Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15| Saya, menyukaimu.

Saya menyukaimu
Tanpa perihal karena
Sesederhana sedemikian rupa
Semoga tak apa-apa

🌻🌻🌻

Sejak ponsel saya hidup, sejak data seluler saya tak lagi mati sehari yang lalu lalu, notif di ponsel saya tak henti-hentinya berkicau. Penuh. Sesak. Paling banyak dari media sosial berwarna ungu, mendadak followers saya membludak tak karuan sejak beberapa minggu lalu. Barangkali karena foto teman saya yang diupload di berandanya, men-tag diri saya yang berada di sudut kiri-yang diambil sebulan lalu.

Bukan seperti gadis pada biasanya, saya tak pernah suka memiliki banyak followers. Rasanya seperti beban saya bertambah kian berat. Jempol-jempol mereka itu mudah mengetik, mengirim lewat dm atau sekadar di kolom komentar mengujar kegaguman. Anehnya, bila tak seperti ekspetasi mereka, jempol-jempol itu akan berubah jadi harimau, menikammu dengan kata-kata paling hina sekali pun. Hakikatnya seperti itu.

Namun, dari sekian hal menyeramkan, notif dari Minggu adalah yang paling menyenangkan. Gila, rupanya saya sudah terlena. Sosoknya membuat saya jatuh tanpa aba-aba bahkan omongan Angkasa seperti hanya bualan. Hei, dengan Minggu tidak sakit, atau karena saya sudah terlanjut terpikat?

Saya masih mengembangkan senyum mengingat segalanya tentang Minggu, apa hati memang semudah ini untuk jatuh? Bahkan rasanya lebih menarik dilamunkan ketimbang mendengar penjelasan di depan sana.

"Untuk tugas kali ini silahkan berkelompok dua orang sesuai nomor absen."

Lamunan saya memudar. Pandangan saya mengedar dan melepas topangan dagu. Alis saya menyatu, mengingat-ngingat siapa gerangan pemilik nomor absen setelah saya.

"Senin!"

Saya menoleh ke sudut ruangan.

Ah, ia rupanya! Seseorang yang saya anggap cerminan diri saya, terpencil, dibedakan, dan hadirnya tak dianggap.

"Tari?"

Iya tersenyum membalas dengan rambutnya tertata rapi sebahu. Saya mengerut heran, tak ada yang salah dari orang di depan saya, ia cantik depan pipinya yang menggembung lucu. Lalu untuk apa di dalam circle yang dianggap buangan.

"Ah, Senin, biar ini kukerjakan semua. Kamu tak perlu repot-repot." Suaranya mencelos demgan tertahan.

Saya mendadak mengurungkan niat membuka buku. Menatap Tari dengan raut heran. Untuk apa berbicara seperti itu.

"Maksud kamu?"

"Iya, biar kukerjakan semua. Biasanya juga seperti itu, mereka melimpahkannya kepadaku, jadi Senin tak perlu senggan. Aku sadar diri kok, buangan memang sewajarnya kan seperti itu."

Saya mendadak tertegun. Hati saya mencelos begitu saja. Perasaan dia, saya paham betul walau dalam kondisi berbeda. Hei, Minggu, kalau dalam posisi saya pasti kau tengah menyemangatinya kan? Bagaimana seberani itu? Rasanya seperti menghadapi diri sendiri.

"Kamu bicara apa Tari? Kita kan sekelompok sudah sewajarnya dikerjakan bersama-sama."

"Tapi-"

Saya tersenyum. "Sudah, Tari. Tak perlu merasa seperti itu. Besok Sabtu kita kerjakan bagaimana? Di kios buku dekat sekolah. Di sana tempatnya cukup nyaman. Apa kamu mau?"

Ia, Tari, mengembangkan senyum yang sedari tadi tak muncul. Kepalanya mengangguk, matanya berbinar. Minggu, apa benar seperti ini caranya? Kenapa tiba-tiba aku turut merasa senang?

"Terima kasih, Senin. Ini pertama kali aku diperlakukan seperti ini."

🌻🌻🌻

Saya masih tak percaya atas kejadian sepuluh menit yang lalu. Saat seluruh anggota kelas tengah berbondong-bondong keluar kelas dikejutkan dengan kedatangan Kak Erick. Ya, saya pikir ia ada urusan dengan mereka, tapi nyatanya tidak.

Ia menemui saya, mengumbar rasa cinta tanpa tahu situasi. Bingung, canggung, tak paham, semuanya jadi satu. Seisi kelas saling pandang, saya pun hanya bergeming pasalnya kami tak dekat, tak saling mengenal.

Lucunya, ia beralasan jatuh cinta karena sudah tertarik dengan saya setelah teman saya mengepost foto. Ia bilang katanya saya rupawan, belum lagi karena saya membalas pesan basa-basinya semalam yang ia pikir itu adalah pendekatan yang terbalaskan!

Tentu, saya menolaknya dengan perasaan tak enak hati. Memberi sedikit penjelasan yang masuk akal, tapi tak menceritakan perihal hati yang sudah diemban Minggu. Lalu, ia pergi, dengan malu. Seisi kelas mulai berbisik-bisik, beberapa kecewa, aneh! Memang dipikir kejadian barusan adalah drama? Kenapa sebagian malah mengatai saya tak tahu diuntung padahal sudah ditembak primadona sekolah? Bahkan teman saya mengujar sorot yang tak saya mengeryi dan menyelonong pergi.

"Senin, jangan bengong? Nanti kesambet."

Suara milik lelaki bernama Minggu itu membuat saya menoleh. Menatap tubuhnya yang dibaluk jaket abu-abu, ia tersenyum seperti biasa.

"Saya tidak bengong Minggu, hanya saja-"

"Memikirkan kejadian tadi?"

Alis saya menyatu, ia tahu? Kenapa bisa? Apa beritanya sudah menyebar luas seantero sekolah? Aduh, bagaimana nasib saya setelah ini?

"Iya. Aneh saja, masa dia bisa suka saya dengan alasan seperti itu." Sesi curhat bersama Minggu dimulai.

Matanya yang berwarna cokelat itu menelisik wajah saya, ada yang aneh? Bisa tolong berhenti, jantung saya tak kuat. Saya belum ingin mati muda.

"Bisa saja Senin, kalau saya jadi Kak Erick pun akan jatuh cinta dengan kamu."

Pipi saya memerah. Minggu memang tukang gombal, tapi kali ini cinta memabukkan.

"Ish, apaan coba? Aneh, kamu," timpal saya mencoba tak bersikap biasa saja.

Tapi Minggu malah terkekeh, tangannya jahil sekali mengacak rambut saya. "Haha, kalau saya tak aneh, tak mungkin saya bisa dekat dengan kamu. Makanya, besok-besok jangan mudah membalas pesan, karena kamu bulan, mudah membuat jatuh cinta makhluk bumi termasuk saya."

"Apa sih Minggu! Menyebalkan, gombal! Kamu juga bukan makhluk bumi. Kamu baskara, Minggu."

"Baskara juga sayang bulan, Senin. Tak mungkin ia turut serta menyinari bulan yang notabenya bukan bintang bila tak sayang."

"Kamu bodoh! Itu memang takdir!"

Saya menyelonong pergi, padahal mati-matian menahan senyum yang ingin terpatri. Minggu sudah ada di samping saya lagi, kakinya jenjang, pantas saja mudah.

"Haha, jangan marah Senin."

"Saya tidak marah, Minggu! Saya mau pulang."

"Pulangnya dengan saya, Senin, toh kamu juga tadi menunggu saya kan selesai piket supa bisa bareng."

Keterlaluan, tingkat pede Minggu selalu berlebihan! Dengan kesal saya memukul bahunya, membuat ia meringis padahal saya yakin itu tak membuatnya sakit. Menyebalkan!

"Pede!"

Ia terkekeh kecil, lesung pipinya semakin terlihat. Tak baik untuk kesehatan. Diabetes!

"Haha, ya sudah, ayuk pulang. Nanti aku dimarahin Ibuk, membuat anak gadisnya pulang kesorean. Lalu, ada cerita apa hari ini, Senin? Sepertinya ada yang baru."

Saya mengukir senyum. Mengamit matanya lekat-lekat. Minggu pendengar yang terlalu baik, ia selalu ada. Mempersilahkan saya bercerita, barangkali bagi dongeng untuknya. Alasan saya nyaman dengan Minggu, si baskara yang menyinari bulan.

Tuhan, untuk kali ini saya mohon, bisa tidak saya memiliki Minggu seutuhnya? Hanya untuk saya, untuk bulan saja, tanpa perlu dibagikan ke makhluk bumi atau planet-planet lain.

🌻🌻🌻

Selamat hari Senin semua di sekian kali waktu karantina :"

Lalu walau sedikit terlambat, saya ucapkan marhaban ya ramadhan untuk semua umat muslim di seluruh dunia 😉

Semoga ramadhan kali ini, walau terasa berbeda tetap membawa berkah untuk kita semua 😊

Semangat!! Walau bosan sekali pun!

Semoga Senin bisa mengisi kebosanan kalian, sampai bertemu di lain waktu~~

Dan tetap jaga diri baik-baik ya.

Kata Minggu, semangat puasa nya ya!
























Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro