Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh : Tak Berharap Untuk Kecewa

AKU tak berharap hati ini kau dekap, karena rasamu justru hadirkan pengap

Aku tak berhasrat menabur harap, bila yang kutuai kelak berakhir lenyap

***

Kalila Putri Nastiti.

Dennis memegang sebuah amplop coklat besar yang bertuliskan nama itu di sampulnya. Di dalam benda tersebut terdapat informasi tentang Kalila, gadis yang ia tahu akan menjadi batu sandungan untuk rencananya di masa depan. Juga penghalang kebahagiaan Sienna, putri semata wayangnya.

Sembari menyenderkan punggung di sandaran kursi kerjanya, Dennis lalu membuka amplop tersebut. Terdapat sebuah foto seorang gadis remaja seumuran Sienna yang tak lain adalah Kalila. Penampilan gadis yang juga berjualan kue itu sangat sederhana. Kalah menarik dari Sienna yang terbilang hampir sempurna untuk ukuran perempuan. Namun, pasti ada sesuatu pada diri Kalila hingga membuat Brian lebih memilih gadis itu dibandingkan menuruti perintah Dennis.

Perhatian Dennis kemudian beralih pada beberapa lembar kertas A4 yang menyertai foto tersebut. Di sana tertulis semua hal tentang Kalila yang didapatkan oleh informan Dennis. Pendidikan, prestasi, dan teman-temannya. Termasuk juga fakta jika gadis itu hanya anak angkat dari orangtua yang mengasuhnya sekarang. Dan, keluarga tersebut tampaknya tergolong orang-orang yang hidup bersahaja. Selain itu, tak ada informasi lain yang menurut Dennis cukup menarik untuk ditelusuri lebih jauh.

Namun, ekspresi tenang Dennis sontak berganti keterkejutan sewaktu membaca tulisan yang tertera di lembar paling akhir. Halaman yang mencantumkan nama kedua orangtua kandung Kalila sebelum gadis itu diadopsi oleh pasangan Sofyan dan Halimah.
Dua nama yang tertulis sebagai ayah dan ibu kandung Kalila tersebut adalah nama yang tak asing bagi Dennis. Bahkan, nama-nama itu memaksanya mengingat masa lalu yang paling ingin ia lupakan. Masa lalu yang pahit dan berharap bisa ia pendam dalam-dalam.
Kalila. Ternyata gadis itu tak hanya ancaman untuk Sienna, tetapi juga untuk keutuhan keluarga Atma Wijaya.

Dennis meremas kertas di tangannya hingga tak berbentuk. Keinginan yang tadinya tak lebih dari sebuah harapan sederhana, kini menjelma menjadi sebuah tekad kuat yang harus ia wujudkan. Dalam sekejap, sebuah keputusan mengisi kepala Dennis.
Demi Sienna, Dennis serta nama keluarga Atma Wijaya, Brian dan Kalila tidak boleh sampai bersama.

Mereka harus dipisahkan.

***

"Na, aku lihat sepupu kamu itu lagi deket sama si penjual kue, ya? Kamu nggak takut mereka beneran jadian?" Sebuah pertanyaan mengawali obrolan antara Sienna dan dua orang temannya di depan cermin kamar mandi sekolah. Kebiasaan para gadis jika sedang berkumpul. Bersolek dan bergosip.

"Ngapain takut?" Sienna merespon dengan santai. Ia baru saja memoleskan lip balm ke bibirnya. "Mereka  nggak mungkin jadian."

"Kenapa? Kelihatan, kali, kalau Brian itu gencar banget deketin Kalila," tanya salah satu gadis yang sedang memakai bedak.

"Iya, bener. Udah kaya laron yang ngedeketin cahaya lampu aja," timpal satunya lagi, yang baru selesai mengucir rambut.

"Mau kaya laron, kek. Perangko, kek. Aku nggak peduli," hardik Sienna kesal. Tak suka mendengar pendapat temannya tentang Brian dan Kalila. "Mereka itu nggak cocok. Brian cuma lagi penasaran aja. Lagian, mana mungkin, sih, Brian suka sama cewek miskin yang bahkan cuma anak angkat."

"Wow," gadis berkucir berdecak, "serius?"
Sienna mengangguk. Ia hendak lanjut berbicara ketika pintu masuk kamar mandi terbuka dan seseorang baru saja masuk.

"Oh, hai, Kal," sapa Sienna basa-basi ketika mengetahui Kalila-lah orang tersebut.

Respon Kalila atas sapaan Sienna hanya seutas senyum singkat. Ia lalu mendekat ke arah wastafel untuk mencuci tangan.

Kedua teman Sienna saling pandang lalu tersenyum penuh arti ke arah Kalila yang tengah membasuh tangannya.

"Eh, Kal, beneran kamu cuma anak angkat?" Pertanyaan tak terduga dari salah satu teman Sienna tersebut sontak membuat Kalila terdiam. Tak memberikan konfirmasi apa pun. Ia melirik ke arah Sienna yang dengan sengaja menghindari tatapannya.

"Sorry, Kal. Kita nggak maksud apa-apa, kok. Cuma penasaran aja." Si gadis berkucir menjawab sembari tersenyum.

"Aku justru kagum sama kamu, Kal. Kondisi keluarga nggak bikin kamu patah semangat. Salut," tambah gadis satunya, "padahal pasti sulit buat nerima fakta soal anak angkat itu."

Sementara Kalila memaksakan diri untuk merespon ucapan kedua gadis itu dengan sebuah senyuman, Sienna justru tertawa kecil dan sinis melihat antusias teman-temannya pada Kalila.

"Ngomong-ngomong, kamu udah tahu tentang orangtua kandung kamu? Kamu kenal sama mereka?" Sienna sengaja melontarkan pertanyaan yang membuat Kalila semakin terdiam.

Tak mungkin bagi Kalila untuk menjawab pertanyaan Sienna. Ia tidak ingin statusnya diketahui banyak orang. Kalila tidak sanggup jika harus membuat Halimah dan almarhum Sofyan, ayahnya, jadi menanggung sebutan 'hanya orangtua angkat', karena bagi Kalila mereka lebih dari itu. Namun, ia juga tak berharap orangtua kandungnya jadi dicerca sebab membiarkannya diasuh orang lain. Jadi, Kalila memilih diam, yang sayangnya justru membuat Sienna tampak senang.

"Sepertinya belum, ya?" Sienna memasang tampang bersimpati yang sangat meyakinkan. "Sayang sekali. Bagaimana jika ternyata mereka bukan orang baik?"

"Maksud kamu apa, Sienna?" tanya Kalila dengan suara bergetar.

"Maksudku, bagaimana kalau mereka ternyata orang jahat? Pencuri, penipu atau bahkan pembunuh."

Entah sejak kapan kedua mata Kalila mulai berkaca-kaca. Kalimat demi kalimat tajam yang meluncur dari bibir Sienna sukses melukai hatinya. Sepupu Brian itu sengaja menghina orangtua kandung Kalila yang belum tentu seburuk yang ia katakan.

Kedua teman Sienna tampaknya menyadari perubahan ekspresi Kalila. Tak ingin terlibat masalah lebih jauh, mereka saling senggol, meminta satu sama lain untuk segera mencari alasan agar bisa segera pergi dari sana.

"Sienna, Kalila, kita duluan, ya," pamit kedua gadis tersebut. Mereka tak menunggu jawaban dan segera meninggalkan kamar mandi. Menyisakan Kalila dan Sienna di sana.

"Kal, kamu nangis?" tanya Sienna pura-pura perhatian. "Aku cuma bermaksud bantu kamu aja, kok. Bantu menyadari kalau kamu dan Brian itu sama sekali nggak sepadan."

"Dengan cara menghina orangtuaku?" Kalila menghapus air matanya. Berusaha kuat menghadapi Sienna yang terang-terangan melecehkannya.

"Itu kenyataan, Kal. Asal-usulmu emang perlu dipertanyakan."

"Omong kosong. Aku bahkan nggak merasa pernah bilang apa pun sama kamu tentang orangtuaku."

"Oh, ya. Aku lupa. Ini rahasia, kan? Cuma antara kamu dan Brian," Sienna tersenyum meremehkan, "sayangnya, nggak ada rahasia apa pun di antara kami. Jadi, Brian dengan senang hati membagi rahasia itu padaku."

Kalila meremas rok seragamnya gusar. Jawaban Sienna berhasil mengisi hatinya dengan kekecewaan yang teramat besar. Bagaimana bisa Brian melakukan itu padanya? Kenapa pemuda itu begitu mudahnya mengatakan rahasia yang Kalila percayakan padanya?

Menyadari jika rencananya berhasil, Sienna pun tersenyum puas. Ia hendak melenggang pergi, tetapi ucapan Kalila membuat langkahnya tertahan.

"Bagaimana jika orangtuaku ternyata bukan orang jahat?"

Sienna lalu berbalik dan menghadap Kalila dengan senyum tipis di bibirnya.
"Jahat ataupun baik, kenyataannya tetap aja mereka ninggalin kamu. Dan, kamu cuma anak angkat, Kal. Sama sekali nggak pantas untuk Brian."

Tubuh Kalila mematung. Meski Sienna telah pergi, tetapi penghinaan gadis itu masih bercokol di hatinya. Sekuat tenaga ia meyakinkan diri sendiri untuk tak mempermasalahkan tentang orangtua kandungnya. Namun, Sienna justru mengobrak-abrik kepercayaan yang sudah ia bangun. Bukan hanya pada orangtua kandungnya, tetapi juga pada Brian.

Ya, Brian. Pemuda yang Kalila pikir tulus padanya, tetapi ternyata menjadikannya bahan olok-olok dan kesenangan semata.

***

"Bu, aku boleh tanya sesuatu, nggak?" Tak seperti biasa, Kalila merangsek pada Halimah yang sedang duduk di ruang tengah rumah mereka. Menikmati sisa hari di malam itu dengan mengecek kembali pesanan kue yang mereka dapatkan.

"Tanya apa, to, Nduk? Sini!" Halimah balik bertanya sembari menepuk kursi kosong di sampingnya. Mengisyaratkan agar putrinya itu duduk di sana.
Menuruti perintah sang ibu, Kalila lalu duduk di samping Halimah. Namun, ia tak serta merta bertanya seolah masih ragu untuk membuka mulut.

Bagi Kalila yang sudah menganggap Halimah dan Sofyan sebagai orangtua sendiri, menanyakan kembali perihal orangtua kandungnya bukanlah perkara mudah. Ia takut menyinggung perasaan Halimah.

"Lho, katanya mau nanya, Nduk? Kok malah diem?"

Kalila tersenyum. Ia teringat kata-kata almarhum Sofyan ketika masih hidup. Sewaktu suami Halimah tersebut menceritakan tentang orangtua kandung Kalila.

Saat itu, Sofyan berkata bahwa tak ada bedanya siapa yang berhak menyandang sebutan orangtua kandung dan orangtua angkat dalam hidup Kalila. Karena kenyataannya mereka semua menyayanginya, meski dengan cara masing-masing.

Menahan tangisnya, Kalila memeluk Halimah. Membuat perempuan itu terkejut.

"Bu, maafin aku, ya, karena nanyain ini lagi. Tapi aku pengin tahu lebih banyak tentang orangtua kandungku."

Halimah tertegun. Tak menduga jika hal tersebut yang ingin ditanyakan oleh Kalila.

"Mereka bukan orang jahat, kan, Bu? Mereka ninggalin aku bukan karena terpaksa, kan?"

Dengan lembut, Halimah membelai punggung Kalila. Memberikan ketenangan untuk anak gadisnya yang kini mulai terisak itu.

"Nduk, sama seperti yang pernah Bapakmu bilang, mereka orang baik-baik. Percaya sama ibu. Hanya keadaan yang membuat kalian terpisah seperti ini."

"Beneran, Bu?" Kalila memandang Halimah dengan sorot mata mengharapkan kepastian.

Halimah mengangguk dan berujar, "iya, Nduk. Kalau nggak, mana mungkin mereka bisa punya putri sebaik dan secantik kamu."

Kalila akhirnya tersenyum meski air mata masih membasahi pipinya. Ia semakin menguatkan pelukannya pada Halimah yang kini tersenyum lega.

"Artinya mereka baik, tapi Ibu dan Bapak juga orangtua terbaik buatku."

Suasana haru itu terinterupsi oleh suara pesan masuk dari ponsel Kalila. Ia lalu melihat benda tersebut dan tampak enggan sewaktu melihat nama pengirimnya. Brian, yang seharian ini ia abaikan. Pemuda itu berulang kali mencoba menelepon dan mengirimkan pesan menanyakan keadaannya. Namun, Kalila sengaja tak memberikan balasan apa pun.

Tanpa suara, Kalila akhirnya memutuskan untuk membalas pesan tersebut. Namun, hanya untuk menegaskan satu hal yang muncul dari kekecewaannya akan Brian dan Sienna.

Brian Atma Wijaya, bisakah kamu berhenti menggangguku? Karena aku nggak mau lagi berteman sama kamu.

***

Kepercayaan itu memang hal penting, terutama dalam sebuah hubungan. Iya, nggak, sih?

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro