Kok? Padahal nih, ya, saya lebih suka cokelat. Rasanya manis. Kau matcha rasanya menurutmu bagaimana? Saya pernah mencoba, tapi tidak terlalu suka."

Minggu tersenyum. Kalah manis es krim cokelat saya. "Haha, kalau sama saya manis mana? Rasanya unik, kayak kamu, ada pahitnya, ada hambarnya, ada manisnya."

"Ish, dasar! Kumat lagi, haha."

Kami terkekeh dalam obrolan kecil. Jalanan di luar jendela cukup ramai, tak ada gedung-gedung yang mengejar kami. Kepadatan membuat segalanya berjalan lambat dan obrolan kami sekadar sekenanya. Pasca jatuh cinta, apa memang selalu canggung?

Malam itu terasa menyenangkan, untuk sekali seumur hidup malam Minggu saya tak di rumah sendirian. Apa begini rasanya kencan? Atau bukan? Aish, sudah lah, otak saya jangan berpikir yang aneh-aneh!

"Senin depan saya mau ke panti, kamu mau ikut?" Minggu menoleh sejenak, mengalihkan pandangan dari ruas jalan.

Tentu saja saya mengangguk antusias. Saya cukup rindu dengan anak-anak panti yang menggemaskan. "Boleh?"

Ia terkekeh. "Haha, tentu boleh, Senin. Kalau tak boleh mengapa saya mengajakmu?"

"Ah, iya ya, benar juga."

Aduh Senin, kenapa otakmu tiba-tiba begini.

Beberapa menit setelahnya salah.

Saya pikir malam itu menyenangkan seperti pikiran saya sebelumnya, ternyata sama sekali tidak serupa. Kau tahu perasaan naik roller coaster? Menyenangkan memang, tapi juga mengerikan. Hati saya seakan tertohok, pikiran menyenangkan mendadak berubah menjadi fatamorgana semu. Satu hal mengejutkan yang ia lontarkan mampu membungkam segalanya.

Bukan, Sayang, bukan perihal kepergian, bukan perihal ia berpamitan, dan bukan pula pernyataan bahwa hatinya dimiliki wanita lain. Kalimat yang muncul di mulutnya menjabarkan satu fakta sederhana yang seharusnya tak apa-apa, tapi bagi saya apa-apa.

"Minggu kenapa berhenti?" Saya bertanya, mobil Minggu berhenti di pinggir jalan tepatnya di depan masjid.

Ia tersenyum. "Shalat, kamu belum shalat maghrib 'kan Senin?"

Saya menepuk jidat. "Duh, lupa, hehe."

Keasyikan sama kamu sih!

"Ya udah, yuk shalat," kata saya sembari tersenyum ke arahnya.

Minggu menggeleng. Saya masih saja tak tahu perihal apa. Bodoh! Sungguh bodoh! Ingin rasanya saya tarik ucapan saat itu juga.

"Kamu saja, ya. Saya tidak shalat, Senin. Sudah sana, keburu isya, nanti Tuhanmu marah."

Kalimatnya mencelos ke udara, membungkam bulan sabit yang terpatri indah. Tak ada lagi perasaan senang, sudah saya bilang kan rasanya seperti naik roller coaster. Kenapa pula tiba-tiba di ubin putih ini pelupuk mata saya penuh air mata? Mengapa pula saya perdebatkan perasaan dengan Tuhan? Hakikatnya Tuhan tak bisa diganggu gugat, Sayang.

Lalu, mau apa setelah ini?

Di antara kita, tanpa dimulai sudah ada benteng yang menjulang tinggi, mengatas namakan perbedaan yang tak bisa diselaraskan. Kamu mapun saya, mau diapakan juga tak bisa menyatu. Dada saya seperti ditikam pisau yang sejak dulu sudah ancang-ancang, kapan pun siap menghunus, menyesakkan hingga ke paru-paru.

Air mata saya menderai di atas sajadah abu-abu. Kian lama bersujud, kian banyak pula praduga menyakitkan. Bagaimana ya, Minggu? Tiap hari Minggu kau pergi ke geraja, berdoa kepada Tuhanmu. Dan saya tiap hari bersujud dalam lima waktu kepada Tuhan saya. Meminta pada Tuhan yang Esa, tapi berbeda pandang dengan banyak sudut.

Tuhan, apa rasanya semenyakitkan ini jatuh cinta pada baskara yang dari awal suah beda? Kenapa ia tak bisa saya rengkuh secara utuh? Apa ini jawabanmu atas doa-doa lalu? Dan apa ini alasannya ia bungkam sejak tadi?

Ia sudah tahu, membiarkan ia sakit terlebih dahulu. Tanpa memberi tahu. Takut kamu merasakan serupa.

Haha, lucu, Minggu, lucu sekali.

Jatuh cinta selalu menyakitkan dan perbedaan menjadi bumbu pahit di atas kemanisan. Seperti rasa matcha pada es krim yang kau beli.

Minggu, Tuhan telah mengabulkan doa saya. Yang saya minta tahun-tahun lalu, supaya diberi sosok yang mampu menjadi sandaran, sosok yang menerima apa adanya, tapi sayangnya saya kurang jelas menjabarkan. Ia memberikan kamu, tapi tidak secara utuh. Tubuhmu bukan untuk saya rengkuh, apalagi jadi milik. Rupanya semenyakitkan ini.

Lalu, apa setelah ini kita akan baik-baik saja, Minggu?

🌻🌻🌻

Minggu menatap saya khawatir. Mungkin, mata saya terlihat memerah di retinanya atau terlalu bengkak untuk saya tunjukkan.

Saya menggeleng, tersenyum. "Tidak apa-apa, Minggu. Kita pulang sekarang, ya, saya capek."

Minggu mengangguk, rautnya masih menampik jelas kekhawatiran yang tak rela pergi begitu saja.

"Saya membawa tisu, bila kamu butuh."

Saya sekadar tersenyum kecut, ia sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Minggu, sialan! Berhentilah berbicara, supaya saya bisa tidur di balik kelompak mata, setidaknya berharap ini mimpi belaka walau kenangan manis bersamamu juga menyublim hilang tak tahu ke mana.

Mobil Minggu melaju, derunya yang saya dengar. Hingga suaranya samar-samar yang keluar.

"Maaf, Senin, sudah membuatmu jatuh cinta."

Sudah terlambat Minggu, hati saya sudah kau emban jauh-jauh hari!

"Maaf, sudah membuatmu merasakan sakit."

Sudah terlanjur, Minggu! Rasanya menyakitkan sekali, hal-hal menyenangkan bersamamu seakan mati ditampar realita.

"Maaf, Senin, sudah mencintaimu. Melibatkan dirimu, yang seharusnya tidak perlu saya lakukan sejak awal. Maaf."

Menyebalkan, Minggu menyebalkan!

Seharusnya tak perlu kau jabarkan lagi hal serupa. Kalau dibilang salahmu, segalanya memang salahmu, tapi juga bukan. Saya yang membiarkan segalanya jatuh kepada baskara, saya yang membiarkan kamu masuk dalam zona saya, dan saya yang membiarkan kamu mengamit jemari-jemari saya padahal saya bisa menepisnya keras-keras. Saya yang rela kau bawa ke mana saja, tempat paling nyaman bagi bulan yang mati.

Sudah, Minggu. Segalanya sudah terlanjur, mau diapakan juga sudah tak bisa. Setidaknya, walau kau tak bisa saya rengkuh dalam utuh, kita masih bisa menjadi teman kan Minggu?

Semoga begitu.

🌻🌻🌻

Kelopak mata saya mengerjap perlahan, menyelaraskan dengan cahaya sekitar. Masih setengah sadar, tapi saya tahu betul saya masih di mobil Minggu. Ah, jadi yang tadi bukan mimpi, ya?

"Sudah bangun, Senin?"

Saya bergumam sekadarnya. "Umm, ya. Kenapa tak membangunkan?"

"Tidurmu nyenyak sekali, setelah ini tidurlah yang nyenyak."

"Iya."

"Untuk kamu." Minggu menyodorkan lima tangkai bunga matahari ke arah saya, yang anehnya sejak tadi tak saya lihat. "Bunga ini yang saya beli di kios tadi, saya tak berbohong. Sejak tadi tersimpan di jok belakang. Untuk kamu."

Saya menautkan alis, menerimanya. "Untuk apa? Kenapa bunga matahari?"

"Karena bunga matahari pemberi kebahagiaan, harapan baru. Maaf, bila kebahagiaan-kebahagiaan hari ini berujung lara, semoga bunga matahari itu bisa mengobatimu, lukamu, dan menghapus air matamu."

Saya tersenyum kecut menatap bunga-bunga di genggaman saya. Perasaan saya tak tentu, campur aduk. Antara senang diberikannya bunga, tapi juga lara segalanya tak bisa seperti harapan fana.

Lagi pula, mengapa perlu bunga matahari, bila mataharinya yang asli saja ada di sebelah saya. Atau karena ia mustahil di rengkuh, jadi memberikan saya yang imitasi supaya bisa kapan pun dimiliki dalam genggaman. Yang kapan pun bisa saya petik di perkarangan rumah, tanpa rasa sakit berlebihan.

"Kenapa perlu bunga matahari, bila kamu sudah jadi matahari bagi saya?" Pertanyaan itu terdengar menyayat, saya tak tahu malu rupanya.

"Karena matahari yang asli tidak selalu membuatmu bahagia, Senin. Hari ini saja ia sudah membuatmu sakit, bagaimana bila esok menambah laramu?"

"Ia juga tak selamanya menjadi matahari, sesekali ia menjadi redup ditutup kelabu."

"Tidak melulu salahmu, walau iya. Maaf, sudah memaksamu. Namun, Minggu, apakah kita bisa tetap berteman?"

Minggu tersenyum, senyumannya yang tenang merekah lagi. "Bisa, Senin, tapi bagaimana dengan dirimu?"

"Tak apa, Minggu, tak apa. Perihal hati urusan kita masing-masing, tak perlu terbalaskan juga tak apa. Kamu mau pergi dengan gadis lain tak apa pula, hakikatnya kita tidak lebih dari teman, sejak dulu."

"Maaf."

"Terlalu banyak kata maaf yang kau lontarkan hari ini, Minggu."

Minggu merengkuh tubuh saya, di pelukannya saya menahan mati-matian air mata, tapi jatuh pula akhirnya. Di dadanya saya menangis, terisak sedemikian rupa, punggung saya tak tentu gerakannya di rengkuh dengan hangat dalam peluk matahari. Semoga, kita bisa menjadi teman baik, Minggu. Antara bulan dan matahari, di mana bulan merelakanmu menjadi milik makhluk bumi suatu saat nanti.

Maaf, saya mencintaimu.

🌻🌻🌻

Astagalala~~

huhu, maaf kalau sadnya enggak nyampai ke kalian 😭😭

Iya, sejak awal, memang Senin sama Minggu beda keyakinan :) iya, rasanya sakit, walau enggak pernah ngerasain sampai seperti Minggu dengan Senin.

Maaf, kalau bikin moment minggu sama senin sedikit lebay. Ku tak tahu perasaan orang pacaran *lol* (noob :v)

Dahlah, sampai bertemu di part selanjutnya ~~

Semangat puasanya ya !!











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro