Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB IX: Titik Temu Rasa

_______________

SENANDUNG
USANG.       |

BAB IX:

Titik
Temu
Rasa

|                      

______________

°

Dulu sekali, Rena tidak ingat kapan, tapi Kak Taraㅡyang tadi sibuk melamunㅡtiba-tiba melontarkan pertanyaan di sela tutor; "Rena, udah kepikiran belum mau kuliah apa?"

"Ya nggak lah, Kak. Rena masih kelas 9. Kepikirannya mah jadi pacar Kak Tara doang."

"Astaga, Dek. Mendingan pikirin UN dulu, deh."

"Kak Tara bosan Rena bilang gitu terus?"

"Iya, jangan ngomong gitu lagi, ah. Malu tahu."

"Ya udah, Rena nggak ngomong tapi Rena wujudin aja, deh!" Rena kecil memangkas jarak, mencondongkan wajah penuh senyuman. Jarak wajah diantara mereka terus memendek. "Kak Tara mau nggak jadi pacar Rena?"

Dirgantara terdiam beberapa detik. Dia nyaris menggila tatkala gadis itu malah meletekkan jari telunjuk di bibirnya. "Eits, eits. Tidak ada penolakan."

"Embung," tolaknya datar. Tara lalu mengacak-acak rambut Rena, menghasilkan pipi merona di wajah Rena kecil yang merasa kalah. "Ditolak muluuuu! Sebel!"

"Aduh! Kok, kakak digebuk?" Tara mengusap lengannya yang habis ditinju Rena dengan kepalan kecil---yang bahkan itu sebenarnya tidak sakit sama sekali.

"Kakak kuliahnya jurusan peretak hati, ya?"

"Kamu tuh beneran suka sama kakak apa gimana, sih?"

"Ya, beneran lah! Emangnya kakak pikir anak SMP nggak bisa cinta sungguhan gitu? Meremehkan."

"Kamu tuh kenapa bisa suka sama aku gitu loh?"

"Ya, soalnya kakak itu... AH, NGGAK TAHU!" Rena kecil menggembungkan pipi. Matanya berkaca-kaca, berkilat serius saat ketulusannya tumpah dari mulut. "Rena juga nggak ngerti kenapa. Tapi tiap kakak datang, Rena tuh senang. Kalau Kak Tara pulang, rasanya udah kangen lagi aja."

Di seberang sana Tara merasa ingin bersembunyi di balik selimut atau karpet ruang tamu. Demi Tuhan, dia tidak menyangka remaja haus di depannya ini bakal menjawab begitu jujur.

Menggaruk tengkukㅡsetengah pasrah bercampur bingung, akhirnya dia menyerah. "Ya udah satu jam aja, ya."

"Hah?" Kala itu mata Rena kecil berkedip-kedip bingung.

"Rena bisa jadi pacar Kak Tara satu jam," jelas Tara.

Tanpa pikir panjang Rena kecil menghamburkan diri, mendekat ke Dirgantara, lalu anak itu bergelayut manja di lengan. "Kyaaaaaa! Aa' Pacar!"

Dirgantara menegangkan leher, sedikit jaga jarak. Bola matanya melirik kiri-kanan karena canggung, jemarinya naik perlahan, mengusap kepala Rena kecil dengan senyum hangat. "Ren, Ren... Kamu tuh nanti kalau udah gede pasti malu loh kalau ingat beginian."

"Nggak, nggak bakal." Rena mengeratkan pelukan, mendusalkan pipinya di bahu Tara yang lebar.

Tara nyaris tertawa geli melihat kegigihan gadis itu tapi dia diam saja. Sebagai ganti, hanya ada senyum tipis di situ.

"Ngomong-ngomong, Aa' Pacar?"

"Hm?"

"Pengin makan Bolu Bakar Tunggal yang kata Aa' Pacar enak banget itu loh."

"Nanti kalau pulang dibawain dari Bandung."

"Aa' Pacar?"

"Ya?"

"Apa boleh minta cium?"

"Nggak."

"Kalau peluk?"

"Tergantung. Berapa lama?"

Rena langsung menyahut rendah dalam kegembiraan. Oke, berarti boleh! Kemudian tanpa aba-aba, dia langsung menempeli Tara, memeluknya. Erat sekali. "1 jam."

Dirgantara tidak bergerak dan hanya terkekeh rendah mengingat menahan posisi seperti ini selama 60 menit pasti akan membuat tubuhnya pegal-pegal. Melirik dengan senyum, pemuda itu sembari menepuk lembut kepala gadis di sebelahnya. Namun di sela pelukan yang bahkan belum 10 detik, gadis cerewet itu bicara lagi. "Boleh minta diskon, nggak? Tambahin 1 jam."

"Peluknya?"

"Pacarannya."

"Lah, nawar pula kamu."

"Bonus gitu, buy 1 get 2 kayak di supermarket depan."

Wah. Demi apapun.

Dirgantara benar-benar kehilangan kata-kata. "... Ren, gede nanti jadi anak Marketing aja, ya."

Kalau ingat hari itu, Rena yang sekarang masih malu sekali. Selain merasa geli pada kelakuannya sendiri, dia tidak habis pikir bagaimana bisa gadis berusia 14 tahun mengeluarkan kalimat absurd selugas itu. Rena nyaris percaya kalau dirinya masuk jurusan bisnis, mungkin dia bakal jadi lulusan terbaik tanpa usaha bergadang tengah malamㅡditemani koyo di punggung karena pegal-pegal demi menempelkan maket. Ha.

Tetapi saat bertumbuh lagi, anak itu sadar kalau hidup itu penuh ketidak pastian. Dia punya impian lain walaupun terdengar lebih sulit dan menyusahkan, maksudnyaㅡhei, jadi champion nomor satu tanpa belajar itu cukup terdengar menggiurkan, lho. Namun Rena sadar, seandainya waktu diulang dan ia ditanya pertanyaan yang sama, dia akan menjawab; Jadi desainer interior, Kak.

Meski pada akhirnya ia mengambil jurusan arsitektur tapi tak mengubah kalau kini ia berhasil mendapat apa yang ia inginkan.

Kesukaan Rena pada desain interior bermula pada kebencian Rena terhadap rumahnya.

Terdengar ironis, ya?

Rumahnya terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Kamarnya terlalu luas untuk satu orang. Atap rumah ini terlalu tinggi, terkadang pantulan gema membuat Rena semakin merasa sepi. Sofa di ruang tamu terlalu besar, saat menonton tv bahkan Rena bisa jungkir balik di sana kalau dia mau. Meja makan, apalagi. Dia hanya tinggal berdua dengan Mama, tapi meja panjang klasik desain romawi di ruang makan punya 8 bangku. Saat Rena selesai makan, dia takkan mendengar suara apapun selain suara air keran yang dipakai untuk membilas piring dan sendok garpu, sendirian.

Rena ingin merancang interior rumah yang memproyeksikan kehangatan. Sebab rumah itu tempat berpulang dan bersandar yang paling hangat, kan? Jadi sekalipun ada anak-anak yang terabaikan sepertinya, mereka tidak terlalu merasakan kehampaan. Sebab bagaimanapun, menginjak beku lantai marmer dan mendengar gema sayup setiap pulang sekolah itu sebenarnya cukup menusuk ulu hati.

Rasanya... untuk apa hidup jika selalu ditinggal sendiri?

Mama memang masih di rumah bersama Rena. Tapi bagi Mama yang workaholic, tempat ini seperti tempat penginapan saja. Beliau bekerja, bekerja, dan bekerja. Sedangkan buat Rena kecil, ini penjara.

Terkadang dia penasaran. Buat Mama, Jakarta itu apa, sih? Rasanya kota ini begitu sibuk dan melelahkan. Semua orang berlomba-lomba, berkompetisi. Bukankah kalau begitu Jakarta tidak akan dinikmati isinya? Jadi Jakarta itu kota penumpang saja, ya? Kota singgah? Kota batu loncatan untuk mengadu nasib? Kota ini penduduknya sekarat demi mengais uang. Bukankah itu semua terdengar melelahkan?

Dulu sekali Mama pernah memperkerjakan Mbok untuk menjaga Rena saat SD. Selama 5 bulan, Mbok mencuri apa saja yang bisa dia temukan. Tapi Mama masih pura-pura tidak tahu saja karena ia pikir, setidaknya ada yang menjaga anak gadisnya. Sampai akhirnya asisten rumah tangga itu melakukan tindak kekerasan pada Rena, dari sana lah isolasi ekstrim ini dimulai.

Setelah apa yang telah Papa lakukan dahulu, sekali lagi Mama kehilangan isu kepercayaan. Mama anak tunggal, kakek memilih tinggal di Brastagi, rumah masa kecilnya di Pulau Sumatera Utara. Mama juga hanyalah manusia yang hidup dan bertahan sendiri.

Sejak itu Mama mulai memasang CCTV dan tidak mengizinkan Rena keluar. Mungkin Mama juga tidak punya pilihan lain untuk melindungi Neira-nya.

Rena tidak diizinkan keluar dengan alasan keselamatan dan kalimat pamungkas 'Mama sendirian, tolong jangan bikin khawatir, ya, Sayang.' Atau bahkan hanya untuk pergi bermain di luar, Mama pasti dengan lembutnya akan menusuk keinginan hati Rena, 'Di rumah saja, ya?'

Rena sendiri terlalu sayang Mama, hingga hanya bisa mengangguk dan masuk kembali lagi ke kamar. Rena tak punya keberanian untuk membangkang. Padahal di dalam sana, dia sakit. Dia capek dan cuman bisa menangis. Lagipula, memangnya anak kecil seperti Rena bisa apa?

Dan momen ketika Dirgantara Wijaya datang, rasanya seperti hidup baru.

Cahaya datang, sepi menghilang. Rumah tidak lagi terasa luas. Bangku meja makan yang mulanya untuk 8 orang, kini diisi berdua bersama Kak Tara. Meski masih ada 6 bangku kosong yang permukaannya dingin, rasanya eksistensi Dirgantara sudah bisa membuat hati Rena kecil menghangat. 8 bangku itu seolah terisi penuh. Ramai dan nyaman.

Kini sehabis menyelesaikan makan siang, yang singgah di telinganya adalah suara madu Kak Tara yang memanggil namanya, atau suara tawa Rena yang pura-pura mengancam karena mendapati sahutan refleksㅡpanikㅡsaat pemuda itu tak sengaja memecahkan piring ketika sedang berusaha mencucinya.

Dan setelah Dirgantara datang, rumah benar-benar jadi tempat bersandar yang nyata.

Rena bisa meminta makanan kotor versi Mama dari Kak Taraㅡmaklum saja, selama ini dia diwajibkan membawa bekal 4 sehat 5 sempurna hasil katering organik paling tersohor di kota. Dari sekian banyak makanan yang dibawakan diam-diam oleh Kak Tara untuk Rena kecil, yang paling mengejutkan itu adalah risol bihun. Ternyata ada makanan seharga ribuan perak yang bisa terasa begitu enak. Rena sempat berpikir keras kenapa Mama menghabiskan begitu banyak uang untuk bekal katering Rena yang rasanya nyaris hambarㅡbegitu pikirnya pada masa dimana Rena kecil mabuk risol bihun. Sampai sekarang, bahkan.

Tapi sebagaimana tergilanya Rena dengan risol bihun, ada satu makanan yang membuat pikirannya gatal. Itu makanan yang disebut tanpa henti oleh Tara tapi tak pernah sempat ia bawakan untuk Rena. Memang tanpa tahu-menahu, namun tetap saja kuriositasnya membuncah, apalagi Tara memberi tahu bahwa di Jakarta tidak punya kuliner serupa.

Pemuda cakap itu pernah bilang, "Kalau di Bandung Kakak belikan." Dan Rena rasa pada kali kesempatan sore ini, Kak Tara menepati janji.

"Dek!"

Jam pulang kantor dikejutkan dengan kehadiran Kak Tara. Rambut bergelombangnya rapi menutupi dahi. Sepertinya dia habis dari tempat kerja menilai dari tubuhnya yang terbalut kemeja batik lengan panjang yang digulung sampai ke siku dan celana jins hitam. Bungkusan di tangan kirinya disodorkan. "Bolu Bakar Bandung, pakai rum butter. Masih kepingin, nggak?"

"Ih! Mau!" Secara otomatis, senyum lebar muncul. Rena bahkan bertepuk tangan riuh refleks karena terlalu bersemangat. "Mau, mau, mau! Terharu banget masih diingat!"

"Iya, lah. Gimana nggak? Sampai ngerasa punya utang budi gara-gara dulu dipalak kamu 2 minggu berturut-turut."

"Sori, deh." Senyumnya ceria. "Namanya juga anak kecil, Kak. Makan bareng, yuk?"

"Aku cuman drop aja. Habis Mbim keluar dari toilet, kami mau jemput Tiara."

"Tiara pulang sekolahnya sesore ini?"

"Ah, karena jadwal kerja bentrok, Tiara suka aku titipin sama Ibu Kantin. Kalau naik jemputan, takut kenapa-napa."

"Harusnya pulang jam berapa?"

"Jam makan siang kantor. Cuman sekolah dia tuh sedikit jauh dari sini. Jadi kalau bolak balik agak kurang memungkinkan."

Mendengar jawaban itu membuat Rena jadi teringat padanya yang selalu ditinggal sendiri. Dia tersenyum kecut. "Kasihan tahu pasti kesepian..."

Rena pikir ia hanya akan mengatakannya dalam hati. Namun lagi-lagi dia kelepasan dan jadi merasa tidak enak karena raut wajah Kak Tara jadi melunak, lalu menggaruk tengkuk, terlihat merasa bersalah. "Iya... makanya nanti headquarter mau kupindah ke cabang yang di Dago aja. Supaya lebih dekat dengan daerah sekolah Tiara."

"Ah, gitu... bakal jadi jauh dari sini dong, ya?"

"Dikit doang. Bandung mah kecil." Kak Tara tersenyum manis.

Entah kenapa Rena merasa sedikit sedih, rasanya seperti bakal berpisah. Padahal perpisahan ini bahkan belum dimulai.

Dirgantara tak henti-hentinya menatapi pintu toilet, jikalau dipelototi lebih lagi, mungkin pintu itu bakal boling dan terbuka. Ha. Sayang sekali, Tara tidak tahu apa yang dilakukan adik laki-lakinya di dalam sana.

"Mbim, lama juga, ya?" Tara lalu menggedor pintu toilet. "Oi, Mbim!"

"SABAAAAR!" Bima membalas dengan satu gedoran kesal. Apa manusia tidak punya hati di depan tidak tahu kalau si empunya ini tengah berjuang melawan rasa melilit di sana gara-gara tadi siang sombong pamer talenta makan sambal bajak 7 bungkus? Tega sekali mereka semua! Bahkan Rena yang notabene anak bawahannya mencemoohinya di luar sana. "Sukurin, Mbim. 7 bungkusㅡsambel apa boyband."

Tara menggedor satu kali lagi. "Kamu berapa lama lagi?"

"SABAR, BANG! TEU NYAHO AING! SAKIT PISAN, ANYING! PERIH!" Bima berteriak dari dalam.

Dua orang yang di luar bertukar pandang, tersenyum-senyum kikuk. Akhirnya sang gadis mendorong bahu Kak Tara, membujuk satu kali lagi. "Tuh kan. Makan aja dulu, Kak. Masih lama dia mah."

"Rena?"

Rena memalingkan wajah sedikit kikuk saat mendapati sosok Raymond yang terheran-heran di sana. Pegangan yang ia tidak sadar sejak kapan ada di bahu Tara langsung spontan terlepas.

Kepada pemuda yang punya tinggi badan berbeda tipis dengannya, Raymond melirik sekilas. "Rena? Itu siapa?"

"Oh, kenalkan iniㅡ"

"Saya Dirgantara Wijaya." Kak Tara langsung merangsek maju, menyalami Raymond. 

Rena nyaris mengumpat dalam benak. Rena yang tidak tahu harus berdiri di sisi mana hanya berdiri beberapa jarak diantara keduanya yang tengah bersalaman. Rena tahu dia nggak cocok dengan hal seperti ini. Maksudnya, mengenalkan orang lain. Baginya itu canggung. Ugh. Biar saja dua lelaki itu urus sendiri.

"Raymond." Jabat tangan Dirgantara diterima. Dua mata Raymond menyipit. Ada sesuatu yang entah apa, yang pasti Rena melihat kekasihnya itu masih memicingkan mata ke arahnya saat menambahkan informasi lain, seolah-olah itu merupakan informasi penting yang harus Dirgantara dengar, ingat, dan cerna secara sempurna di dalam benak. "Saya pacar Rena sejak kuliah."

"Oh, begitu?" Kak Tara mendadak menambahkan seulas senyum tipis penuh arti. "Saya sudah kenal Rena dari dulu."

Raymond tertawa. Bukan tawa hangatㅡhanya tawa formal berbunyi ha dan ha. "Yang dulu ngajar Rena? Guru bimbel Rena waktu SMP?"

Dirgantara melirik Rena sekilas, lalu berkata kelewat santai. "Sepertinya dulu Rena menganggapnya lebih dari itu."

"Hah?"

Dirgantara mengulas senyuman ramah. Mata kepala itu kini menatap, menekankan suku kata dengan percaya diri kepada Rena yang menelan kalimat bulat-bulatㅡkehabisan reaksi. "Iya, kan?"

Raymond yakin dahinya mengerut tidak nyaman saat Tara menambahkan senyum ramah. "Maksud saya dianggap sebagai kakak."

"Yah, tentu. Memangnya apa lagi?" Tawa sumbang Raymond mengisi ruang.

Kerongkongan Rena terasa kering, mendadak ia merasa kakinya seperti dipaku. Sementara ia melihat keduanya berinteraksi, dia terpaksa mengulum seulas canggung. 

Kenapa atmosfernya agak-agak begini, ya? []

NOTES.

#nowplaying : Yovie & Nuno - Dia Milikku

Eaaaa mati ga u anjay banget neh lagu :"D


Waktu aku SD/SMP(?) aku ngefans banget sama Yovie & Nuno. Sealbum sampai hafal semua. HAHA

Gimana chapter kali ini? Perasaan kalian gimana?

Btw kepada pemuja Mbim, mohon bersabar. Dia punya peran kok, bukan hanya pelawak asal lewat saja. 👻

(((Sebuah meme.)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro