Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB XXXIII: Lain Kali Yang Tepat

Tadaaaa! Kaget nggak aku update cepet? Hahaha

°

_______________

SENANDUNG
USANG. |

BAB XXXIII:

Lain Kali
Yang Tepat

|

______________


"Rena... serius minggu depan terakhir di De Korin, ya?" Ibu Ruth menepuk pundak Rena yang berdiri di sebelah Mina.

Yang kini tengah tersenyum tersipu itu kini menatap Baskara Bima yang sedang berbicara dengan Joy dari kejauhan---mengikuti arah pandangan Mina. Lalu dia kembali menatap Ibu Ruth yang lanjut mengungkapkan rasa sedih "Nggak berasa ya, Ren. Jadi menyesal Ibu nggak banyak ngobrol dan membantu kamu..."

"Ih, nggak kok. Ibu ngomong apa? Ibu udah baik banget ajarin aku yang bawel pengen kepoin budget RAB. Bahkan sampai nraktir aku makan malem di kantor, pakai nemenin lembur segala," tutur Rena dengan wajah memelas.

Belum pergi, tapi rasanya sudah rindu.

Rena pasti rindu sekali dengan De Korin. Dengan kantor nuansa krem dan minimalis yang dihuni oleh sekumpulan manusia unik nan baik hati yang mengisi kesehariannya, yang menemani langkah pertama yang ia ambil sebagai sosok Neira Irena Putri seutuhnya.

"Nggak berasa udah 6 bulan di De Korin, ya?" Mina tertawa kecil.

Rena mengangguk. "Nggak berasa sudah dijahilin pacarmu selama itu, nggak ada pause-pause-nya."

"Ih, bukan pacarku."

"Oke. Calon."

"Nggak." Mina masih bersikukuh, padahal Bima di ujung sana sudah misuh-misuh karena tidak dianggap. Like, okay. Ternyata aing not even calon. Mau nangis dulu se-Kawah Putih.

Cowok itu lalu menghampiri Rena dan memberikan satu dus berwarna krem yang tidak terlihat dirapikan. "Apa ini?" tanya Rena bingung.

"Kado."

"Kado?" Kayak gini? Rena mengernyitkan dahi. "Mirip dus Indomie..."

"Memang bungkusnya pake dus Indomie." Bima tertawa begitu puas, membuat dua wanita di hadapannya ingin menjotos hidungnya sampai mimisan. "Tapi isinya bukan, kok. Bukanya di rumah aja. Itu aku beli ditemenin Jennie di Borma." Bima lalu cengengesan.

Harusnya hari ini Jennie juga datang, tapi karena harus mengurus VISA untuk kuliah S2-nya, putri CEO De Korin itu mengambil cuti. Pagi-pagi tadi Rena menerima chat dan kiriman kopi latte dari Jennie (sekarang Jennie sudah tahu kalau ternyata Rena nggak suka-suka banget sama hazelnut milk tea pake topping boba. Ha-ha).

Kantor agak sepi hari ini, karena sebagai putri semata wayang kesayangan Ayahanda Prawira Salim, maka CEO kebanggan De Korin dengan senang hati menemaninya, meninggalkan Ibu Ruth sebagai CFO mengurus kantor untuk satu hari saja. Sementara Rena yang sudah bersiap sejak jam makan siang, dituntun ke luar oleh Bima.

"Udah sisa seminggu, masih aja cuti setengah hari." Decakan sebal yang muncul dari bibir Bima membuat Rena terkikik.

"Kangen, ya?" Lidahnya terjulur, meledek.

"Dih. Hoream aing."

Rena tertawa sambil membuat jari peace. "Cuti harus dihabiskan. Lagian kerjaan aku kan sudah kelar semua sebelum resign. Nggak nyusahin kamu, kan~"

Bima mendecih. "Nyusahin!" desahnya, "Kontrak dilanjut kamunya nggak mau. Maunya apa, sih?"

"Maunya..." Rena lalu menunjukkan ponselnya yang berdering. Ada nama dan foto profil Tiara di sana. "Jemput tuan puteri di sekolah."

"ITU BUKAN ALASAN RESIGN-NYA, KAN!" balas Bima, masih kesal. "Kamu serius mau keluar? Nggak usah gengsi atau malu, kalau mau balik aku bikinin kontrak sekarang. Masih ada besok."

Rena tersenyum. Tentu saja bukan itu alasan dia mengundurkan diri.

Alasan satu, dia ingin bisa menyetir mobil sendiri. Dia ingin pakai waktu luang untuk les menyetir. Ha-ha. Nggak deh, bohong. Masa itu saja?

Rena bisa saja melanjutkan kontrak kerjanya di De Korin, hanya saja, dia suka bekerja sendirian daripada di dalam tim. Rena merasa dia akan belajar lebih banyak jika ia memulai perjalanan sebagai perorangan. Dia bisa memilih jenis bangunan atau aliran desain yang ia inginkan---alias pilih-pilih klien---tidak seperti bekerja di perusahaan orang yang mengharuskan menerima segala jenis klien.

Jujur saja, Rena bekerja bukan untuk uang---dia punya lebih dari cukup---maka dari itu, dia ingin bekerja sesuai apa yang ia inginkan. Dengan membangun 'De Korin' baru versi Neira Irena Putri sendiri, misalnya. Ada yang punya ide untuk namanya?

"Mbim..." Rena menyengir kecil. "Kamu kan udah tahu aku suka apa..."

"Iya, Mbak Nei. Cuman..." Bima menjeda lalu membuang napas. "Yakin nggak mau kerja setahun aja? Nambah portofolio dulu sebelum mulai sendiri."

Gelengan kepala yang didapatkan Bima membuat pria itu tahu kalau ia tidak bisa menahan lagi, apalagi saat gadis itu dengan mata berbinar menceritakan kembali, "Mulai sendiri, berdiri sendiri, semuanya lebih berarti. Meski portofolio aku belum se-wow kamu, aku pengen jadi desainer yang membuat aliranku sendiri. Karena pada dasarnya aku bukan nyari uang, Mbim."

"Wuuuh, enak kau ya. Digit di rekening udah banyak nggak usah kerja. Dengki banget. Aku juga mau kayak gitu. Tapi apa daya, Yakult Ara mahal pisan." Rena langsung tertawa mendengar guyonan Bima yang mirip ibu-ibu belum dikasih uang sayur. "Belum lagi Abang kalau mecahin piring, haduuuh."

"Bima," panggil Rena membuat mata keduanya bertemu. "Makasih banyak, ya..."

"Karena ada kamu, hidupku di De Korin jadi lebih berwarna. Bayangkan nggak ada kamu di De Korin. Banyak hal baik yang nggak akan terjadi sama aku." Rena serius mengatakannya. Mulai dari mendapatkan banyak pelajaran tentang konseptual sampai teknis, lalu diberikan projek individu sendiri (yang sangat jarang diberikan kepada anak magang), sampai... bertemu kembali dengan Dirgantara Wijaya.

Ah, tidak juga. Bertemu dengan eksistensi Baskara Bima sendiri, itu adalah nomor satunya. Bima sudah menjadi teman sekaligus adik yang... lebih dari baik sekali. Rena sungguh bersyukur.

Rena lalu tersenyum lebar, "Makasih banyak, Mbim yang super duper ngeselin! Jangan---Dih, kunaon!? Baru mau kubilangin jangan nangis, loh!"

"SIAPA SIH YANG NANGIS?!" protes Bima menggebu-gebu, "Aing mau ngudud, tapi kecolok rokok!"

"Jangan banyak ngerokok. Katanya mau jagain Abang dan Ara."

Bima lalu berdeham dan membuang puntung rokoknya.

"Jangan nakal."

"Iya."

"Jangan isengin anak magang baru."

"Iyaa."

"Jangan sombong, nanti tetap main sama aku, ya."

"Iyaaa."

"Jangan---"

"Mending Mbak pergi, dah. Ditungguin Ara," potong Bima. "Ditabok pake sekantong plastik siomay baru tahu rasa."

"Siomay?"

Bima lalu menyeringai usil. "Tungguin aja, nanti Mbak juga ngerti kenapa siomay."

***

"OWALAH! INI MAMANYA TIARA!"

Ibu-ibu penjual kantin yang melihat Alanna Tiara Millagrace digandeng oleh seorang gadis langsing berkulit putih langsung membuat keributan dan asyik sendiri. "Geulis, nyaaa."

"Aduh, teteh kamana aja nggak muncul-muncul!" Salah satu penjual di sana melambaikan tangan dengan natural, tidak kaku atau terasa dibuat-buat sama sekali. Rena yang tidak terbiasa dengan 'keramahan' mendadak ini malah mematung bingung. Maniknya menatap Tiara yang malah kelihatan songong sekali sekarang.

"Udah kubilang, aku punya Mama." Mungkin kira-kira seperti itu isi wajah songong Tiara di detik ini.

"Dek, mereka kenapa?" tanya Rena bingung.

Tiara menyengir saja.

"Ara?"

Lalu anak itu meminta Rena untuk menunduk, ia mau membisikkan sesuatu yang sangat penting, katanya. Rena pun menurut dan hanya bisa menatap Tiara dengan datar saat mendengar apa isi 'kepentingan' tersebut.

"Aku bilang aku dijemput Mama hari ini. Tante pura-pura jadi Mama aku, ya."

Hah?

"Please?"

Duh, anak kecil. Ada-ada saja.

Padahal Rena melakukan ini hanya karena janji seminggu yang lalu. Satu, karena Kak Tara ada pekerjaan di Jakarta sejak 3 hari yang lalu. Dua, karena Tiara bilang Dirgantara atau Baskara Bima suka telat menjemputnya sehingga anak itu sering kepanasan menunggu di kantin, apalagi dighibahi gosip-gosip ibu kantin.

Dan ternyata... Tiara menggunakannya untuk... ah, sudahlah.

"Tetehnya geulis pisan euy. Si Tara jago juga mainnya, ya, Teh?"

M-main apa?

"Pacaran berapa lama? Nikah berapa lama?"

Hah? Apa itu?

"Iya, aku tuh dari dulu penasaran sama mamanya Ara. Yang dateng kalau bukan Tara, ya si Mbim. Kemana aja selama ini tetehnya?!"

Menunggu giliran tampil.

"Kami denger katanya kerja di luar negeri?"

Hah? Kata siapa, Ibu? Tinggal ngesot ke De Korin.

"Tiara mirip mamanya, ya. Kalau dari samping. Hidungnya cantik."

Ini kebetulan, Ibu-ibu sekalian.

"Tetehnya pendiem, ya. Kayak Tara." Ibu yang lain menimpali sambil terkekeh. "Kalau malem berdua berisik, nggak? Aha. Aha. Aha."

"Pasti berisik."

"Emang ngapain?" Kawan yang lain memberi tatapan mesum yang memancing.

"Menurut kamu?"

"Ouh, ah, yes, mantap. Tiara kayaknya kamu bakal segera punya adik!"

"Hihihi, udah woi, Jameela." Temannya menepuk bahu si penjual siomay yang membuat pipi Rena merah, "Malu tuh si teteh."

Sudah, ah. Sebal.

Sehabis beli siomay untuk Tiara yang senang sekali sampai cengar-cengir lebar, dia benar-benar tidak pernah mau beli siomay di sini lagi. Rena pusing. Rena mau pulang. Rena mau dijemput Mama.

Berisik, berisikㅡmereka tuh yang berisik. Hiks.

***

Sembari mengunyah keripik kentang yang disediakan Ara di sebelah sepiring siomay ikan tenggiri, Rena masih menatap fokus pada layar laptop milik Bima yang tengah mereka pinjam untuk nonton serial Sailor Moon. Belakangan ini karena Ara mulai oleng ke Sailor Venus---teman Sailor Moon yang roknya berwarna jingga---Ara makin bersemangat mengumpulkan pritilan tidak penting mengenai bias-nya tersebut. Nampaknya anak ini calon fangirl di masa depan.

"Woi?!" Bima yang membuka pintu memasang wajah kaget mengetahui komputernya tengah di pakai. "Jangan dimacem-macemin ya laptop aing! Kalau rusak kusuruh ganti 10 kali lipat, loh ya. Nggak main-main, nih."

Tapi Bima tidak diacuhkan. Dua manusia itu cuman memeluk guling, pura-pura tidak mendengar celotehan Baskara Bima.

Mendengar decihan sebal, Rena cuman melirik kepada Bima yang keluar dari kamar Ara. Dari celah pintu, Rena bisa melihat kalau Bima mencari sesuatu. Seperti... dus? Atau kardus? Entahlah.

Dan benar saja, tahu-tahu Bima kembali masuk ke kamar dan melempar dus kecil sekitar 30 sentimeter. "Kadomu tadi siang, kan?" Ada logo Indomie yang sebenarnya adalah sticker yang dicetak Bima sendiri.

"Buka, dong."

"Kenapa, sih?"

"Mau liat reaksimu."

"Isinya kecoak, ya?"

"Hiiii!" Tiara langsung beranjak dari lantai, lalu naik ke kasur, ketakutan. Dia takut tiba-tiba ada pasukan kecoak terbang merambati tubuhnya. Hoek! Menjijikkan. "Mbim, kalau kamu kasih kecoak ke Tante Rena, kamu aku coret ya dari KK!"

Bima lalu menatap keduanya dengan datar. "Emang urang bakal kelihatan sebiadab itu apa? Sial. Ini tuh bukan kecoak, bukan Indomie juga."

"Terus kenapa bikin sticker Indomie?" tanya Rena.

"Mbak sering bilang suka makan Indomie, tapi bosen makan Indomie terus."

Dahi Rena mengernyit. "Oke, jadi?"

"Ya, buka kadonya."

Dan ketika Rena membuka isi kardus, Bima malah tertawa-tawa duluan. "Bosen sama Indomie, kan? Ya udah, Mie Sedaap."

"Mbim..." Astaga. Kayaknya orang di hadapan Rena ini benar-benar belum pernah diselepet pakai satu kardus Indomie isi 2 lusin, ya.

"Biar nggak bosen. Anak rantau makan Indomie mulu kan bosen. Ganti lah. Biar variasi dikit."

"Tante Rena, maaf. Aku juga malu punya paman kayak Mbim." Tiara langsung menghampiri Rena yang terlihat benar-benar kehabisan kata-kata. Otaknya jadi mendadak kosong. Bukan karena lelucon Bima terlalu nggak lucu, sampai Rena nggak tahu mau merespon seperti apa. Masalahnya, Bima malah masih asyik tertawa sendiri seolah-olah lelucon tadi adalah lelucon paling kocak sedunia. Ngeselin banget ini raksasa satu.

"Eh, sstt... sstt... Kayaknya ada bunyi."

Mendengar suara samar-samar dari luar rumah, ketiganya langsung mengecilkan volume suara dan memfokuskan indera pendengaran.

Itu bunyi kunci gembok dibuka!

"PAPA!"

"ABANGKU SAYANG!"

Lalu dua bocah itu lompat-lompat kegirangan, melewati Rena yang masih tersudut karena harus memberi jalan untuk Bima dan Tiara yang sekarang malah seperti peserta lomba lari tujuh belasan.

"PAPAAAAAAA~"

"ABAAAAAAANGHH~"

Dirgantara yang bahkan belum siap merapikan koper sudah langsung diserbu dengan pelukan full body. Tiara di pinggul, Bima di bahu. Tidak peduli sudah membuat Tara tercekik atau kemejanya jadi super lecek, ketiganya tertawa-tawa. Rena sempat tenggelam melihat kehangatan itu dan tanpa sadar ikut tersenyum.

Dan... apa yang ia lihat di hadapannya kini adalah sepasang mata Dirgantara yang menatapnya lembut.

Manik gelap yang tadinya tampak letih itu perlahan membuat binar cerah, seolah melihat eksistensi Rena adalah entitas yang lebih dari cukup.

Kontak mata terjadi.

Manis. Intens.

"Hai." Tara menyapa, melangkah mendekat ke Rena.

Orang ini.

Orang yang membuat isi pikiran dan hatiku mencari cara tuk bersama meski timing selalu buruk.

Orang yang punya pengaruh banyak dalam sewindu hidupku.

Orang yang membuat aku sakit, tapi dia juga yang membuatku utuh.

Orang yang pernah pergi tapi membuatku belajar banyak hal.

Orang yang selalu punya ruang spesial di hidupku.

Orang yang dari dulu dan sampai sekarang adalah pahlawannya Neira Irena Putri.

Meski pernah ditinggal pilu bersamanya, Rena tidak akan pernah menyesal atau berkata bahwa ia menyesal telah bertemu Dirgantara pada masa-masa remajanya. Karena pada waktu itu, presensi Dirgantara Wijaya, Kak Tara, sendiri adalah paket lengkap sesosok yang ia butuhkan.

Rena nggak akan pernah menyesal soal itu.

Gadis itu juga tahu kalau selama ini dia membayangkan Kak Tara dengan gagasan yang diketahuinya 8 tahun lalu, yang mana itu jelas berbeda dengan Kak Tara yang sekarang. Rena nggak mau mencintai Kak Tara 8 tahun lalu. Rena mau mencintai Kak Tara yang sekarang.

Dan, langkah pertama adalah menyapa Dirgantara yang baru kembali, bukan?

Jadi, dengan bibir tergigit malu dan bola mata yang menatap kikuk, Rena mengangkat tangan sedikit-sedikit, membuat kecanggungan-sekaligus-kehangatan yang berpadu ketika mulutnya bersua balik. "Hai, Kak. Welcome back."

Karena...

Karena senyum kaku manis yang menghias di wajah Kak Tara sekarang ini mengingatkan aku kalau aku benar-benar berdiri di depan diri seorang Dirgantara yang sebenarnya dan aku benar-benar bersyukur buat itu, Kak.

Because I could slowly learn to love you in this another right again. And you will, too, right? []

NOTES:

"Bahagia-bahagia banget nih semuanya, Kak Elis. Sudah mau tamat, ya?"

O tentu saja tidak. Saya tidak sesederhana itu ^_^

Sebenarnya bab ini hanya filler aja, nggak penting-penting banget waktu aku baca lagi T_T tapi udah nulis, sayang dibuang haha. Semoga kalian tetep suka yaq.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro