Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebelas : Potongan Masa Lalu

RINDU, berhentilah menggebu

Jika akhirnya hanya menyerpih debu

***

Brian sama sekali tak mengerti.

Masih terngiang di benaknya pesan balasan terakhir dari Kalila dua hari yang lalu. Saat gadis itu memutuskan pertemanan mereka begitu saja. Padahal, Brian begitu khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu meski ternyata Kalila sengaja mengabaikannya. Namun, seperti sifatnya yang jarang bicara, Kalila juga tak menyertakan alasan atas sikapnya yang mendadak berubah. Membuat kepala Brian jadi dipenuhi beragam pertanyaan.

Apakah Brian sudah melakukan kesalahan? Apakah tanpa sadar ia sudah menyakiti Kalila?

Kekalutan Brian semakin menjadi sewaktu Kalila tak muncul keesokan harinya. Gadis itu tak masuk sekolah, tak berjualan kue dan pintu rumahnya selalu tertutup. Pesan serta panggilan telepon Brian juga tak mendapatkan respon sama sekali.

Tak ingin terus-terusan larut dalam kegelisahan, Brian memutuskan untuk menanyai Panji dan Winda. Sayangnya, Winda hanya bisa memberitahunya jika ibu Kalila sedang berobat, tetapi tak dapat memberikan informasi lebih banyak lagi. Karena itulah, Brian menuju kelas Panji sekarang. Berharap bisa menggali lebih banyak informasi dari pemuda yang juga tetangga Kalila tersebut.

"Panji!"

Brian melihat Panji baru saja keluar dari tempat parkir dan berjalan menuju kelasnya. Tanpa pikir panjang, ia bergegas mengejar pemuda itu.

Si pemilik nama menoleh dan tampak tak senang sewaktu melihat Brian yang memanggilnya.

Melihat Panji yang tak menghentikan langkah dan justru terus berjalan mengabaikan panggilannya, Brian jadi yakin akan dugaannya. Panji pasti tahu pasti masalah yang sebenarnya terjadi di antara Brian dan Kalila. Karena itu, Brian pun berlari mengejarnya lalu mengadang Panji sebelum pemuda itu mencapai pintu kelas.

"Aku perlu ngomong sama kamu, Nji. Penting," tegas Brian, tetapi Panji hanya melengos dan bersiap melanjutkan langkah. "Ini soal Kalila."

Kaki Panji akhirnya berhenti bergerak. Ia lalu menatap tajam pada Brian. Sorot matanya dipenuhi amarah.

"Apa lagi? Belum puas juga udah bikin rahasia Kalila tersebar?"

Brian balas menatap Panji bingung.

"Aku nggak ngerti maksud kamu."

Panji mengembuskan napas kasar. Ia mendekat lalu menekankan jari telunjuknya ke dada Brian.

"Kalaupun kamu nggak punya otak untuk mikir, seenggaknya kamu punya hati untuk nggak mengkhianati kepercayaan yang Kalila kasih, kan?"

Tindakan Panji sedikit membuat Brian tak nyaman. Namun, ia berusaha tak menuruti emosi. Ditepisnya telunjuk Panji pelan dan kembali ia tanyakan tentang Kalila.

"Nji, sorry, aku nggak ngerti sama sekali yang kamu omongin. Aku cuma pengin tahu di mana Kalila sekarang? Dia baik-baik aja, kan? Aku khawatir karena dia nggak balas semua pesanku."

Panji tersenyum sinis, lalu menjawab, "Khawatir dia nggak denger omongan orang-orang tentang orangtuanya, maksud kamu?"

Brian menghela napas. Ia tahu Panji sedang dilanda emosi dan sulit diajak bicara. Namun, bagaimanapun caranya ia harus bisa mengorek informasi tentang Kalila dari pemuda itu.

"Tunggu, Nji. Aku beneran nggak paham maksud kamu. Sebenarnya ada apa sama Kalila?"

Panji tak serta merta menjawab. Ia menatap muak pada pemuda yang ada di hadapannya tersebut.

"Aku nyesel udah biarin kamu deketin Kalila, Bri. Dan, kalau kamu pengin tahu alasannya, tanya aja sama sepupumu. Dia sangat bersemangat menyebar info tentang status Kalila yang anak angkat. Aku yakin dia nggak akan keberatan untuk cerita sama kamu."

"Sienna?" tanya Brian memastikan.

"Memangnya ada yang lain?" Panji bertanya retoris. Ia lalu pergi tanpa mempedulikan Brian yang kini mematung di tempat.

Beragam hal yang ia dapatkan membuat otak Brian terasa penuh. Ia mencoba merangkai semuanya menjadi sebuah jawaban. Dan, teka-teki itu berakhir pada satu nama.

Sienna.

***

"Darimana kamu tahu tentang orangtua kandung Kalila?"

Pertanyaan bernada dingin tersebut keluar dari bibir Brian sewaktu Sienna datang ke rumahnya sore itu. Sontak, kebahagiaan gadis bermata abu-abu itu karena bisa bertemu dengan pujaan hatinya pun memudar.

Cepat atau lambat, Brian pasti akan tahu soal Sienna yang sengaja menjadikan rahasia Kalila tersebut sebagai bahan lelucon di antara teman-temannya. Sienna sudah menduga hal itu, tetapi tak menyangka jika Brian akan bersikap sedingin itu padanya. Pemuda itu berbicara dan duduk menghadap Sienna, tetapi sama sekali tak menatap wajah gadis itu. Seolah yang menjadi lawan bicaranya hanyalah udara kosong.

"Maksud kamu apa, Bri?" Sienna memilih untuk pura-pura tak mengerti.

Pertemuan yang Sienna harapkan berisi obrolan santai dan hangat tersebut nyatanya justru membuat suasana hatinya membeku. Aura yang muncul terasa sangat tak nyaman. Baik bagi Brian maupun Sienna. Kedua saudara sepupu itu lebih tepat disebut tengah berseteru karena ketegangan yang terpancar dari sana.

"Nggak mungkin Panji atau Winda yang ngelakuin itu. Dan, aku sama sekali nggak ngerasa pernah membahas tentang orangtua Kalila sama kamu." Brian mengatakan hal tersebut sembari mengepalkan tangan. Berusaha menahan emosi.

Tak ada gunanya juga berbohong bagi Sienna. Brian pasti sudah mencari tahu tentang apa yang sedang terjadi.

"Kamu emang nggak pernah bilang, tapi aku denger percakapan kamu dan Tante Farah," akhirnya Sienna mengaku, "tapi apa salahnya mengatakan fakta, Bri? Toh, nggak akan ada yang peduli dia anak angkat atau bukan."

"Aku peduli," sambar Brian, "dan aku nggak suka kamu ngelakuin itu sama Kalila."

Sienna tersenyum miris. Tertampar secara halus oleh pernyataan Brian barusan.

"Udahlah, Bri. Ini bukan hal penting. Kita nggak perlu ngebahasnya."

Dalam benak Brian, terbayang saat Kalila harus melewati orang-orang yang mengaku teman, tetapi diam-diam menjadikan kisah hidupnya bahan lelucon hanya karena ia orang miskin. Gadis itu sudah pasti tak akan mengatakan apa pun, tetapi Brian seolah bisa merasakan kesedihan Kalila. Dan, ia benci jika gadis itu didera kegetiran, bahkan meski hanya membayangkannya saja.

"Kalau aku bilang sama teman-teman kamu soal Tante Sofia yang lebih memilih kabur dan jadi model tenar dibandingin ngerawat kamu, apa itu bukan hal penting juga?" tanya Brian dengan berusaha membuat nada suaranya terdengar begitu tenang.

Kedua mata Sienna sontak terbelalak. Sama sekali tak menduga Brian mengungkit tentang ibunya. Sesuatu di masa lalu yang tak ingin ia ingat kembali. Kenangan pahit yang membuatnya meragukan arti seorang ibu di dunia. Namun, Sienna lebih tak percaya jika Brian memiliki niat untuk membeberkan kisah hidupnya yang memilukan itu pada orang lain.

"Bri, itu rahasiaku. Orang lain nggak berhak tahu," hardik Sienna tak suka.

Brian yang tadinya duduk sembari menegakkan tubuh, kini memilih bersandar. Dilipatnya kedua lengan di depan dada. Meski begitu, ia masih menatap Sienna dingin.

"Lalu apa bedanya dengan rahasia Kalila? Bukankah orang-orang juga nggak berhak tahu itu?"

Sienna terdiam. Baru tersadar jika Brian sengaja menggiring percakapan mereka ke arah yang justru ia hindari. Dan, hal itu membuatnya tak habis pikir. Penasaran dengan pesona yang dimiliki oleh Kalila hingga bisa menjerat Brian sedemikian rupa.

"Bagiku mereka berhak tahu supaya gadis itu sadar perbedaan di antara kalian," jawab Sienna terus terang. "Lagian aku nggak suka dengan kedekatan kalian. Jujur aja, aku cemburu, Bri."

Brian berdecak. Sama sekali tak terkejut dengan pengakuan saudara sepupunya itu.

"Berhenti bersikap aneh, Na."

"Nggak ada yang aneh, Bri. Aku begini karena aku su---"

"Cukup, Na," potong Brian yang sudah bisa menebak kelanjutan kalimat Sienna, "kita ini saudara. Ada atau nggak ada hubungan darah, bagiku kamu adalah sepupuku. Sampai kapan pun."

Sienna sedikit tersentak karena ucapan Brian menyiratkan satu hal. Pemuda itu mengetahui perasaannya, tetapi memilih untuk mengabaikannya.

"Aku nggak peduli pendapatmu, Bri."

"Aku juga, Sienna. Jadi, suka atau nggak, minta maaflah sama Kalila," tegas Brian. Namun, lawan bicaranya itu justru bangkit dan menatapnya dengan sorot mata kecewa bercampur marah.

"Nggak akan pernah."

Sienna mencengkeram tasnya untuk menyalurkan emosi yang tak dapat tersalurkan pada Brian. Ekspresi wajahnya sungguh jauh dari cerah. Gadis itu benar-benar sedang dalam suasana hati yang buruk karena ia bahkan melenggang keluar begitu saja tanpa berpamitan pada mama Brian.

Brian tak mencegah Sienna. Membiarkan gadis itu melakukan apa yang diinginkannya. Beberapa saat kemudian, Farah muncul dari dapur karena mendengar suara mobil Sienna yang meninggalkan rumahnya.

"Sienna udah pulang? Kok tumben nggak pamit?"

"Lagi ngambek, Ma."

"Lho, kenapa nggak kamu kejar, Bri?"

Brian tersenyum tipis. Namun, arti dari senyumannya itu tak mudah ditebak.

"Biarin, Ma. Dia bukan anak kecil lagi. Kita nggak perlu terus-terusan nurutin kemauannya," jawab Brian, "dia juga harus belajar untuk menghargai hidup orang lain."

"Maksud kamu?"

"Aku tahu seperti apa perasaan Sienna sama aku, Ma. Tapi, dia harus sadar kalau nggak semua yang dia mau bisa dia miliki."

Farah sudah mengasuh Sienna sejak gadis itu berusia setahun. Sejak Sofia, ibunya yang berkebangsaan Italia, memilih pergi demi menjadi model daripada merawat Sienna kecil. Tak heran jika gadis itu sangat menyayangi Farah. Begitu pun sebaliknya. Namun, sebagai seorang ibu, Farah tak bisa mengabaikan begitu saja perasaan putra kandungnya.

"Kamu tetap memilih gadis itu? Kalila?" tanya Farah memastikan.

"Ya, Ma. Dan, aku ingin Mama mendukungku," pinta Brian.

Sembari mengangguk, Farah tersenyum lembut. Meski masih didera ragu, ia merasa inilah saatnya melakukan sesuatu untuk Brian. Sesuatu yang bisa membuat putranya bahagia.

***

"Mas, ada yang perlu aku bicarakan tentang Brian," ujar Farah begitu ia bertatap muka dengan Dennis. Suasana rumah makan yang mereka datangi masih lenggang karena waktu makan siang masih beberapa jam lagi.

"Kenapa lagi? Apa dia juga mulai berani ngebantah kamu juga?" tanya Dennis. Ia tampak tak tertarik dengan bahasan yang ingin Farah sampaikan. Sejujurnya ia juga enggan berjanji temu dengan adik iparnya tersebut. Keberadaan Dennis di Malang sudah lebih lama dari yang seharusnya. Ia harus segera kembali ke ibukota.

Farah mengabaikan pertanyaan tersebut dan memilih langsung menyampaikan tujuan utamanya.

"Tolong berikan Brian izin untuk bersama gadis bernama Kalila itu, Mas. Bukankah dia sudah janji akan tetap mengikuti perintah Mas mengenai pendidikan dan pekerjaannya kelak?"

Dennis hendak menjawab ketika pelayan yang datang mengantarkan pesanan membuat niatnya terjeda beberapa saat. Begitu pelayan tersebut menyingkir, barulah ia bisa melanjutkan ucapannya.

"Kenapa aku harus melakukannya? Kamu lupa kalau semua tentang Brian sudah menjadi tanggung jawabku?"

"Bukan begitu, Mas. Aku hanya pengin putraku bahagia. Dia udah berusaha menjadi yang terbaik untuk Mas Dennis, tapi dia juga berhak memilih sendiri bagian kecil dari hidupnya. Perasaannya pada seseorang."

Dennis hanya tersenyum sinis mendengar penjelasan Farah. Ia lalu meneguk kopi di cangkirnya. Terdiam sejenak seolah tengah memikirkan sesuatu. Tak lama, ia kembali bersuara.

"Kamu yakin menginginkan gadis bernama Kalila itu sebagai pendamping Brian? Bagaimana dengan Sienna?"

Farah terdiam. Sejujurnya ia masih bimbang soal Sienna yang sudah dianggapnya sebagai putri sendiri. Namun, naluri keibuannya lebih memilih untuk mendahulukan sang putra. Brian berhak bahagia dengan pilihannya sendiri, bukan atas kemauan orang lain. Lagipula, sejujurnya Farah sudah lelah dengan kekangan Dennis akan ia dan Brian. Selama ini ia memang takut untuk melawan, tetapi kebencian yang sejatinya masih bercokol di hati membuat Farah tak pernah berhenti mencari cara. Ia pun ingin terbebas dari bayang-bayang kakak iparnya tersebut.

"Itu keinginan Brian sendiri, Mas. Untuk pertama kalinya," jawab Farah. Nada suaranya mendadak meragu. Perasaan takut setiap kali berhadapan dengan Dennis kembali muncul. Padahal ia sudah berusaha keras untuk lebih berani demi Brian.

Kali ini Dennis tertawa alih-alih marah. Membuat Farah bingung karena hal itu sama sekali bukan kebiasaan sang kakak ipar.

"Sayang sekali, Farah. Kali ini bukan aku sendiri yang akan menghalangi keinginan Brian itu, tapi kamu juga."

"Maksud Mas Dennis apa?"

Raut wajah Dennis seketika berubah serius. Tatapan tegasnya mengarah pada Farah yang mendadak merasa takut tanpa tahu sebabnya. Kegelisahan Farah tersebut semakin menjadi sewaktu Dennis memberikan jawaban atas pertanyaannya. Sebuah kenyataan yang membuat wajah Farah memucat seketika.

"Gadis itu adalah bagian dari masa lalu kita semua, Farah. Dia adalah putri kandung Burhan dan Nastiti."

***

Santai banget, ya, nih alur? 😐

Aku double update nih Guys. Buat ganti kemarin yang nggak sempat publish.

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro