Empat Belas : Kembali
JANGAN memutuskan untuk berhenti
Ketika kamu masih mengingat semua hal tentangku, lagi
***
Jakarta, 2018
Pemandangan kota Jakarta dari balkon hotel tempatnya menginap menjadi teman Brian malam ini. Suara kesibukan ibukota yang tumpang tindih tertangkap oleh telinganya, menjadikan sepi beranjak pergi meski ia sedang sendiri.
Brian benar-benar tak berniat pulang dan melanjutkan pesta pertunangannya dengan Sienna. Tekadnya sudah bulat. Ia tak ingin memberi sepupunya itu lebih banyak harapan yang sejatinya palsu. Sienna berhak bahagia, tetapi bukan bersamanya. Sampai kapan pun, mereka akan tetap menjadi saudara.
"Jadi, kamu nginep di mana sekarang?" Suara Irman kembali terdengar. Brian memang tengah berbicara di telepon dengan salah satu teman kerjanya itu. Mereka berbeda divisi. Brian di bagian keuangan, sementara Irman dan Geri-sahabatnya- adalah arsitek di PT. Buana Nusantara, perusahaan tempat mereka bertiga bekerja sekaligus milik keluarga Atma Wijaya.
"Aku ragu kamu bisa jaga rahasia begitu Sienna yang bertanya," jawab Brian santai. Tahu betul perangai Irman yang mudah luluh pada perempuan.
"Hei, seenggaknya kasih kabar nyokap kamu, dong. Kata Sienna beliau nangis terus di rumah. Khawatir sama kamu."
Brian tersenyum miris. Membuat mamanya menangis bukanlah hal yang ingin ia lakukan. Namun, ia tidak mau terjebak dalam situasi yang ada. Harapan Farah menyatukan Brian dan Sienna agar bisa bahagia adalah omong kosong. Gadis itu justru akan menderita jika memaksakan diri bersama Brian.
"Aku pasti balik, Man. Saat ini, aku cuma butuh waktu untuk sendiri," jawab Brian. Pandangannya menatap jauh ke deretan gedung-gedung tinggi yang tersaji di hadapannya. "Bagaimana dengan Sienna?"
Di seberang telepon, terdengar Irman menghela napas.
"Kamu khawatir sama dia, tapi malah ninggalin dia di pesta pertunangan kalian kaya gini? Aku benar-benar nggak ngerti," gerutu Irman, "tapi selain matanya yang bengkak, dia baik-baik aja. Semoga memang seperti itu."
Bagaimanapun juga Brian menyayangi Sienna. Ia hanya tidak bisa jika harus belajar mencintai gadis itu karena ada orang lain yang sudah menempati hatinya. Seseorang yang kini kembali teringat dalam memori. Terutama setelah kisah panjang mereka yang tadi ia tuturkan di acara radio setempat. Kenangan yang seringkali berusaha ia lupakan, tetapi belum juga berhasil. Celakanya, curahan hati di acara radio tadi justru membuat Brian semakin didera rindu pada Kalila. Menerbitkan kembali harapan untuk bertemu dengan gadis itu. Harapan yang pasang surut mengisi hatinya.
"Bagaimana dengan Om Dennis?" tanya Brian lagi. Baru teringat jika ada satu orang lagi yang perlu dia khawatirkan akibat tindakan nekadnya kabur dari pesta pertunangan.
"Wah, dia seneng banget kamu kabur, Bri. Malah semua orang sampai dikasih hadiah," jawab Irman, "begitu yang pengin kamu denger? Mimpi aja. Jelas dia marah besar lah."
Brian tertawa kecil mendengar jawaban Irman. Sudah pasti Dennis akan murka. Brian sudah mempermalukan seluruh keluarga dan menyakiti putri kesayangannya. Namun, Brian tak mungkin menghindar. Cepat atau lambat ia pasti akan menghadapi kemarahan Dennis.
"Ya udah. Biarin Om Dennis marah-marah dulu. Kalau dia udah capek marah, baru deh aku pulang," canda Brian yang dibalas dengan dengkusan oleh Irman.
"Otakmu udah kacau, Bri." Kali ini terdengar suara Geri. Sepertinya dua sahabat itu sedang berada di tempat yang sama. "Gara-gara ulahmu ini, semua orang di kantor bakal kena imbasnya sampai kamu kembali."
"Ya, nggak apa-apa, kan? Sekali kali kalian dapat hadiah dari Om Dennis," canda Brian.
"Ini semua beneran karena kamu nggak cinta sama Sienna atau karena ada perempuan lain, Bri?"
"Dua-duanya, Ger," jawab Brian sembari mengembuskan napas panjang. Lalu menghirup udara malam sebanyak-banyaknya. Mengisi kekosongan paru-paru dengan oksigen, berharap dahaganya akan jawaban masa lalu bisa ikut terpuaskan kala ia bernapas sembari memikirkan gadis itu.
"Dia bahkan nggak pamit padamu sepuluh tahun lalu," Irman kembali dan ikut menimpali, "bagaimana kalau ternyata dia udah sama orang lain? Udah nikah dan bahkan udah punya anak?"
Brian terdiam. Ucapan Irman benar adanya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Siapa pun dan apa pun bisa berubah. Bahkan perasaan sekali pun. Apalagi sebuah status. Namun, selalu ada dua kemungkinan. Perkataan Irman adalah kemungkinan pertama, sedang yang kedua adalah yang Brian yakini sampai detik ini. Bahwa Kalila masih sendiri, menanti dirinya untuk menggenapkan perasaan mereka berdua.
"Selama itu semua cuma kemungkinan, aku nggak akan berhenti berharap."
Jawaban mantap Brian membuat kedua temannya di ujung telepon sana terdiam. Tidak semua orang bisa hidup dengan menerima kenyataan yang terus mengalir dan mengalami perubahan. Dan, Brian adalah salah satunya. Lelaki yang selama sepuluh tahun memendam perasaan untuk gadis yang pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padanya.
"Aku cuma bisa berharap yang terbaik buatmu, Bri," tukas Geri akhirnya.
"Dan, semoga berhasil menemukan gadis itu," imbuh Irman.
Brian mengucapkan terimakasih dan mengamini ucapan kedua temannya itu. Namun, keyakinan itu memang sudah berakar di hatinya. Begitu kokoh dan kuat karena telah bertahun-tahun ia rawat. Sekarang, saatnya menanti apakah perasaan itu akan sempat berbunga dan berbuah manis? Atau justru mati?
***
"Assalamualaikum, Pak," ucap Kalila begitu memasuki rumah. Ia tersenyum sewaktu mendapati ayahnya masih berada di ruang tengah. Tertunduk menekuri sebuah buku.
"Wa'alaikumsalam," balas Burhan, lelaki yang Kalila panggil 'Bapak' dan tinggal bersamanya sejak lima tahun lalu. Sejak Halimah berpulang.
Kalila mendekat lalu meraih dan mencium punggung tangan Burhan.
"Dianter Panji, Nduk?" tanya Burhan sembari melongok ke luar. Berharap menemukan sosok yang baru saja ia sebutkan.
"Naik ojek online, Pak. Panji lagi kerja malam," jawab Kalila seraya melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak dekat pintu. "Bapak sampun dahar?"
"Sudah, Nduk. Obatnya juga sudah Bapak minum, kok."
Kalila tersenyum lembut. Berbeda dengan orangtua kebanyakan yang biasanya rewel saat sakit, Burhan justru sangat penurut. Lelaki yang baru bisa berkumpul dengan Kalila setelah puluhan tahun itu seolah tak ingin membebani Kalila dengan banyak tingkah. Padahal, Kalila tak keberatan seandainya Burhan meminta lebih banyak perhatian karena sudah kewajibannya untuk melayani orangtuanya. Apalagi, Burhan adalah orangtua kandung Kalila.
"Ya sudah. Sekarang Bapak tidur, ya. Istirahat dulu biar besok bangun pagi segar lagi."
Selesai mengunci pintu depan, Kalila mendekat. Diletakkannya buku yang tadi dibaca Burhan lalu ia mulai mendorong kursi roda ayahnya itu menuju kamar. Setelah membantu Burhan naik ke tempat tidur dan menyelimutinya, Kalila pun beranjak pergi dari kamar tersebut. Ia menutup pintunya pelan kemudian bergegas menuju kamarnya sendiri yang ada di seberang ruangan tersebut.
Begitu memasuki kamarnya, Kalila yang berniat melepaskan jilbab urung karena sebuah panggilan dari ponselnya. Ia tersenyum sewaktu melihat nama yang tertera di layar.
"Assalamualaikum, Nji," ucapnya begitu panggilan tersambung.
"Wa'alaikumsalam, Kal. Udah nyampe rumah?" tanya Panji di seberang telepon. Nada suaranya terdengar khawatir.
"Baru aja sampai, Nji. Ada apa?" Biasanya Panji hanya akan menanyainya lewat pesan jika tak bisa menjemput Kalila pulang kerja. Pasti ada sesuatu yang penting hingga lelaki itu sampai perlu menelepon Kalila. Terlebih saat ini Panji sedang berada di tempat kerja.
"Aku dengerin siaran kamu tadi. Apa kamu baik-baik aja, Kal?" tanya Panji balik. Membuat Kalila terdiam.
Seketika kilasan-kilasan masa lalu berkelebat di benak Kalila. Tentang seseorang yang pernah ia tinggalkan tanpa sempat memberi penjelasan apa pun. Seseorang yang ia pilih untuk dilupakan, tetapi kini justru muncul sembari membawa kenangan mereka. Seseorang yang bernama Brian Atma Wijaya.
"Emangnya aku kenapa, Nji?" Kalila menjawab sembari tertawa kecil. Berusaha menutupi perasaan yang sejatinya tengah kacau balau. "Kamu nggak lagi kangen Alicia dan jadiin aku kedok, kan?"
Desahan Panji terdengar begitu jelas di telinga Kalila. Pertanda pemuda itu tak berminat menanggapi candaan garing Kalila.
"Aku serius, Kal."
Kali ini Kalila yang mengembuskan napas panjang. Ia lalu duduk di tepi ranjang, memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan Panji.
Sejujurnya, Kalila tidak baik-baik saja. Pertama kali ia mendengar nama Brian disebut tadi, detak jantungnya sudah menggila. Namun, otaknya berusaha mengambil alih. Meyakinkan diri sendiri jika tak hanya ada satu Brian di dunia ini. Sayangnya, kisah yang meluncur tentang gadis cinta pertamanya yang bernama Kalila, membuat usaha itu sia-sia.
Kalila hanya bisa diam mendengarkan setiap kata yang diucapkan Brian. Sesekali ia mengingat kenangan itu dan tersenyum samar. Berandai-andai jika mereka tak harus berpisah tanpa penjelasan seperti dulu. Namun, Kalila sadar jika pengandaian bukanlah sesuatu yang baik. Ia harus membuka mata dan menghadapi kenyataan yang ada. Karena sejak kedatangan Dennis ke rumahnya waktu itu, dunia telah meneriakkan fakta yang menyakitkan untuknya, sekaligus meluruhkan setiap jengkal harapan yang ia miliki.
"Aku baik-baik aja, Nji. Percayalah," tukas Kalila, "makasih udah bertanya. Aku mau tidur dulu, ya."
Terdengar jawaban Panji yang mengiakan permintaan Kalila. Kemudian, pembicaraan itu berakhir. Akan tetapi, semua hal yang menciptakan kemelut di hati Kalila masih bersarang di benaknya. Bergelayut rapat seolah tak lagi bisa terlepas.
Mengembuskan napas panjang untuk kesekian kali, Kalila hanya bisa membangun lagi sebuah harapan kecil. Semoga Brian tak pernah tahu jika pendengar ceritanya adalah gadis yang selama ini ia cari.
Ya, mereka adalah gadis yang sama. Kalila Putri Nastiti.
***
Gimana, gimana? Terkejoet atau ada yang udah nebak siapa Nastiti sebenarnya?
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro