Chapter 8- Nakula
Kegiatan pembekalan selesai pukul satu siang. Selain mengikuti kelas malam, aku mendaftarkan diri pada klub ekstrakuriluler novel fiksi. Sejak SMP, aku senang sekali menulis cerpen di waktu-waktu senggangku. Rasanya akan menyenangkan, jika aku bisa berada dalam lingkungan yang memiliki kecintaan yang serupa.
Aku berjalan pulang mengikuti arah jalanku tadi pagi. Waktu pulang, eksitensi siswa-siswi yang berjalan di trotoar jauh lebih ramai dari tadi pagi.
Jalanan agak sesak dan sedikit mengalami kemacetan. Ada yang pulang dengan mengendarai sepeda, motor dan berjalan kaki menyusuri trotoar.
Di SMA Jagad Raya, siswa dilarang membawa mobil ke sekolah. Aku sendiri tidak terlalu paham, arti dari peritiwa tersebut. Alasan lainnya, barangkali untuk meminimalisir lahan parkir dan mengurai kemacetan.
Siang ini, cahaya matahari benar-benar terik dan membakar kulit. Aku berencana akan membawa payung lipat untuk besok. Karena kondisi seperti ini, sulit untuk mendongak ke arah langit melihat paus bungkuk. Mataku sudah silau terlebih dahulu.
Memasuki stasiun Fatmawati, rasa dingin dan sejuk dari pendingin ruangan membuatku menarik napas dengan perasaan lega.
Aku berdiri sebentar di pintu masuk stasiun Fatmawati menikmati semilir angin yang berembus sepoi-sepoi. Setelah cukup puas merasakan kesejukan. Aku pun melangkah menuruni undakan anak tangga.
...
Pemeriksaan dan alur keberangkatan tidak terlalu berbeda jauh dengan stasiun Bendungan Hilir. Aku hanya menyesuaikan diri mengikuti prosedur pemeriksaan normal, lalu masuk ke area palang pintu menggunakan kartu multi trip.
Setibanya di atas peron layang. Aku mencari-cari keberadaan peron 5/11. Siang ini, jumlah penumpang yang hadir di stasiun Fatmawati tidak terlalu banyak. Mungkin, karena jam pulang kantor berbeda dengan jam anak sekolah.
Peron 5/11 berada di jalur peron yang paling ujung. Aku duduk di sana menunggu sampai Senayan Exprees tiba. Karena stasiun Fatmawati merupakan stasiun layang. Sesekali aku merasakan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Embusan angin, perlahan-lahan membuat rasa kantuk mulai menyergapku.
Mencoba untuk mengurangi rasa kantuk. Aku mengedarkan pandangan ke arah atap yang terbuka. Di sana, langit terlihat jauh lebih cerah. Cahaya matahari seolah membakar atap-atap bangunan yang berdiri di sekitar stasiun.
Di sana, tidak ada paus bungkuk. Mungkin mereka juga tidak suka melakukan aktifitas di bawah sinar matahari yang dapat membuat kulit menjadi gosong. Karena mereka tidak berada di dalam air. Sengatan matahari siang akan membuat kulit mereka menjadi mengkerut, kusam dan akhirnya terjadi dehidrasi.
Memikirkan bagaimana paus bungkuk dehidrasi. Sekonyong-konyong membuatku bergidik ngeri. Itu terdengar sangat menakutkan, jika mereka mati. Aku tidak akan bisa melihat mereka. Jawaban-jawaban atas pertanyaanku, tidak akan pernah terjawab. Aku bisa penasaran seumur hidupku. Hidup dalam rasa penasaran akan membuatku gelisah dan sulit untuk fokus.
Lalu, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara. Aku bernapas lega, mengetahui Senayan Express akan segera tiba di stasiun Fatmawati. Aku pun mendadak teringat oleh keberadaan remaja laki-laki yang kutemui tadi pagi.
Ada beberapa pertanyaan yang hinggap di benakku. Dia tidak mungkin tidak pergi sekolah. Walaupun rasanya aneh, jika dia pergi ke sekolah dengan pakaian seperti itu. Maksudku, hanya kemeja putih polos dan celana panjang dengan warna serupa.
Dia duduk di dalam gerbong tanpa membawa apa pun. Tidak terlihat normal, bahwa seseorang berniat berpergian jauh dengan penampilan seperti itu.
Sementara aku memikirkan remaja tersebut. Senayan Express tiba di peron Fatmawati. Pemberitahuan kepada seluruh penumpang memeriksa barang bawaan dan berdiri di belakang garis kuning, terdengar kembali dari pengeras suara.
Aku bangkit berdiri, bersiap memasuki gerbong dengan perasaan berkecamuk. Pintu peron pun terbuka dan aku pun melangkahkan kaki masuk ke dalam Senayan Express.
...
Suasana di dalam gerbong lima masih tanpak sama dengan kondisi tadi pagi. Masih ada rumput hijau yang memiliki fungsi seperti permadani.
Ikan-ikan koi merah berenang merumput. Hal yang berbeda adalah keberadaan remaja laki-laki berkemeja putih. Dia tidak ada di sana.
Aku pun duduk di dalam gerbong. Menantikan ada penumpang lain yang akan berjalan masuk ke dalam. Anehnya, bahkan sampai pintu peron tertutup pun. Satu-satunya penumpang dari peron 5/11 hanyalah diriku seorang.
Aku mulai merasa, kejadian ini sungguh tidak lazim. Sejak pergi ke sekolah dan pulang sekolah. Tidak ada penumpang lain yang berjalan masuk. Bahkan menunggu di peron 5/11 pun sama sekali tidak ada.
Ikan-ikan koi berenang tanpa merasa terganggu dengan keberadaanku. Pergerakan mereka hanya menjauh, ketika aku mencoba untuk menyentuh. Mungkin mereka tidak menyukai perilaku tersebut. Tidak ada salahnya bersikap waspada terhadap apa pun itu.
Kupandangi rumput di bawah kaki, semakin aku mengamati rumput yang tumbuh tersebut. Mendadak, aku mendapatkan sebuah inisiatif untuk mencoba duduk di atas sana. Aku penasaran bagaimana tekstur dan rasanya duduk di atas rumput yang difungsikan sebagai alas kaki.
Saat aku mulai duduk di bawah. Sentuhan rumput ini benar-benar terasa lembut di kulit. Daun mereka tidak terkesan menusuk dan membuat gatal seperti jenis rumput pada umumnya. Selain duduk, aku mencoba berbaring dan merentangkan kedua tangan lebar-lebar di tengah lantai gerbong.
Rasa-rasanya, aku seperti sedang tidur di atas kasur yang sangat empuk. Bahkan kasur di rumah pun kalah saing dengan lantai gerbong. Aku seolah merasakan, ada ketebalan yang tercipta dari permadani rerumputan ini. Mungkin dari jenis rumput atau dari tanahnya.
Kucoba memejamkan mata sesaat guna merasakan kenyamanan ini dengan lebih. Sebenarnya, aku bisa saja terlena, jika aku terus seperti ini. Begitu membuka kelopak mata. Seekor kura-kura tempurung hijau berenang di depan wajahku.
Aku beranjak bangun dan duduk bersila.
"Halo?" sapaku ramah. Kucoba menyentuhnya menggunakan jari telunjuk. Dengan gerakan serupa yang dilakukan remaja berkemeja putih tadi pagi.
Jantungku berdebar cepat. Agak ragu, jika si kura-kura menolak untuk disentuh. Senyumku perlahan-lahan terbit. Kura-kura tempurung hijau menggunakan kedua tangannya untuk memeluk jari telunjuk kananku. Itu sangat menggemaskan.
Dia seolah sedang membalas salamku. Lalu, ada segurat garis tipis yang tercipta di lengkungan bibirnya. Aku pun makin tersenyum lebar.
"Halo, namaku Aruna. Kamu bisa memanggilku, Aru. Apa kamu setiap hari di sini?"
Aku tahu, ini terdengar bodoh. Kura-kura tempurung hijau tidak mungkin bisa berbicara. Bisa saja mereka mengerti bahasa manusia. Namun mustahil, mereka bisa berbicara bahasa manusia. Kemungkinan lainnya, mereka mengerti dan akan membalasnya dengan bahasa mereka sendiri.
Sayang, kebersamaan bermain bersama kura-kura tempurung hijau harus berakhir. Pengeras suara memberitahu bahwa Senayan Express akan segera tiba di stasiun Bendungan Hilir.
Aku segera merogoh ponsel dari dalam tas dan menghubungi Paman Mada. Aku harus mengabarkan beliau, sebelum Senayan Exprees benar-benar tiba.
Setelah mengirimkan pesan singkat pada Paman Mada. Aku kembali beralih menatap kura-kura tempurung hijau.
Dia masih ada di depanku. Berenang dengan gerakan kaki dan tangan yang sangat pelan dan lembut. Aku kepikiran untuk membawanya pulang. Tidak apa, bila lumba-lumba tidak kudapatkan. Mendaptkan kura-kura tempurung hijau pun tidak jadi masalah.
Saat hendak menggapainya, kura-kura tempurung hijau berenang menjauhiku. Dia seolah sadar dengan niatku untuk membawanya pulang.
Aku tersenyum tipis. Tidak terlalu kecewa. Hanya saja, aku rasa. Mereka memang tidak boleh dibawa pergi dari habitat mereka tinggal.
Laju Senayan Express melambat perlahan-lahan. Aku segera bangkit berdiri dari atas rumput. Menepuk-nepuk rok dan bersiap turun dari dalam gerbong.
...
Saat aku melihat Paman Mada di depan pintu masuk Stasiun Bendungan hilir, aku telah bertekad mencari tahu alasan semua hewan laut yang kulihat di langit dan yang kulihat di dalam gerbong Senayan Express.
"Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Paman Mada saat kami berjalan menuju area parkir.
"Baik. Aku mendapatkan teman baru. Rute perjalanan sekolah tidak terlalu sulit untuk ditempuh. Ada banyak, murid-murid SMA Jagad Raya yang menggunakan MRT. Aru berjalan mengikuti dan berbaur bersama mereka."
Paman Mada mengganguk. Tampak senang mendengarku bisa berangkat tanpa masalah berarti.
"Aru tidak mengalami kesusahan bukan?"
Aku menggeleng. Kesusahan? Aku membatin kata tersebut. Kesusahan memikirkan keberadaan gerbong aneh dengan satwa laut yang berenang di udara dan di langit. Mungkin itu jenis kesusahan yang kualami.
Kesusahan bahwa hanya aku dan si remaja kemeja putih yang dapat melihatnya.
...
Seminggu sejak aku pertama kali naik MRT bernama Senayan Express. Paman Mada menurunkanku di dekat pintu masuk Bendungan hilir setiap hari. Beliau tidak lagi mengantarkanku seperti sebelumnya.
Rasanya aku akan merepotkan beliau, jika seperti itu terus. Aku sendiri tidak ingin menyusahkan orang lain. Itu bisa membuatku menjadi ketergantungan dan tidak bisa menjadi pribadi yang mandiri.
Sambil menunggu di peron 5/11. Aku membaca ulang, buku jurnal tentang hewan-hewan laut yang kujumpai di langit Jakarta.
Aku rasa, ini hal penting yang harus aku dokumentasikan sendiri. Aku baru menulis beberapa semalam, salah satunya kura-kura tempurung hijau.
Katanya, kebanyakan kura-kura jinak dan cenderung pemalu. Kura-kura tempurung hijau yang kutemui cukup jinak dan memang agak pemalu. Tetapi, mereka cenderung tidak bisa akur jika dua jantan dimasukkan ke dalam satu kandang.
Sayang, aku tidak bisa mengidentifikasi jenis kelamin kura-kura tempurung hijau yang hidup di dalam gerbong. Firasatku berkata, dia berjenis kelamin laki-laki.
Pasalnya, hanya dia seorang diri di dalam sana. Kalau ada jantan lain, seharusnya mereka saling bermusuhan, agersif dengan melakukan penyerangan satu sama lain yang bisa menyebabkan cedera serius.
Dan jika ada betina, dia pasti akan melakukan sesuatu yang dapat menarik minat si lawan jenis. Aku juga menyadari bahwa kura-kura tidak boleh disentuh secara sembarangan.
Pasalnya, ini dapat menyebabkan kura-kura menjadj stres, yang seringkali berujung pada timbulnya satu penyakit jika situasi stres tersebut terus berlanjut.
Aku mengangkat wajah dari buku jurnal. Senayan Express telah berhenti di depan peron. Aku pun bersiap menunggu sampai pintu terbuka. Begitu benda itu bergeser terbuka, aku bergegas masuk dengan cepat.
Aku sudah merencanakan ini sejak seminggu. Fenomena paus di langit dan gerbong penuh ikan, terus terjadi dalam waktu dan tempat yang sama secara konsisten.
Bagaimana pun ceritanya, aku harus menjalin komunikasi dengan remaja misterius yang sedang duduk di posisi yang sama setiap hari.
Jantungku berdebar-debar. Napasku mulai terasa tersenggal-senggal. Aneh memang, aku bahkan tidak berlari saat masuk ke dalam gerbong. Namun, rasanya seperti sehabis melakukan lari marathon.
Kuputuskan tidak terlalu tergesa-gesa menghampiri. Jalur napasku perlu diatur ritmenya dengan baik. Dia duduk tanpa mempedulikanku. Bahkan terlihat tidak berminat untuk sekedar menoleh. Tatapannya selalu lurus ke depan. Padahal tidak apa pun di sana.
Kura-kura tempurung hijau berenang ke sana ke mari di atas kepala kami. Ikan-ikan koi tidak lagi merumput, mereka hanya berenang senormalnya seperti di dalam kolam.
Pintu gerbong tertutup, Senayan Express perlahan-lahan bergerak menuju stasiun Fatmawati.
Aku berdiri, menguatkan niat dan mental terhadap risiko yang akan dihadapi saat mengajak remaja tersebut berbicara. Aku harap-harap cemas, jika dia menolak untuk tidak berbicara padaku.
Satu langkah, dua langkah dan tiap langkah makin mendekatinya. Dia sekonyong-konyong menoleh padaku, saat jarak antara kami berdua dekat.
"Hai." Aku menyapa ramah. "Apa kamu juga melihat fenomena yang terjadi di dalam gerbong Senayan Express? Maksudku, kamu bisa melihat permadani rumpu, ikan-ikan koi dan kura-kura tempurung hijau itu, 'kan?"
Dia mengganguk dan aku merasa sangat senang. Ya, aku tidak sendiri lagi. Aku punya seseorang yang juga bisa menyadari fenomena ini. Aku tidak gila dan berhalusinasi.
"Emm, apa kamu juga melihat paus bungkuk yang berenang di langit? Ubur-ubur di lampu merah atau koloni ikan yang beregerombolan?"
Dia kembali mengganguk dan itu melegakan.
"Apa kamu tahu ... mengapa semua itu bisa terjadi?"
Kugigit bibir bawah dengan perasaan gelisah. Rasanya menegangkan mendengar alasan semua fenomena ini terjadi. Aku tidak mengerti, mengapa jantungku harus berdebar.
"Kamu ... ingin mengetahuinya?"
Suara bariton serak itu akhirnya mengalun keluar dari bibirnya. Aku hampir berpikir bahwa dia tipe orang yang malas dan pelit berbicara dengan orang lain.
"Ya, kenapa hanya aku dan kamu yang bisa melihatnya? Sedangkan orang lain seperti Pamanku saja tidak melihatnya. Apa itu hal yang normal di Jakarta?"
Remaja ini tidak langsung menjawab. Ia malah tersenyum tipis. Lalu melipat kedua tangan di depan dadanya.
"Kamu ... ingin mengetahuinnya?"
Kurasa, dia sudah dua kali menguncapkan kalimat pertanyaan yang sama. Aku pun mengganguk.
"Hmm." Dia bergumam. Masih menunjukkan senyum yang terlihat menyebalkan.
"Namaku Aruna. Kamu bisa memanggilku Aru dan kamu?" tanyaku yang tidak sabaran.
"Nakula." Dia menjawab "Namaku Nakula. Kamu juga bisa memanggilku Naku."
"Oke, jadi Nakula ... mengapa aku dan kamu bisa melihat paus bungkuk yang ada di langit dan ikan-ikan koi yang ada di pojok sana?"
"Kamu ingin mengetahuinya?"
Oke, ini ketiga kalinya dia mengulang pertanyaan yang sama. Aku merasa sedikit emosi.
"Iya!" Aku menyahut tegas. "Tolong katakan, Nakula. Aku terus penasaran dengan semuanya. Pasti ada alasan, mengapa semuanya bisa terjadi. Tidak ada asap tanpa api."
Lagi, Nakula menunjukkan senyum yang menyebalkan. Dia tampak sedang mengerjaiku.
"Aku akan memberitahumu."
"Sungguh?" Aku terlampau semangat mendengarnya.
"Iya, Aruna. Aku akan memberitahumu. Tetapi dengar baik-baik. Kamu bisa mengetahuinya dengan satu syarat."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro