BAB XXXVIII: Dialog Lara
°
Chapter terakhir?
It contains 2900+ words.
Bakal tembus 300 lagi gak ya hmmm 🤔
_______________
SENANDUNG
USANG. |
BAB XXXVIII:
Dialog Lara
|
______________
"Nanti Kak Tara jemput kamu, Ren?"
"Iya, tapi sekarang dia lagi mengantar Tiara ke Bandara. Bareng Bima juga."
"Hooo..." Pandangan Gianna fokus pada jalan raya, sesekali membaginya kepada GPS yang menunjukkan ke destinasi Stasiun Jakarta. Gadis itu mendadak kembali sendiri pada topik yang dibicarakan semenjak 15 menit lalu, tidak berhenti mengomeli bagaimana Rena tega memutuskan pria sebaik sahabatnya alias Raymond Hernando dan menggantinya dengan 'duda tampan' Dirgantara Wijaya yang ternyataㅡsudahlah. "Kamu tuh hebat ya, nggak bisa marah aku sama kamu."
Rena cuman melirik dengan pipi menggembung. "Ya, maaf."
"Tapi dia benar-benar bakal jemput kamu, kan?"
Helaan napas lolos dari bibir Rena sejenak. Gadis itu mengangguk dengan sepertiga keraguan, harapan, dan perasaan tidak nyaman.
"Jadi Kak Tara memutuskan untuk nggak pergi ke Korea, kan?"
Rena masih terdiam, memikirkan berkali-kali bagaimana semalam Tara memeluk raganya begitu erat seakan-akan tidak akan pernah meninggalkannya. Bagaimana mereka berdua melewatkan malam dengan selimut yang membungkus tubuh mereka ketika duduk di atas karpet bulu rasfur putih di apartemen Rena, mengamati kenaikan purnama dengan konversasi kecil dan asap tipis yang mengepul dari cangkir teh.
Pria itu mengelus surai Rena saat gadis itu tiba-tiba merasakan desakan sesak, Rena memeluk Tara dan menangis tiba-tiba. "Kak, soal yang Rena bicarain tadi sore... Kakak nggak akan beneran pergi, 'kan?"
Tanpa kata, Dirgantara menggesekkan kepala mereka, menggeleng. Apa itu artinya tidak akan atau tidak tahuㅡRena benar-benar takut bertanya. Dia takut soal jawaban yang akan ia terima.
Isakan Rena berlanjut, "Aku nggak tahu harus gimana, Kak. Aku nggak mau lihat kakak tersiksa tanpa Ara yang udah kakak besarkan 8 tahun seperti anak sendiri, tapi di lain sisi, aku nggak bisa kalau kakak pergi gitu aja."
Bibir Tara menempel di puncak kepala Rena selama beberapa detik, berharap bahwa isakan wanitanya reda perlahan. Dia tahu, ucapan tidak akan membantu. Luapan emosional ini hanya butuh tempat mendengar.
"Aku bilang aku ikhlas, sebenarnya Rena sendiri nggak ngerti soal itu, Kak."
Jika benar yang ia katakan adalah keikhlasan, lantas mengapa berat langkah kaki dan hatinya? Lantas mengapa ia menangis? Rena mengeratkan pelukan. "Aku benar-benar nggak tahu."
"Untuk apa kakak repot-repot kembali kalau pada akhirnya kakak pergi lagi, 'kan?" Rena menatap Dirgantara dengan manik yang mengkilap.
"..."
Ada keheningan beberapa sekon, sebelum akhirnya suara berat Tara memoles telinga.
"Untuk sesuatu yang lebih baik, Rena."
Jawaban cepat tak terduga yang melesat dari bibir Tara membuat tubuh Rena menegak. Dia menatap pria di hadapannya dengan tidak percaya. "Kak?" Ketakutan mulai menggerogoti Rena. Suaranya terbata-bata, "Apa itu artinya kakak mau pergi? Lagi?"
Tara menatap Rena, memberi kecupan singkat sebelum menepuk pipi gadis itu dengan kasih sembari tersenyum sendu. "Nggak, sebisanya, aku nggak pergi. Tapi terkadang orang yang pergi biasanya akan kembali membawa sesuatu yang lebih baik. Aku mau kamu percaya soal itu."
"Buat apa?"
"Hanya jaga-jaga."
"Jaga-jaga?"
Tara mengangguk. "Jaga-jaga kalau aku pergi."
Sial. Apa ini?
"Semua orang pergi, Rena. Usaha manusia sulit melawan takdir, tapi memang beberapa kali takdir akan luluh karena usaha dan tekad." Pria itu merengkuh Rena dari belakang, mengistirahatkan dagu di bahu kesayangannya. "Aku nggak akan pergi."
Kalimat itu sempat menghibur Rena sedikit, tapi ketika suara berat itu kembali memoles telinganya, Rena cuman terpekur dengan iris berlinang air mata.
"Tapi kalau aku pergi, entah karena alasan apa... tolong jangan terlalu sedih."
Rena tidak bisa berkata apa-apa.
Keegoisan ini, akhirnya dia merasakannya.
Keegoisan ini, dia benar-benar hilang ide bagaimana mengontrolnya.
"Hati-hati di keretanya, Ren!" Tersadar dari lamunan, Rena langsung mengangguk kalem pada Gianna.
"Jangan molor terus kelupaan bawaanmu! Aku balik sekarang, nggak apa-apa, ya? Aku harus ke sidang Tharene besok pagi." Gianna melambai ceria setelah memeluk erat sahabatnya.
Seharusnya Rena juga ikut, tapi tanpa dijelaskan lebih lanjut juga semuanya sudah tahu kenapa Neira Irena lebih baik tidak ikut. Apalagi mengingat betapa protektifnya Tharene Irena kepada Raymond, kakak sepupunya. Bisa-bisa Rena dihajar dengan buket dan dicekik dengan selempang bludru.
"Hati-hati menyetirnya, Gi."
"Nanti aku main ke Bandung pas weekend, ya!" Gianna mengakhiri dengan menutup pintu mobil dan meninggalkan Rena bersama matahari terbenam yang menunjukkan kalau dalam 15 menit lagi Rena harus bergegas mencetak tiket keberangkatan menuju Bandung.
Kak Tara pasti akan menunggu Rena di Stasiun Bandung, kan?
***
Di Bandara Husein Sastranegara, Bima sedari tadi sudah menangis dengan ekspresi buruk rupa, hidungnya yang berkerut dan mengeluarkan lendir malah kini harus dibantu Ara yang menyiapkan tisu dengan wajah datar di sebelahnya.
"Ara, kok tega, sih, nggak nangis!? Huhuhu." Bima masih menerima tisu dari tangan mungil Ara.
Ara menatap Bima dengan datar, tapi di dalam iris jernihnya, ada kesedihan. Seperti bakal merindu. Lalu tiba-tiba saja anak itu memeluk Bima erat-erat. "Mbim."
Bunyi srooot kencang dari hidung Bima terdengar bersamaan, "Ha?"
"Malu dong, udah tua, nangis di sini."
Bima merengek. "Kumaha ieu budak! Nggak ada sayang-sayangnya sama aku!"
"Sayang, kok. Hari ini Mbim bacot banget kenapa, sih?" Bibir anak itu mengerucut, lalu melempar semua bungkusan tisu yang dimilikinya sebelum Bima nyaris menggunakan jaket sebagai pengganti saputangan. Matanya memerah. Diam-diam menatap ayahnya yang berdiri kejauhan, bertanya-tanya kenapa pria itu tidak mendekat.
Bima yang menyadari hal tersebut, mengikuti arah pandang Tiara. Ah, malas sekali karena manik sang adik kecil jatuh pada sosok yang paling membuatnya murka.
Heran. Bisa-bisanya Dirgantara membuat memaafkan tampak begitu mudah. Padahal, Bima ingin sekali melempar wanita itu dengan spatula dan panci penggorenganㅡsetidaknya satu kali saja. Sial.
"Ara?"
Tapi anak itu masih mematung, selayaknya menerima fakta kalau ia harus dipisahkan dari dua manusia besar favoritnya. Mata Ara berkaca-kaca, menanggapi apa yang ia lihat dari kejauhan.
Di detik ini, wanita bernama Ellina Halim yang 'mendadak' menjadi ibunya, sedang berbincang kepada ayahnya. Seingatnya, pemandangan seperti ini merupakan hal yang ia damba sejak lama. Dia ingin punya Mama. Dia ingin Papa punya seseorang yang bisa menemaninya. Tapi entah mengapa, dia sedikit tidak suka dengan apa yang ia dapatkan. Sebab tak pernah terpikirkan olehnya karena impian tersebut membuatnya harus meninggalkan Bandung.
"Mbim?"
"Ya?"
"Ara..." Tiara menatap Bima dengan pupil bergetar lalu meremas kaos milik Bima. "Ara nggak mau pergi, Mbim..." setelah berkata seperti itu, air matanya meleleh.
Bima menegakkan punggung, memeluk keponakan kecilnya dengan sayang. Erat sekali ketika getar dalam suaranya terdengar. "Nggak ada yang mau kamu pergi, Dek."
Tangis tersedu-sedu milik Ara pecah dan semakin mengeras. "Mbim, tolong cubit Papa atau tante itu, biar mereka nggak biarin aku pergi. Ara nggak mau pergi."
Bima mengelus-elus rambut Ara dengan mulut melengkung turun. Dia tahu jelas, dia tidak mungkin melakukan itu semua.
"Memang nggak bisa kalau Ara tetap di sini?"
Bima menggeleng sedih.
"Kenapa?"
"Nanti kita ketemu lagi sewaktu Ara udah gede. Mbim kasih jawabannya, ya." Bima menepuk pipi Ara dengan lembut, mengusap air mata dengan ibu jari, lalu tersenyum pahit. "Untuk sekarang, Ara nggak akan ngerti."
"Ara... anak yang baik, kan?" Mata Bima berkaca-kaca.
Dan Tiara sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Jika menjadi anak baik membuatnya harus berpisah, dia tidak mau begitu. Tapi... dia juga tidak ingin jadi anak nakal yang menyusahkan Papa dan Mbim.
Saat pelukan mereka terlepas, tahu-tahu Dirgantara telah berdiri di belakang Tiara. Anak itu menghamburkan diri, memeluk pinggul Tara. "Pa, pulang aja yuk? Ara takut pesawat."
Dirgantara dan Bima tersenyum getir, mereka jelas tahu itu kebohongan. Keduanya masih ingat dulu Tiara yang kegirangan diajak berlibur ke Jepang saat akhir tahun. Dan juga, Jepang bukan satu-satunya negara yang pernah Ara kunjungi. Mereka bertiga cukup sering melakukan trip pendek bersama ke luar kota ataupun negeri.
Tara melepas koper merah jambu milik Tiara yang sedari tadi ia pegangi, lengan besarnya mendekap Ara. "Masih ada 3 jam, Ara." Hatinya merasa ngilu saat harus mengatakan, "Sebelum kamu naik pesawat, kamu masih bisa di sebelah Papa, 3 jam."
"Cukup ya, Sayang?" Tara memeluk anak itu dengan perih.
Ara menggeleng kasar. Air matanya berderai, terjun deras. Isakan demi isakan membuat desir darah Tara semakin bimbang.
Melihat Tiara seperti ini, jelas bukan apa yang diinginkannya. Demi Tuhan, dia bahkan tidak tahu harus menjawab apa saat anaknya tergugu-gugu melontarkan pertanyaan, "Papa..."
"Benar nggak mau ikut Ara? Temenin Ara sebentaaar saja. Ikut ke Korea."
Lantas Tara menatap Ara dengan mata berkaca-kaca. Tidak bersuara.
Dia ingin menemani, tentu saja. Tapi Papa harus di sini buat Tante Rena. Dia tidak mungkin menjawab begitu gamblang. Tara tidak tahu reaksi atau respon seperti apa yang akan diberi Ara jika dia berkata seperti itu. Dia hanya tidak ingin melukai siapapun. Apalagi Tara tahu, Ara punya banyak kesulitan beradaptasi.
Anak ini bahkan tidak mau berteman dengan siapapun selama satu tahun di TK. Lalu hal itu terjadi lagi saat Tiara menginjak bangku SD. Anak itu selalu menghindari orang baru. Ara selalu merasa inferior karena tidak punya sosok ibu, Ara tidak tahu harus menjawab apa ketika ibu-ibu kantin bertanya kepadanya kenapa selama ini selalu hanya sosok pria yang menjemputnya.
Tiara juga menghindari orang dewasa seperti ibu teman-temannya yang berusaha menanyakan berbagai macam hal. Kemana ibunya? Apa pekerjaannya? Seperti apa rupanya?
Dirgantara tahu itu semua, meski Ara tidak menceritakannya. Ia tahu itu ketika mengambil raport Ara dan itulah pesan yang dilaporkan wali kelas Tiara.
"... Tapi Ara selalu bersemangat kalau Hari Ayah, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi saat saya tanya siapa yang mau membacakan surat untuk Ayah di depan kelas." Ibu wali kelas Tiara, meletakkan sesuatu di atas meja.
Surat kecil dari Alanna Millagrace Tiara.
Kala itu disimpannya dengan hati menciut masih meninggalkan kesan jelas di kepalanya, membuat isi dadanya terasa lebih lapang.
_____
Papaku aneh. Dia terkadang bawel. Padahal aku tahu dia nggak banyak omong seperti Mbim yang bawel. Tapi dia selalu coba bicara sama aku. Tanya-tanya apakah sekolah menyenangkan dan mau pindah sekolah kalau makanan kantin tidak enak. Menurutku itu lucu sekali.
Dia nggak bisa masak. Makanya selalu beli makan dari luar. Katering Bandung nggak enak. Masakan Mbim enak. Tapi roti tawar isi srikaya dan nutella yang pernah Papa bekalin kasih itu Ara paling enak. Menurutku itu enak sekali.
Papaku aneh. Dia suka pecahin piring. Aku juga pernah pecahin piring. Papa hampir marah, tapi dia cepat beres-beres. Seharian itu aku disuruh jalan pakai sepatu di rumah. Papa juga. Mbim pulang kerja, lalu kena beling. Untung ada Mbim. Mbim menolong Ara. Mbim baik.
Aku juga sayang Mbim, meskipun dia aneh dan suka nyanyi keras-keras di shower. Mbim bisa masak dan jago beres-beres rumah. Aku pengen panggil dia Mami. Tapi Mbim cowok. Terus kata Papa dia Paman aku, jadi tidak boleh panggil Mami.
Papaku aneh. Mbim juga aneh. Tapi mereka bisa bikin furnitur dan dapur kecil buat aku di rumah. Paku sendiri pakai palu. Aku cuman diajarin buka plastik dan buang sampah, tapi aku senang. Karena mereka berdua ada di rumah, Ara senang.
Aku belajar bikin teh manis hari itu. Mereka minum dengan senyum. Katanya enak. Menurutku, aku anak paling bahagia di dunia!
Mbim sering tanya aku mau main game apa. Aku suka main sama Mbim meskipun aku kalah terus. Papaku sering tiba-tiba naik ke kamar, tanya Ara mau makan apa. Ara suka makan apa saja asal sama Papa.
Aku sayang Papa dan Mbim. Mbim jangan ganggu Papa kalau lagi kerja. Papa jangan bikin piring pecah lagi, ya.
Selamat hari Ayah untuk kalian berdua. Dirgantara Wijaya dan Babara Mbim Wijaya.
______
Tara tersenyum kecil mengingat-ingat itu semua. Apalagi Bima yang protes besar-besaran karena Tiara tidak berhasil mengeja nama lengkapnya.
Tanpa pengawasannya, Dirgantara tidak yakin Ara akan makan dengan baik. Dia takut Ara sakit karena tidak menelan rasa santapan asing.
Dari seluruh restoran yang pernah mereka kunjungi, Ara paling tidak suka makanan Koreaㅡkecuali daging barbekyu, itu pengecualian. Tapi anak itu benci asam kimchi meski anak itu suka asam Yakult. Anak itu benci kenyalnya tteokbokki meski Ara suka ronde jahe, Ara bilang rasa tteokbokki itu aneh---seperti ronde alot diberi topping sambal. Tiara bahkan bingung kenapa rasa ramyun instan yang menurutnya tidak enak itu punya harga sepuluh lipat lebih mahal dari mie instan Indonesia.
Ara juga lebih suka sate daripada daging barbekyu Korea. Dia bilang, bumbu kacang dan padang itu saus paling enak di dunia. Anak itu bahkan pernah meminta bonus bumbu kacang kepada Kang Siomay yang lewat di depan sekolahnya, hanya untuk dibawa pulang dan dituangkan bersama semangkuk nasiㅡmembuat Tara dan Bima sampai terheran-heran dengan genre lidah Tiara.
Serius. Tara yakin dia akan merindukan itu semua.
8 tahun membesarkan Tiara bukanlah hal paling mudah, tapi Tara tidak sedikitpun menyesalinya.
"Papa..." Masih dengan lengan melingkar yang mendekap leher Tara, Tiara menatap Tara sekali lagi, dengan bahu melorot habis menangis. "Tiara nggak mau pergi kalau nggak sama Papa."
"Tara," panggil Ellina lembut, setengah tidak enak hati. "Jangan memaksakan diri."
"Tapi ini..." Ellina menyodorkan satu lembar tiket pesawat, yang sudah disiapkannya sekaligus saat membeli tiket Ara dan dirinya. "Aku beli tiket ini, cuman untuk jaga-jaga kalau kamu berubah pikiran."
Apa yang terjadi barusan seolah semesta mengisyaratkan bahwa jika Tara ingin ikut, Tara hanya perlu pulang ke rumah dan mengambil paspor. Ha-ha. Sekarang dia harus apa?
"Aku nggak punya maksud apa-apa. Hanya jika kamu ingin memastikan seperti apa rumah dan lingkungan yang akan ditinggali Tiara, kira-kira rutinitas apa yang akan ia jalani setiap harinya..."
"Kalau kamu mau pakai..." Ellina menggantungkan kalimat, meletakkan kertas itu di telapak tangan Tara, "Pakailah."
Haruskah? Haruskah ia memakainya?
Kini Dirgantara Wijaya bertukar tatap kepada Baskara Bima yang memilih untuk tidak memberi opini apapun. Bima tampak risih sebelum melenguh, sama bimbangnya.
Itu artinya Tara harus memutuskannya sendiri.
Dirgantara melirik jam tangan. Dia hanya punya waktu dibawah 3 jam untuk membuat desisi.
Menjemput Rena di Stasiun Bandung atau mempersiapkan diri ikut ke Korea.
***
Saat mengucek mata usai terlelap selama perjalanan, Rena mendapati kalau ada yang meninggalkan beberapa panggilan tidak terjawab. Dirgantara Wijaya.
Setelah pesimis berpuluh-puluh kali, akhirnya Rena langsung melonjak optimis. Dirgantara mungkin benar-benar menunggunya di sana.
Di detik kaki berpijak pada tanah Bandung, Rena tidak bisa membohongi diri bahwa napasnya mendadak terasa berat. Insekuritas membuncah tidak pada tempatnya. Bibir berusaha menyambut malam dengan senyum, meski apa yang ia dapat bukanlah yang ia damba.
Manusia yang berdiri di sana bukanlah Dirgantara Wijaya.
"Mbak Nei..." Pemuda itu menatap Rena dengan perasaan kacau, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan setelah semua yang telah terjadi.
Sosok Bima mematung, dengan awan suram yang menggantung di atas kepala, dia menatap Rena yang melangkah dengan hati-hati meskipun kakinya gemetar hebat.
Rena takut. Takut sekali. Bagaimana jika ketakutan di dalam kepalanya jadi kenyataan? Tidak, tidak.
"H-hai, Mbim," Rena menggigit bibirnya yang bergetar perih. Pura-pura memasang senyum terbaik. "Thanks udah jemput. Kak Tara sibuk kerja, ya?"
Seolah sudah mendapat jawaban dalam keheningan, jiwa sang gadis seolah ditendang ke dalam palung duka yang curam dan dingin. Rena bisa saja menangis sejadi-jadinya, berteriak marah, atau menangis kecewa—akan tetapi bibirnya tak mampu berucap barang satu katapun.
Hanya senyum pahit yang bercerita.
Bima tahu itu semua hanya kebohongan. Dia tidak bisa berlagak palsu dan memasang senyum seolah tidak ada yang terjadi. Dia menatap Rena dengan tidak tega.
"Aa ke Korea. Ikut Ara," ujar Bima lugas. Mengirim kejut yang sebenarnya sudah diam-diam Rena antisipasi---meski tetap saja gagal. Hati Rena kini terasa bolong, mengeluarkan anyir samar yang begitu menyakitkan. Kemudian pria itu menyodorkan satu paper bag navy yang terlihat disiapkan buru-buru.
"Katanya, telepon kamu nggak diangkat tadi."
Rena mengintip apa yang ada di dalam; kaset CD-RW dengan label judul yang menguning, stationery dan stiker Sailor Moon keluaran tahun 2012 yang tertulis di label manufaktur, bros Sailor Moon yang tampak baru. Dan yang terakhir... Dua lembar surat. Satunya tampak usang, satunya tampak baru.
Sekarang gadis itu tahu apa jawabannya.
Dirgantara pergi.
"Maaf, Nei..." Bima mengusap pundak Rena dengan sedih. "Harusnya aku nahan Abang."
Menggigit bibir satu kali lagi, tangan Rena mengepal erat ujung paper bag, "Ah, gitu. Nggak apa-apa, aku udah tahu, kok. Hehe." Rena menyuarakan tawa sumbang yang perlahan-lahan berubah.
Berubah jadi tawa pilu.
Dalam detik singkat, emosinya tak terbendung lagi. Tak bisa berbohong lagi. Sudah lama dia berpura-pura kuat seperti ini. Ikhlas? Omong kosong apa yang sempat ia bicarakan. Sekarang gadis itu sesenggukkan, merosot jatuh dengan posisi jongkok, tak peduli apakah ia jadi bahan tontonan setelah Bima menutupi wajahnya dengan jaket.
Rena menangis sejadi-jadinya, memukul-mukul dadanya yang terasa sakit saat menyadari bahwa setelah semua penantian dan lika-liku yang mereka jalani bersama adalah sebuah kesia-siaan.
Kalau Tara bisa pergi seenaknya, kenapa waktu itu Tara menahan Rena pergi?
Bodoh.
Jahat.
Egois.
Waktu berseru seolah tak ingin mereka bersatu. Semesta melarang mereka melebur. Setelah pergi dan kembali, Dirgantara memilih pergi. Lagi.
Kini... Senandung usang yang menghantui memori hanya bisa dirasa ketika Rena menutup mata, menanti waktu menghapus atau memperparah bayangan tersebut. Sebab ketika mata dibuka, yang Rena dapatkan adalah fakta paling kejam bahwa; untuk kesekian kalinya, presensi Dirgantara menjadi tiada.
Dan barangkali kini ia benar-benar harus melepas segalanya.
"Mbak Nei," panggil Bima membuat Rena mendongak sedikit.
Pemuda itu lalu melanjutkan dengan suara kecil yang keraguannya terdengar besar sekali. Merasa bertanggung jawab dalam beberapa aspek, inilah desisi seorang Baskara Bima.
"A-aku telepon Raymond tadiㅡbeberapa jam yang lalu."
Dan sosok yang barusan disebut itu menjulang, tanpa banyak bicara kini tepat di depan Rena yang tidak peduli kalau kakinya mengalami keram atau tidak gara-gara masih bersimpuh dalam genangan air mata.
Tanpa kata, Raymond mensejajarkan pandangan dan memeluk Rena dengan perasaan miris.
Sekarang Rena cuman bisa terpekur diam. Tatapannya hampa.
Setelah semua waktu yang dihabiskan, inilah kenyataan.
Dialog lara di kepalanya sudah semakin menjadi-jadi. Setengah dirinya seperti menghilang. Pada satu hamparan ubin dingin yang kotor, dua bagian hati yang patah, dan tiga insan yang berusaha saling menguatkanㅡhanya ada empat kata mengisi nabastala pemikiran.
Aku benci ini kenyataan. []
End.
NOTES.
Canda. Gajadi end deh, hahaha.
#NOWPLAYING: Dialog Senja - Lara
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Ini closing OST kita hahaha~ cocok banget.
Coba deh baca liriknya, pas banget buat POV Ray Rena Tara. :)
Dan gaes, sedari awal plotting emang saya setting-nya begini hehe. Silahkan ditunggu aja kapan saya publish ending sebagai desisi final dari buku ini. Mohon dukungannya. Seperti biasa kalian tahu lah saya nunggu apa baru update hehe
Oh ya! Kalian sendiri dukung kapal siapa dan kenapa?
Kepo aja, jawaban kalian nggak akan mempengaruhi keputusanku kok, jadi silahkan tuangkan pendapat kalian seleluasa mungkin, ya~
🌈 See you after 400. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro