Sembilan : Sebuah Pilihan
KITA tak pernah sadar, luka itu tengah mengintip
Perlahan membakar, sebelum hati sempat berkedip
***
"Om perlu bicara sama kamu, Bri."
Kepulangan Brian sore itu disambut oleh Dennis yang sudah menunggunya di sofa ruang tamu. Pria yang masih gagah di usianya yang setengah abad itu duduk dengan tenang sembari menyesap secangkir kopi.
Dengan enggan, Brian menurut. Ia lalu mengambil tempat di hadapan Dennis. Meski menunjukkan ekspresi yang tenang, ia justru yakin omnya itu hendak membicarakan suatu hal yang penting. Sebab sangat tidak biasa jika Dennis Atma Wijaya sampai perlu datang sendiri ke rumah adik iparnya. Biasanya, Brianlah yang mendatangi rumah Sienna jika pria itu kebetulan sedang berkunjung ke Malang.
"Bicara apa, Om?" tanya Brian. Setahunya tak ada masalah yang Brian buat di sekolah. Nilai-nilainya juga masih stabil meski ia yakin Dennis mengharapkan lebih dari itu. Namun, ia yakin bukan masalah tersebut yang hendak mereka bahas.
Dennis meletakkan cangkir kopinya lalu duduk menyender. Menatap Brian serius.
"Siapa itu Kalila?" Sebuah kalimat tanya akhirnya terucap. Membuat Brian terkesiap karena tak menyangka omnya itu akan menyebut nama Kalila.
"Teman sekelas, Om," jawab Brian. Ia berusaha keras menahan rasa penasaran yang kini menerjang otaknya. Tentang bagaimana bisa Dennis mengetahui tentang Kalila.
"Apa pekerjaan orangtuanya? Dan, apa dia memiliki prestasi yang bagus di sekolah?"
Brian paling benci pertanyaan-pertanyaan semcam itu. Dulu, Dennis selalu menanyakannya jika Brian memiliki teman baru. Jika dirasanya anak-anak tersebut tak pantas menjadi teman Brian, maka Dennis tak segan melakukan berbagai cara agar mereka menjauhi sang keponakan. Tindakan Dennis membuat Brian akhirnya lebih memilih untuk tak lagi mencari teman dan hanya mengandalkan Sienna untuk menemani kesehariannya.
Namun, itu dulu. Sekarang, Brian tak ingin terjadi hal yang sama pada hubungannya dan Kalila, karena gadis itu lebih dari sekadar teman untuknya.
"Nggak ada yang bisa aku ceritain tentang Kalila selain dia teman yang baik, Om."
Dennis masih menatap Brian tajam. Tampak tak puas dengan jawaban sang keponakan. Ia lalu berdeham sekali sebelum kembali berbicara dengan nada suara yang lebih tenang.
"Sebentar lagi kamu sudah harus menjalani ujian kelulusan, Bri. Om mau kamu fokus sama sekolah dan berhenti bermain-main. Jangan sampai pertemanan kamu dengan gadis itu merusak semua usahamu selama ini."
"Maksud, Om?"
"Mulai sekarang tidak perlu lagi menemui gadis bernama Kalila itu. Putuskan pertemanan kalian." Brian tidak terkejut sama sekali atas perintah Dennis. Ia juga tidak menjawab. Sengaja membiarkan Dennis menuntaskan ucapannya. "Berteman dengan orang miskin tidak akan membantumu, justru akan semakin merepotkan. Fokus saja pada pendidikanmu."
Meski tak mengucapkannya dengan berapi-api, Brian tetap tak suka mendengar Dennis menghina Kalila. Dan, ucapan omnya itu mengenai status Kalila justru membuat Brian yakin darimana Dennis mengetahui semuanya.
"Jangan khawatir, Om. Aku janji akan belajar lebih giat agar nggak nggecewain Om dan Mama." Ucapan Brian membuat bibir Dennis dihiasi senyum tipis, tetapi senyum tersebut tak bertahan lama sewaktu mendengar kelanjutan kalimat Brian. "Tapi, aku akan tetap temenan sama Kalila."
Segera setelah mengatakan keputusannya, Brian lalu bangkit dari duduknya dan bersiap undur diri.
"Brian!" Nada suara Dennis seketika meninggi. Tidak menduga keponakan yang selama ini begitu patuh tiba-tiba berani menentangnya. Kemarahan pria itu semakin menjadi sewaktu Brian justru melenggang pergi setelah membantahnya. "Jauhi gadis bernama Kalila itu. Ini perintah!"
"Maaf, Om. Untuk satu hal itu, aku terpaksa nolak."
Brian melanjutkan langkah menuju kamarnya. Tak lagi memedulikan Dennis yang tengah berusaha menahan emosi. Di depan pintu kamar, tampak Sienna menunggunya dengan raut cemas.
Tak ada kata apa pun yang terucap. Brian hanya melirik sekilas tanpa berniat mengajak sepupunya itu bicara. Baginya sudah cukup mengetahui satu hal penting yang sedari tadi ia pertanyakan. Bahwa Sienna-lah yang memulai semua ini. Gadis itulah yang membuat Dennis mempermasalahkan Kalila.
Brian tahu pasti alasannya. Dan, entah kenapa hal itu justru membuatnya kecewa pada Sienna.
Benar-benar kecewa.
***
Brian jatuh cinta pada Kalila.
Seharian ini telinga Kalila jenuh karena terus direcoki dengan kalimat itu. Di sekolah, Panji dan Winda sudah mengumandangkan lima kata itu padanya setiap kali mendapati Brian di sekitar mereka. Dan, sekarang, saat seharusnya mereka membantu Kalila membuat kue untuk pesanan, Panji dan Winda justru berceloteh ria, menyenandungkan lagu-lagu cinta.
Kalau saja bukan bahan untuk membuat kue, Kalila bersumpah untuk menyiramkan seluruh tepung di hadapannya itu pada Panji dan Winda. Ia masih bisa memaklumi jika hanya Winda yang menggodanya. Akan tetapi, kenapa juga pemuda berbadan tinggi besar dan jago beladiri bernama Panji itu ikut-ikutan? Selain Winda jadi punya sekutu, telinga Kalila jadi gatal mendengar duet mereka yang suaranya serak-serak becek.
"Wah, seneng banget kayanya hari ini, ya?" tegur Halimah yang melihat tingkah bahagia dua teman Kalila tersebut.
"Iya, nih, Bude. Soalnya lagi ada yang jatuh cinta," jawab Winda seraya mengerling ke arah Kalila, "eh, maksudnya dijatuhi cinta."
Halimah mengernyit. "Oh, ada yang baru pacaran, ya? Siapa? Winda atau Panji?"
"Nggak ada yang pacaran, Bu. Apalagi Winda, bisa dijemur di lapangan dia sama Abinya," celetuk Kalila. Ya, meskipun bawel dan jailnya bukan main, si gadis berpipi tembem teman sebangku Kalila itu adalah putri dari keluarga yang cukup religius. Winda tentu saja mengikuti jejak keluarganya, terkecuali saat otak gadis itu agak bergeser seperti sekarang.
"Lha, terus siapa?"
"Temen kita, Bude. Namanya Brian," Panji menambahi, "kayanya Bude tahu dia. Kan, sering ke sini bantuin Kalila."
Kalila hanya bisa menyalurkan kejengkelan dengan membanting adonan donat di tangannya. Keberadaan Halimah membuatnya tak kuasa melawan tindakan menyebalkan dua temannya itu.
"Oh, yang itu. Yang pernah belajar kelompok di sini?"
"Iya, Kayanya dia suka sama Kalila, Bude," lapor Winda dengan tampang tanpa dosa. "Bude bakal kasih restu, nggak?"
Halimah hanya tersenyum, tak berniat menanggapi guyonan para remaja tersebut. Namun, senyumnya memudar dan ia tertegun sewaktu mendengar kalimat Kalila.
"Udah, dong. Jangan bikin gosip yang nggak bener. Mana mungkin seorang Brian Atma Wijaya suka sama seorang Kalila?"
"Atma Wijaya?" ulang Halimah. "Itu nama keluarganya Brian?"
"Ya, Bu. Itu nama keluarganya. Kenapa?" tanya Kalila balik. Sedikit heran karena ekspresi sang ibu yang tampak tak nyaman saat ia menyebut nama lengkap Brian.
"Nggak apa-apa, Nduk," sangkal Halimah. Ia lalu mendekat dan membantu Kalila menyelesaikan pekerjaannya membuat adonan donat. Namun, nama keluarga Atma Wijaya tadi masih bercokol di kepalanya. Tak mau pergi.
Mana mungkin hanya ada satu keluarga dengan nama Atma Wijaya. Pasti itu Atma Wijaya yang lain, batin Halimah.
***
Jam dinding di kamar Brian menunjuk ke angka sepuluh. Suasana hening dalam ruangan tersebut membuat suara jarum jam yang berdetak terdengar sangat jelas. Menemani kesendirian Brian yang tengah berbaring di atas ranjang. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar kemudian berganti menatap foto Kalila di ponselnya.
"Bri, boleh Mama masuk?" Suara Farah terdengar dari luar kamar setelah sebelumnya mengetuk pintu beberapa kali.
"Masuk aja, Ma," jawab Brian yang bergegas bangkit. Ia lalu meletakkan ponselnya di atas nakas dan memilih duduk di tepi ranjang.
Pintu kamar lalu terbuka dan sosok Farah yang mengenakan gamis berwarna coklat muda serta kerudung senada pun masuk. Ia melangkah mendekat, menghampiri putra semata wayangnya yang tak lagi keluar kamar sejak perdebatannya dengan Dennis tadi sore.
"Kamu baik-baik saja, Bri?" tanya Farah khawatir. Ini pertama kalinya Brian tak sependapat dengan Dennis. Selama ini putranya itu selalu menurut dan tidak pernah protes pada apa pun yang menjadi keputusan omnya. Selain kekhawatiran, Farah juga penasaran akan alasan yang membuat Brian berubah.
"Aku nggak apa-apa, kok, Ma," jawab Brian, "aku justru lega karena akhirnya bisa memilih sendiri apa yang aku mau."
Farah mengelus pundak Brian. Masih tak sepenuhnya percaya jika putranya itu memiliki keberanian untuk menentang Dennis. Sosok yang bagi dirinya sendiri selalu sulit untuk tak ditakuti. Perhatian Farah lalu teralihkan ketika ponsel Brian menyala, menandakan sebuah pesan masuk dengan nama pengirim Kalila. Seketika ia teringat jika itu adalah nama gadis yang tadi dibicarakan Brian dan Dennis.
Brian buru-buru meraih ponselnya, membuka pesan tersebut dan tersenyum begitu selesai membacanya.
"Sebenarnya siapa itu Kalila, Bri?" tanya Farah yang semakin penasaran setelah melihat reaksi putranya. Tingkah Brian mengarah ke ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta.
Masih dengan senyum di bibir, Brian menjawab, "gadis penjual kue tradisional yang biasa aku beliin buat Mama."
"Dan gadis yang kamu suka?" tebak Farah.
Senyum Brian sama sekali tak memudar, tetapi kini ia tertunduk malu sembari menyentuh tengkuknya. Gestur yang bagi Farah mewakili jawaban ya untuk pertanyaannya.
"Karena itu aku nggak mau Om Dennis ngelarang aku berhubungan sama Kalila. Emangnya kenapa kalau dia miskin, Ma? Kalila baik. Dia manis. Pokoknya, dia gadis yang istimewa. Aku yakin Mama juga pasti bakal suka sama dia kalau udah kenal nanti," terang Brian penuh semangat.
Farah tersenyum getir. Ia mengerti perasaan Brian, tetapi ia juga memahami sudut pandang Dennis. Mereka tidak bisa membiarkan sembarang orang masuk ke kehidupan keluarga mereka. Dan, Farah juga tak bisa mengenyahkan ketakutan jika gadis bernama Kalila itu mungkin saja akan membawa pengaruh buruk bagi putranya.
"Kamu sudah mengenal keluarganya juga? Apa dia sebaik yang kamu kira?"
"Ma," Brian sedikit mendengkus karena pertanyaan terakhir mamanya, "keluarganya juga baik. Miskin nggak berarti buruk. Bahkan meski Kalila cuma anak angkat, dia sangat baik pada orangtuanya."
Farah terdiam. Terlalu terkejut akan fakta yang tak sengaja Brian beberkan.
"Lalu, di mana orang tua kandungnya?"
Giliran Brian yang tertegun. Menyesal karena begitu mudahnya mengatakan hal yang harusnya hanya menjadi rahasia antara dirinya dan Kalila.
"Maaf, Ma. Lupain aja," pinta Brian kemudian. Ia benar-benar menyesali tindakannya. Tak ingin bertindak lebih fatal, ia lalu meminta Farah pergi. "Bisa tinggalin aku sendiri, Ma?"
Meski enggan, Farah tetap menuruti permintaan Brian. Ia lalu menepuk pundak putranya itu sekali sebelum keluar dan menutup pintu kamar. Menyisakan Brian yang kembali berbaring di ranjang. Menatap isi pesan dari Kalila yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Bahkan di saat kondisi hatinya tak bisa dibilang baik. Padahal isi pesan tersebut hanya sebuah kalimat yang sama sekali tak istimewa.
Hanya sebuah salam, tetapi Brian seolah tak lelah memandangi sederet tulisan tersebut. Juga foto Kalila yang menjadi wallpaper ponselnya. Tak sabar rasanya untuk menyambut hari esok dan bertemu lagi dengan gadis itu.
Tanpa Brian ketahui, Sienna masih berada di depan kamarnya, tak terlihat oleh Farah yang baru saja keluar dari sana. Gadis bermata abu-abu itu terdiam sembari bersandar di dinding. Namun, kepalanya dipenuhi oleh semua hal yang sedari tadi ia dengarkan. Semua hal tentang Kalila.
***
Semoga tetap setia baca kisah ini.
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro