BAB XVII: Matahari dan Gerhananya
Tagih dong. Kadang w suka lupa harus update 😭
°
_______________
SENANDUNG
USANG. |
BAB XVII:
Matahari
dan
Gerhananya
|
______________
Rena punya talenta unik. Tangannya itu jago multitasking, seperti sekarang, dia bisa menenteng sekotak martabak di tangan kiri, dan satu tangan lainnya dipakai untuk menutup pintu mobil Dirgantara.
Dirgantara yang tak enak hati, buru-buru membantu gadis tersebut. Dia mendesah pelan. "Padahal udah dibilangin nggak usah beliin Tiara. Nanti dia ompong."
"Ah, bapak bawel, nih. Orang saya beliin anaknya." Setelah meletakkan martabak di kursi belakang, dengan cepat Rena mengenakan seat belt. "Eh, Kak! Tiara suka kan sama martabak kering?"
Kak Tara bergumam pelan sekali. "Nggak sih sebenarnya..."
"Hah? Aduh gimana, dong?" Dia sukanya yang basah, yah?" Rena menepuk jidat imajiner, harusnya aku menanyakan terlebih dahulu.
"Ya udah, nggak apa-apa."
"Katanya nggak suka yang kering?"
"Siram susu juga basah."
"...Kak Tara." Hening 3 detik sejenak sebelum Rena meringis. Dasar lawakan orang tua. "Nggak gitu juga, dong."
"Seriusan." Kak Tara berusaha meyakinkan, dia melirik dari sudut mata. "Dia mah makin lembek, makin doyan. Bubur aja dicampur sup ayam, loh."
"Loh?"
"Nah, loh? Bingung? Sama. Aku jadi papanya juga bingung. Dia mah nggak suka biskuit, sukanya bolu, kue, roti. Makan Chitato aja dicelup ke teh."
Ya ampun, ternyata lucu ya kalau sudah punya buah hati. Hari-hari berganti dipakai untuk mengingat detil anak sendiri. Dimana lagi bisa mendapat cinta sebesar ini? Memang hanya dari orang tua.
Rena tertawa lepas. "Ketularan siapa sih kayak gitu?"
Pertanyaan Rena tidak dijawab untuk beberapa detik, sampai akhirnya respon dari Dirgantara yang tadi bungkam itu muncul setelah dehaman ringan. "Nggak harus mirip siapa-siapa, sih," lirihnya.
"Ren," panggil Kak Tara memecah hening saat berada di lampu merah. Tangannya menekan satu lagu dari ponsel yang terhubung ke speaker mobil. "Coba tebak ini lagu apa?"
Baru mendengar 3 sekon saja, Rena sudah terperangah.
"LAGU OPENING SAILOR MOON!!" Dia menyahut begitu bersemangat. Super antusias. Saking takjubnya, dua telapak tangannya dipakai untuk menutup mulutnya yang sedari tadi menganga. "Wah! Serius kakak dengerin lagu beginian?"
Dirgantara mengangguk. "Diledekin mati-matian aku sama Ara."
"Ya ampun, aku kangen banget sama ini!" Rena gemas sendiri. "Pulang malam mau bikin desain malah jadi kepengin rewatch sailormoon. Kakak, sih..."
"Aduh, Kak. Siapa tuh pacarnya si Usagi, namanya mhm... yang pakai topengㅡChuba?"
"Chiba, Ren," koreksi Tara, "Mamoru Chiba. Chuba mah ciki gopean di dekat sekolah kamu dulu."
Satu tepukan panas dari Rena mendarat di lengan Dirgantara. Astaga. Sakit bukan main. Pemuda itu mengusapnya sekilas sembari melirik Rena yang kesenangan sendiri.
"Kok kakak yang ingat, sih?" Senyum di pipi Rena tidak meluruh.
Dirgantara menekan bibirnya dengan wajah datar. Tidak mau mengingat bagaimana dirinya dieksploitasi untuk bermain kuis bersama Rena kecil karena bocah kurang ajar itu tidak selesai-selesai menghafal pelajaran sains bab Tata Surya. Akhirnya, Dirgantara menghafal nyaris semua karakter utama dari anime Sailormoonㅡdari Sailor Mercury sampai Sailor Pluto, bahkan sampai nama pemeran lelaki protagonis utama Si Tuxedo Mask alias Mamoru Chiba.
Astaga. Demi membuat Rena kecil menghafal Tata Surya, dirinya yang laki-laki tulen dan sudah dewasa ini harus menonton tayangan Sailormoon berkali-kali, agar Rena mau belajar lewat kuis Sailormoon ala-ala bersama MC Dirgantara (Plus! Dengan hadiah stiker Sailormoon sebagai iming-iming).
Semua penderitaan konyol itu hanya karena satu alasan.
Demi. Rena. Menghafal. Tata. Surya.
***
Rem tangan ditarik, yang di dalam pun segera turun dari mobil. Tahu-tahu saat ingin berjalan menuju gerbang rumah, si bongsor Bima sudah berdiri menjulang di sana, menyapa Rena. "Oit. Calon ipar, annyeong!"
"Napa sih?" Rena mendesis sebal. Annyeong-annyeongㅡpasti Bima keracunan web drama Korea.
Kemudian Rena merasakan senggolan di lengan. Kak Tara berbisik malu. "Palingan abis ngamer. Si eta mah memang gitu. Dia ngebet lihat aku nikah, jadi semua cewek digituin. Maaf banget, ya."
Jujur, Rena sedikit terperangah dengan apa yang baru dikatakan Kak Tara. Titik fokusnya jatuh kepada kalimat yang terlontar sebelum permintaan maafnya.
Dia ngebet lihat aku nikah, jadi semua cewek digituin.
Kepala Rena mulai berpikir keras. Kira-kira Bima sudah berkata begitu kepada berapa cewek yang dibawa pulang Kak Tara?
Dan... Jadi... Kak Tara pernah punya wanita lain setelah Mamanya Tiara, ya?
Ah, tentu saja. 8 tahun lamanya. Mana mungkin pria tampan yang sedang mempersilahkannya masuk dan duduk di ruang tamu ini tidak didekati para wanita. Dia baik dan sopan. Dewasa juga. Tentunya bukan hanya Rena seorang yang berada di kebunnya Dirgantara.
Matanya mengitar kepada Tiara yang keluar dari kamar, mendekap ayahnya begitu erat. Bocah manja itu bergelayutan di pinggang Kak Tara yang tengah menuangkan susu di atas martabak tipker barusan.
"Ini dari Rena," sembari berucap pada Tiara, dagunya menunjuk ke arah Rena yang duduk di sofa. "Ara harus bilang apa?"
"Makasih, Tante Rena! Tapi lain kali belinya yang lembek, ya!" Dan anak itu langsung disentil jidatnya oleh Bima. "Request pulak kamu, Badut."
Pemuda bongsor itu meneguk alkohol di dalam botol tupperware. Tulisan spidol nyentrik berwarna biru terang disana membuat Rena menahan senyum. Ini jamu pedes, Ara dilarang minum!
Ada-ada saja.
Diam-diam kini ia menatap Kak Tara yang baru selesai mengurusi camilan malam Tiara. Dia sempat menghampiri Rena sambil membawakan air es sebelum membawa anaknya masuk ke kamar. Sementara mata Rena jatuh pada Bima yang menonton web-drama Korea sembari meneguk Amer.
"Eh, Intern," panggilnya.
"Apa, Tuan Atasan?"
"Lu masih demen nggak sama Bang Tara?" Rena auto mendelik. "Lu berdua nggak mau jadian aja gitu?"
"Bercanda, ya?" Gadis itu langsung menargetkan bantal sofa ke lengan Bima. Meskipun agak tipsy Bima tetap bisa beranjak, menghindari pukulan. Lanjutnya, "Aku udah punya pacar tahu."
Mata Bima langsung membulat. "Beneran? Mbak Neira teh udah punya pacar?" Bima menepuk jidat. "Waduuuh! Sia-sia pisan percomblangan yang aing lakukan selama ini! Kenyataan ini teh?"
Rena menarik satu ujung bibir dengan malas. "Kenyataan, Bima." Padahal waktu itu Bima ikut mengantar Raymond ke stasiun. Entah dia lupa atau bagaimana.
Bima meletakkan botol tupperware lalu entah kenapa gerakannya terhenti. Di saat yang sama Dirgantara turun dari tangga. "Sorry, Ren. Lama."
Hal yang selanjutnya Rena lihat adalah Bima yang berjongkok menghadap sudut tembok rumah, tangannya mengais sesuatu. Seperti buku tipis... atau entahlah, majalah?
Benda itu dilemparnya ke atas meja ruang tamu. Cukup aneh karena tidak ada debu berterbangan. Padahal jika dinilai dari tempat ditemukan, majalah tersebut berada di sudut lantai, terselip di antara tembok dan laci dekorasiㅡseharusnya agak kotor.
Dari kejauhan, Kak Tara terdiam di sana dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia terlihat... Cemas?
Entahlah. Rena tidak bisa berpikir jernih. Dirgantara dalam hitungan sekon tampak seperti orang yang takut mendatangi mereka berduaㅡatau lebih tepatnya, takut menghampiri Baskara Bima.
Baik mata Rena maupun Tara, pasangan itu mengikuti pandangan Bima yang tidak bergerak sama sekali. Dia bahkan tidak membuka isinya. Netranya terpaku total pada majalah terbitan Femina Group. Majalah Gadis. Tahunnya tidak kelihatan karena sudah rusak dan agak belel, bisa dipastikan kalau ini sudah bertahun lalu lamanya. Tapi keusangan pada majalah tersebut tidak memungkiri fakta bahwa di halaman sampul ada seorang remaja cantik.
Entah siapa.
Yang pasti majalah ini membuat Bima beranjak dalam emosi. Rena nggak berani melakukan apapun selain meneguk ludah gugup tatkala melihat alis Bima menukik curam. Obsidian gelap Bima menusuk Dirgantara dengan umpatan singkat penuh amarah.
"Bangsat."
Lalu dengan sekasar mungkin, dibuangnya majalah itu ke tong sampah. []
_______________
NOTES
Majalah Gadis yang super eksis pada masanya. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro