BAB XVI: Nuansa Bening
°
_______________
SENANDUNG
USANG. |
BAB XVI:
Nuansa
Bening
|
______________
"Mata Hari." Adalah jawaban yang Kak Tara berikan saat ditanyai soal nama brand bimbingan belajar yang sudah ia bangun selama 5 tahun lebih. Tara mengeluarkan profil perusahaan sebagai bahan dasar dan referensi untuk mendesain.
Mereka sekarang berada di coffee shop terdekat. Berdua saja. Harusnya Aloysius Langit ikut, tapi karena ada urusan pekerjaan lain dia undur diri hanya untuk hari ini. Alhasil selama nyaris 1 jam ini Rena dan Kak Tara sibuk membahas ide.
"Ini betulan desainnya terserah aku? Nggak ada permintaan khusus?"
"Selama nyambung aja sama filosofi brand nggak apa-apa. Soalnya ini kan headquarter, kalau ruko cabang yang lain desainnya memang seragam, ini nggak masalah kalau spesial sendiri."
Namanya Mata Hari. Logonya adalah dua bunga matahari saling berhadapan.
Tatkala Rena membaca proposal dan sampai pada halaman Brand Philosophy, Dirgantara bersuara, membiarkan telunjuknya mendarat di halaman proposal. "Bunga matahari itu biasanya setia mengikuti matahari. Tapi saat sinar matahari sirna, mereka saling berhadapan untuk mencari 'matahari' di dalam diri masing-masing."
"Jadi intinya yah... Aku pengen suasana kantor yang lapang dan bersahabat. Daripada atmosfir formal yang kesannya menggurui, aku prefer yang hangat dan membimbing." Tara mengetuk-ngetuk jarinya pada permukaan kertas, "Sesuatu yang seperti, even without a sun on the rainy day, we will be with you."
Rena meneguk ludah, membatin. Filosofinya romantis dan adem. Cocok dengan image pemiliknya.
"Sisanya terserah Rena aja. Yang penting guide dari aku kayak gitu."
Menganggukkan kepala mengerti, Rena mencatat beberapa poin di dalam buku memo mini yang selalu dibawanya kemana-mana. Gadis itu tahu kalau proyek ini pasti akan membuat dirinya sering bertemu dengan Dirgantara Wijaya. Apalagi mengingat kata Bima kalau Ko Langit itu sangat berdedikasi dan tipe yang menyelesaikan masalah secepat mungkin, barangkali proses renovasi ini takkan berlangsung lama. Okay, nice. Tidak perlu menunda. Rena tinggal bekerja cepat. Pulang dari sini dia bakal segera mencari ide lalu mempresentasikan kepada Bima dan Ko Langit supaya mendapat approval, sebelum diberikan kepada Tara sebagai klien.
Diam-diam Dirgantara melirik Renaㅡmenggunakan gaya menyeruput kopi hangat sebagai kamuflaseㅡsaat gadis itu terlihat begitu serius atas project pertamanya. Tak bisa menahan diri apabila tidak mengulas senyuman geli.
Neira... manis.
***
Sebenarnya klien dan desainer tidak perlu berjalan bersama untuk mencari material. Biasanya klien lebih suka terima bersih, membiarkan tim desainer lah yang mencari referensi desain dan sebagaimana pada akhirnya mereka cuman ingin melihat hasil digitalisasi atas desain yang ingin mereka tuangkan dari dalam bayangan.
"Lihat material, yuk?"
Namun saat ajakan Dirgantara barusan disuguhkan, Rena tanpa berpikir dua kali mengiyakan. Hitung-hitung sekaligus mencari referensi. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Sekarang kaki keduanyaㅡRena dan Taraㅡturun dari parkiran, melihat referensi furnitur sekaligus material di salah satu Showroom merek kompetitor De Korin di daerah Naripan. Tempatnya tidak terlalu besar. Biasa saja. Tapi tidak juga sesempit ruko.
Sebenarnya De Korin juga punya rencana membuka Showroom (pokoknya, bakal lebih lenggang. Namun karena faktor internal yang masih perlu berkembang lebih solid dan belum adanya faktor eksternal yang dirasa cukup menjanjikan oleh Pak Prawira, beliau mengundur agenda timeline perencanaan pembukaan Showroom De Korin akan mulai disusun 2 tahun mendatang.
Padahal anak-anak dan termasuk Ibu Ruth yang memegang divisi finansial sudah cukup meyakinkan Pak Wira kalau perputaran kas tetap stabil. Joy juga bilang kalau tren market milenial sekarang lebih menyukai service experience dan melihat secara langsung karena furnitur merupakan produk high involvement, sehingga intensi pembelian akan lebih naik jika produk bisa ditelisik langsung.
Namun karena raja sudah bilang 2 tahun, maka seisi kantor cuman bisa mengangguk sambil merapal In Pak Wira we trust, dalam hati.
"Rena," Dirgantara yang sedari tadi tengah melihat katalog tiba-tiba berceletuk, "Kamu lebih suka ruang besar apa kecil?"
"Kecil."
"Oh ya? Masih suka ngerasa sepi berada di ruangan besar?"
Rena mengangguk yakin, "Apalagi ruang tamu. Harus banget kecil."
"Kalau ada tamu gimana?"
Gadis itu menyipitkan mata. Dia bukan tipe yang punya banyak teman untuk dibawa bertamu ke rumah. Rena kira Dirgantara jelas ingat soal ituㅡNeira Irena cukup introvert, sebenarnya. "Palingan siapa sih? Kawanku mah kehitung pakai jari."
"Betul juga, ya." Kak Tara terkekeh geli. Pandangannya masih sibuk melihat produk di rak-rak yang berjejer begitu panjang. "Kamu masih main sama Gianna?"
"Masih, Kak. Dia sekarang selebgram, tahu."
"Oh, ya? Artis instagram gitu, ya? Karena cover piano?"
Kepalanya digelengkan, Rena menunjukkan akun Instagram Gianna yang terlihat memukau. "Nih, fashion gitu! Cantik ya temen aku? Hoho. Dia udah nggak main piano. Udah males soalnya nggak bakat, katanya." Padahal menurut Rena permainan Gianna lumayan. Cuman apa daya Rena selalu dianggap anak bawang, opininya pasti selalu dibalas 'Kamu pasti nggak paham, deh. Ada beat dan metronome segala! Aku nyerah!'ㅡJadi pada akhirnya Rena selalu mengunci bibir, diam saja.
"Oh, ya, Kak Tara belum jawab. Sukanya rumah gimana?"
Sebelum menjawab, Dirgantara mendorong bahu sang gadis pelan. Rena pasrah saja membiarkan jemari Tara di atas bahunya, menuntun langkah menuju rak lain. "Hm, kalau aku sih daripada fokus sama ukuran, aku suka sama suasana. Yang pasti yang ramah buat anak aja. Wangi dan kebersihan juga penting."
Respon sang pemuda malah mengundang tawa Rena, "Bapak kok malah keibuan sekali, ya?"
"He-eh, nih." Dia mengangguk lucu, "Kebiasaan rangkap jadi ibu."
"Oh? Aku kira Si Ribet Bima yang jadi ibunya Ara." Tawa kecil Rena menular pada Tara.
Setuju, pria itu mengaku, "Dia nyuci baju, beres-beres, pokoknya jagonya dia, deh. Saya nyari nafkah sama bantu cuci piring aja."
"Kakak bukannya suka pecahin piring?" Kemudian Tara memilih pura-pura tidak dengar saat Rena menambahkan, "Di rumah Rena aja pernah dipecahin lebih dari dua kali."
Saat berhenti di depan rak katalog keramik, Rena memalingkan wajah. "Kak, ubin mau pakai HT atau granit?"
"Bedanya?"
"HT itu homogenous tiles. Keramik biasa yang kita lihat dimana-mana. Nat atau lisnya kelihatan. Kalau granit lebih seamless, lebih mewah. Biasanya lantai mall atau hotel bintang 4 ke atas gitu."
Mendadak Rena merasa keren karena bisa menjelaskan banyak hal kepada Dirgantara. Ternyata memang tidak sia-sia dia berusaha keras wisuda dan mendapat gelar. Dia nyaris menyibak rambutnya dengan penuh kebanggaan. Jadi bagaimana Dirgantara Wijaya? Muridmu ada kemajuan, kan? Tapi tidak jadi karena banyak orang berlalu-lalang.
"I see. HT kayaknya lebih sesuai, Mata Hari nggak se-fancy itu, sih. Tapi HT ada yang high quality nggak, yah?"
"Ada dong. HT itu ragamnya paling banyak! Jenis ini memang lebih on budget, sih." Rena menarik tangan Kak Tara, menunjukkan rak variasi HT. Kemudian dengan senyum bangga, dia membalikkan tubuh. "Gimana? Sudah menentukan piliha...n..."
Kalimatnya terputus, menggantung di udara tatkala netranya menatap bibir kenyal milik Kak Tara yang berada dekat sekali dengan wajahnya.
Rena meneguk ludah gugup saat menangkap senyum maskulin Dirgantara cukup lama tertahan di bibir. Kini pria itu mengangguk manis. "Ng. Oke." Dagu Tara nyaris menempel pada kening Rena. God. Apa Kak Tara tidak sadar soal itu? Astaga. Pejamkan matamu dan kabur dari sini, Rena.
Gadis itu langsung menggeser badan secepat kilat. "Y-ya udah."
"Nanti aku desain based on HT. Lalu untuk dinding gimana?" Rena melanjut terbata-bata, efek gugup.
"Terserah saja. Kan Rena desainernya."
Menggaruk tengkuk ragu, Rena mencicit. "Kalau Kak Tara nggak suka gimana?"
Tubuh tingginya sekarang condong, merunduk agar sejajar dengan wajah cantik milik gadis mungil di hadapannya. "Kan, kamu begitu lagi..." Telapak tangan hangat Tara bertengger di puncak kepala Rena. Rena sudah tahu kalau telinganya sekarang pasti merah, tapi syukurlah surai panjang hitam bergelombangnya menutupi itu semua dengan sempurna, saat surainya diacak lembut. "Aku kira kamu udah gede, kamu sama aja. Si Kecil yang butuh bimbingan."
"Kamu punya gelar arsitek, kan?" tanya Tara.
Rena mengangguk dengan bibir cemberut.
"Sidang nyogok, nggak?"
"Enggak lah. Murni usaha dan tekad!" Rena berdesis sebal. Enak saja dipikir menyuap. "Jahat banget, emang Rena se-oon itu apa, ya?"
"Bukan itu maksudku." Pipinya dijawil gemas, tidak dilepas padahal kalimat sudah berakhir. "Kalau kamu lulus tanpa nyogok, ya, artinya kamu sudah punya skill. Kamu memang bisa."
"Iya, iya. Pipinya sakit, nih." Rena menepuk lengan Tara sampai akhirnya cubitan pun dilepas.
Dirgantara menambahkan lagi. "Kamu jangan insecure begitu. Kakak ngerti dari dulu Rena semua ditentuin Mama. Tapi kalau sama aku, kamu boleh bebas tentuin apa yang kamu mau. Apalagi ini kita bicara soal bidang yang kamu tekuni. Masuk De Korin itu nggak mudah loh, Ren. Nomor satu di Bandung. Kamu berhasil masuk, itu artinya kamu juga nomor satu, Rena."
"Begitu loh, Dek."
Dek, katanya. Rena mengusap pipi dengan perasaan campur aduk. Dia merasa hangat atas kata-kata barusan, tetapi pada akhirnya Kak Tara dengan jelas menegaskan tembok transparan, kan?
Ah, seandainya Rena bisa mengatakan kepada dunia kalau suara lembut ituㅡlagi-lagi, secara dilarang dan tak terdugaㅡmengundang kupu-kupu serta senyuman teduh yang membuatnya merasa begitu nyaman.
Mendadak... Rena merasa dia akan benar-benar memeluk Tara di sini.
Oh, tidak. Tidak lagi, Rena. Ini buruk. Gadis itu langsung menyadarkan dimana posisi yang kini sedang ia pijak. Tersenyum kecut lalu bola matanya menatap dengan rasa terima kasih. "Ya udah, deh. Makasih, loh?"
"Iya, sama-sama, loh?"
"Serius, nih. Kalau salah gimana, loh?" Rena meniru gaya bicara Tara.
Alisnya naik satu, membalas santai. "Ya, revisi, loh?"
"Kalau jelek lagi gimana, loh? Kakak pasti nggak bakal sabar, loh?"
"Loh loh loh, pesimis lagi. Mulai aja belom, loh?"
Keheningan merayap, 3 detik kemudian senyuman kotak kaku dan suara kikikan geli mengudara bersamaan. Kehangatan bak mentari menyeruak dari tatapan yang diberikan satu sama lain, bersatu padu dengan kupu-kupu yang menggelitik perut dan debaran jantung yang menyenangkan.
Seperti bunga matahari yang berhadapan ketika membutuhkan sinar, barangkali seperti itu yang membalut perasaan keduanya. Mereka menemukan cahaya jernih pada iris masing-masing. []
____________
NOTES
Ini terlalu mellow mendayu-dayu gak sih? Apa porsinya pas? Kalian sudah nyaman belum sama penulisanku? 🥺
*
#nowplaying:
Vidi Aldiano - Nuansa Bening
https://youtu.be/hWMWE_gKkD8
*
Btw ini filosofi bunga matahari:
*spoiler next chapter*
Ada sesuatu yang mungkin kalian tunggu-tunggu? 🙂
Terima kasih juga untuk antusiasnya yang berlimpah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro