BAB XIII: Seandainya Hati Bisa Memilih
_______________
SENANDUNG
USANG. |
BAB XIII:
Seandainya
Hati Bisa
Memilih
|
______________
°
Rena tidak tahu apa dia itu diguna-guna makanan Bandung atau bagaimana. Selalu saja ada sesuatu yang berbeda tiap dia menyantap makanan di sela malam kota Bandung. Rasanya selalu dua kali lipat lebih enak daripada makanan gratisan. Entah karena dia masih turis-minded, jadi apapun yang dicoba di sini rasanya enak atau suasana adem Bandung yang menyempurnakan atmosfir. Atau...
Atau karena Rena sedang makan bersama mereka, ya?
Manik hitam Rena tak henti-hentinya menatap Tara dan Bima yang bergantian (malah kadang berebut) sibuk mengurusi pipi tembam Tiara yang belepotan terkena saus kacang. Belum lagi ketika anak itu tidak sengaja menelan bawang goreng kemudian melepehkan makanan yang dia benci itu ke tisu.
"Makan bawang goreng, dong. Jangan kayak Jendut," protes Bima.
"Mbim juga nggak makan bawang tuh." Tiara mengendikkan bahu acuh tak acuh. "Bacot, ah."
Bima langsung mengangkat dua tangan di atas dada saat Kak Tara melotot tidak terima meminta penjelasan. "Sumpah, Bang! Aing nggak ngajarin apa-apa. Nguping kali dia!"
"Lo ajarin apa sih ke Adek?" Tanya Jennie panik. "Parah anjir lo."
"Anjir itu apa?" Tiara membeo dengan watados.
"Aduuuh." Kak Tara menepuk jidat pusing. Kemudian berusaha menjelaskan kepada Tiara, "Itu kata-kata nggak baik. Jangan dipakai yah."
"Nggak baik tuh gimana? Mbim sama Jendut 'kan baik sama Ara."
"Ara kalau sering bicara kayak Mbim, nanti kastanya turun loh kayak dia." Rena menyahut begitu saja.
Mata bulat Rena dan Tiara berdua bertemu. Tentu saja milik Tiara yang lebih jernih dan polos itu tersenyum lebar, pipinya menyembul naik, dan anak itu tertawa begitu keras sembari menggeleng-geleng saat ditanya satu kali lagi oleh Rena. "Mau kayak gitu?"
"Nah, makanya, bicara bahasa sopan biar tidak turun kasta seperti Mbim."
Bima mencebik. "Ih, aku terus jadi korban hinaan."
Di samping, Dirgantara mengangkat satu alis sembari tersenyum samar.
Saat semua orang sibuk kembali dengan makanan, saat Bima dan Jennie sibuk membuat keributan dengan adu mulut merekaㅡdengan Tiara yang kadang-kadang masih penasaran dengan kosakata laknat milik keduanya, diam-diam Kak Tara meletakkan beberapa tusuk lagi untuk Rena.
Tanpa bicara, bibir Tara terulas senyum singkat.
Rena tidak bisa mengabaikan itu semua. Apalagi saat Dirgantara memangku pelipis, menatapnya lurus sambil berbisik usil, "Makan yang banyak. Biar tinggi."
"Bang Tara!" Bima mengernyit menatap piringnya, "Sateku kemana, ya?"
Tara pura-pura tidak tahu. Dia menunjuk nasi gorengnya. "Aku kan nggak makan sate dari tadi."
"Jendut!"
"Apa? Kok gue, bangsㅡ" Kalimat Jennie menggantung di udara saat Tara berdeham. Gadis itu lalu tertawa kaku sok manis, memukul lengan Bima dengan keras. "Hahaha. Kok gue sih, Bang..."
Tangan Rena melepas tusukan sate Bima di aspal, diam-diam Rena mengunyah daging sate dengan wajah tanpa dosa, kemudian bertukar pandang dengan Tara yang menahan tawa sedari tadi.
| Dirgantara |
| Enak, 'kan?
| Rena |
| He-eh, enak. Dasar pencuri sate.
| Dirgantara |
| Hehe :)
| Kalau pengin ini lagi bilang aja, ya.
| Nanti ditemenin.
Rena meneguk ludah. Dia memasukkan ponsel ke dalam tas, tidak memberi jawaban. Demi Tuhan, batinnya malah bertengkar.
Rena benci mengakui ini. Dia benci bahwa faktanya dia merasakan jantungnya berdegup konyol karena kalimat sepele barusan. Dia juga benci fakta bahwa dia merasa tidak tahu diri. Dia benci fakta bahwa dia mulai punya sebersit keinginan atas sebuah Kita diantaranya dan Dirgantara.
Raymond sangat sayang padanya. Dia nggak boleh mengecewakan dan nggak akan membiarkan itu terjadi.
Awalnya dia berpikir, 8 tahun yang sudah lewat begitu saja, mungkin Rena menyukai Tara dalam delusi saja, karena ia tahu semua orang berubah. Apalagi sewindu itu bukan waktu yang pendek. Peluangnya besar kalau Kak Tara telah berubah menjadi orang yang tak ia kenali. Dengan fakta begitu artinya Rena hanya menyukai Kak Tara yang duluㅡyang datang dengan jaket putih 8 tahun lalu. Bukan yang sekarang.
Rena tidak mengenal setengah dari diri Tara yang sekarang. Tak jarang Rena merasa pria ini adalah Kak Tara-nya yang lama. Tapi terkadang pria ini juga seperti Dirgantara Wijaya yang baru, yang harus Rena cari tahu lagi apa isi benaknya.
Rena pikir dia tidak bakal tertarik dengan itu. Dia pikir yang ia sukai sekadar kenangan usang, dia yakin dia sekadar merindukan senandung usang mereka. Melihat Dirgantara pun sekadar melepas rindu buat hati. Hitung-hitung sebagai hadiah karena hatinya telah survive 8 tahun.
Tapi apa?
Nyatanya, Dirgantara dan dirinya yang baru tetap berhasil membuat jantung Rena berdetak untuk alasan yang aneh.
Dirgantara tetap menyabet atensi dan energi, dan itu semua membuat Rena jadi berpikir dua kali.
Kalau cintanya terhadap Kak Tara selama 8 tahun yang lalu bukan delusi melainkan kenyataan, lantas perasaan cinta Rena terhadap Raymond itu apa?
Kira-kira... kali ini rencana benang merah akan membawa mereka kemana?
***
"Gue mau belanja bulanan. Mbim lo temenin gue, dong. Sekalian Ara mau ronde jahe kan? Di Cibadak banyak. Yuk, Dek."
"Napa harus aing?" Bima memasang wajah ogah, tangannya menarik Tiara yang masih menempel pada Jennie karena iming-iming ronde jahe. Apalagi ketika Jennie membisikkan kalau dia juga ingin membelikan Tiara martabak manis, langsung ditepislah tangan Bima. Tiara tidak peduli Bima, yang dia mau cuman martabak manis dengan keju melimpah dan ronde jahe gula merah.
Mendadak Bima merasa hatinya teriris. Sakit sekali dia ditukar dengan martabak dan ronde jahe.
"Mbim, lo kalau nggak mau ikut, jangan ajak-ajak anak orang makanya." Jennie menjulurkan lidah.
"Itu anak gue! Bukan anak lo," balas Bima keukeuh.
"Anak Kak Tara! Bukan anak lo!"
"Anak gue!"
"Ih, nggak mau jadi anak Mbim..." Tiara menggeleng cepat, kemudian dia berlari kepada Tara, memeluk ayahnya dengan manja. Sinar matanya memancarkan ketakutan samar. "Papa? Ara nggak akan dioper ke Mbim, 'kan?"
Tara menepuk-nepuk pelan pipi Tiara dengan gemas. "Udah sana Ara ikut Jennie kalau mau mamam," lalu menatap Jennie. "Awas ya kalau anakku nggak dipulangin."
"Mbim gimana?" Bima bertanya, alisnya nyaris bertemu saking besarnya rasa kecewa di dalam dada. Dia mulai merengek dramatis, "Mbim gimanaaa, dong?!"
"Ya, ikut pulang loh sini. Lama kamu." Dirgantara mengibaskan tangan.
Sementara Bima di sana bergantian menatap Rena dan Tara, kemudian dia tersenyum malas. Malas jadi nyamuk, lebih tepatnya.
Lagipula, misi cemerlang untuk menikahkan Tara dengan betina harus terjadi secepat mungkin! Dia sudah cukup muak melihat kakak kesayangannya tidak pernah beres-beres rumah. Dirgantara cuman bisa cuci piring, itu pun kalau piringnya tidak jadi pecah seperti yang sudah-sudah. Dirgantara tidak punya bakat beres-beres, dia hanya bisa masak seadanya. Kalau tidak ada Bima, pasti rumah Wijaya sudah mirip kapal pecah.
Diam-diam Bima tertawa dalam hati. Oh, bahkan Bima sudah membayangkan betapa indah kalau Dirgantara menikah. Pertama, dia bakal dapat uang jajan tambahan. Dua, dia tidak perlu menggantikan Tara menjelaskan setiap kakaknya yang kaku seperti kerupuk kering itu ditanya 'kenapa nggak nikah lagi?'ㅡMenjelaskan itu cukup merepotkan, tahu. Dan ketiga, dia bisa menghabiskan waktu berdua dengan Tiara kesayangan yang dititipkan selama Tara dan istrinya bulan madu. Betapa anjay-nya rencana tersebut.
"Baskara Bima," panggil Tara sekali lagi, membuyarkan rencana busuk Bima. "Cepat. Kasihan Rena nanti kemalaman."
Bima mendadak sopanㅡsalim pada Taraㅡlalu menepuk bahu kakaknya dengan penuh arti. Punggungnya berbalik, dia merangkul Jennie yang tengah menggandeng Tiara. "Tiba-tiba aku mau martabak juga," berkata seperti itu lalu meninggalkan dua manusia tersisa yang terpekur bagai manekin idiot.
"Dia kenapa, sih?" tanya Rena bingung.
Dirgantara pura-pura bodoh saja. Dia jelas mengerti saat si badut raksasa mengedipkan mata dengan senyum yang tidak-tidak. Ha. Apalagi kalau bukan acara sok menjodoh-jodohkan Dirgantara. "Nggak tahu juga saya, Ren. Nggak butuh alkohol pun otak dia udah sering terpleset."
"Yuk, mau pulang?" Tara memalingkan wajah. "Udah malem."
Ah. Padahal Rena bahagia-bahagia saja kalau diajak beli ronde jahe pinggir jalanan. Dia mau ikut berburu makanan. Tapi apa daya. Rem tangan sudah turun dan gas telah ditancapkan.
"Tiara cerita loh katanya di Grab kalian dengerin lagu. Apa tuh, uhm, Fiersa Besari, yah?" Kak Tara bersua begitu mobil melaju. "Aku juga suka itu."
"Iya, Tiara bilang katanya kayak lagu Papa. Gemes banget, Kak. Ternyata kakak sering nyanyi buat Ara, ya?" tanya Rena dan dibalasnya dengan anggukan kalem. "Favorit kakak apa?"
"Kau."
Eh? Matanya berkedip dua kali. Kemudian tersadar dua detik kemudian. Itu kan judul lagunya. Lantas membalas canggung, "Oooh, yayaya. Aku juga suka Kau. Tapi favoritku tetap April, deh."
"Wih, naik tingkat dari 11 Januari ke April ya, Ren?"
"Eh, masih inget itu, Kak?"
"Apa? Kacang ijo? Inget lah. Muka kamu sewaktu syok liat gerobak kaki lima juga ingat." Suara kekehan serak menyeruak, tangan kiri Kak Tara mengambil botol air mineral untuk mengisi kerongkongannya sebelum melanjutkan. "Nganga lebar pisan. Katro."
"Ya maap, Rena kan anak sultan."
"Apik ini keangkuhanmu, Ren." Kak Tara mengeluarkan tawa serak, lalu Rena mengeluarkan satu permen jahe dari dalam tas. "Tuh, daripada serak terus."
Dari bola matanya yang sekilas, Kak Tara terlihat ragu-ragu untuk menerima. Rena tidak tahu apa yang ia pikirkan oleh pria yang sedang menelan permen pemberiannya. "Hooo, udah gede sekarang. Udah bisa merhatiin orang," katanya.
Sekilas Rena merotasikan bola mata. "Dari cara bicara kakak, aku tuh masih kayak adik banget, ya. Udah delapan tahun loh, Kak. Bahkan mungkin Rena yang kakak lihat sekarang, bukan Rena yang kakak kenal. Bukan Rena kecil yang waktu itu."
Sial. Dia berkata tanpa pikir panjang dan menyesal. Apa Rena baru saja terkesan seperti wanita yang mudah tersinggung? Padahal ia sama sekali tidak punya maksud begitu.
Apa yang dibicarakan juga sangat tidak bijaksana. Selama delapan tahun ini pun, Kak Tara yang ia lihat ini belum tentu Kak Tara yang ia tahu. Jadi, kenapa Rena bicara begitu? Bagaimana kalau Kak Tara marah? Bisa saja dia bukan pria yang sesabar dulu, kan?
Namun bukannya berjalan sesuai asumsi begitu, alih-alih yang ia dapatkan adalah Kak Tara yang tersenyum. Tangan kanannya masih memegang setir, tangan kirinya memegang tuas persneling. Dia menatap Rena.
"Bercanda, Kak. S-saya nggak ngomel, kok." Rena mengoreksi sembari tertawa-tawa, merasa kalah. Dia mengumpat dalam benak banyak-banyak. Bisa-bisanya dia dibungkam hanya dengan satu tatapan kasual.
"Kamu berubah sekali, sih." Dirgantara berkata tiba-tiba. Rena menoleh ke arah suara. "Tapi dalam artian baik, kok."
"Kamu terlihat seperti..." Menjeda sesaat, Tara melanjutkan pelan sekali. "...wanita. Terkadang saya hanya masih enggak terbiasa merasakannya."
God. Rena menekan bibirnya yang kentara sekali bergetar gugup. Banyak hal berkecamuk di dalam kepala, ia tidak tahu reaksi apa yang harus diberikannya. Harusnya Rena bisa saja membalasnya dengan canda tawa. Maksudnya, memang Rena kan sedari dulu cewek. Lantas dia sendiri gagal paham kenapa ucapan Dirgantara selalu menyelip di antara relung hatinya.
Menghadap pada pemandangan malam, Rena memegangi dada kirinya yang berdetak tidak nyaman. Bisa tidak, sih, Rena punya kemampuan untuk tidak menganggap serius semua ucapan kakak ganteng yang satu itu.
Ini semua tidak masuk akal. Rena sudah milik orang lain. Jadi dia jelas tidak punya alasan untuk memikirkan hal seperti ini.
Tidak ada yang paham kenapa Rena menyimpan perkataan Kak Tara secara personal. Tapi barangkali begitu lah kekuatan seseorang sepertinya.
Kata-kata sederhana tanpa arti khusus sekalipun bakal jadi berarti kalau dia yang mengucapkan. Kata-kata itu sebenarnya tidak spesial. Yang menjadikannya spesial itu karena diucapkan olehnya. Karena itu adalah kata-kata milik dia.
Lantas kata-kata seperti itu lah yang menyusup ke dalam hati dan menetap lama. Membuat Rena merasakan hal yang tak ingin ia rasakan. Membuat perutnya merasakan kupu-kupu yang seharusnya tidak hidup di sana.
What makes it special, because it is his words.
Right?
And what should I do, if I fell in love with you this time on another Again?
Rena tersenyum remeh pada dirinya sendiri, dalam hati menertawakan diri. Pelet apa sih yang dipakai Dirgantara? Es kacang ijo dan risol bihun? Memalukan.
Keheningan yang mendadak menyeruak membuat Dirgantara melirik gadis di sebelahnya yang tidak sadar sedang diperhatikan. Dia nyaris meletakkan tangan ke atas mahkota kepala Rena, tapi dia menariknya kembali. Pemuda itu membiarkan kegelisahannya membaur bersama gemerisik radio, sampai akhirnya bibirnya berani berucap.
"Kamu mau midnight drive dulu, nggak? Muter-muter lihat malamnya Bandung."
Yang ditanya bungkam sebentar. Bimbang terasa jelas di dalam sana, juga ada ketakutan dan kekecewaan tersendiri. Kalau dia mengangguk, menyetujui ajakan Kak Tara untuk menghabiskan malam sederhana di bawah bulan dengan alunan musik lama mereka... Kalau dia diam-diam menikmati tiap sekon kita di dalam mobil itu... Dia salah besar, 'kan?
Jadi bersama tekad bulat, gadis itu menggeleng, mencoba menghindar apa yang ditawarkan takdir dan berlari ke dalam persembunyiannya. "Aku dicariin Raymond, Kak. Kapan-kapan aja, ya."
Sebab ini adalah keputusan terbaik ketika semesta mengirimkanmu kembali padaku di waktu yang salah.
Dan itu caraku menolong diri sebelum aku jatuh cinta padamu pada suatu 'lagi' yang lain. []
____________
NOTES:
Good news(?)
So far, draft Senandung Usang lancar banget! Jangan lupa vote & komentar untuk mempercepat update. >_<
#nowplaying: Maudy Ayunda - Tahu Diri
https://youtu.be/E5QAO93TVE0
#nowplaying; Fiersa Besari - Waktu Yang Salah
https://youtu.be/txH8oeScGRw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro