Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB XXXVI: Merobek Bayangan

°


Karena sudah 300 komen, aku update nih. Enjoy reading.

Absen dong.

_______________

SENANDUNG
USANG. |

BAB XXXVI:

Merobek
Bayangan

|                  

______________

Patah hati tersial yang akan Dirgantara Wijaya ingat seumur hidup adalah ketika netra kosongnya menatap pigura berbingkai kembang di atas altar kayu mahoni, delapan tahun lalu.

Ya Tuhan.

Dia terlambat. Wajah Elle kini hanya bersisa foto. Dirgantara hanya akan bisa melihat gadisnya saat ia menutup mata, itu pun jika ia cukup beruntung.

Pelupuknya berlinang air mata, bibirnya yang bergetar parah digigit supaya tidak mengeluarkan isak, kepalan tangannya mengerat. Sebelum ia bisa mendapatkan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, satu tamparan melayang tanpa ampun di wajahnya.

Bercak lima jari milik ibu dari mendiang Elle berbekas tak hanya di wajah—namun juga lama di hatinya. Pemuda berusia dua puluh tahun awal itu bahkan tidak mengerti kenapa dia harus menerima. Tidak sampai wanita tua berdarah Korea itu jatuh berlutut bersimbah air mata banjir, "Kenapa kamu melakukan ini kepada anak saya?" gemanya lirih.

Pupil Tara bergetar tidak mengerti.

Tamu yang berduka, hanya amat sedikit yang masih berlalu-lalang, beberapanya telah pulang. Untuk alasan tertentu, bisik-bisikan di kepala terdengar sejelas gema pengeras suara. Riuh rendah itu tidak berhenti sampai Tara kini mengerti apa yang telah terjadi.

Dia tahu apa yang telah dilakukan Elle di belakangnya.

Ellina berkhianat.

Sebab Dirgantara tidak pernah sekalipun menyentuh gadisnya.

Walaupun mereka menjalin kasih cukup lama, dia tidak pernah berhubungan intim dengan gadisnya. Dan bayi prematur yang katanya kini berada di inkubasi itu adalah hasil pengkhianatan kekasihnya dengan pria lain yang eksistensinya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Ellina sendiri.

Tara merasa dunianya runtuh dalam sekejap.

Rumah yang ia pikir akan menjadi tempat ia berpijak dan berteduh, dalam sekedip mata menghempaskannya saat ia lengah.

Dia punya seribu pertanyaan kepada Ellina kenapa rasa sakit ini harus dilimpahkan kepadanya ketika dia cuman mencoba mencari hidup yang lebih baik di luar sana, di ibu kota.

Dia ingin berteriak sekencang-kencangnya perihal pengkhianatan yang diterimanya. Dia ingin berkata kepada dunia bahwa kemalangan ini bukan disebabkan olehnya. Akan tetapi... hatinya jatuh pada senyum lebar manis pada pigura mati—yang mengiris sanubarinya, menguliti perasaannya hidup-hidup tiap sekon sampai ia merasa sekarat.

Aku mencintaimu. Sebesar itu.

Sebesar kehancurannya kini. Semuanya telah terjadi.

Elle. Orang-orang akan mencelamu usai semua dosa kamu.

Bagaimana ini?

Kenapa kamu melempar ini semua kepadaku? Setidaknya beritahu satu orang kalau kamu mengkhianatiku.

Telapak tangannya menutup kening dan mata, bahu ringkihnya yang membungkuk bergetar saat sesenggukkan menyeruak. Ia merapalkan maaf berkali-kali, tanpa sadar. Dirgantara hilang arah. Benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain melindungi kehormatan gadis tercintanya—agar pergi tanpa celaan dan aib yang berkali-kali lipat.

Bersama lututnya yang kini tertekuk di atas ubin dingin yang kejam, ia hanya disisakan kartu nama rumah sakit dan sepucuk kertas dari ibu Ellina.

Saya tidak peduli dengan bayi yang telah merenggut hidup putri yang satu-satunya saya miliki. Putri saya seharusnya punya masa depan cemerlang. Bayi ini menghancurkan semuanya.

Dirgantara tidak pernah tahu kenapa dia harus merasakan perasaan bernama cinta jika ia harus menanggung ini semua. Akhirnya ia meledak. Ia berkali-kali menghujamkan tinju ke lantai dengan air mata amarah setelah tidak ada siapapun di sana.

Aku salah apa?

Aku salah apa, Elle?

Walau tangannya sakit dan nyaris terluka, itu semua tidak sebanding dengan sayatan dalam dada dan ledakan yang ia rasakan di dalam kepala.

Apa yang salah? Sejak kapan ini terjadi? Dengan siapa? Kenapa dia dengan begitu bodohnya mencintai setelah dikhianati begitu besar? Bagaimana dia akan menjelaskan ini di masa yang akan datang? Dimana ia harus berpijak sekarang?

Sejak hari itu, kehidupan Dirgantara berubah total—karena benang tipis bernama ketulusan dan kebodohan.

8 tahun dan akhirnya benang tipis itu secara benar-benar resmi berganti menjadi kebodohan absolut saat sosok masa lalu itu hadir kembali, duduk di hadapannya dengan sejuta misteri dan rahasia yang belum tersingkap total.

Wanita itu, Ellina Halim, masih hidup.

Wajahnya sudah sedikit berubah dibandingkan saat masih menyanding status siswi SMA, tapi ujung matanya masih berkerut tipis jika tersenyum, meski kedua insan di ruangan kantor Tara juga tahu bahwa senyuman itu bukan berasal dari hati. Itu seperti senyum pahit penuh perasaan bersalah yang dikubur bertahun-tahun.

"Eomma-ku baru saja meninggal karena kanker beberapa bulan lalu." Ellina memecah hening. "Dan aku baru bisa ke Indonesia untuk menebus kesalahan aku."

Wanita berusia kepala dua akhir itu bahkan tidak berani mengeluarkan pertanyaan basa-basi seperti menanyakan kabar. Dia sudah bisa membayangkan seperti apa skenario yang terjadi—bagai malapetaka.

"Aku kembali untuk minta maaf, Tara." Dia tersenyum getir. "Sungguh."

Mengepalkan tangan erat, pemuda itu berusaha meredam emosi. "Harusnya kalau kamu mau bohong, bohong saja sampai aku mati."

"Kenapa kamu tiba-tiba muncul lagi dan..." Tara kehilangan kata-kata. Dia tidak tahu perasaan macam apa yang merenggutnya, dia bahkan tidak mengerti emosi seperti apa ini. Marah, sedih, kecewa, merasa bodoh, benci—semuanya bercampur berantakan. 

"Tolong jangan temui aku lagi, Elle. Memaafkan nggak semudah itu."

"Tara, aku tahu, aku kembali bukan untuk membuat semuanya semakin berantakan." Gadis itu menitikkan air mata, jernih suanya. "Aku juga tahu kalau perbuatan aku udah menyakiti kamu."

"Kalau aku bisa memutar waktu, aku nggak akan mengikuti ancaman ibuku untuk memalsukan kematian dan ikut kembali ke kampung halaman ibu di Su-won." Dia berusaha untuk menarik kembali air matanya, meski sulit. Gadis itu benar-benar tidak bohong. "Karena itu semua... karena aku pengecut... kamu jadi menanggung semuanya."

"Selama aku menjalani hidup di Su-won, aku nggak pernah lupa sama perbuatanku kepada kamu, Tara." Dirgantara masih menunggu kelanjutan cerita dengan tatapan datar, kosong. Gadis itu menunduk dalam-dalam. "Aku benar-benar minta maaf."

"Aku tahu ini nggak akan mengubah apapun. Aku ingin menemui kamu sejak lama, tapi aku minta maaf karena baru bisa melakukannya sekarang." Tidak ada kepalsuan dibalik kilat bola matanya. Ellina serius akan ucapannya dan kristal bening yang bertengger lama di pelupuk itu akhirnya luruh juga, "Maaf, Tara. Maaf."

"Maaf sekali."

"..."

"Aku kembali karena kamu pantas mendapatkannya dan aku harus memohon maaf sama kamu."

Teringat pada ibunya yang mengalami hidup susah menghidupinya sebagai orangtua tunggal sejak ia berusia 2 tahun, dia sebagai remaja pengecut berusia 18 tahun yang kehilangan arah hanya bisa diam saat diintrogasi oleh ibunya di dalam bangsal rumah sakit.

Ellina terbaring lemah tak berdaya setelah mengalami pendarahan hebat pasca praktik aborsi yang ia terapkan di rumahnya. Dia muntah darah dan kucuran bau anyir di bawah sana tidak berhenti meski dia telah meminta tolong kepada Tuhan dan siapa pun berkali-kali.

Dia tidak mengerti kenapa janin di dalamnya begitu kuat. Dia tidak habis pikir kenapa janin yang ditinggal mati oleh ayah kandungnya ini, memiliki vitalitas tangguh, disaat Ellina sendiri bahkan tidak masalah jika dirinya mati di detik itu juga.

Apalagi yang bisa ia harapkan dari hidup ini?

Dia salah langkah. Kekasih gelap—sekaligus teman sekelasnya—tidak mau bertanggung jawab. Sejak kabar kehamilannya beberapa bulan lalu, pria itu mengancamnya berkali-kali untuk menggugurkan kandungan dengan alasan masa depan kita nanti hancur. Dengan kalimat brengsek kalau kamu cinta aku, gugurkan bayi itu. Dengan tipu muslihat ini demi kebaikan kamu juga.

Bangsat. Dia baru sadar sekarang. Kebaikan macam apa yang dimaksud?

Semua itu rekayasa, fana, jebakan!

Ellina bukannya tidak mencoba, dia menelan pil berpuluh-puluh kali. Berdoa agar sang janin mati. Tapi Tuhan tidak mengizinkan mereka mengubur dosa begitu saja. Dia berkali-kali memuntahkan pil dan isi perut setiap harinya. Tubuhnya memberi reaksi penolakan pada pil iblis itu. 

Pertengkaran dan cekcok mulai terjadi. Kengerian mulai menerpa.

Bajingan itu, atas dasar takut, mulai menyalurkan ketakutannya pada Ellina, merisak jiwanya dengan melakukan kekerasan fisik padanya. Berteriak menggelegar, mengerikan, dan merobek seluruh keberanian Elle untuk melawan, "Apa kamu mau aku bunuh sekalian!? Kamu harus telan obat itu! Pilnya! Telan!"

Ellina pikir, lebih baik dibunuh saja kala itu. Dia takut.

"Kalau kamu cinta aku, telan!"

"Ayo telan!"

"Ini untuk kebaikan kita bersama!"

"Telan!"

"Telan!"

"Telan!"

"Telan!"

"Telan!"

Ellina pernah bertanya kepada langit, kenapa dia membuat perangkap untuk dirinya sendiri. Ellina pernah ingin berlari dan mengakui semuanya di depan siapa saja yang bisa menolongnya—dan betapa terpukulnya ia saat tersadar bahwa dia tidak punya siapa pun.

Ellina sudah menyiapkan diri jika ia harus membuka aib kala melaporkan kekerasan yang ia terima ke pihak berwajib.

Intinya, ancaman tadi harus menjadi yang terakhir.

Tetapi kalian tahu tidak? Hidup itu selalu lebih mudah bagi beberapa orang. Terutama untuk orang brengsek.

Pria tak berhati nurani itu dengan mudahnya lolos dari tekanan sosial, tewas kecelakaan motor terlindas truk dengan organ tubur bercecer—tanpa langsung telah menghancurkan segala harapan Ellina. Pria brengsek itu mati, melepas tuntas tekanan dan tanggung jawab yang menjerat. 

Kini, hukuman itu hanya bisa ditanggung Ellina sendiri.

Dia lah pihak yang kalah telak.

Kesalahan ini semua karena dia adalah manusia yang tidak tahu diuntung. Tak ada ruang untuk bisa menebus selain mencoba pergi dengan kembali menelan apa yang tersisa.

"Yang menolongku itu... Eomma." Perih mengisi intonasi. Ibu membiarkan Ellina diam-diam melahirkan bayi prematur itu secara caesar sebelum pergi ke Su-won. Ellina bahkan tidak sempat melihat bayinya sendiri. Tidak tahu seperti apa dan bagaimana rupanya.

"Aku benar-benar sudah siap mati dan Eomma berusaha menghidupkanku dengan caranya. Memberiku kehiduoan baru." Napasnya tercekat, hanyut dalam memori karat. "Dan aku minta maaf, karena menghidupkanku harus merenggut kehidupan kamu."

"..."

"Hanya karena... karena kamu kekasihku."

Ratusan belati seolah menusuk jantung Tara. Apa yang masuk ke telinganya terdengar seperti kemustahilan. Tapi inilah faktanya. Semesta kini menunjukkan apa yang ada dibalik tirai. Kini kebolongan dari kisah usang telah rampung.

"Tara..."

Pria itu tidak ingin berbicara. Namun dia masih mengangguk, menandakan bahwa ia mendengar semuanya dengan baik.

"Aku nggak minta kamu maafin aku. Aku nggak pantas terima itu semua. Aku tahu," tuturnya takut-takut. "Hanya saja... aku punya pertanyaan lancang." Dia menatap Tara dengan tidak enak hati. Dirgantara merasa seperti kehabisan stok ketenangannya dirampas saat tujuan sebenarnya dibalik kemunculan wanita ini terkuak. "Apa kamu barangkali tahu dimana anakku berada?"

Jantung Tara menciut, dia belum siap menanggapi ini semua.

"Aku ingin membawanya hidup denganku di Korea. Aku juga nggak tahu harus mencari siapa selain kamu." Mata Ellina berkaca-kaca.

Hanya ada cahaya gradien senja dari balik jendela yang menjadi penerangan di antara mereka. Konversasi telah bergulir bahkan sebelum senja datang, sekarang kesunyian mengisi ruang. Di laci meja, Tara memandang pedih pada gambar yang menghiasi lockscreen ponselnya, fotonya dengan Ara.

Setelah berkali-kali menghindari kontak mata yang disengajakan, di detik ini akhirnya Dirgantara menatap lurus kepada sosok yang seharusnya bertanggung jawab atas Tiara, menghela napas penuh beban dan berucap dengan berat hati. "Elle."

"Ya?" Sepasang mata hitam cantik itu menatap kembali, mencari harapan meski ia tampak redup sekali.

"Aku butuh waktu untuk mengembalikan dia kepada kamu, Elle."

Seketika bola mata Ellina melebar. Benar-benar terkejut. "Maksud kamu?"

Rasanya dunia sedikit berpihak kepadanya. Dia bahkan tidak sudi berkedip. "Tara... K-kamu merawat anakku?"

Diamnya menandakan iya. Ellina menutup mulut dengan sepasang netra syok yang dihantui lara. "Astaga, Tuhan." Air mata berderai di sudut mata. Haru yang membiru dan rasa bersalah yang bercokol semakin dalam, menggerogoti tanpa henti. "Kenapa... Kenapa aku pernah melakukan hal sialan itu kepada orang seperti kamu?"

Ellina pikir, barangkali Tara menitipkan bayi itu di panti asuhan atau bahkan tidak menggubris segalanya sama sekali. Tapi apa ini? Kenapa semua di luar prediksinya? Jika saja Ellina tahu, ia akan kabur dari Korea agar secepat mungkin menginjak tanah Bandungㅡseceoat mungkin memperbaiki segalanya.

Sesenggukkannya tidak berhenti, Ellina berkali-kali menghapus kasar air matanya yang tak kunjung kering. Usapannya berhenti saat ia melihat jemari Tara meletakkan tisu yang terlipat rapi di atas meja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"..."

Mengenal adalah bagian dari takdir yang memilih manusia, mengenang adalah bagian dari takdir yang bisa dipilih manusia. Tidak mencintai bukan berarti membenci. Sama halnya seperti menghindar bukan berarti tidak memaafkan. Mengingat fakta juga bukan berarti memendam dendam.

Semua orang punya alasan dan kita tidak perlu selalu tahu mengapa.

Dirgantara percaya setiap orang punya masa sembuh masing-masing. Waktunya berbeda, caranya berbeda. Tidak apa jika proses hanya diiringi oleh setapak-setapak kecil. Yang pasti pada akhirnya; semua berhak menerima bahagia lagi.

Pencahayaan dalam ruang kini dimatikan. Bayangan tersobek, kasus telah selesai. Detik-detik merelakan akan segera dirayakan. Sesi jumpa yang tak disangka ini segera diakhiri selepas mereka bertukar kontak telepon. Sebelum Tara benar-benar masuk ke dalam mobil, Ellina memanggilnya sekali lagi setelah meragu berkali-kali. "Tara?"

Tara menoleh tanpa suara.

"Apakah anak itu laki-laki atau perempuan?"

Terpekur sebentar, Tara akhirnya menatap sendu Ellina sebelum menjawab tulus, "Perempuan. Dia anak yang cantik dan baik, Elle."

Pemuda itu menyematkan senyum tipis. "Kamu orangtua yang beruntung."

Dan Dirgantara tidak akan melupakan bagaimana sepasang kilat mata basah yang juga sudah tersakiti sama banyaknya itu menghaturkan terima kasih sembari membungkuk dalam berkali-kali.

"Sampai jumpa dan jaga diri." []

NOTES.

Ini 2000w loh. Berasa nggak?

Aku butuh masukan/saran dari kalian. Sesimpel perasaan kalian pas baca ini itu bisa jadi bahan untuk aku berkembang. Apakah ada yang terharu? Nangis? Atau marah? Flat aja? Tell me.

cIYEEE, yang kemarin tebakannya benar kalau Ara bukan anak kandung Tara. Hahaha aku memang sengaja kasih banyak clue :D

Chapter ini lumayan deep loh, banyak quotesnya hahaha. Dan, yeap, Ellina sebenarnya mengalami sakit yang sama banyak, jadi anggap saja itu karma dia :) We should believe in karma, guys. 

Dan untuk 'ayah' Tiara yang asli, tutup aja. Anggap saja abu-abu. Aku rasa nggak perlu bahas lebih lanjut, karakternya Ellina nggak mau mengingat kenangan buruk itu. Lagipula si tai itu sudah mati. Dan itulah karma dia, mati dan dilupakan tanpa nama. 😊

#nowplaying: Senja - Perih

Pokoknya gaes, reminder, di Senandung Usang semuanya main karma, gaes. Hahaha.

Jadi menurut kalian ini endingnya bakal gimana?
Apakah Tiara bakal balik sama ibu kandungnya? Rena berakhir sama siapa? ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro