BAB XXIII: Pulang Sendiri
°
Aku double update karena seneng pada rameee huuu, terus sekalian ganti karena last week aku hilang hehe. Enjoy this chapter! ♡^_^;
_______________
SENANDUNG
USANG. |
BAB XXIII:
Pulang
Sendiri
|
______________
Pagi-pagi, Rena sudah harus terbangun dengan pukulan kencang di jantungnya.
Ponselnya menunjukkan angka 10 pagi dan menampakkan total 5 panggilan tidak terjawab dari Baskara Bima. Mampus. Ini mah anak intern berani banget telat alias minta dipecat.
Belum lagi kini seisi grup De Korin membuat lelucon-lelucon sindiran seperti 'Rena resign tanpa notice gara-gara Bima' atau 'Rena jatuh ke got' yang membuat tangan kiri Rena harus memijit kening, malu.
Bagaimana ini, bisa-bisanya Rena malah kesiangan.
Ini semua terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Kepalanya dipenuhi ini itu dan Rena baru tidur pukul 3 subuh. Dia sudah siap dicaci maki, terutama oleh Baginda Baskara Bima. Akan tetapi, bukannya menemukan kalimat omelan, Bima malah mengirimkan kalimat singkat tak terduga di grup chat De Korin.
| Baskara Bima |
| Sembarangan ngomong -_-
| Si eta udah izin sakit sama aing semalam. Aing yang lupa kasih tahu.
Rena mengernyitkan dahi. Gadis itu tidak ingat pernah izin sakit segala. Kemudian mengintip notifikasi privat chat yang masuk setelahnya, dia tahu kalau Baskara Bima tengah melindunginya.
| Baskara Bima |
| Hoi, wanita!
| Kenapa nggak masuk? Di grup minta maaf aja, pura-pura baru bangun, bilang nggak enak badan.
| Neira Irena |
| Huwaaaaa T___T
| Makasih, Mbim.
| Sebenarnya aku baru bangun. :(
| Nggak tahu juga kenapa kebo banget ...
| Baskara Bima |
| Ingin aing berkata kasar, tapi muka anda minta dikasihani -_-
| Ya udah, nanti laporan ke Ko Langit, soal proyek Mata Hari.
Setengah kepalanya masih terbang, mengingat kejadian semalam. Menuruti Bima, gadis itu lalu meraih gagang sikat gigi, menatap bayangan diri dalam pantulan cerminㅡmata sembab dan bengkak, hidung memerah. Oh, sungguh kombinasi yang buruk untuk dipandang.
Dia melenguh, teringat pada dekapan hangat Raymond yang terasa sakit. Pria itu mengusap pipi Rena, mencium bibirnya sekali lagi sebelum membiarkan kaki koper sang gadis sampai di Stasiun Gambir.
Raymond menggenggam jemari Rena begitu erat. Tidak melepasnya satu detik punㅡsangat tidak mau kehilangan.
Tautan baru lepas ketika pengumuman telah berkata bahwa kereta menuju Bandung akan segera berangkat.
Pria itu bahkan mengulang, "Apa aku hari ini ke Bandung juga?"
"Apa kamu bosan sendirian di sana?"
"Apa aku cuti, terus kita nge-date di Bandung, ya?"
Rena jadi tidak sampai hati saat dua netra tulus Raymond itu menatapnya begitu rindu serta mengelus punggung tangan lentik yang tak rela dilepaskan sampai akhirnya Rena benar-benar harus masuk sebelum kereta mulai berderak-derak.
"Love you, Ren."
Pupil Rena bergetar. Rena merasa dia nyaris gila saat memasang senyum pahit. "... Mhm-hm, me too."
Entah apa yang ia jugakan di detik itu. Haha.
Gadis itu berkumur banyak-banyak, berharap bahwa kilas balik semalam tidak lagi menganggu isi kepalanya.
Melepaskan, mencintai, menjaga hatiㅡsebenarnya tiga konteks itu tidak akan pernah menyatu padu.
Rena tidak tahu apakah keputusannya untuk mengulang dan kembali menyusun harapan bersama Raymond telah benar. Yang pasti sekarang status keduanya tidak jadi diusaikan.
Ini rumit.
Sangat rumit.
Rena yang ingin berpisah bukan berarti dia tidak ada rasa, bukan juga tidak mencintai. Faktanya, berhenti mencintai bukan berarti berhenti peduli.
Tentunya nyata bahwa Rena mencintai Raymond. Tapi kini rasa itu tengah berbalap dengan rasa lain bernamakan 'masih peduli' dan 'tidak tega' yang tengah diketuai oleh setan penjebak bernama 'bimbang'.
Jadi sekarang, apa sebenarnya titel perasaannya untuk Ray?
Entah apa yang ia pikirkan. Meski Dirgantara Wijaya menjadi salah satu faktor besar konversasi semalam, percayalah, Rena bahkan tidak berniat mendekati Dirgantara Wijaya. Sama sekali tidak. Rena nggak yakin kalau dia akan berani menyatakan, atau bahkan sekadar menunjukkan perasaannya.
Lagipula, jauh di dalam sana... Rena pesimis kalau ia pantas menerima cinta setelah menyakiti Raymond.
Argh. Sudah, sudah. Kini Rena harus kerja dari rumah.
Menatap pada file di dalam laptop, gadis itu mulai menggeser mouse dengan malasㅡmelanjutkan desain yang sempat tertunda. Setelah berkutat nyaris 6 jam sejak terbangun, Rena akhirnya mengirim tombol kirim pada lampiran e-mailㅡpenerima Aloysius Langit Tjahrir, dan imbuhan nama Baskara Bima Wijaya di kolom cc.
Setelah menginformasi Bima untuk mengecek surel, gadis itu mendadak merasa lapar. Dia baru sadar kalau lambungnya belum juga diisi sepotong makanan. Baru saja dia membuka kabinet makanan (yang ternyata kosong), tahu-tahu ponsel berdering.
Dari Aloysius Langit Tjahrir.
"Rena lagi lapar, ya?" kata pemuda dari Medan itu dengan logat totok khasnya.
Rena yang merasa kepalanya ditimbun pupuk tanda tanya merasa semakin heran saat Ko Langit menambahkan, "Mau bakmi, nggak? Ada 3 voucher. Expired hari ini. Sayang kalau nggak dipakai. Saya sudah beliin buat saya dan tunangan saya makan punya. Karena sekalian lagi ngobrol sama Rena di e-mail, ya, buat kamu aja. Saya kirim pakai GrabMakan, ya?"
"Hah?" Bola mata Rena berkedip bingung. "Kenapa tiba-tiba, Ko?"
"Habisnya kepala kamu lagi putar-putar kayaknya. Itu engsel pintu sama knop pintu entah gimana bisa sama-sama ada di kiri bah?"
"Serius?" Rena buru-buru mengecek folder sent.
"Nggak nampak meh memang?"
"ASTAGA! MAAFIN AKU, KO!"
Langit tertawa lucu. "Mana bisa kayak gitu punya la, Rena."
Rena mengaduh, "Maaf! Nggak enak sama Ko Langit jadinya." Rena menyengir, lalu setelah teringat dia bercetus, "Eh, tapi ngomong-ngomong, bakminya beneran jadi dikirim?" Rena lapar banget, suwer.
"Hehe. Sorry kali loh. Sewaktu saya minta alamat kamu dari Bima, malah dia pulak yang minta voucher-nya."
Ish! Mbim kutu. "Oh, gitu."
"Kamu betulan mau bakmi, Rena?"
Rena buru-buru menggeleng tanpa sadarㅡpadahal juga tidak ada yang lihat. "Nggak, Ko. Tanya aja."
Di seberang sana, Langit mengangguk pelan. "Jangan salah lagi, la, Rena. Kerjaan kita orang masih banyak sekali. Jangan kecewain klien. Kalau ada yang membingungkan, harus bertanya, ya. Kalau malu bertanya nanti semakin susah." Laki-laki mengingatkan dengan logat totoknya. "Ingat, harus tanya punya o. Jangan malu-malu. Saya nggak akan merasa terganggu atau marah punya kalau banyak ditanya soal pekerjaan."
"Oke, Ren?"
"Okay!" balas Rena bersemangat.
"Itu Si Bima dimanfaatkan la. Gitu-gitu, banyak kali idenya dia. Beruntung kamu dikasih Bima sebagai supervisor. Sudah pintar, cepat kerja, sopan pula."
Sopan? Gelo. Bima bunglonnya memang another whole level. Diam-diam Rena ingin berguru.
"Aku bilang, ya, Bima itu one of the most talented designer di De Korin. Serius, ini bukan tambah-tambah punya." Langit terkekeh kecil. "Biasanya anak teknik sipil macam aku pasti recok dikit la sama anak arsitek."
Rena pernah dengar soal itu. Katanya itu bukan rahasia lagi di antara bidang seperti ini. Biasanya dikarenakan beda visi misi, seperti; estetika anak desainer tidak masuk akal, atau bisa juga anak sipilnya yang terlalu kaku dan nggak mau menyesuaikan.
"Tapi Bima itu basisnya teknik sipil, jadi tahu dia mana desain yang bisa direalisasikan dan tidak bisa."
Wow. Okay. Ternyata... Bima sekeren itu? Rena menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tersadar kalau ternyata dia masih harus banyak belajar kala pemuda di telepon masih lanjut berceloteh, "Poin terakhir kalau kamu dalami, aku yakin kamu bisa berkembang banyak."
"Makasih, Ko. Baik banget. Aku udah takut bakal diomelin padahal," kata Rena bersungguh-sungguh.
"Mana ada baik. Biasa aja la. Tak patut aku omelkan pun. Masalah gitu kecil." Langit lalu memutus telepon setelah mengatakan bahwa dia harus melanjutkan perjalanan.
Rena benar-benar berterima kasih karena bertemu manusia-manusia baik di De Korin & De Kade. Karena tak ingin mengecewakan kepercayaan yang diberi, sudah sepuluh kali mata Rena mericek desain beserta hasil revisi proposal untuk Mata Hari.
Lantas setelah mouse-nya menekan klik pada tombol kirim, Rena akhirnya bisa memesan makanan dengan tenang. Nikmat sekali menelan nasi hangat kala gerimis mulai menyapa di balik jendela. Ketika ayam salted egg pesanannya tersisa sedikit, Rena melirik pada smartphone yang lampu LED-nya menyala. Ada notifikasi dari Tiara.
| Ara |
| tante, bantuin angkat jemuran, dong???
| 😭
| tinggi Ara nggak nyampe
| Mbim lagi bete-bete sama Papa
Rahang Rena terbuka kecil. Ini mereka masih berantem, hah? Astaga.
***
Datang-datang melipat tangan di depan dada, Rena berdecak heran kala dua pria dewasa di hadapannya kini pura-pura tidak mendengar padahal dia sudah berkata dua kali.
"Ini serius kalian berdua mau anggurin jemuran? Masa tega Ara yang angkat jemuran?"
Bima yang masih pakai kemeja kaos pendek, pura-pura tuli. Sedangkan Dirgantara berlagak sibukㅡmengetik-ngetik hal acak di atas tuts laptop.
"Tuh, kan. Apa Ara bilang. Mereka ribut lagi."
"Memang biasa tiap berantem diem-dieman gini?" tanya Rena.
Ara mengangguk.
"Naon ciing? Kata siapa berantem?" Bima masih main ponsel. "Salahin aja tuh Si Abang. Disuruh buang majalah nggak mau."
"Udah dibuang," sergah Tara.
"Bohong."
"Kamunya aneh-aneh. Mana ada orang yang minta tong sampah difoto."
"Itu di tong sampahnya teh kosong."
"Ya, sudah diangkut atuhlah sama tukang sampahnya?"
"Cih. Bohong banget."
Rena menatap datar dua manusia besar di hadapannya dengan tatapan tak habis pikir. Alhasil, mengangkat keranjang plastik kosong dan laundry bag di masing-masing tangan, dia mengancam dengan serius. "Saya bakar nih jemuranㅡterutama celana dalam kalian," lalu melempar wadah plastik itu kepada Bima. "Cepat angkat!"
Bima menggerutu, "Ih, Mbakㅡ"
"Malu, ya, sampai anak kecil manggil orang luar buat bantuin."
Tiara memeletkan lidah ke arah Bima dan Tara yang sedang diomeli.
"Ya, Mbak Nei juga, mau aja disuruh-suruh bocah."
Kepulan asal di kepala Rena mendidih. Dia lantas menarik Bima untuk berdiri, mendorong punggung pria itu dengan paksaan menuju ke arah meja Tara. "Ih, embung, Mbak. Mbim nggak mau."
"Ya Allah, Mbak Nei. Jangan dorong-dorongㅡpercuma. Mbim gede. Mbaknya yang mental."
"Ini sebenarnya hari piket siapa, sih?" Rena menghadap ke Tiara.
"Mbim, Tante."
Tara melirik dari balik bulu mata, diam-diam merasa menang.
Setelah Bima berdiri dengan wajah cemberut, tanpa disangka Rena juga menghampiri Dirgantara, menyerahkan laundry bag padanya. "Ayo, Kak. Berdiri."
Tara menegak ludah, kemudian menerima dan berdiri tanpa banyak bicara. Seram juga kalau celana dalamnya harus menjadi abu dengan mengenaskan.
Gadis itu menarik tangan Bima dan Tara, membuat jarak di antara keduanya menjadi dekat. Setelah mundur dua langkah, dia bertitah. "Sekarang, pelukan."
"Hah?" Tara dan Bima bersamaan menoleh ke arah Rena.
Rena menatap keduanya dengan wajah datar. "Pelukan."
"Buat apa?"
"Baikan," balas Rena. Dagunya menunjuk Tara dan Bima. "Ayo cepat. Keburu hujan."
Laundry bag dan keranjang plastik kini jatuh di atas keramik. Kemudian Bima memeluk kakaknya dengan malu-malu. Wajahnya datar tapi pipinya merah. Di lain sisi, dia merasa idiot karena telah diperbudak oleh Rena dan Ara sekaligus.
Dirgantara menegak ludah canggung, sebelum akhirnya melangkah kaku menuju jemuran. Diam-diam Rena tersenyum saat bahu Tara dan Bima bersenggolan ringan di tengah sesi menyelamatkan cucian dari rintik hujan.
"Tante, kenapa senyum-senyum?"
"N-nggak! Kamu rabun bayi, ya?" Rena langsung membuang muka dan kabur ke jemuran untuk menghindar.
Meski Kak Tara sudah bilang tidak perlu, Rena sendiri menawarkan memasukkan pakaian Ara sementara anak itu malah bersantai ria makan keju potongan di atas sofa sembari menonton televisi. Duh, memang Tiara ini the real atasan of atasan.
"Mbak Nei, mau diantar pulang, nggak?" Bima berkata demikian setelah selesai beres-beres. "Aku sekalian mau keluar."
"Aku aja yang antar." Dirgantara menyela, sekarang berdiri di samping Rena. "Sana pergi."
Bima menatap kakaknya yang tidak biasanya aktif bicara. "Kamu sibuk, kan? Katanya mau ngapel ke tempat Mina?"
Tanpa bunyi, Bima langsung menggerak-gerakkan bibir. Kumaha si eta mah namanya pake disebut!? Malu, tau!
"Oh! Ciyeee. Baskara Bima Wijaya sudah ada kemajuan sama Mina Kinanti Ayu~" goda Rena yang membuat Bima ingin menyumpal mulut sang gadis dengan plester.
"Teroooos! Sebut aja nama lengkapnya sebelahan sama nama Mbim! Biar tinggal disahkan jadi bini!"
Begitu kata Bima sebelum akhirnya menutup pintu rumah, meninggalkan Tara dan Rena saling melempar senyum.
Ara, yang sudah kehabisan keju, bangun dari pose memangku pelipis. Kemudian anak itu menunjukkan foto screenshot yang sudah dia simpan lama di galeri ponsel.
"Papa..." Dirgantara langsung teringat pada janjinya 2 hari yang lalu. Apalagi saat anak itu dengan mata berbinar memohon begitu menggemaskan. "Bazarnya hari ini terakhir, loh."
Pria itu melirik Rena yang langsung refleks mengangkat dua tangan. "Nggak apa-apa, Kak. Aku pulang sendiri aja."
"Kata siapa kamu pulang sendiri?"
Tutur kata mendadak itu mengirim kejut samar pada dada Renaㅡnyaris berhenti degup.
Pria itu membuka pintu mobil. "Sini kamu ikut ke bazar."
"Ha?"
Tara mendorong bahu Rena untuk masuk, menggantung tangan di kap mobil sebelum mengenakan sabuk pengaman untuk Rena. Gadis itu merasa pusing karena feromon Tara berkeliaran di depan hidung. Astaga, wangi banget.
"Hitung-hitung quality time." Tara menjelaskan untuk Rena yang masih sedikit kagok. Pada sisa hari sederhana yang terasa lambat itu, Dirgantara mengusung seulas senyum menawan. "Udah lama aku mau ngajak kamu jalan." []
_________
NOTES.
KAK, AKU JUGA MAU IKUT, KAK 😭
Tara sekali muncul hobi batz bikin ambyar. Gumush aku tuh. Raymond gimana kamu, huhuhu apa kabar hatimu, nak 😭
{♡}
Koko Medan kita yang baik hati a.k.a. Aloysius Langit Tjahrir adalah jeng jeng jeng ...
L from INFINITE! 🥺💛
(Tahu gak kalian dia siapa? Manusia legend loh dia ini!)
Gantengnya nggak ada obat ni manusia. 😭🤟
Betewe, awalnya mau pakai Jung Jaehyun NCT, tapi Jaehyun kurang tua T_T takut malah nggak ngefeel, hiks. Tapi visualisasi balik sesuai kesukaan kalian lagi aja, sih. Ini cuman guide dari aku aja <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro