Enam : Menggenggam Asa
DI sudut hati, kamu adalah ilusi
Namun, di depan diri, kamu sepenuhnya bidadari
***
Jam pelajaran Bahasa Indonesia di kelas Brian baru saja berakhir. Bu Indah, guru pelajaran tersebut yang juga merangkap sebagai wali kelas pun telah keluar bertepatan dengan bel istirahat yang baru saja berhenti bersuara. Suasana kelas yang tadinya serius seketika berubah riuh. Tawa dan seruan kebebasan memenuhi seisi ruangan. Sebagian besar siswa bahkan sudah melesat ke kantin.
"Eh, Bri. Nilai tugasmu bagus mulu dari kemarin. Enak, ya, kalau bisa satu kelompok sama Kalila," celetuk Doni, teman sebangku Brian. Ketika respon yang didapatnya hanya sebuah senyum singkat, Doni pun memutuskan untuk pergi. "Aku mau ke kantin. Bareng, nggak?"
Bu Indah tadi memang mengumumkan peraih nilai tertinggi untuk tugas yang beliau berikan sebelumnya. Dan, lagi-lagi kelompok Brian dan Kalila yang meraih nilai tertinggi. Pencapaian kali ini membuat Brian bangga karena ia benar-benar ikut andil, bukannya hanya mengandalkan Kalila.
Brian menggeleng sebagai jawaban atas ajakan Doni. Selepas kepergian Doni, pandangan Brian pun mengarah pada bangku Kalila. Mengamati gadis yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tasnya tersebut. Di sebelah kanannya, Winda melakukan hal yang sama sembari mengatakan sesuatu yang tidak bisa Brian dengar.
Raut tenang Kalila begitu menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya begitulah yang kini terpikir oleh Brian. Sebab netranya tak ingin berpaling dari setiap gerak-gerik gadis itu. Dan, ia semakin tak berkedip ketika mendapati gadis itu tersenyum. Bahkan meski senyum itu bukan tertuju untuknya.
Dengan penuh semangat Brian berdiri lalu berjalan menuju bangku Kalila. Hendak menghabiskan waktu istirahatnya dengan bercengkerama bersama gadis itu. Namun, saat ia hendak menempati bangku di depan Kalila, gadis itu justru bangkit dari duduknya dan hendak pergi.
"Eh, mau ke mana, Kal?" tanya Brian heran.
"Ke kantin," jawab Kalila singkat. Senyumnya yang tadi Brian kagumi tiba-tiba saja berganti ekspresi datar. Tindakannya itu diikuti pula oleh Winda. Namun, Brian belum menyadari keengganan kedua gadis tersebut akan kehadirannya sehingga ia masih melontarkan candaan.
"Nggak bawa bekal? Tumben?" Brian tersenyum lebar hingga lesung pipinya semakin kentara. "Ah, aku tahu. Kalian pengin cari suasana baru, kan? Boleh, boleh. Aku yang traktir, deh."
"Nggak, Bri," jawab Kalila, "kita berdua ada janji sama Panji. Dan, sebaiknya kamu nggak perlu ikut."
Kalila dan Winda lalu bergegas pergi sebelum Brian sempat mengatakan apa pun lagi. Kedua gadis itu bahkan mengabaikan panggilannya. Mereka terkesan sengaja menghindari Brian.
Pasti ada yang salah, batin Brian.
Kalila memang seperti menjaga jarak darinya. Interaksi terakhir mereka adalah saat Kalila menunjukkan hasil tugas kelompok dari Bu Indah. Akan tetapi gadis itu tak mengatakan apa pun. Sebenarnya Brian sudah merasakan keanehan sikap Kalila sejak beberapa hari ini. Gadis itu hanya membalas sapaan riang Brian dengan singkat. Tak ada senyum dan lontaran candaan yang kerap ada di kebersamaan mereka akhir-akhir ini. Kalila bersikap seperti saat sebelum mereka akrab.
Awalnya Brian tak ingin mempermasalahkan hal tersebut. Ia menganggap Kalila sedang dalam suasana hati yang buruk sehingga bersikap seperti itu. Namun, ia tak bisa mengira hal yang sama ketika baru saja Kalila kembali melakukan hal serupa.
Brian terdiam sembari menatap pintu kelas yang baru saja dilewati Kalila dan Winda. Mencoba mengingat-ingat kesalahan apa yang mungkin sudah ia perbuat pada Kalila. Sesuatu yang bisa jadi sudah menyakiti perasaan gadis itu tanpa ia sadari. Namun, hasilnya nihil. Yang muncul di otak Brian justru kejadian-kejadian manis yang belakangan kerap membuatnya seperti orang gila. Tak henti tersenyum sendiri.
Sedetik kemudian, terngiang satu nama di kepala Brian. Nama yang tadi sempat Kalila sebutkan sebelum pergi. Panji.
Apa jangan-jangan ini semua karena Panji?
***
"Nggak bakal lama, kan? Soalnya Kalila udah nungguin aku di taman Bugenvil."
Brian tak sengaja mendengar percakapan Panji dengan salah satu rekannya di ekskul beladiri ketika hendak berbelok di koridor dekat ruang kesenian. Wajah suntuknya seketika berubah cerah seperti langit pagi yang disinari cahaya mentari. Tanpa mempedulikan pesan Sienna yang ingin pulang bersamanya, Brian segera berlari menuju tempat yang disebutkan Panji.
Taman Bugenvil adalah sebuah taman yang terletak di dekat sekolahnya. Satu area dengan lapangan sepakbola milik warga, Brian hanya butuh kurang dari tiga menit untuk menuju ke sana. Taman tersebut tak seberapa luas. Sekitar setengah lapangan bola. Namun, pohon bugenvil dengan bunga beraneka warna yang sengaja ditanam warga di sana membuat taman kecil tersebut menjadi tempat yang indah. Disediakannya beberapa bangku taman juga membuat tempat itu sering dijadikan tempat melepas penat oleh warga sekitar, terutama siswa-siswi dari sekolah Brian.
Napas Brian tersengal karena berlari menuju taman Bugenvil. Namun, hal itu jadi sebanding ketika dilihatnya sesosok gadis yang duduk di bangku taman di bawah satu pohon bugenvil berbunga merah muda. Kalila.
Gadis itu tengah menekuri sebuah buku hingga tak menyadari kedatangan Brian. Selalu begitu ketika ia sedang serius dengan sesuatu. Kebiasaan yang mulai Brian hafal dari gadis itu.
Dari tempatnya berada, Brian bisa leluasa memandangi Kalila. Gadis yang selama beberapa waktu ini terus mengusik hati dan mengganggu jam-jam tidurnya. Juga membuat perasaannya kacau dan bahagia secara bersamaan.
Tiba-tiba terbersit sebuah ide di benak Brian. Ia bergegas merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Lalu, dalam hitungan detik, tanpa sepengetahuan gadis itu ia telah mengabadikan siluet Kalila dalam sebuah foto. Brian kemudian memeriksa hasil jepretan kamera ponselnya. Ia tersenyum semakin lebar sewaktu melihat hasil foto tersebut.
Dalam foto, dua kuntum bunga bugenvil berwarna merah muda ikut terekam. Bunga-bunga tersebut jatuh mengenai rambut Kalila. Di mata Brian, kehadiran bunga tersebut justru memberi efek dramatis pada foto yang ia ambil. Menjadikan sosok Kalila semakin terlihat sempurna.
"Serius banget? Lagi baca apaan, sih?" Segera setelah menyimpan ponselnya, Brian menghampiri Kalila. Ia mengambil tempat tepat di sebelah gadis itu.
Kalila yang sedari tadi serius membaca sontak menoleh. Ia sedikit tersentak sewaktu melihat Brian yang datang, bukan Panji. Namun, gadis itu bisa segera menguasai dirinya.
"Cuma novel," jawab Kalila pendek, "kamu ngapain di sini?"
"Nemenin kamu," balas Brian sembari tersenyum. Ia tidak tahu alasannya, tetapi bibirnya seolah reflek melakukan hal itu ketika berhadapan dengan Kalila.
"Aku sama Panji, kok."
"Dia masih lama kayanya. Tadi aku lihat dia lagi ngomong serius sama salah satu temen ekskulnya," terang Brian, "karena itu aku buru-buru ke sini."
Kalila sama sekali tidak merespon. Bahkan tidak ada sekadar pertanyaan basa-basi atas pernyataan Brian di kalimat terakhir. Gadis itu justru menutup buku yang ia baca kemudian mencangklong tasnya. Bersiap pergi.
"Aku harus nyusul Panji, Bri. Permisi."
Belum sempat kaki Kalila melangkah lebih jauh, Brian bertindak cepat dengan mencekal lengan gadis itu. Menahannya untuk tidak pergi.
"Kal, kalau aku ada salah sama kamu, tolong katakan. Jangan menghindariku kaya gini," pinta Brian.
"Aku nggak menghindari kamu dan kamu juga nggak ada salah sama aku." Kalila menjawab sembari berusaha melepaskan diri dari cekalan Brian. Sayang, usahanya tidak membuahkan hasil.
"Kamu jelas-jelas menghindariku, Kal."
"Nggak. Aku bersikap seperti biasanya, kok. Kamu hanya merasa begitu karena selama ini kita sering bersama." Kalila tak menyerah. Ia menatap Brian dan sedikit memohon agar pemuda itu melepaskannya.
"Maaf," Brian cepat-cepat membebaskan tangan Kalila dari cekalannya, "aku nggak bermaksud buruk. Aku cuma pengin tahu kenapa kita jadi jauh sekarang. Aku ... nggak suka kita jadi berjarak."
Kalila tertegun mendengar pengakuan Brian. Namun, ekspresinya tetap tak terbaca. Bahkan, meski setelah itu ia tersenyum dan mengatakan hal yang membuat Brian merasa lebih baik, ekspresinya tetap tak mudah diartikan.
"Maaf, Bri. Kita teman, sama seperti aku dan Winda maupun Panji. Aku nggak menjauh, hanya saja kita emang sedang nggak berada di situasi yang mengharuskan kita bersama. Dan, aku harap kamu bisa memahaminya."
Brian balas tersenyum. Untuk saat ini, penjelasan Kalila itu sudah cukup. Meski hatinya menuntut jawaban yang lebih spesifik, Brian menahan diri agar tak sampai mengusik ketenangan gadis itu.
"Aku ... ngerti," balas Brian.
"Kalau gitu, boleh aku pergi sekarang?" tanya Kalila yang segera dibalas sebuah anggukan oleh Brian.
Selepas kepergian Kalila, Brian meraih sekuntum bunga bugenvil yang berguguran di bangku tempat Kalila duduk tadi. Diamatinya helai-helai berwarna merah muda itu cukup lama hingga akhirnya ia tersenyum.
"Maaf ... dan makasih," lirih Brian. Berharap Kalila bisa mendengarnya. Atau setidaknya angin yang tengah melintas bisa menyampaikannya pada gadis itu.
***
"Eh, serius kamu mau deketin Kalila?"
Sebuah suara terdengar ketika Brian berada di salah satu bilik kamar mandi laki-laki. Baru saja mengganti seragam olahraganya dengan kemeja putih. Ia tak terbiasa ganti baju secara bergerombol di dalam kelas. Meski bagi teman-temannya yang lain itu bukan hal yang tabu, Brian tetap merasa tak nyaman ketika harus mempertontonkan tubuhnya pada orang lain.
"Serius, dong. Aku, tuh, udah ngincer Kalila dari lama," jawab satu suara lainnya.
Brian yang baru selesai mengancingkan bajunya pun mendekatkan telinga ke pintu. Berusaha mendapatkan percakapan yang lebih jelas sekaligus mengenali para pemilik suara tersebut.
"Kamu nggak takut sama Panji? Mereka pacaran, kan?"
"Mereka nggak pacaran. Dan, si Panji, kan, lagi lomba ke luar kota, jadi aku bisa melancarkan serangan tanpa perlu takut sama dia."
Brian yang tak tahan mendengar ocehan kedua pemuda asing itu pun segera keluar dari bilik toilet. Ia sengaja membuka pintunya dengan kasar sehingga membuat kedua pemuda tadi terkejut dan menghentikan percakapan mereka.
"Siapa di antara kalian yang mau ngedeketin Kalila?" Nada suara Brian terkesan mengintimidasi. Ia sengaja melakukannya karena sama sekali tak mengenal dua pemuda di hadapannya itu.
"Aku. Emangnya kenapa? Kamu nguping, ya?" tuduh salah satu dari dua pemuda tersebut. Tampangnya lumayan dan tubuhnya tinggi kurus, tetapi menurut Brian dia sama sekali tak cocok bersanding dengan Kalila. Panji jauh lebih meyakinkan jika dihadapkan pada tugas melindungi Kalila.
Sembari berdecak meremehkan, Brian mendekati si pemuda tinggi kurus lalu merangkulnya.
"Aku beritahu kalian, ya. Kalila itu udah punya pacar. Dan, pacarnya lebih beringas daripada Panji."
Seraya menyingkirkan lengan Brian dari pundaknya, pemuda tinggi kurus tadi menatap Brian skeptis.
"Info kamu sama sekali nggak meyakinkan."
"Ya udah kalau nggak percaya."
Brian mengedikkan bahu dan berlagak tak peduli sebelum akhirnya pergi meninggalkan kedua pemuda tersebut. Padahal, dalam hati ia ketar-ketir. Takut informasi palsu yang ia berikan itu tak membuat pemuda tadi mengurungkan niat untuk mendekati Kalila.
Kekhawatiran Brian ternyata benar-benar terjadi. Sepulang sekolah, pemuda tinggi kurus tadi menghadang langkah Kalila dan Winda. Brian yang berada tak jauh di belakang mereka pun segera mendekat.
"Kal, aku anterin pulang, yuk!" ajak pemuda tadi sewaktu Brian menghampiri mereka.
"Makasih, tapi aku pulang bareng Winda. Jadi, maaf, ya," tolak Kalila. Brian tebak gadis itu sebenarnya enggan meladeni, tapi tetap berusaha bersikap baik.
Namun, pemuda tadi tetap menawarkan diri. Lebih tepatnya memaksa Kalila meski gadis itu tetap menolak untuk kesekian kali. Winda yang sedari tadi menemani Kalila sampai kesal dan membentaknya.
"Dibilangin Kalila nggak mau, kok, masih maksa, sih?" sembur Winda. Pipinya yang tembem bertambah gemuk sewaktu ia dalam kondisi kesal seperti sekarang.
Pemuda tadi mengabaikan kemarahan Winda dan justru dengan kurang ajarnya hendak memegang tangan Kalila. Namun, sebelum niatnya terlaksana, Brian bergerak cepat. Ia mendahului pemuda itu menggandeng tangan Kalila.
"Padahal tadi aku udah kasih tahu kalian kalau Kalila udah punya pacar. Atau infoku tadi kurang jelas?" Brian menatap tajam pemuda tadi sembari menggenggam erat tangan Kalila.
Pemuda tadi menatap pemandangan di hadapannya tak percaya. Ia memicingkan mata hanya untuk mendapatkan citra yang sama. Bahwa Brian memang tengah menggenggam tangan Kalila.
"Maksudmu, pacar Kalila itu kamu?"
Brian menggangguk mantap meski dalam hati hampir tak mempercayai tindakannya sendiri. Kalila mungkin akan marah padanya setelah ini, tetapi tak masalah baginya selama bisa menjauhkan gadis itu dari pemuda manapun yang tak ia suka.
"Sial," umpat pemuda tadi sebelum akhirnya pergi tanpa berkata apa pun lagi. Membawa serta kekesalannya karena dipermalukan oleh Brian dengan halus. Kalau yang dikhawatirkannya dari Panji adalah dibuat babak belur, maka Brian memiliki sebab yang berbeda. Dengan Brian, uang yang berbicara. Sebab bukan rahasia jika pemuda itu kaya raya. Dalam beberapa kasus, jika tidak bisa dibilang sebagian besar, pengaruh uang jauh lebih menakutkan daripada kepalan tinju.
Jemari tangan Brian dan Kalila masih bertautan sewaktu pemuda tadi telah menghilang dari pandangan mereka. Entah apa yang tengah Kalila rasakan saat itu, tetapi Brian sama sekali tidak keberatan membiarkan tangan mereka menyatu lebih lama lagi kalau saja Winda tidak berdeham berkali-kali.
"Hei, Pacar Kalila!" seru Winda sembari menunjuk ke arah Brian lalu ke tangannya dan Kalila. "Si pembuat onar udah pergi. Lepasin tuh genggamannya. Bukan muhrim."
Brian tersenyum malu seraya menuruti perintah Winda. Sebutan yang baru saja Winda berikan untuknya membuat hati Brian berdebar-debar. Juga memunculkan perasaan asing yang sulit ia jabarkan.
"Makasih, Bri." Kalila menundukkan kepala sewaktu mengatakannya sehingga Brian kesulitan melihat raut wajah gadis itu. Padahal ia penasaran, apakah Kalila tampak sama bahagianya dengan dirinya sekarang atau tidak.
"Biar aku antar kamu pulang, Kal," ujar Brian yang masih tak mau kehilangan kesempatan untuk terus bersama Kalila.
"Nggak. Kalila pulang sama aku. Mamaku udah jemput," ketus Winda. Dia melotot pada Brian. Berlagak mengancam yang sayangnya justru terlihat lucu.
"Oke. Hati-hati, ya," pesan Brian yang kemudian tersenyum sendiri karena menyadari ucapannya yang terdengar norak. Namun, anehnya ia justru menikmati hal tersebut.
Winda hanya melengos dan segera menarik Kalila pergi. Meninggalkan Brian yang masih berdiri mematung. Masih menatap kepergian Kalila. Berharap gadis itu sempat menoleh ke belakang dan memberikannya seutas senyum yang bisa ia jadikan teman tidur kala malam.
Namun, asa Brian tak terkabul. Sampai kedua gadis itu menghilang dari pandangannya, Brian tetap tak mendapatkan senyuman Kalila. Garis bibirnya sontak melengkung ke bawah pertanda kecewa. Akan tetapi kekecewaan itu tak bertahan lama sewaktu ia melihat tangan kanannya. Tangan yang sempat bertautan dengan tangan Kalila tadi.
Tangan kanannya mendadak membuat senyum Brian merekah. Ia benar-benar sudah terjangkit virus norak sebab berencana memandangi tangannya itu sebelum tidur nanti.
***
Memang ya kalau udah terjangkit virus asmara, nggak kenal dengan kata norak. Hayo ngaku, siapa yang pernah ngalamin juga? Senorak Brian, nggak? Atau lebih parah?
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro