
Tiga Puluh Dua : Menggenapi Hati
KETIKA aku menyebut namamu sebagai sosok yang kucintai,
Sejatinya hati tak lagi menjadi milik seorang diri
Hati ini milik kita
***
Brian duduk di kursi ruang tamu rumah Kalila dengan perasaan campur aduk. Ia tak henti memainkan jemari selagi menunggu sang tuan rumah muncul. Ada banyak hal yang terlintas di kepalanya, tetapi perasaan bingung yang bersarang di sana juga sama banyaknya.
Di samping Brian, Farah tampak tenang meski sejatinya merasakan hal yang sama dengan sang putra. Perempuan itu hanya sudah terbiasa meredam dan menyembunyikan perasaan selama bertahun-tahun. Mendapati Brian terlihat gugup dan bingung, ia pun meraih tangan putranya itu, mengenggamnya erat dengan niat memberi semangat dan rasa tenang.
Ini adalah pertama kalinya Brian bersama Farah datang ke rumah Kalila setelah pengungkapan tentang kasus Danu. Perasaan bersalah, malu dan jahat tak pelak masih melingkupi keluarga Brian. Mereka sejatinya tak berharap banyak Kalila dan Burhan akan memaafkan dengan mudah. Bahkan, kalaupun ayah dan anak itu tak memaafkan keluarganya, Brian sama sekali tidak menyalahkan mereka.
Kemunculan Kalila seraya mendorong kursi roda Burhan membuat Brian dan Farah mendongak. Meski ekspresi Kalila datar, tetapi Burhan sama sekali tak berubah dari sosoknya yang biasa. Lelaki sepuh itu tetap menebar senyum seperti biasa. Senyum yang membuat perasaan bersalah semakin menggerogoti hati Brian dan ibunya. Terutama Farah, yang sengaja menutup mata akan kebenaran selama puluhan tahun.
Kalila lalu membawa Burhan mendekat ke meja tamu, sementara ia memilih menempati kursi di samping sang ayah. Keduanya sama-sama menunggu hal yang ingin disampaikan tamu mereka.
"Saya minta maaf, Burhan. Sungguh-sungguh minta maaf." Farah yang pertama bersuara. Meski sejak datang tampak tenang, nyatanya suara perempuan itu bergetar saat berbicara pada ayah Kalila. "Karena saya keluarga kami jadi menderita."
Burhan bergeming. Lelaki itu justru memandang Brian yang kembali tertunduk diam, bukannya Farah yang menjadi lawan bicaranya.
"Saya juga minta maaf, Bu Farah." Jawaban Burhan sungguh di luar dugaan. Lelaki itu sama sekali tidak perlu meminta maaf sekali pun belum bisa memaafkan keluarga Atma Wijaya. Kesalahan Farah padanya lebih banyak dan sulit terampuni. "Butuh waktu lama sekali untuk bisa menerima semua yang sudah terjadi pada keluarga saya. Tapi, saya dan Kalila sudah sepakat untuk memulai lembaran baru. Kami ingin memaafkan dan melupakan semua itu."
Meski seharusnya bisa menahan diri, tanpa sadar Farah tersenyum mendengar pernyataan Burhan. Senyum yang diiringi setitik tangis di pelupuk matanya.
"Terima kasih, Burhan. Terima kasih." Farah mengulang-ulang kalimat itu seolah tidak ada lagi yang bisa ia ucapkan atas kebaikan Burhan.
Burhan dan Kalila sesungguhnya tidak memiliki hati selapang itu. Namun, mereka sadar menyimpan dendam lebih lama tidak akan mendatangkan kebaikan apa pun. Karenanya, meski sulit, mereka mencoba untuk merelakan semua yang sudah terjadi. Memaafkan keluarga Atma Wijaya adalah salah satunya. Terlebih, Burhan tahu jika Farah dan Brian tidak sepenuhnya bersalah. Terutama Brian. Lelaki itu hanya korban, sama seperti Kalila dan dirinya.
"Jadi saya harap Bu Farah dan Nak Brian juga bisa memulai lembaran baru dalam hidup kalian. Sudah cukup perasaan bersalah kalian pada kami."
Sungguh, Brian tak habis pikir bagaimana bisa Burhan memiliki hati selapang itu. Ia sendiri bahkan belum bisa memaafkan Dennis sampai detik ini. Namun, ia tidak yakin Kalila bisa memaafkannya semudah itu juga.
"Nduk, ada yang mau kamu katakan juga?" Burhan berpaling pada Kalila yang sedari tadi diam. "Tentang hubungan kamu dan Nak Brian?"
Brian dan Kalila menoleh pada Burhan secara bersamaan. Namun, yang terdengar kemudian hanya suara Kalila.
"Nggak ada lagi yang perlu dibahas soal itu, Pak."
Hati Brian mencelus mendengar jawaban Kalila. Gadis itu pasti sekarang tak mau lagi terhubung dengannya. Wajar jika mengingat Brian sudah berlaku tidak adil padanya. Brian memang menyimpan cinta pada Kalila selama belasan tahun, tapi ia juga sudah membencinya, menyakiti hatinya dengan memutuskan menikahi Sienna dan tiba-tiba datang lagi, berharap untuk dimaafkan begitu saja. Tak tahu diri adalah sebutan yang pantas Brian dapatkan untuk semua itu.
Farah bisa melihat kekecewaan di wajah Brian, tetapi ia memaklumi. Pasti tidak mudah untuk Kalila. Hal paling tepat yang bisa dilakukan sekarang setelah mendapat maaf dari keluarga Burhan adalah memberi Kalila waktu.
Mengambil inisiatif, Farah pun bangkit, beranjak dari duduk dan berpamitan. Brian mungkin tak akan suka dengan tindakannya, tetapi tetap di sana dan membuat Kalila semakin merasa tidak nyaman bukanlah pilihan yang bijak untuk saat ini.
Burhan dan Kalila lalu mengantar Farah dan Brian keluar. Sebelum benar-benar pergi, Farah tiba-tiba memeluk Kalila erat. Sembari menahan tangis yang mendadak ingin muncul kembali, ia mengucapkan sesuatu yang sedari dulu ingin sekali ia katakan pada gadis itu.
"Kalila, maafkan saya. Dan, tolong beri Brian kesempatan. Kalian sama-sama tidak bersalah dalam hal ini. Kalian berhak bahagia."
Farah mengucapkannya dengan suara berbisik sehingga hanya Kalila yang bisa mendengar. Namun, respon gadis itu masih hanya berupa sikap diam. Sadar diri, Farah tak mau berharap banyak. Ia setidaknya telah mencoba untuk meyakinkan Kalila demi Brian.
Kalila masih diam hingga Brian dan ibunya pergi dari rumah mereka. Barulah ketika ia hendak mendorong kursi roda ayahnya masuk, Burhan kembali menegur.
"Apa kamu udah nggak cinta lagi sama Nak Brian, Nduk?"
Gerakan Kalila terhenti. "Masih, tapi itu udah nggak penting lagi, Pak."
"Kenapa?"
Kalila mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Burhan, sekaligus memberi tahu sang ayah jika ada gadis lain yang juga sudah terluka berkali-kali karena perasaan cintanya pada Brian.
"Brian udah ninggalin Sienna di hari pertunangan mereka karena aku, Pak. Aku nggak mau itu terjadi lagi, apalagi di hari pernikahan mereka."
Burhan tak butuh penjelasan selanjutnya untuk jawaban sang putri. Kalila sudah dewasa dan ia yakin setiap keputusan yang diambilnya telah dipertimbangkan dengan matang. Burhan hanya bisa berdoa agar jalan apa pun yang ditempuh Kalila akan membawa gadis itu menuju kebahagiaan.
***
Kami tidak jadi menikah. Dan, kali ini adalah keputusan kami berdua. Aku harap itu jadi pertimbangan kamu untuk hubungan kalian ke depannya.
Kalila memandangi pesan dari Sienna yang diterimanya kemarin. Mereka tidak bertemu dan Kalila juga tidak berniat untuk membicarakan apa pun dengan gadis itu. Fakta bahwa Dennis-lah sumber dari semua masalah dalam keluarga mereka sudah cukup untuk Kalila terima. Dia benci, marah dan muak, tetapi terimgat pada janji yang dibuatnya bersama Burhan. Sesulit apa pun, mereka akan mencoba untuk memaafkan dan melupakan semua kepahitan masa lalu tersebut. Kalila tidak ingin menjadi jahat dengan memberikan perasaan yang sama pada Sienna. Salah satunya dengan mengikhlaskan pernikahan Brian dan Sienna.
Sejatinya, pesan dari Sienna itu termasuk hal penting. Namun, Kalila tidak tahu pasti harus merasa senang atau sedih. Sebab, ia tahu perasaan Sienna. Cinta yang sudah gadis itu perjuangkan begitu lama harus berakhir dengan cara tak terduga. Kalila justru salut pada gadis itu yang rela melepas Brian saat harapannya tinggal selangkah lagi untuk terwujud.
"Kal, udah ditungguin dari tadi, tuh," tegur Satya yang menyambut Kalila di depan pintu keluar ruang siaran. Senyum lebar yang menghiasi bibir produsernya itu mendadak menjadi hal yang tidak Kalila sukai, sebab membuatnya merasa Satya sedang menyembunyikan sesuatu.
"Siapa? Aku nggak ada janji sama siapa-siapa, kok," tanya Kalila balik.
"Temui aja dulu. Nanti juga tahu," jawab Satya santai, lalu meninggalkan Kalila menuju ruangan lain.
Tak ingin menebak-nebak, Kalila pun menuruti ucapan Satya. Langkahnya bergegas menuju lobi, tetapi dengan cepat terhenti saat mengetahui sosok yang berada di sana. Niat hati untuk berbalik dan menghindar urung sebab Alicia yang ada di belakangnya justru menghalangi.
"Mau ke mana? Buruan temui, gih. Biar cepat kelar urusan kalian. Apa pun itu. Biar dia juga nggak nelponin aku mulu. Waktu telponanku sama Bang Panji jadi berkurang tahu," cerocos Alicia seraya mengipasi wajah dengan kipas BTS kesayangannya.
Kalila mengalah. Ia pun kembali melangkah ke arah lobi dan menghampiri Brian yang terduduk diam memandangi lantai. Lelaki itu mendongak saat menyadari kehadirannya dan seketika tersenyum pada Kalila. Raut wajahnya tampak letih. Penampilan lelaki itu mengingatkan Kalila saat Brian pertama kali mendatanginya ke Canetis. Tatapannya penuh sorot kerinduan dan senyumnya meneduhkan hati Kalila yang sejatinya merasakan hal serupa.
"Hai, Kal. Udah selesai siarannya, ya?" sapa Brian basa basi.
"Udah," jawab Kalila singkat. "Kamu ada perlu apa ke sini?"
Kalila tahu Brian jelas-jelas ingin menemuinya, tetapi tetap menanyakan hal itu. Ia tak ingin kelewat percaya diri.
"Aku perlu ketemu sama kamu." Brian menjawab seraya menatap Kalila dengan sorot rindu yang hampir tak pernah berubah. Masih sama dengan pertemuan pertama mereka setelah belasan tahun terpisah. Pandangan yang selalu ingin Kalila hindari agar hatinya tak lagi goyah. "Bisa kita bicara di tempat lain?"
Kalila mengangguk. Ia juga tidak mau perbincangannya dengan Brian menjadi konsumsi para pegawai Canetis. Saat ini bukan saatnya untuk membiarkan lebih banyak orang tahu mengenai masalah pribadi keluarga mereka.
"Kita ke depan aja," ajak Kalila. Brian menurut lalu mengikuti langkah Kalila. Mereka berdua keluar dari gedung Canetis kemudian berjalan bersama menuju taman kecil yang terletak tak jauh dari depan gedung. Meski begitu tempat itu tidak sepi. Cukup banyak orang lalu lalang di depan taman tersebut, sehingga mereka tak perlu mengkhawatirkan hal lain selain perbincangan mereka sendiri.
Keduanya kemudian menempati sebuah bangku panjang yang kebetulan kosong. Sorot lampu taman di samping bangku membantu penerangan, meski cahaya bulan malam itu cukup benderang. Namun, hening memenuhi udara selama beberapa saat sebab tidak ada yang memulai bicara. Brian dan Kalila mematung, bergulat dengan pikiran masing-masing.
"Maafin aku, Kal." Akan tetapi, pada akhirnya Brian mendahului bersuara. Sadar jika mereka tak bisa saling diam sepanjang waktu. "Untuk semuanya."
"Bukankah aku dan Bapak sudah mengatakan dengan jelas soal itu? Kamu nggak perlu terus minta maaf."
Brian tersenyum lega. Dia mengerti jika keluarganya sudah dimaafkan, tetapi secara pribadi Brian ingin mendengarnya langsung dari Kalila, sebab sejauh ini gadis itu tak mengatakan apa pun selain tak mau membahas lagi mengenai hubungan mereka.
"Terima kasih, sekali lagi."
"Apa hanya itu yang mau kamu bicarain?"
"Nggak. Sebenarnya aku pengin ngomongin soal kita." Brian mengatakan dengan nada hati-hati, mengingat respon Kalila terakhir kali tidak sebaik yang ia harapkan.
Kalila tiba-tiba menghela napas, "Setelah semua yang terjadi, kamu masih ingin membicarakan hal itu? Kamu serius?"
"Tentu saja," sahut Brian cepat. Sejak awal Kalila-lah tujuan hidupnya, terlepas ada rahasia di antara keluarga mereka atau tidak. "Seenggaknya beri aku satu alasan untuk sadar diri dan nggak mengharapkan kamu lagi."
Kalila terdiam. Tidak ada jawaban yang menurutnya mampu memuaskan Brian. Dendam yang menjadi alasan utama kebencian di antara mereka sudah berakhir. Kesalahpahaman yang ada pun telah diluruskan. Rencana pernikahan Brian dan Sienna bahkan sudah dibatalkan meski mereka sudah menyebar undangan. Lagipula, mana bisa Kalila meyakinkan lelaki itu jika ia sendiri tidak percaya bisa melupakan Brian sepenuhnya.
"Kenapa nggak kamu cari sendiri aja alasan itu?" Kalila akhirnya mengambil jalan aman dengan melempar kembali pertanyaan yang sama.
"Udah, Kal." Jawaban Brian membuat Kalila tertegun sejenak. Sedikit terluka sebab ternyata Brian telah mencoba untuk melupakannya. "Dan, pada akhirnya aku masih di sini untuk memintanya darimu."
"Karena kita nggak sederajat?" Ucapan Kalila lebih terdengar seperti pertanyaan dibandingkan jawaban. Ia sendiri bahkan tidak yakin, sebab hal itu sudah terbilang basi dalam perjalanan hubungan mereka.
Brian tertawa kecil. Jika saja alasan yang baru saja diberikan Kalila bisa meyakinkannya, Brian sudah dari dulu berhenti mencintai gadis itu. Namun, berkat jawaban itu ia jadi tahu jika menginginkan Kalila tidak lagi memiliki penghalang. Gadis itu pasti akan menyebutkan alasan yang lebih kuat jika memang mereka tak punya lagi kesempatan untuk bersama.
"Atau karena seharusnya kamu menikahi seorang gadis lain sekarang." Kalila masih mencoba memberikan jawaban yang memuaskan. Namun, respon Brian tetap sama, hanya tertawa kecil.
"Aku yakin Sienna udah kasih tahu kamu, tapi sepertinya tidak ada salahnya memberitahu kamu lagi. Pernikahan kami batal dan itu keputusan bersama."
"Apa pun itu, aku tidak berhak tahu. Itu masalah pribadi kalian," balas Kalila yang bersikukuh mempermasalahkan hal tersebut. Sikapnya berbanding terbalik dengan Brian yang justru terlihat tenang.
Sembari memandang langit malam, Brian yang tadinya duduk tegak kini menyandarkan punggungnya, merasa lebih santai dalam pembicaraan tersebut. Sementara Kalila masih tampak tegang dan hanya menatap lurus ke depan. Sedari tadi gadis itu tidak mau berpaling dan menatap lawan bicaranya.
"Kal, apa kamu tahu rasanya menyimpan perasaan cinta hanya pada satu orang selama belasan tahun? Dan, kamu tetap setia meski nggak tahu bagaimana perasaannya sama kamu?" Jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya Brian kembali berucap, sebab Kalila tidak tampak ingin menjawabnya. "Aku yakin kamu tahu. Terakhir yang kuingat kamu bilang memiliki perasaan yang sama denganku, kan?"
Kalila tidak bisa mengelak karena memang begitulah kenyataannya. Ia pun memilih tetap diam dan masih bertahan dengan menatap pemandangan di depan mereka, sama sekali tak berpaling pada Brian.
"Aku rasa itu udah nggak penting lagi, Bri."
"Kalau gitu gimana caranya supaya itu jadi penting lagi? Apa yang harus aku lakuin, Kal?" Brian menatap gadis pujaannya putus asa. Setelah semua yang mereka lalui, rasanya begitu tidak adil jika Brian harus berpisah dengan Kalila. Bukankah mereka saling mencintai?
Karena tidak kunjung ada balasan dari Kalila, Brian perlahan mulai mengerti. Gadis itu tak mau memberinya kesempatan. Ingin sekali ia menanyakan alasannya, tetapi Brian sadar jika sudah berarti sudah. Tidak boleh lagi ada pertanyaan, terutama kenapa, agar melupakan semuanya bisa terasa lebih mudah.
"Nggak ada, ya." Brian berujar dengan lemah. "Baiklah, sepertinya pembicaraan kita memang cukup sampai di sini."
Menyerah bukan kata yang tepat untuk sikap Brian, sebab ia sudah melawan kata itu selama belasan tahun. Namun, kali ini ia hanya mencoba menghargai keputusan Kalila, apa pun itu. Buat apa ia bersikeras jika Kalila tidak mau memberikan kesempatan? Lagipula bukankah cinta tidak harus memiliki? Karenanya jika harus kembali memendam rasa pada gadis itu Brian sama sekali tidak keberatan. Sungguh.
Dengan gontai, Brian bangkit dan beranjak pergi. Kalila masih di sana dengan sikap yang sama. Diam. Bahkan saat Brian sudah mulai melangkah meninggalkannya. Namun, tiba-tiba perasaan takut menyerbu hati gadis itu. Dilihatnya punggung Brian yang mulai menjauh, matanya mengerjap menahan air mata, lalu sebuah kesimpulan muncul di kepalanya. Kalila tidak ingin kehilangan lelaki yang ia cintai untuk kedua kali.
"Bri, masih ada yang bisa kamu lakukan," seruan mendadak Kalila berhasil membuat langkah Brian terhenti. Lelaki itu segera berbalik dan mendapati sang gadis pujaan tengah memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Ayo kita bahagia bersama."
Itu adalah jawaban yang sangat Brian harapkan. Senyum lebar muncul di bibirnya tanpa bisa dicegah. Ia kembali berjalan, kali ini menghampiri Kalila yang berusaha tersenyum dengan tangis menggenang di pelupuk mata. Saat jarak keduanya hanya tinggal selangkah, Brian berhenti. Tanpa sadar, tubuhnya menunjukkan reaksi yang sama. Air mata turut muncul di matanya, sehingga kini dua insan tersebut berdiri berhadapan diselingi tangis bahagia. Tak ada pelukan atau ciuman, tapi mereka sama-sama tahu ke mana cinta keduanya akan berlabuh.
***
Well, saya nggak tahu apakah part ini terasa datar atau justru lebay untuk momen bersatunya lagi Brian dan Kalila. Tapi saya pribadi suka dengan sikap Brian yang meski cinta setengah mati tapi nggak lantas egois dan memaksa Kalila.
Aduh, jadi sering mikir di mana bisa nemuin pria kaya Brian di dunia nyata ini?
Salam Baca
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro