Tiga Puluh Tiga : Tidak Ada Sesal Yang Terlambat
TAK perlu ada hierarki
Keping hatimu dan hatiku telah terikat oleh intuisi
***
"Selamat malam, Para Pendengar Setia. Nggak kerasa udah dua jam aja, nih, kita berdua nemenin kalian. Barusan kita udah dengerin lagu dari Rossa featuring Pasha Ungu yang Telanjur Cinta. Cocok banget buat mengisi tema kita hari ini. Tema dengan judul serupa." Cuap-cuap Alicia terdengar dari Senandung Rindu yang mengudara di jam-jam akhir. Di sampingnya, Nastiti bersiap menyambung kalimat rekannya itu.
"Terima kasih dan terus dengarkan Senandung Rindu, ya," timpal Nastiti yang keduanya tersenyum pada Alicia, "dan, sebelum kita pamit, mari kita dengerin satu lagu lagi yang enak di telinga."
Kalila lalu memutar lagu Davichi yang berjudul Please Don't Go. Duo penyanyi favorit Kalila tersebut memang memiliki lagu-lagu yang nada-nadanya menyayat hati. Tipe lagu yang sesuai dengan sifat Kalila yang melankolis.
Lagu yang dipilih Kalila tadi menjadi lagu penutup acara Senandung Rindu. Begitu close ending berakhir, ia dan Alicia pun melepas headphone, lalu keluar dari ruang siaran dengan lega.
"Ti, ada yang nungguin kamu, tuh, dari tadi," lapor Satya begitu penyiarnya tersebut mendekat. "Temui di lobi sana. Udah bisulan kali tuh pantatnya nungguin kamu muncul."
Kalila hanya menanggapi dengan seutas senyum tipis seraya mencangklong tas selempang bermotif batik miliknya, tetapi kemudian tetap berjalan menuju lobi, tempat sang tamu menunggunya. Ia juga tidak bertanya siapa kira-kira tamunya.
"Kalila," seruan bernada riang itu menyapa Kalila begitu ia muncul di pintu yang menghubungkan lobi dengan lorong menuju ruang siaran.
Sosok itu adalah Brian, yang kini membawa seikat bunga mawar merah muda dan tersenyum menyambut kedatangan Kalila.
"Apa-apaan ini?" tanya Kalila tak suka. Ia paling benci menjadi pusat perhatian, sedangkan tingkah Brian yang datang dengan membawa atribut bunga itu sukses membuatnya menjadi bahan perbincangan dari beberapa pegawai Canetis lain yang melihatnya.
Brian tersenyum semakin lebar alih-alih menjawab pertanyaan Kalila. Lesung pipinya semakin kentara dan membuat Kalila harus memalingkan wajah agar tak terpesona untuk kesekian kali. Namun, bukan itu yang menjadi masalah, melainkan bagaimana bisa Brian datang ke Canetis seperti itu? Bukankah seharusnya mereka tak perlu bertemu lagi terlepas dari masalah tentang Burhan dan Dennis.
"Aku mau ngajak kamu pergi menemui Sienna. Besok pagi dia akan berangkat ke Italia, mencari mamanya," jawab Brian akhirnya.
"Italia?"
"Ya. Ayo kita pulang sebelum kemalaman," ajak Brian segera. "Nanti aku ceritain lengkapnya di mobil, deh."
Dengan terpaksa, Kalila menurut. Ia berpamitan singkat pada teman kerjanya yang lain sebelum mengikuti langkah Brian menuju mobil. Dan, keduanya menikmati perjalanan lebih banyak dalam diam. Meski, sesekali Kalila melirik buket bunga yang masih bercokol di tangan Brian. Sedikit bertanya-tanya mengapa benda itu tak juga berpindah tempat padanya.
Pengakuan Farah beberapa waktu yang lalu telah mengubah banyak hal. Tak hanya perasaan Brian dan Kalila yang sejatinya saling terhubung, tetapi juga tentang Sofia. Informasi terbaru yang Sienna dapatkan tentang mamanya itu membuatnya bertekad untuk berangkat ke kota kelahiran Sofia. Dan, besok mimpi itu bisa jadi segera terwujud.
"Kal," panggil Brian akhirnya. Memecah keheningan yang sedari tadi menguasai. "Maaf karena Om Dennis tetap nggak mau minta maaf sama Bapak."
Alasan utama membaiknya hubungan Brian dan Kalila adalah Dennis. Lelaki itu memang tidak menyampaikan permintaan maaf pada Burhan. Meski sejatinya itu tak banyak berarti sebab Burhan telah memaafkannya sejak lama. Papa Sienna tersebut lebih memilih memberikan semua hak Brian yang selama ini ia ambil dan kuasai. Juga membiarkan Sienna mencari ibunya. Bagi lelaki itu, dua hal tersebut jauh lebih mudah dilakukan.
"Aku yakin Bapak nggak akan mempermasalahkan hal itu," balas Kalila. "Karena, entah kenapa Bapak begitu menyukai para lelaki dari keluarga Atma Wijaya. Jadi, beliau juga nggak akan marah padamu."
"Mungkin karena kami itu menantu potensial, Kal," canda Brian. Lalu melirik pada Kalila untuk mengetahui reaksi gadis itu.
Hanya ada seulas senyuman tipis di bibir Kalila. Brian tak bisa memastikan apa makna senyuman tersebut. Tetapi, ia tetap bahagia karena akhirnya tak lagi terjadi kesalahpahaman di antara dirinya dan Kalila.
"Fokus saja menyetir. Jangan terus melihatku begitu," tegur Kalila tanpa menatap lawan bicaranya. Membuat Brian terkekeh. Merasa tingkah Kalila sungguh menggemaskan.
"Oke, Bos!"
Meski tak ada segaris senyum yang terlukis di bibir Kalila, nyatanya hati gadis itu ikut teraliri bahagia. Karena kini tidak ada lagi rahasia yang tak terungkap. Semua telah jelas.
Kecuali satu hal. Perasaannya pada Brian. Masihkah memiliki harapan yang sama?
***
Rumah Sienna jauh lebih besar dari yang ada di bayangan Kalila. Baginya, rumah besar dengan pilar bergaya Mediterania itu terlalu luas untuk hanya ditinggali oleh Sienna dan Dennis. Namun, dia hanya iseng berpendapat. Baginya, semua hal di depannya kini terlalu istimewa.
Brian mendampingi Kalila agar gadis itu tak merasa canggung. Toh, Sienna sendiri yang ingin bertemu Kalila. Ia hanya perlu memastikan lagi tak akan terjadi apa-apa di antara kedua gadis itu.
Sienna menyambut kedatangan Brian dan Kalila dengan seutas senyum tipis. Tidak ada lagi aura dendam dan permusuhan yang terpancar dari matanya kala berhadapan dengan Kalila. Sienna benar-benar ingin berubah.
"Makasih kalian mau datang. Terutama kamu, Kal." Sienna meraih lengan Kalila, lalu mengajaknya duduk di salah satu kursi besar berukir naga. "Aku nggak bakal tenang kalau kamu tadi nggak mau datang, Kal."
Kalila tersenyum. Mencoba mengimbangi keramahan sikap Sienna.
"Aku sudah datang. Jangan khawatir."
Sienna pun balas tersenyum. Ia melirik Brian yang tampak semringah. Seolah hanya berada di sekitar Kalila saja bisa membuat lelaki itu selalu bahagia. Diam-diam, Sienna menarik napas panjang. Sudah waktunya ia mencoba melepaskan Brian. Ia harus mencari kebahagiaannya sendiri. Salah satunya adalah mencari Sofia, mamanya.
"Omong-omong, kamu bakal lama ada di Italia? Bagaimana sama Om Dennis?" Di tengah kesibukannya mengamati Kalila, Brian tetap tak dapat menahan diri untuk terus bertanya.
"Paling lama satu bulan, mungkin." Sienna tiba-tiba berdiri dan beranjak sebelum Brian dan Kalila sempat memberi reaksi. Gadis itu ternyata menuju dapur yang letaknya tak jauh dari ruang tengah. Lalu, ia kembali dengan tiga gelas teh hangat. Memberi jamuan ala kadarnya karena belum bisa memasak.
"Lama juga, ya?" tanya Brian spontan.
"Ya. Kalau misal nggak berhasil, aku akan pulang, kok." Sienna memberi penjelasan. "Lagipula, Papa juga harus segera beradaptasi untuk cabang yang ada di Malang."
Brian dan Kalila mengembuskan napas panjang hampir bersamaan. Dennis memang mengembalikan semua hak Brian, tetapi lelaki itu masih memiliki bagiannya. Meski hanya sebuah perusahaan kecil, ia bersikeras untuk tetap membangunnya.
"Baguslah. Om Dennis itu sebenarnya berbakat sebagai pengusaha. Dan, kamu juga, Na. Jangan sampai kesempatan kalian terbuang sia-sia," nasehat Kalila.
Percakapan tersebut tak akan berhenti jika Kalila tidak mendadak berdiri dan berpamitan pulang. Ia bisa pulang larut jika tak segera berinisiatif untuk undur diri.
"Sienna, aku rasa aku harus pergi sekarang. Ini sudah larut." Kalila melihat jam dan menunjukkan raut cemas.
"Aku anterin." Brian dengan senang hati menawarkan diri. Membuat Sienna tersenyum tipis. Berusaha ikut bahagia dengan kegembiraan sepupunya itu.
Panji jelas bukan lagi opsi bagi Kalila untuk antar jemput ke tempat kerja. Sahabatnya itu sudah memiliki penumpang tetap bernama Alicia. Akhirnya ia pun tak bisa menolak tawaran Brian.
Sienna lalu mengantar keduanya ke depan. Sementara Brian telah melangkah lebih dulu menuju mobilnya, Sienna menahan lengan Kalila kemudian berbisik.
"Kal, maaf buat semua tindakanku selama ini. Aku harap setelah ini kamu bisa berbahagia dengan Brian dan juga Om Burhan."
Kalila tertegun. Ia menoleh pada Sienna yang kini tengah tersenyum tulus padanya. Gadis itu cukup banyak berubah ternyata.
"Aku harap kamu bisa ketemu Mama kamu, Sienna. Dan, kalian juga bisa berbahagia bersama-sama," balas Kalila.
Tanpa diduga, Sienna langsung memeluk Kalila. Gadis itu membisikkan ucapan terima kasih berkali-kali sebelum akhirnya melepaskan dekapan.
Dari jauh, Brian tersenyum melihatnya. Merasa lega sekaligus bahagia. Tak lama kemudian, Kalila menghampirinya. Mereka berdua lalu masuk ke mobil. Namun, sebelum mulai menyalakan mesin, Brian mengambil buket bunga tadi dan menyerahkannya pada Kalila.
"Buat kamu, Kal."
"Eh," Kalila tak mampu berkata-kata. "Dalam rangka apa?"
"Karena kamu semakin cantik hari ini." Brian tahu Kalila bukan tipikal gadis yang akan terpukau dengan rayuan picisan macam itu. Tapi, meski itu ucapan spontan karena sejatinya tak ada alasan khusus untuk memberi gadis itu bunga, Brian berkata jujur.
Kalila sungguh ingin menegur diri sendiri karena reaksi yang ia berikan atas ucapan Brian. Gadis itu tersipu alih-alih mengingatkan teman seperjalanannya itu untuk tak bicara omong kosong. Bagaimanapun juga, mendapati pujian dari orang yang dikasihi memang memberi efek tak terduga. Ia pun tersenyum, tak menampik atau menolak pujian yang baru didengarnya. "Makasih, Bri."
Brian mengangguk dan balas tersenyum, lalu mulai melajukan mobilnya membelah jalanan dengan hati berbunga-bunga.
***
Hmm, tinggal satu bab lagi, ya, menuju ending. Masih setia untuk lanjut baca, kan, kalian?
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro