Lima : Perasaan Yang Membingungkan
TAK ada perbedaan di antara kita
Hanya sebuah pertentangan akan rasa
Lalu, haruskah kita mengungkapkannya?
***
"Assalamualaikum, Ma." Suara Brian menggema begitu kakinya melangkah memasuki rumah. Wajahnya tampak berseri-seri. Di tangan kanan pemuda itu tertenteng sebuah kantung plastik berisi kue-kue buatan Kalila dan sang ibu.
"Wa'alaikumsalam," balas Farah yang menyongsong kedatangan putranya bersama Sienna. Melihat Brian yang beberapa waktu belakangan ini tak lagi menghabiskan waktu dengannya, Sienna pun tersenyum bahagia.
"Ma, aku bawa dadar gulung isi kelapa, nih. Enak, lho," seru Brian seraya menyodorkan kantong plastik di tangannya pada sang mama.
Farah menerima benda tersebut, melongok isinya lalu tersenyum.
"Teman kamu ini pintar banget, ya, bikin kue tradisional. Enak pula," komentar Farah. Brian sontak tersenyum bangga meski pujian tersebut tidak ditujukan padanya.
Sienna yang penasaran pun ikut melihat kue yang dimaksud. Dari ucapan Farah, sepertinya Brian sudah sering melakukan hal serupa. Membawakannya macam-macam kue tradisional. Namun, kening Sienna mengernyit heran sewaktu mendapati beberapa potong kue berwarna hijau muda yang berbentuk seperti lumpia tersebut. Setahunya, makanan itu sama sekali bukan selera Brian.
"Bikinan siapa emangnya, Bri?"
"Kalila."
Kebahagiaan yang tadi terpancar di wajah Sienna perlahan memudar. Ia tampak tak suka saat Brian menyebut nama Kalila.
Farah kemudian bergegas ke dapur. Berniat meletakkan kue pemberian Brian. Namun, bukannya mengikuti jejak tantenya itu, Sienna justru membuntuti Brian yang hendak menuju kamarnya.
"Bukannya kamu benci sama Kalila, Bri? Kok, sekarang jadi akrab gitu? Kamu juga sering nemuin dia, ya?"
Brian tertawa kecil mendengar rentetan pertanyaan Sienna. Sepupunya itu bersikap tak seperti biasa. Padahal terakhir kali ia meminta saran, Sienna justru mengusulkan agar Brian tak perlu mengingat hal buruk tentang Kalila.
"Kami, kan, satu kelompok belajar lagi, Na. Jadi mau nggak mau aku emang harus sering ketemu sama dia. Lagian dia ternyata anaknya baik, kok. Nggak ada alasan untuk tetap benci sama Kalila," terang Brian. Wajahnya tampak berseri-seri saat menceritakan tentang Kalila.
Sienna diam. Entah mengapa informasi yang diberikan Brian tentang Kalila mendadak terasa mengusik hatinya.
"Tapi, Bri. Dia itu orang miskin. Kamu tahu sendiri, kan, gimana Papa kalau sampai tahu kamu temenan sama orang-orang kaya gitu?" Tanpa sadar, Sienna membawa nama papanya. Berharap cara itu ampuh untuk membuat Brian mendengarkannya.
Brian yang awalnya merasa lucu dengan rasa ingin tahu Sienna kini berubah serius. Tak suka karena sepupunya itu membawa-bawa nama Dennis. Juga perbedaan status yang menurutnya tak pantas untuk dipermasalahkan.
"Papamu udah cukup menentukan jalan hidupku, Na. Dia nggak berhak ngelakuin hal yang sama untuk pertemananku."
Sienna terdiam. Sadar jika telah salah bicara. Namun, ia sungguh kecewa dengan sikap Brian yang akhir-akhir ini menjauh darinya. Ia hanya ingin pemuda itu selalu bersamanya, bukan dengan orang lain. Dan, satu-satunya cara yang terpikir oleh Sienna hanya papanya.
"Tapi, Bri. Papa cuma pengin yang terbaik buat kita."
Brian menatap tajam Sienna. Meski tak berkata kasar atau main tangan, tindakannya itu sudah cukup jelas bagi Sienna. Ia tidak ingin membahas lebih lanjut tentang Dennis Atma Wijaya.
"Dengar, Na. Aku bebas berteman dengan siapa pun. Kaya ataupun miskin, termasuk dengan Kalila." Brian menekankan nada suaranya pada kata terakhir. "Dan, aku kira kamu udah cukup dewasa untuk memahami hal itu. Kita udah bukan anak kecil lagi, kan?"
Sienna hanya bisa mematung mendengar ucapan Brian. Bahkan saat sepupunya itu masuk dan menutup pintu kamar. Meninggalkan Sienna sendirian.
"Brian," lirih Sienna sembari menatap kosong ke pintu kamar sepupunya itu. Hati Sienna sedikit sakit karena untuk pertama kalinya ia melihat Brian yang berbeda. Brian yang enggan menuruti ucapannya dan justru mengagungkan nama gadis lain yang bahkan tak pantas dibandingkan dengan Sienna.
Dan, gadis itu adalah Kalila.
***
Langkah Brian terhenti tak jauh dari seseorang yang tengah berdiri dan menengok ragu ke dalam kelasnya. Brian menyipitkan mata, memastikan jika seseorang yang dilihatnya itu adalah Panji. Namun, postur tubuh tinggi besar milik pemuda sahabat Kalila tersebut sangatlah mudah dikenali. Sosok itu jelas Panji.
Brian mengernyit. Penasaran akan tujuan Panji di sana karena setahunya pemuda itu sangat jarang menghampiri Kalila ke kelas.
Rasa ingin tahu Brian segera terjawab sewaktu dilihatnya sebotol mineral di tangan Panji. Sama seperti benda yang kini ada di tangan Brian. Meski yang terlintas di otaknya belum tentu jawaban yang sesungguhnya, Brian tak ingin membuang-buang waktu.
Dengan cepat, Brian berlari ke arah Panji, lalu mendahului masuk bertepatan dengan pemuda tinggi besar itu berniat melakukan hal yang sama.
Dengan senyum lebar dan dua botol air mineral dingin di tangan, Brian menghampiri bangku Kalila dan Winda. Seperti biasa, kedua gadis itu tengah menikmati makan siang mereka. Hanya saja, hari ini Kalila ternyata lupa membawa air minum. Brian yakin kedatangan Panji berhubungan dengan hal itu, karena kepergian Brian ke kantin pun terkait hal serupa. Padahal sudah cukup lama ia tak lagi suka nongkrong di sana sewaktu jam istirahat. Mengikuti jejak Kalila, Brian lebih suka membawa bekal buatan mamanya. Itu pun tak setiap hari.
"Enak, nih," seru Brian seraya memutar lalu menempati kursi di depan meja Kalila. Pemilik kursi tersebut selalu pergi ke perpustakaan saat jam istirahat sehingga Brian leluasa menggunakannya. "Hari ini menu apa?"
"Aku apa Kalila, nih, yang ditanya?" tanya Winda memastikan. Berkat kedekatan Brian dan Kalila, gadis berhijab itu pun sekarang bersikap lebih lunak pada Brian. Tak jarang mereka bertiga saling melemparkan candaan dan berbagi tawa.
"Dua-duanya, dong. Kalau pada enak-enak, kan, aku bisa nyicip," jawab Brian sembari nyengir. Namun, sebelum sempat ada jawaban lagi dari kedua gadis tersebut, Brian segera meletakkan dua botol mineral yang tadi dibawanya di atas meja. "Tenang, aku udah bawain kalian minum juga, kok."
"Wah, wah, makasih, Bri. Kebetulan Kalila nggak bawa minum dan nggak sempat beli tadi. Aku bawa, sih, tapi udah disamber tuyul di pojokan sana," cerocos Winda sembari mengarahkan dagunya ke arah salah satu teman sekelas mereka yang berkepala botak dan sering bertingkah iseng.
Brian hanya tertawa kecil mendengar ocehan Winda. Dibiarkannya gadis berpipi tembem itu mengambil salah satu botol. Namun, sewaktu Kalila berniat melakukan hal yang sama, Brian segera mendahuluinya. Ia lalu membuka tutup botol tersebut sebelum akhirnya menyerahkan benda itu pada Kalila. Winda yang melihatnya hanya mengulum senyum.
"Makasih, Bri," tukas Kalila. Ia memang seringkali kesulitan ketika membuka tutup botol. Bantuan kecil Brian cukup berarti untuknya.
"Sama-sama, Kal." Brian pun tersenyum lebar. Rasanya menyenangkan ketika bisa membantu Kalila meskipun hanya sebuah hal kecil.
Kalila hendak meminum air mineral tersebut ketika tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia menatap serius Brian yang masih menyunggingkan senyum. Membuat sang pemuda sedikit heran.
"Aku baru tahu kalau kamu punya lesung pipi, Bri," ujar Kalila, masih tak melepaskan pandangannya dari Brian. Tak menyadari jika tindakannya itu justru membuat Brian salah tingkah.
"Eh, beneran kamu baru tahu? Wah, parah kamu, Kal. Nggak update banget soal ketampananku." Brian berusaha menghilangkan kecanggungannya dengan bersikap percaya diri. "Tapi, lesung pipi ini membuatku tambah ganteng, kan?"
Di luar dugaan, Kalila justru mengangguk dan menjawab 'ya'. Gadis itu bahkan mengatakannya sembari tersenyum dan masih menatapnya.
Mendadak wajah Brian terasa memanas tanpa sebab. Ia menyentuh tengkuknya lalu bergegas bangkit. Tiba-tiba saja ia ingin menghilang dari hadapan Kalila saat itu juga. Tak peduli dengan gelak tawa Winda yang pecah di saat yang bersamaan.
"Ehm, kalian lanjutin makannya, deh. Aku ... ke bangkuku dulu," pamit Brian dengan sedikit terbata. Ia bahkan hampir menabrak meja ketika berjalan meninggalkan bangku Kalila.
Brian malu. Sudah pasti. Meski sebenarnya ia sendiri tak yakin akan hal yang sudah membuatnya merasa begitu. Mengabaikan tawa Winda yang semakin terpingkal, ia buru-buru mendekati bangkunya. Namun, panggilan Kalila membuat langkahnya tertahan.
"Bri, makasih, ya, minumnya." Kalila masih tersenyum saat mengucapkannya dan tawa Winda pun masih berderai.
Tak sanggup membalas dengan kata-kata, Brian hanya mengacungkan jempol tangan kanannya sebagai balasan. Lalu buru-buru menyembunyikan diri dengan melipat tangan di atas mejanya dan membenamkan diri di sana.
Brian terlalu malu menghadapi Kalila hingga tak lagi peduli pada sosok Panji yang masih berdiri di depan pintu kelas. Mengamati semua yang terjadi antara dirinya dan Kalila.
***
"Oh, maaf. Aku nggak sengaja," Kalila buru-buru membantu seorang gadis yang ditabraknya untuk berdiri ketika akhirnya menyadari siapa sosok tersebut, "kamu nggak apa-apa, kan, Sienna?"
Sienna yang segera menepis bantuan dari Kalila pun berusaha untuk bangkit sendiri. Sewaktu telah berhasil berdiri sepenuhnya, ia lalu menatap Kalila tajam sembari bersedekap.
"Kamu yang namanya Kalila, kan?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. Sienna bahkan mengamati Kalila dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah memindai penampilan gadis itu.
"Ya." Kalila menjawab dengan cepat. Tampak masih khawatir dengan keadaan Sienna. "Kamu beneran nggak apa-apa, kan? Maaf, aku beneran nggak sengaja."
"Nggak perlu minta maaf, karena bukan itu yang aku butuhin," balas Sienna. "Aku cuma butuh kamu jauhin Brian."
"Maksud kamu?" tanya Kalila sembari mengernyit. Percakapan mereka berdua terasa aneh. Terlebih koridor sekolah saat itu cukup sepi. Jam pulang sekolah telah lewat sepuluh menit yang lalu. Tadinya Kalila memang bersama Winda, tetapi gadis itu baru saja pergi ke toilet. Sementara Panji menunggunya di depan pintu gerbang seperti biasa.
"Aku tahu kalian memang satu kelompok belajar, tapi aku harap nggak lebih dari itu. Dan, setelah tugas itu selesai, aku minta jangan lagi dekat sama Brian."
Sorot mata Kalila masih memancarkan kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa Sienna tiba-tiba mengatakan hal tersebut. Setahunya, ia dan Brian tak melakukan hal yang salah. Mereka hanya bersama untuk tugas kelompok. Hanya sesekali Brian melontarkan canda tawa padanya, itu pun ada Winda juga di antara mereka.
"Maaf, Sienna, tapi aku masih nggak ngerti. Meskipun aku nggak berencana ngelakuin hal yang kamu larang itu, tetap aja aku merasa harus tahu alasan kamu minta aku melakukannya."
Sienna mengembuskan napas panjang. Masih dengan tatapan tajam dan serius, ia mendekat pada Kalila. Kemudian, diucapkannya sederet kalimat yang telah ia susun sedemikian rupa.
"Brian jadi sedikit nggak terkendali semenjak kenal kamu. Dia jadi suka membantah kata-kata mamanya dan juga papaku." Sienna berhenti sejenak, mengamati ekspresi Kalila akan ceritanya, "dia bahkan mengabaikanku. Padahal selama ini kami selalu bersama. Berbagi apa pun. Dan, terus terang aku nggak suka dengan perubahannya."
Kalila terdiam. Ia tidak tahu jika pertemanannya dengan Brian membawa dampak seburuk itu. Padahal apa yang mereka bicarakan tak pernah jauh dari tugas, lagu dan hal-hal kecil tentang sekolah.
"Tapi aku nggak merasa perubahan Brian itu karena aku."
"Aku ngasih tahu supaya kamu sadar kalau kamulah penyebabnya."
Kalila yang tadinya menghadapi Sienna dengan tenang kini berubah serius. Ia balas menatap gadis blasteran itu tajam. Merasa jika kata-kata Sienna bukanlah sebuah peringatan, tetapi tuduhan.
"Bagaimana jika aku tetap nggak merasa itu salahku?"
Sienna tersenyum sinis. Tidak menyangka jika Kalila berani menjawabnya dengan kalimat bernada tantangan. Dari kejauhan, ia melihat Winda mendekat ke arah mereka berdua. Ia lalu memilih pergi meninggalkan Kalila. Namun, ia sengaja menyenggol pundak Kalila dan mengatakan sesuatu sebelum benar-benar beranjak.
"Kalau begitu, kamu harus bersiap dengan tindakan apa pun dariku, Kalila."
Suara Sienna berakhir bertepatan dengan kedatangan Winda yang menatapnya heran. Namun, Sienna tak peduli. Ia terus berjalan menjauh dengan senyum sinis masih terukir di bibir.
"Tumben Sienna ngobrol sama kamu, Kal? Ngomongin apaan?" tanya Winda penasaran begitu Sienna telah menghilang dari pandangannya.
"Cuma minta aku jauhin sepupunya," jawab Kalila singkat. Membuat Winda terbelalak tak percaya.
"Lah, emang salah kamu apa? Lagian, perasaan Brian yang deketin kita, deh."
Kalila mengangkat bahu.
"Nggak tahu. Cemburu, mungkin."
"Ih, apaan coba? Cemburu sama sepupu," desis Winda, "kita aduin aja sama Brian."
"Nggak usah, Win. Kesannya kita jadi adu domba," jawab Kalila seraya menggeleng.
"Terus, gimana?"
Kali ini Kalila hanya tersenyum. Tak berniat menjawab. Namun, sedetik kemudian ia akhirnya bersuara meski hanya untuk balas bertanya.
"Menurutmu, aku harusnya gimana?"
***
Hmm, Kalila bener-bener ya. Anak bujang main disenyumin dan dikatain ganteng. Jadi salting, kan. Untung masih nabrak meja, bukan hatinya. Hihihi.
Btw, kalian pernah salting gara-gara seseorang juga nggak?
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro