Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB XX: Ulang Tahun Sagara

°

_______________

SENANDUNG
USANG. |

BAB XX:

Ulang Tahun
Sagara

|                      

______________

Mungkin sudah hampir 20 kali jari Rena mengulang aktivitasnya. Dia berkali-kali menarik layar ponsel, memperbaharui laman. Namun sebanyak apapun dia berusaha, informasi yang ia dapat tentang sosok Ellina Halim hanya terkumpul sedikit.

Mesin pencari Google hanya mencatat bahwa Ellina Halim adalah Gadis Sampul tahun 2006. Nama lainnya adalah Lee Naeun. Dia memiliki campuran darah Korea dari ibunya. Akan tetapi statusnya adalah WNI asli karena ayahnya murni berasal dari Bandung, yang mana sekaligus merupakan tempat lahir Ellina.

Hanya itu. Rena tak bisa melakukan apapun lagi selain mendesah kecewa.

"Oit? Kenapa kamu?"

Rena terkesiap, baru seratus persen tersadar kalau ada Raymond di sampingnya, tengah menyetir di jalanan Jakarta yang macet. Ada juga Gianna yang sedang duduk di kursi belakang.

"Mau ke ulang tahun kawan malah hah-hoh-hah-hoh melulu. Kenapa kamu, Neira Irena?" Gianna mencubit pipi kawannya dari belakang. "Capek abis kereta?"

Mengangguk pelan, Rena memejamkan mata sejenak. Lagipula perjalanan kereta 3 jam Bandung-Jakarta memang cukup melelahkan dan membuat badannya pegal-pegal. Ini pun dia baru saja duduk di jok mobil sekitar 30 menit setelah dijemput dari Stasiun Gambir.

"Ya udah, tidur dulu. Nanti kalau udah sampai rumah Bang Sagara kita bangunin." Raymond mengelus puncak kepala kekasihnya dengan satu tangan lain yang bebas.

Rena setuju saja. Toh bangun jam 4 subuh dan beres-beres ini dan itu sungguh bikin kepala pening.

Raymond dengan natural menyalakan playlist kesukaan Rena. Ditekannya secara acak dan satu melodi familiar terputar.  Tak Ada Yang Bisa, Andra & The Backbone. Itu satu-satunya lagu yang sempat Rena dengar sebelum terlelap.

***

"Udah sampai, sis. Bangun, yuk." Gianna mengetuk bahu Rena. 

Samar-samar terdengar Raymond yang menyuruh Gianna untuk masuk duluan.

"Bangun, Tuan Putri." Raymond mengecup bibir Rena sekilas. Yang diserang masih ingin memejamkan mata. Mengibaskan tangan ke wajah Raymond, Rena menggeleng.

"Rena, ya ampun, ngorok pula kayak kodok."

"Nggak, ya." Rena mengerang sebal, matanya terbuka perlahan. "Nambah-nambahin."

"Mau turun sendiri apa digendong, eh?"

"Turun sendiri." Rena menutup pintu mobil dengan cepat. "Eh, Monie, aku gendutan tahu di Bandung."

Lengan Raymond bertengger di bahu Rena, "Terus kenapa?"

"Nanti kamu pusing gendongnya. Mirip abang-abang LPJ."

Raymond berhenti, membuat pacarnya tersenyum geli saat ia menatap balik dengan kilat serius. "Nantangin? Aku gendong kayak karung beras nih, ya."

"Embung. Hehe. Takut." Rena memamerkan gigi dengan kaku.

"Nggak apa-apa tahu kalau kamu gendut." Di depan pintu rumah Kak Agus, Raymond menyerang pipi Rena dengan ciuman gemas bertubi-tubi, sebelum kembali berucap, "Cute."

Senyum malu terkembang di pipi Rena, jari usilnya langsung mencubit perut Raymond. Tanpa memedulikan Raymond yang merintih kecil, mereka masuk ke rumah dan disambut begitu meriah.

"Akhirnya ratu kita sampai, ceweknya Si Raymond Bos Bucinoid!"

Rena tahu siapa saja yang tengah bersorak-sorai dan berada di tengah ruangan ini. Yang putih sekali adalah sang pemilik pesta, Agus Sagara. Di sebelahnya ada pacarnya, Wendy Wiryana. "Lama nggak jumpa, sis!" sapanya, membuat Rena tersenyum sekilas.

Kemudian seorang perempuan paling familiar di rumah ini---yang duduk di sudut, dengan laptop terbuka (bisa Rena tebak dia sedang mengejar deadline skripsi)---tersenyum. Itu Tharene alias Rere. Satu angkatan beda jurusan. Mereka berkenalan di masa ospek, tapi Rena lulus terlebih dulu. Oh, Tharene ini juga sepupu Raymond. Mereka super duper dekat. Saking akrabnya, walaupun Raymond lebih tua 2 tahun, Rere tidak pernah memanggil Raymond dengan sebutan 'Kakak'.

Rena juga sudah sering bertemu Tharene sebelum magang di Bandung. Sudah banyak yang bilang juga kalau wajah mereka sekilas mirip. Jadi tidak perlu berkomentar begitu lagi, sudah bosan.

Gianna menggaet tangan Rena. "Mau ngecas, nggak?"

Rena mengangguk berterima kasih saat Gianna meminjami peralatan untuk mengisi daya baterai.

Oh. Rena sudah bilang belum, ya, kalau Gianna juga sebenarnya lebih tua 2 tahun darinya? Gianna dan Raymond itu satu kelas sejak SMA. Kebetulan Gianna adalah teman satu komplek dengan Rena dan mereka berteman sejak kecil. Lalu acara perjodohan yang tidak direncanakan ini terjadi saat Raymond dikenalkan kepada Rena. 

Alasannya karena Gianna akan berkuliah di universitas yang berbeda dan dia khawatir jika Rena---Si Anak Bawang Kuper---ini tidak bisa beradaptasi dengan dunia kuliah. Dikenalkanlah Raymond---Si Bisa Diandalkan---sebagai senior untuk membantu Rena karena mereka menimba ilmu di universitas yang sama.

Jadi sebenarnya, Rena sudah mengenal Raymond sejak sebelum masa-masa ospeknya. 

Bisa dibilang, gadis ini cukup mengenal lingkaran pertemanan Raymond. Apalagi Geng SMA-nya. Meski belum pernah bertemu langsung, Rena tahu banyak soal squad highschool  Raymond yang terdiri dan Andrean Rahardja (yang sedang mengobrol dengan Tharene) dan Artha Timotius Chandra (yang hari ini tidak hadir karena masih kuliah di Sydney).

Lalu yang Rena tahu tentang Kak Agus Sagara hanya; dia yang paling tua di sini. Kakak kelas yang sering main basket bareng 3 sekawan yang disebut barusan saat masih bersekolah di SMA Chandrawaka. 

Semuanya sekadar kenal-kenal saja, sih. Selain Tharene, Rena belum pernah main bareng. Sisanya kurang tahu. Apalagi cowok asing nyentrik berambut biru elektrik yang sedang fokus menonton tayangan drama korea berjudul '1997: One For Sure' di televisi.

| Rena |
| Monie, itu siapa yang biru-biru?

| Raymond |
| Tama, Beb.
| Yang pernah aku ceritain.
| Dia lagi deketin Rere.

| Rena |
| Owalah. Pantesan baru muncul.

Rena memang tidak begitu suka dengan keramaian. Jadi meski yang lain sedang duduk melingkar; sibuk main kartu dan minum-minum, dia memilih menepi saja di sudut bersama ponsel.

Raymond dari jauh memerhatikan. Dari mata pemuda itu, Rena tahu kalau pacarnya tengah memastikan apakah ia baik-baik saja, jadi Rena menaikkan jempol dengan senyum terbaik yang bisa ia berikan.

| Raymond |
| Sini main.

| Rena |
| Nanti ajaaa. Capek. Banyak orang :c

| Raymond |
| Dasar introvert.
| Huuuu. :(

Gadis itu sempat tersenyum tipis sebagai reaksi atas pesan Ray yang menurutnya menggemaskan, sebelum satu suara asing membuyarkan semuanya. "Halo? Misi yang lagi senyum-senyum."

Saat Rena mendongak, Si Biru ada di hadapannya. "Diem-diem aja di pojok? Boleh ditemenin, nggak?"

Diam-diam Rena dan Raymond bertukar pandang, meminta izin. Pemuda itu mengangguk ringan dengan lesung pipit di wajah. Nggak apa-apa, tanpa suara bibirnya berkata dari kejauhan.

Kepala Rena kembali kepada Si Biru yang kini menjulurkan tangan. "Kenalin, Tama. Tamaheru Hutomo." Dia tersenyum ramah.

Orang yang bernama Tama ini punya vibes yang menyenangkan dan impresi yang cukup nyaman sejak awal. Rena yang sebenarnya cukup pemalu dan mudah terintimidasi itu pun berani membalas. "Neira Irena Putri. Biasa dipanggil Rena."

Sebenarnya terserah saja mau dipanggil apa. Neira, Rena, Irena---sudah sering digonta-ganti orang.

"Oh, Irena juga, ya?" Dia ber-wah ria sebelum menggunakan dagu untuk menunjuk, "Yang itu juga Irena namanya. Aku panggil kamu Neira aja nggak apa-apa, ya? Biar nggak ketukar. Kan lucu kalau disebut Irena malah yang noleh dua orang," lalu dia tertawa-tawa sendiri.

Oke, ternyata dia agak aneh.

"Kamu dari Bandung, ya, Nei? Gimana di sana?"

Tapi dia ramah. Baiklah.

"Aku magang di sana, kebetulan habis wisuda langsung dapat panggilan. Enak, kok."

"Wih. Keren loh?"

Alis Rena refleks terangkat saat kata sederhana seperti 'wih' dan 'loh' barusan mengingatkannya pada Kak Tara. Dia juga baru tersadar kalau nama panggilan keduanya mirip. Tama dan Tara. Tama lalu melanjutkan. "Nanti kalau aku ke Bandung kamu jadi tour guide, ya?"

"Eh? Boleh." Rena terkekeh. Pemuda berambut biru itu menyodorkan ponselnya. "Tukeran nomor sini, Nei."

Setelah memasukkan kontak, Rena menunjuk rambut Tama. "Itu asli apa wig, Tam?"

"Betulan, dong. Kenapa? Biru-biru kayak wibu, ya?" Dua alisnya naik-turun, terlihat bangga dan pede sekali.

Kehilangan jawaban karena sudah ditebak benar oleh Tama, Rena cuman bisa tertawa geli sebagai respon.

"Ya ampun, Nei, ketawamu adem betul dah kayak angin Bandung. Kalau yang itu tuh," Tama lagi-lagi menunjuk Tharene yang sedang terlihat sewot sekali---seperti nyaris membanting laptop, "Yang itu tuh galak. Baaaanget! Ketawanya jelek pula," ulangnya penuh penekanan.

Rena mengulas senyum saja. Dia tahu Tama tidak bermaksud buruk. Jelas terlihat binar di mata Tama saat menatap Tharene.

"Heh! Tahu! Balik lo sini!" Andrean yang daritadi diam akhirnya angkat bicara. Cowok yang ramah disapa sebagai Dean itu mengibaskan tangannya sekali lagi. "Cewek orang jangan lo embat!"

Tepat setelah Tama mesem-mesem dan undur diri, tiba-tiba lampu dimatikan. Seisi ruangan gelap dan dari ujung muncul percikan cahaya yang perlahan-lahan mendekat ke arah Kak Agus bersamaan dengan lantunan lagu lagu Selamat Ulang Tahun milik band Jamrud. Secara refleks semuanyaㅡtermasuk Renaㅡmelingkari Agus Sagara yang dibawakan kue oleh Wendy. Sembari bertepuk tangan, semuanya bernyanyi. Masa bodo kalau sumbang. Yang penting heboh.

Di tengah cahaya minim, Raymond menghampiri dan mengenggam tangan Rena dengan hangat. "Masih takut gelap, nggak?"

Rena menyikut pacarnya sambil berdesis malu. "Aku cuman takut kalau gelap dan sepi. Ini kan nggak sepi." Apalagi sekarang lagu Selamat Ulang Tahun yang tadi sedang dilanjutkan di speaker. Semakin riuh sudah ruangan ini. "Kamu kali, Rayㅡyang pernah sampai kejedot tembok gara-gara lari di tengah kegelapan di rumah hantu waktu itu." Rena menjulurkan lidah.

"Haduh, ngeledek." Raymond menjawil hidung Rena.

Suara milik semuanya berpadu menjadi satu saat lilin ditiup. Suasananya hangat dan lampu sekarang sudah dinyalakan. 

"Selamat ulang tahun yang ke-25, Agus Sagara!"

Raymond merangkul bahu Rena sembari berbisik, "Ikut main dong, Sayang. Nggak enak sama yang lain kalau kamu mojok di pojok sendiri." Senyumannya membujuk. Ditambah lagi Raymond mengedipkan mata dengan manja. "Ya? Yang lain mau kenalan tahu sama kamu."

Rena berpikir ada betulnya juga. Pasti sulit juga di posisi Raymond, jadilah ditinggal ponselnya yang baterainya masih diisi di sudut.

"Thank you," Raymond mendaratkan satu kecupan singkat di bibir saat tak ada yang melihat. "Sayangku ke tengah aja duluan. Aku mau ke toilet."

Pun menurut saja dan duduk di sebelah Gianna, Rena mencoba berbaur dengan skill sosial seadanya. Tak lama Tama dan Tharene kembali dari luar (entah habis melakukan apa) lalu, Tama duduk di sebelahnya. Beruntungnya, cowok surai biru itu benar-benar ramah dan membantu. Seolah-olah tahu kalau dirinya yang kaku ini bantuan.

Saat pintu toilet terbuka dan Raymond keluar dari sana, Rena berekspektasi kalau kekasihnya cepat menghampiri kemari. Akan tetapi pria itu berjongkok menghadap sudut tembokㅡlokasi charging.

Entah kenapa rasanya dia seperti tengah mengawasi ponsel Rena.

Sorot mata Raymond terlihat berbeda. Bahkan saat sudah duduk di seberang Rena, dia masih menatap dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Gi, sekarang jam berapa?" Rena bertanya tapi ekor matanya mencuri-curi pandang kepada Raymond yang pura-pura tidak mendengar suaranya.

Gianna yang dipanggil membiarkan Rena melirik layar. Satu tangannya masih sibuk main kartu. "Lihat sendiri, Ren."

Pukul 13.31

"Hoo... Thanks," sahut Rena datar, masih menatap penuh tanda tanya pada Raymond yang membuang muka.

***

Pesta rumah berakhir pada pukul 6, tapi Sagara mentraktir makan malam bersama di luar. Setelah menghabiskan nyaris 3 jam duduk di antara kawan-kawan yang berbincang seru sekali, hanya Rena dan Raymond yang dengan suasana hati yang tak baik, pura-pura membaur menebar tawa.

Jarum jam sudah melewati angka 9, setelah Raymond menyadari kalau wajah Rena memucat karena mengantuk, mereka pun berpamitan untuk pulang duluan bersama Gianna yang juga mengekor karena memang punya rencana untuk menginap bersama di rumah Rena.

Selama di perjalanan mobil, tidak ada yang buka suara. Radio tidak menyala. Gianna sibuk main ponsel. Raymond hanya menatap jalanan lapang. Rena akhirnya sempat mengecek ponsel dan betapa terkejutnya dia mendapat notifikasi beruntun.

| Ara |
| tante rena, didatengin ke rumah loh sama papa.
| bawa bolu sama martabak. tante enggak di rumah, ya?
| halooo?
| oi oi?

Panggilan tidak terjawab | Ara (3)
Pukul 13:29

Panggilan tidak terjawab | Dirgantara (2)
Pukul 13:30

Saat Rena menoleh, Raymond memalingkan wajah dan maniknya dipaku pada jalan raya yang sedang ditelusuri. Dari profil samping, Raymond menelan ludah, membuat tonjolan pada lehernya naik-turun. Rena tidak bisa mengatakan apapun karena Raymond berlagak seolah tidak punya ide tentang ini.

Sebenarnya atmosifr macam apa yang sedang mereka alami saat ini?  Apa ini awal keretakan dari dunia mereka? []

____________

NOTES.

Saya tidak tahu mau ngeship siapa di sini ;") hiks.

#TeamTaraRena? #TeamRayRena?

p.s. Kalau ada yang ngeh, scene Ulang Tahun Sagara ini juga ada di works 10 Sins of Being Single. Yang udah baca pasti berasa sama tapi berbeda sekali, kan?

Yang baca 10SBS akhirnya udah kelar ye rasa penasaran kalian Tama-Rena ngomongin apaan sampe Tharene cemburu. Padahal mah, yhaaa... XD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro