Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB XXII: Pertahanan Sintetis

°

_______________

SENANDUNG
USANG.       |

BAB XXII:

Pertahanan
Sintetis

|                    

______________

Menyerah dan meninggalkan sering jadi pilihan, tapi Raymond punya alasan untuk tidak melakukannya. 

Terutama kepada Neira Irena Putri.

Jadi, meski kini dia dan Rena harus menghadiri acara makan malam dengan hawa canggung yang dipalsukan jadi senyum mekar penuh kebahagiaan, mereka harus duduk bersebelahan dikelilingi tekanan dan ekspektasi dua keluarga.

Mama Raymond menepuk pundak anaknya dengan lembut. "Kamu nggak ambilin Neira lauk?"

Terkesiap, tangan Ray spontan hendak melaksanakan namun kalah cepat. Rena sudah lebih dulu menyendok lauk tambahan, menempatkannya di atas piring Raymond tanpa kata. Relung hatinya mendadak merasa ditusuk. Kenapa harus begini?

"Tante, mau nambah?" tanya Rena dengan senyum tipis.

Raymond hanya diam, menatap interaksi dua wanita yang mengapitnya. Sementara Ayah tengah berbincang mengenai bangunan dengan ibunya Rena, Raymond juga menambahkan sayur di atas piring Mama Rena yang kemudian menatapnya dengan hangat. "Terima kasih, Ray."

"Aduh, kalau ada cucu, Mama udah pasti seneng banget ini." Ibu Raymond terbatuk-batuk, menyelipkan senyum ke arah calon besan yang diharapkannya.

"Jangan dipaksa, Eva. Kamu ini. Anaknya masih mau pacaran," timpal ayah Raymond.

Kerutan usia di wajah Ibu Raymond berlekuk jelas ketika tawanya mengudara. "Namanya juga keinginan. Yang penting kalian ada niat untuk menikah, 'kan?"

"Mau diseriusin, 'kan?"

Sekali lagi, Rena dan Raymond hanya bisa memberi jawaban kosong berupa senyum palsu

***

Waktu itu, 2 tahun yang lalu, kelap-kelip lampu dekorasi pohon natal yang Raymond ambil dari rumah gagal menyala. Ini semua gara-gara online shop yang telat mengirimkan orderan lampu tumblr yang ingin ia pakai untuk mendekor kamar Rena (sebagai acara kejutan kecil-kecilan). Dia jadi harus menggunakan apa yang ada di rumahnyaㅡmeski pada akhirnya tidak jadi digunakan karena dia juga tidak menemukan paku payung atau sesuatu yang serupa untuk menggantung lampu dekorasi natalnya.

Alhasil tanpa dekorasi selain stiker bintang glow in the dark yang ia tempel penuh di satu sisi tembok, Raymond menampakkan diri dengan seloyang kue fresh cream dengan satu buket bunga hydrangea ungu yang dibungkus spesial dengan kertas kraft cokelat.

"Selamat ulang tahun yang ke 19, Rena-ku!"

Gadis yang baru saja pulang dari kampus itu terperangah, terkejut bukan main.

"Astaga, Ray..." Senyumnya terkembang. Gadis itu langsung menghamburkan diri, membiarkan dua tangan besar Raymond merengkuhnya dengan hangat. "Kok kamu bisa masuk ke rumah aku? Mama aku ada di bawah, loh?"

"Izin sama Mama kamu lah. Masa manjat?" Raymond memamerkan lesung pipit. Dia boleh berkedip bangga karena untuk pertama kalinya, setelah backstreet nyaris setengah tahun, dia pergi menemui ibu dari kekasihnya setelah dicekal Rena hampir seribu kali dengan alasan takut tidak diberi restu.

Raymond mengerti latar belakang Rena yang tidak diberi kesempatan untuk menikmati dunia karena trauma pribadi Tante Mia. Raymond rasa jika bukan dia sendiri yang berusaha meyakinkan Tante Mia, bahwa anak perempuannya yang berharga ini tidak akan merasakan sakit yang sama, dia takkan punya kesempatan sampai ke depannya.

Ya, dia seyakin itu pada perasaan cintanya.

Jadi, setelah satu minggu mempersiapkan diri untuk bertemu ibu dari kekasihnya, inilah yang ia dapatkan. Dia berhasil.

Raymond pada 21 tahun adalah tipe manusia yang percaya bahwa usaha takkan mengkhianati hasil.

"Sekarang nggak usah backstreet lagi," ujarnya. Dia mencium kening sang gadis sekilas. "Dan kamu bisa bebas jalan-jalan usai ngampus. Nggak harus langsung pulang."

Di sana, Rena mematung dengan mata berkaca-kaca, terharu.

"Ayo, tiup lilin. Jangan lupa make a wish." Raymond mengingatkan. Kini kue bulat berdiameter 25 sentimeter itu dihadapkan di depan wajah Rena. Dia berbisik-bisik dengan cengiran lebar. "Jangan kasih tahu aku. Biar terkabul."

Gadis itu melepas tas, melipat tangan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Perbuatan polos itu terlihat begitu manis serta menggemaskan bagi yang mengamati. Raymond tidak bisa menahan diri untuk tidak mengelus puncak kepala gadisnya saat dua bola mata jernih itu menatap.

"Happy birthday, love."

"Thank you," balasnya lembut.

Hangat dan menyenangkan adalah dua kata yang bisa Raymond pikirkan untuk saat ini. Mereka kini duduk di atas kasur setelah kue diletakkan di nakas. Tanpa suara, Rena memeluk erat Raymond sekali lagi.

"Aku sayang banget sama kamu."

Raymond tertawa mendengarnya. "I know."

Rena menyembunyikan kepalanya di dada Raymond yang bidang, menggeleng cepat. "Nggak, nggak. Kamu nggak tahu, pokoknya aku sayang banget," lirihnya. Raymond sadar suara gadisnya terdengar serak, seperti orang yang ingin meneteskan air mata.

"Eh? Kok Rena nangis, sih?!"

Gadis itu buru-buru mengusap wajah dengan jempol, tapi tetap saja air matanya membanjiri. Tidak bisa berhenti. "Jangan ditanya, dong. Nanti aku makin nangis." Dan benar saja. Sekarang Rena sesengukkan dengan lucu. Dia menyelipkan tawa karena malu. Apa-apaan ini? Dia malah menangis saking terharunya.

"Sejak Raymond datang di hidup Rena, aku seneng terus. Aku bersyukur banget punya kamu," ujar Rena terbata-bata. Bibirnya mengerucut tanpa disengaja, membuang lengkung sedih yang menggemaskan saat berkata, "Makasih, ya, udah muncul di hidupku."

Pemuda itu membiarkan sang gadis membasahi kaos polo barunya untuk sementara. Ketika mendapat kesempatan, telapak tangannya menggencet pipi Rena dengan gemas. "Udah, dong. Jangan nangis." Mata Raymond tanpa sadar ikut memerah. Takut-takut tangisan pacarnya menular.

Tangis Rena malah semakin pecah. "Nggak bisa. Aku juga mau berhentiin, tapi keluar terus, Monie."

"Nanti aku ikutan nangis. Plis dong, Rena. Jangan nangis lagi, nanti aku ikutan mau nangis." ucap Raymond, membantu menyeka wajah Rena yang basah sambil tertawa-tawa renyah, sebelum akhirnya, sepasang matanya yang panas ikut meneteskan air mata.

Astaga, dia benci punya penyakit laknat bernama ikutan nangis kalau lihat orang nangis.

Raymond menyedot isi hidung, membuat Rena mendongak kaget pada sang pria. "Ray?"

Pria itu membuang muka, memajukan belah bibir bawah dan mengangkat wajahㅡberharap air matanya bisa masuk kembali.

"Kamu nangis, ya?" Isak Rena berhenti, kini menahan senyum.

"Kamu, sih! Udah dibilang nanti aku ketularan." Raymond menukikkan alis, malu.

"Ih..." Rena pura-pura memasang wajah jijik, menahan tawa di dalam sana yang siap meluap keras-keras, "Ew, Raymond cengeng banget. Pacarnya siapa, sih?"

"Heh, kamu. Berhenti meweknya waktu aku nangis." Raymond cemberut, menjitak gadis itu dengan pelan. "Parah banget gila jadi pacar gitu."

Malam semanis madu itu, ditemani bintang sintetis yang Raymond tempel selama 1 jam lebih bersama keringatnya usai kelas bimbingan skripsi dan potongan kue krim segar, keduanya menertawakan satu sama lain dengan air mata bertengger di pelupuk saking konyolnya.

"Lagian, kok, kamu ikut nangis, sih?"

"Makanya kamu jangan nangis! Ish! Aku kan gampang ketularan."

Diam-diam menghayati permintaan yang ia panjatkan saat meniup lilin tadi, Rena mengecup pipi Raymond secepat kilat. Dia memasang cengiran usil. "Tuh. Aku kasih hadiah, ya. Jangan nangis lagi, Tuan Pacar.

Mata Raymond kini terpaku pada sepasang permata hitam di netra Rena. Mereka begitu saling menghargai satu sama lain.

Senyum manis merekah, menjadi napas hangat yang semakin mendekat.

Dan ketika Raymond beringsut mendekatkan wajah, sentuhan lembut dan kekenyalan bibir keduanya bertemu.

Murni, sederhana, dan penuh kasih.

Waktu itu permintaan tulus Rena yang berusia 19 tahun hanyalah doa sederhana; semoga Raymond selalu bahagia bersamanya.

Namun, nyaris 2 tahun telah berlalu setelah hari itu. Dibandingkan apa yang sudah ia panjatkan kepada Tuhan, rasanya situasi kini sudah berubah terlalu jauh. Terlalu berbeda hingga terlalu sulit untuk kembali bahkan meski sekadar dibayangkan dalam angan.

Di dalam mobil Raymond menuju Stasiun Jakarta Kota yang isinya hanya ada mereka berdua, yang bersuara hanyalah dengung mobil dan melodi samar dari radio dengan volume minimal.

Baik Rena maupun Raymond, tak ada yang membuka suara. Sampai ketika perasaan gelisah sudah tumpah membuncah, Rena akhirnya dengan keberanian setipis benang memecah hening.

"Maaf merepotkan. Makasih sudah nganterin padahal besok kamu kerja." Canggung sekali.

Mereka belum bicara sejak insiden telepon semalam. Kepala Rena sakit sekali sampai rasa-rasanya seperti mau meledak. Raymond juga tidak mengeluarkan satu patah kata pun, membuat Rena semakin pening saja.

"Ray..."

Yang dipanggil akhirnya menyahut rendah, "Ya?"

"Aku tahu kamu kecewa sama aku."

Raymond masih bergeming.

"Kamu tahu, aku..." Napas Rena tersendat, ia berusaha melanjutkan. "Aku juga nggak ngerti kenapa aku bisa kayak gini sama kamu. Kamu nggak pantas diperlakukan seperti ini."

"Terus kenapa kamu gituin aku?" tanya Raymond dingin.

"Aku berencana untuk nggak gituin kamu lagi."

"Maksud kamu?"

Rena mengepalkan kedua tangan, membulatkan tekad. "Apa kita putus saja?"

Dalam beberapa sekon, mobil langsung ditepikan.

Putus? Ha.

Ada hening sejenak sebelum Raymond mengacak rambut dengan frustasi lalu membanting tangannya sendiri ke atas setir, menyebabkan bunyi dum yang keras. Dada pria itu naik-turun, diafragma memompa oksigen banyak-banyak. Netranya yang berair menatap Rena dengan nyalang. Kecewa itu rasanya luar biasa.

"Aku udah menahan diri untuk nggak bahas. Aku berharap kamu anggap semalam itu nggak ada apa-apa." Raymond melanjutkan, "Jangan karena emosional sesaat kamu sembarangan ngomong. Putus nggak sebercanda itu."

Raymond pada 21 tahun adalah tipe manusia yang percaya bahwa usaha takkan mengkhianati hasil.

Kini ia tahu itu hanya sugesti.

Usaha? Makan dan muntahkan itu. Lihatlah apa yang dia dapat.

"Aku nggak mau denger soal keputusanmu tadi. Kamu asal bicara. Nggak dipikirin baik-baik."

Rena menegak ludah gugup menerima respon Raymond.

Alasan ucapan Rena barusan hanya satu. Rena tidak ingin menjadi wanita yang menghindar tapi berakhir menyakiti lebih dalam lagi. Dia ingin mengambil keputusan, jika tidak bisa untuk dirinya, maka setidaknya untuk Raymondㅡagar tidak lebih besar lagi kekecewaan yang dirasakan. 

Lantas gadis itu menggeleng. "Terima kasih sampai hari ini, Ray. Kamuㅡ"

"Rena!" Raymond meninggikan suara. Setelah tersadar bahwa ia membuat gadis itu terperanjat dengan iris yang diwarnai ketakutan, nada bicara Raymond langsung melunak. "I'm sorry." 

"Please, just don't say that."

Rena menggigit bibir.

"Jangan bilang hal seperti itu. Aku tahu masalah kali ini cukup besar. Tapi nggak harus diselesaikan dengan putus." Raymond sadar dia membohongi dirinya sendiri. Dia sejujurnya tidak tahu harus melakukan apa. Logikanya tercerai-berai.

Mereka sama-sama diam. Tidak ada yang tahu mana pilihan yang tepat. Terlalu dalam untuk diusaikan, terlalu sakit untuk dilanjutkan.

"Tapi, Rayㅡ"

"Kamu lagi bimbang aja. Kamu cuman kaget aja, Rena." Raymond menggeleng kasar. Daripada mempersuasi Rena, dia lebih mirip merapal mantera tuk dirinya sendiri. Ucapannya penuh getaran, bahkan ia sendiri tidak tahu kenapa. Dia bahkan ragu jika yang ia katakan ini benar. Barangkali, ini hanya harapannya yang tersisa. "Kamu cuman nggak ngerti sama perasaan kamu sendiri. Mungkin kamu cuman sayang sama Dirgantara sebagai kakak. Kamu... kamu nggak cinta sama dia. Jadi, tolong aku, Ren. Jangan kayak gini."

"Ray, kamu tahu, kalau dilanjutkan ini terlaluㅡ" Raymond tidak memberi celah pada bibir Rena untuk menyelesaikan kalimat. Pemuda itu melumat kasar bibir Rena, mengisap belah kenyal bawah sampai tanpa sadar gadis itu membuka celah lebih besar saat merasa kesakitan. Tangan Rena mencoba mendorong, tapi kekuatan yang dimilikinya tidak sebanding. Napas hangat mulai menyebar di sekitar wajah saat tautan saliva mereka terlepas.

Netra keduanya sama-sama melara untuk alasan yang berbeda.

"Aku sayang kamu, Rena."

Raymond tahu semua usahanya barangkali akan jadi sampah. Tapi dia hanya ingin memercayai apa yang sempat ia percayai; kenaifan Raymond 21 tahun tentang usaha yang katanya tidak akan mengkhianati hasil.

Pupil Rena bergetar. Tetesan air mata bergulir, meliuk turun membasahi pipi. Sedangkan Raymond dengan matanya yang berkaca-kaca, mengunci kontak mata paling dalam yang pernah ia berikan. Dengan segenap hati yang bentuknya tak lagi sempurna, Ray memeluk Renaㅡyang merasa sesak tiap sekonㅡsementara sang lelaki hanya tidak lagi ingin kehilangan. 

Keegoisannya adalah dia tidak ingin dilupakan. Jika itu sampai terjadi, lebih baik ia hidup tanpa cinta.

Semakin erat dekapan yang Rena dapatkan, semakin remuk hatinya. Kini perasaan itu pecah merapuh, mengirim ngilu pada tulang, saat suara isak parau Raymond mengisi ruang.

"Aku nggak bisa, Rena. Kalau bukan kamu, aku nggak bisa." []

______

NOTES

... :(

To some of you, Rena maybe is an accidental jerk but she actually tried to settle things. Aku nulis cerita ini analisa dan ngulik banyak sisi psikologi Rena sejak kecil. Apakah kalian mendapatkannya? Hwhw.

Nanti deh, sewaktu ini tamat, aku sempetin bahas inner-nya mereka bertiga~ Gimana?

Kalau sekarang di antara kalian ada yang punya analisa masing-masing ya, monggo, aku sih welcome baca opini kalian tentang karakter yang aku buat. ❤

Also, apa opini kalian tentang chapter ini? Ego 3 karakter utama udah mulai terkuak satu-satu loh! JDKFJKDKJFDS aku mau marah sama semuanya---sama Rena, Tara, dan juga Ray, lol XD

Yah, kita doakan saja yang terbaik untuk Senandung Usang. Semoga bisa cepat saya selesaikan. Seperti biasanya, terima kasih sudah mendukung tulisanku T__T;

Have a nice day, semoga kalian sehat & bahagia terus. Kalau ada masalah, semoga kalian bisa menemukan moodbooster masing-masing. Jangan lupa senyum. I value each of you so much 🙏

_______________________

#nowplaying: RAYMOND STARTER PACK #1

 Yovie & Nuno - Tanpa Cinta
Nidji - Jangan Lupakan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro