Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga : Gadis Penjual Kue

JANGAN setia menyimpan benci

Jika tak ingin ia mengkhianati

Dan menyusupkan sebongkah cinta di hati

***

Brian memperlambat langkah ketika melewati koridor saat menyadari siapa yang tengah berbincang tak jauh di depannya. Panji dan Winda, dua teman dekat Kalila. Bukan maksud hati untuk menguping, tetapi Brian hanya tidak berminat menampakkan diri di depan mereka. Terlebih mengingat sikap permusuhan yang Winda tunjukkan padanya kemarin.

"Tumben sendirian, Nji? Kalila mana?" tanya Winda. Kepalanya menoleh ke arah pintu gerbang. Mencari keberadaan Kalila.

"Lagi ke toilet," jawab Panji. Pemuda bertubuh tinggi besar yang Brian tahu selalu berangkat dan pulang bersama Kalila. Mungkin mereka bersaudara atau bertetangga. Brian tidak tahu dan tidak berniat mencari tahu.

"Eh, kemarin dia jadi kerja kelompok sama si Brian, kan?" tanya Winda lagi. "Soalnya aku nggak percaya cowok sok itu mau narik omongannya."

Panji tertawa kecil melihat ekspresi Winda. Gadis berpipi tembem itu tampak seperti naga yang hendak menyemburkan napas api.

"Mungkin. Kemarin aku ke rumah saudara, jadi nggak ketemu dia pas berangkat jualan."

"Moga-moga aja jadi. Kasihan Kalila kalau harus ngerjain semuanya sendirian. Belum lagi bantuin ibunya."

Percakapan tersebut berakhir karena Panji berbelok menuju kelasnya, sementara Winda masih melanjutkan perjalanan. Brian sendiri masih berjalan dengan kecepatan yang sama. Sengaja menciptakan jarak antara dirinya dan Winda. Namun, ucapan Winda pada Panji tadi mau tak mau mengusik benaknya.

Bukankah Brian tak pernah datang? Kenapa juga Kalila harus berbohong tentang dirinya?

***

Brian duduk di atas motornya, tak jauh dari minimarket dekat sekolah. Ia memakai jaket yang belum pernah dikenakannya ke sekolah. Ia pun tak melepas helm full face-nya meski motor yang ia naiki tidak sedang melaju. Brian sengaja menyamarkan penampilan agar tak dikenali.

Sudah dua hari ini Brian melakukan hal konyol tersebut. Diam-diam membuntuti Kalila dari sepulang sekolah hingga pulang berjualan kue. Ia bahkan berbohong pada Sienna agar sepupunya itu tak ikut serta dan mengganggu aksinya.

Bukan tanpa alasan Brian melakukan hal tersebut. Sejak tak sengaja mendengarkan obrolan singkat Panji dan Winda tempo hari, ia jadi penasaran akan alasan Kalila berbohong. Jangankan mengerjakan tugas mereka bersama-sama, Brian bahkan tak pernah sekadar basa basi bertanya mengenai tugas tersebut. Di satu sisi Brian senang karena hal tersebut membuat Winda tak lagi menatapnya beringas. Namun, di sisi lain ia juga khawatir. Kalila mungkin saja tengah merencanakan sesuatu untuknya.

Sayangnya, tak ada yang aneh dari semua kegiatan Kalila. Gadis itu melakukan rutinitas yang tak ada bedanya setiap hari. Sekolah, membantu ibunya dan berjualan kue sambil belajar. Hanya itu. Alih-alih menemukan petunjuk akan rencana Kalila padanya, Brian justru tanpa sadar menikmati interaksi Kalila dengan sang ibu yang tampaknya sangat dekat.

Brian juga mendapati fakta kalau Kalila adalah gadis yang rajin dan pekerja keras. Tak salah jika gadis yang jarang bicara itu mendapatkan beasiswa. Hanya saja, Brian masih gengsi untuk menyebut perhatian itu sebagai sebuah kekaguman.

"Kal, pastelnya masih ada?" Seorang gadis yang Brian kenali sebagai mantan kakak kelasnya menghampiri etalase dagangan. Kalila yang sedari tadi sibuk menulis segera menutup bukunya dan menyambut gadis itu dengan senyum ramah.

"Ada, Mbak. Tapi tinggal lima aja."

"Nggak apa-apa, deh, Kal. Aku beli semua."

Dengan gerakan cekatan, Kalila melayani pembeli tersebut. Setelah menerima uang dan gadis pembeli itu pergi, Kalila kembali duduk dan melanjutkan acara belajarnya.

Brian terdiam beberapa saat melihat Kalila yang tengah serius belajar. Ragu-ragu ia menyalakan mesin motor, menaikinya lalu menuju minimarket tempat Kalila berada. Ia juga memarkir motornya seperti pengunjung lain seolah tak pernah mengamati Kalila dari jauh sebelumnya.

Setelah melepas helm, Brian menghampiri Kalila yang belum beranjak dari kegiatannya.

"Kal!" panggil Brian. Gadis itu menoleh dan segera menutup bukunya begitu melihat Brian. "Aku mau beli kue."

Brian memaki dirinya sendiri dalam hati. Merasa sangat konyol karena menjadikan membeli kue sebagai alasan. Namun, ekspresi Kalila yang tak terbaca justru membuatnya khawatir.

"Mau beli yang mana, Brian? Tinggal kue-kue ini aja," tunjuk Kalila pada deretan kue yang tersisa. Ia tidak tersenyum ramah seperti yang dilakukannya pada pembeli lain.

"Aku beli semua, deh," tukas Brian seraya mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya. Namun, Kalila baru menerima uang tersebut setelah selesai memasukkan semua kue yang tersisa ke dalam sebuah kantong plastik berukuran sedang.

"Apa urusan yang kamu katakan waktu itu sudah selesai, Brian?" tanya Kalila sembari menghitung uang kembalian. Tepat sesuai dugaan Brian.

"Belum." Brian sengaja menjawab singkat. Ingin tahu reaksi Kalila.

"Oh, kalau begitu aku harap bisa cepat selesai," balas Kalila datar. Ia memberikan uang kembalian Brian tanpa senyum sama sekali. "Omong-omong, tumben kamu beli kue di sini?"

Selain reaksinya yang tak sesuai harapan, pertanyaan Kalila selanjutnya membuat Brian sedikit kebingungan. Dengan cepat ia menjawab sesuai yang terlintas di otaknya.

"Mamaku lagi pengin kue tradisional."

Respon Kalila hanya sebuah kata 'oh'. Meski begitu, sepatah kata tersebut sukses membuat Brian mati kutu. Bingung memberi balasan.

"Makasih, ya, udah beli kue di sini. Semoga Mama kamu suka," ujar Kalila kemudian.

Brian mengangguk dan segera menggunakan kesempatan yang ada untuk pamit undur diri. Sembari memakai helm, pikiran Brian berkutat pada respon Kalila yang sama sekali tak menunjukkan kemarahan. Gadis itu terlalu tenang. Dan, seperti kata pepatah, air yang tenang itu menghanyutkan. Kalila bisa saja menyimpan rencana buruk padanya.

Mesin motor Brian telah menyala. Ia membawa kendaraan tersebut meninggalkan minimarket dengan sebuah kecemasan di hati.

Brian harus berhati-hati pada Kalila. Harus.

***
"Bu Indah!"

Brian berlari menyusul langkah guru Bahasa Indonesia yang baru saja keluar dari kelasnya tersebut. Perempuan setengah baya berkacamata tersebut pun menghentikan langkah. Membiarkan Brian menghampirinya.

"Ada apa, Brian?" tanya beliau ramah. Brian yang kini sudah berada di hadapan gurunya itu terlebih dulu mengatur napas. Beberapa detik kemudian, barulah ia bersuara.

"Bu, boleh saya lihat hasil tugas kelompok saya dan Kalila?" pintanya ragu.

"Untuk apa, Brian?" Bu Indah tampak bingung, "saya sudah memeriksanya tadi. Tidak ada masalah. Hanya saja saya belum bisa membagikannya sekarang."

Brian menunduk. Menatap sepatunya beberapa detik sebelum kembali menghadap sang guru.

"Begini, Bu. Apa Kalila tidak mengatakan sesuatu pada Ibu?"

"Misalnya?"

Brian sungguh kesulitan untuk mengutarakan maksudnya. Antara ragu, malu dan gengsi. Namun, ia harus menuntaskan rasa penasarannya agar bisa merasa lebih tenang. Atau lebih tepatnya Brian harus mengakui kesalahan yang sengaja ia lakukan hanya karena egonya pada Kalila.

Cara kedua mungkin terkesan sok sportif, tetapi lebih membanggakan bagi seorang lelaki sejati. Dan, Brian yakin itulah yang seharusnya ia lakukan. Lagipula itu jauh lebih baik dibandingkan jika Kalila yang menyebarkan fakta tersebut.

"Soal ... tugas kelompok itu, Bu. Sebenarnya saya tidak ikut mengerjakan," aku Brian. Ia kembali menunduk. Bersiap menerima kemarahan guru Bahasa Indonesianya.

"Saya sudah tahu, Brian."

Terkejut, Brian hanya bisa menatap gurunya tersebut bingung. Terlebih karena perempuan paruh baya berkacamata itu tak menunjukkan ekspresi marah sama sekali. Justru, beliau tersenyum tenang.

"Kalila yang memberitahu Ibu?" tanya Brian. Ia mulai yakin mengenai dugaannya tentang Kalila. Gadis itu pasti merencanakan sesuatu di balik kebaikannya tak merecoki Brian dengan tugas kelompok.

"Kalila tidak mengatakan apa pun, Brian. Awalnya saya hanya menduga setelah melihat isi tugas kalian yang sangat ciri khas Kalila, tetapi ternyata kamu sendiri yang mengakuinya."

"Saya minta maaf, Bu," sesal Brian. Namun, Bu Indah kembali tersenyum. Tak ada amarah yang tampak di wajah perempuan tersebut.

"Brian, kamu tahu kenapa saya menjadikan kalian satu kelompok? Supaya kamu bisa melihat kemampuan Kalila secara obyektif. Supaya kalian bisa bekerja sama," Bu Indah menghela napas sejenak, "saya tahu kamu tidak suka pada Kalila karena beberapa hal, tapi terus terang saya kecewa kamu melampiaskannya dengan cara seperti ini. Melimpahkan tanggung jawab pada orang lain. Pada Kalila sepenuhnya."

Brian hanya bisa diam. Berdiri mematung di koridor sembari menunduk. Ia tak berani untuk mengangkat wajah dan melihat ekspresi gurunya. Entah masih setenang di awal tadi atau justru telah dikuasai amarah.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Saya bersedia dihukum untuk ini," ujar Brian pasrah.

Bu Indah yang masih membawa tumpukan tugas dari kelas Brian itu tak serta merta menjawab. Beliau justru berbalik dan berniat melanjutkan kembali perjalanannya yang tadi terhenti oleh Brian.

"Saya akan pikirkan hukuman untuk kamu nanti. Sekarang kembalilah ke kelas dan minta maaf pada Kalila," perintah beliau.

Sontak ucapan gurunya itu membuat Brian terperanjat.

"Tapi, Bu .... "

"Itu bukan permintaan, tetapi perintah, Brian," pungkas Bu Indah sebelum akhirnya benar-benar pergi dari hadapan Brian.

Selepas kepergian Bu Indah, dari kejauhan tampak guru Matematika kelas Brian yang berjalan mendekat. Mengabaikan kebingungannya, ia bergegas kembali ke kelas. Tak ingin mendapat masalah karena berkeliaran di luar saat jam pelajaran. Namun, ia sempat tertegun ketika memasuki ruang kelas. Tatapannya terarah pada Kalila yang sedang menulis sesuatu.

Brian memang salah pada gadis itu. Dan, ia harus segera meminta maaf. Sayangnya, ia hanya bisa mengembuskan napas panjang sebelum menuju bangkunya sendiri dan melewati bangku Kalila tanpa berkata apa pun. Karena ternyata meminta maaf lebih sulit dari yang Brian bayangkan.

***

Entah kenapa menyentuh naskah cerita ini selalu memberi saya kesenangan dan ketenangan tersendiri buat saya. Seolah cerita ini benar-benar seperti pohon bugenvil yang tengah berbunga lebat dan menjadi tempat bernaung saya di siang hari yang terik. Kalau kalian, ada nggak benda tertentu yang memberi efek serupa?

Anyway, selamat membaca ya untuk para penikmat cerita ini.

Salam Baca 

Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro