Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua : Sebuah Awal

SEMUA hanya tentang waktu

Saat keindahan rasa yang ingin dipendam

Berubah menjadi asa yang tak mampu diredam

***

Malang, 2008

Hiruk pikuk kantin sekolah menemani Brian yang tengah melampiaskan emosi pada bakso dalam mangkoknya. Di hapadan pemuda itu, Sienna duduk bertopang dagu. Sesekali meringis ngilu melihat nasib bulatan daging dengan kuah semerah darah tersebut.

"Itu bakso nggak salah apa-apa kali, Bri. Berhenti, dong. Ngeri aku lihatnya," protes Sienna. Ia jadi kehilangan selera makan gara-gara ulah gila Brian.

Bagaimana tidak? Brian menusuk-nusuk makanan tersebut sekuat tenaga setelah memasukkan saus dan sambal dalam jumlah yang tak terkira. Kalau saja benda bulat dalam mangkok itu adalah makhluk hidup, tindakan Brian pasti sudah disebut pembunuhan.

Brian berhenti sejenak untuk kemudian menatap Sienna yang tengah menyeruput es jeruknya.

"Kenapa kita nggak sekelas aja, sih?" keluh Brian sebelum akhirnya kembali melanjutkan siksaannya pada si bakso.

Mungkin ucapannya terdengar seperti sebuah rengekan, tetapi ia serius. Sekelas dengan Sienna yang lebih pintar akademik akan membuat Brian tak perlu belajar terlalu keras. Juga, ia tak perlu satu kelompok dengan orang yang tak diinginkannya.

Sienna mengerutkan kening. Ia tahu suasana hati Brian sedang tidak bagus, tetapi belum tahu pasti penyebabnya. Biasanya karena pemuda itu baru saja kalah dalam sebuah perdebatan atau mendapatkan nilai buruk dalam ulangan.

"Kenapa?"

"Bu Indah udah ngumumin kelompok untuk tugas dari beliau. Dan, coba tebak, siapa yang menjadi pasanganku?"

Sienna mengedikkan bahu. Tak berniat untuk menebak pula.

"Kalila," jawab Brian mantap.

Ekspresi Sienna perlahan berubah. Mulai tertarik dengan bahasan yang ada.

"Cewek yang bikin kelas kamu menang di acara bazar dengan ide daur ulangnya itu?" tanya Sienna memastikan.

Brian mengangguk malas. Tangan pemuda itu masih sibuk mengacak-acak makanannya.

"Cewek yang sama yang bikin ideku untuk mading kelas ditolak mentah-mentah." Brian sedikit bersungut-sungut. Pertanyaan Sienna mau tidak mau membuatnya mengingat kembali kekalahan-kekalahan yang ia dapatkan dari sosok gadis bernama Kalila itu.

"Ya, bagus, dong. Dari ceritamu, dia sepertinya cewek yang punya banyak ide kreatif. Siapa tahu dengan begitu kelompok kalian bisa mendapatkan nilai terbaik."

Brian mendesah. Ia lupa kalau Sienna lebih sering berpikir logis dibanding dirinya. Bukan berarti Brian tak memikirkan kemungkinan yang dikatakan sepupunya itu. Ia sangat tahu. Hanya saja, dia lebih menuruti egonya untuk tak berurusan lagi dengan Kalila.

"Sebenarnya yang sepupu kamu itu siapa, sih? Aku apa dia? Kok berasa kamu lebih belain dia," protes Brian.

Sienna tertawa kecil, lalu kembali menyeruput es jeruknya. Tak menanggapi Brian yang semakin sewot sewaktu melihat beberapa pemuda melihat ke arah mereka.

"Ya udah, Bri. Lupain yang dulu-dulu. Lakuin aja tugas kamu sebaik mungkin," nasehat Sienna sembari menyelipkan rambut ke telinga kanannya. Membuat Brian berdecak sebal.

Selain termasuk kategori gadis pintar, Sienna juga masuk dalam kriteria primadona sekolah. Darah Italia dari sang ibu membuat sepupu Brian tersebut memiliki mata abu-abu yang memikat. Begitupun senyum Sienna yang Brian yakini bisa membuat para lelaki memujanya.

Orang lain akan melihat Brian sangat beruntung. Lahir di keluarga kaya serta memiliki sepupu secantik dan sepintar Sienna. Namun, mereka tak pernah melihat sisi lain dari keberuntungan itu. Fakta jika Brian merasa terbebani dengan kemampuan otak yang tak secemerlang Sienna serta penampilan yang tak semenawan gadis blasteran Indonesia-Italia tersebut.

"Makasih buat sarannya, Na. Aku juga mau ngasih saran buat kamu," Brian akhirnya berhenti mengusik isi mangkok baksonya, "kurangi bersikap cantik jika kamu nggak mau ngeladenin cowok-cowok mata keranjang yang tatapannya selalu kelihatan lapar itu."

Muncul kerutan di kening Sienna sebelum gadis itu menoleh ke sekeliling dan menyadari kebenaran dari ucapan Brian. Namun, ia justru tersenyum.

"Kamu cemburu, ya?" goda Sienna. "Mereka nggak akan berani macam-macam selama aku sama kamu, Bri."

Brian mengembuskan napas kesal. Ia tidak cemburu. Hanya saja, memuakkan baginya melihat tatapan para pemuda itu pada Sienna. Masalah tentang dirinya yang satu kelompok dengan Kalila tak begitu penting dibandingkan dengan keselamatan sepupunya dari para pemangsa tersebut.

"Kalau gitu kita balik aja sekarang," ajak Brian seraya bangkit dari duduknya. Mengabaikan tuduhan konyol Sienna.

"Baksonya nggak dihabisin dulu, Bri?" tanya Sienna sembari menunjuk mangkok penuh 'darah' hasil karya tangan Brian.

"Itu racun. Aku masih pengin hidup."

Dengan tak acuh, Brian menjawab asal. Lalu meninggalkan kantin diikuti Sienna yang kembali tersenyum simpul.

***

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi semenit yang lalu. Kelas Brian hampir kosong karena sebagian besar penghuninya telah berhamburan keluar. Hanya ada beberapa yang masih tinggal dan sibuk membereskan barang-barang mereka.

Brian menatap lima buah buku tebal yang tadi dipinjamnya dari perpustakaan. Sedetik kemudian ia mengembuskan napas panjang. Sedikit merutuk dalam hati karena tugas dari Bu Indah, guru Bahasa Indonesianya sudah terlihat melelahkan hanya dari buku yang harus ia baca.

Dua baris di depan tempat duduk Brian, tampak Kalila dan teman sebangkunya, Winda, tengah berbincang. Brian tidak tertarik akan isi obrolan kedua gadis itu, tetapi ia bisa melihat Kalila baru saja memasukkan buku terakhir ke dalam ranselnya yang berwarna biru laut.

Kembali mengembuskan napas panjang, Brian meraih buku-buku tebal tadi lalu membawanya menuju bangku Kalila. Tanpa mengucapkan basa-basi apa pun, ia meletakkan lima buah buku tersebut di depan gadis itu. Gerakannya terkesan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup keras ketika bahan tugas kelompoknya itu beradu dengan meja.

"Kamu kerjakan tugas dari Bu Indah!" perintah Brian sebelum Kalila sempat bertanya mengenai tindakannya. "Aku lagi banyak urusan."

Kalila menatap Brian beberapa detik, kemudian beralih pada tumpukan buku di mejanya. Tangannya hendak meraih benda tersebut ketika terdengar protes dari gadis di sebelahnya.

"Eh, maksudnya apaan? Kalila harus ngerjain ini semua sendirian? Mana boleh kaya gitu," Winda menatap garang ke arah Brian, "nggak bertanggung jawab banget, sih?"

Dibanding Kalila yang jarang bicara, Winda justru sebaliknya. Gadis berhijab dan berpipi tembem itu ibarat juru bicara untuk orang-orang di sekitarnya. Namun, kesan yang Brian tangkap kali ini justru gadis itu terlalu ikut campur.

"Aku banyak urusan. Apa alasanku kurang jelas?" tanya Brian, berusaha tidak terpancing emosi.

"Kurang banget. Kalian, kan, satu kelompok. Cuma karena kamu ada urusan, nggak berarti kamu makan gaji buta, ya. Nggak ngerjain sama sekali tapi tahu-tahu dapat nilai." Winda berkata dengan berapi-api, lalu segera berpaling pada Kalila. "Kal, pokoknya jangan mau dimanfaatkan sama dia."

Brian tak bisa membaca ekspresi Kalila saat itu. Namun, ia memilih berlagak santai untuk menghadapi Winda yang yang terkenal banyak bicara tersebut.

"Ya, terserah, sih. Kalau Kalila mau dapat nilai, ya, kerjain. Kalau nggak juga nggak masalah buatku."

"Duh, nih orang minta dihajar."

Winda hampir saja melemparkan tasnya pada Brian, tetapi tangan Kalila dengan segera menahannya. Meminta gadis itu untuk tenang.

"Oke, aku akan kerjain tugasnya. Tapi setelah urusanmu selesai, aku harap kamu tetap ikut ngerjain sisanya," putus Kalila. Tangannya mengambil buku-buku pemberian Brian tadi. "Win, Panji pasti udah nungguin kita. Ayo!"

Masih memasang tatapan sengit pada Brian, Winda bangkit mengikuti langkah Kalila meninggalkan kelas. Menyisakan Brian seorang diri di ruangan tersebut.

Begitu kedua gadis tersebut menghilang di balik pintu kelas, senyum Brian seketika terkembang. Entah Kalila itu pura-pura baik atau justru kurang pintar. Gadis itu meminta hal yang jelas-jelas tak berniat untuk Brian penuhi. Ia harap Kalila tahu diri jika Brian sama sekali tidak ingin terkait apa pun dengan gadis itu. Apalagi sampai harus menghabiskan waktu berdua dengannya.

Membantu Kalila mengerjakan tugas mereka? Mimpi saja.

***

Brian tengah serius dengan permainan Snake di Nokia miliknya ketika Sienna memanggil namanya untuk kesekian kali. Ia berdecak sebal sewaktu permainannya berakhir di level yang cukup tinggi gara-gara hal tersebut.

"Bri, main mulu, sih, dari tadi? Nggak capek?" tanya Sienna yang dijawab dengan gelengan kepala oleh sang lawan bicara. Tak lama, Brian telah kembali berkutat dengan permainan yang sama.

Sienna hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia memahami suasana hati Brian saat ini. Pemuda itu hanya sedang berusaha meluapkan kekesalannya pada game. Tabiat yang sudah Sienna hafal di luar kepala.

Hari ini Dennis, papa Sienna sekaligus kakak dari almarhum ayah Brian datang berkunjung. Dua kali dalam sebulan Dennis memang selalu pulang ke Malang. Meski memiliki kesibukan yang bertumpuk sebagai pengusaha yang cukup sukses, lelaki berusia setengah abad itu sengaja menyempatkan waktu untuk menyambangi putri kesayangannya.

Bagi Sienna, momen kedatangan sang ayah adalah saat-saat yang paling ia tunggu. Namun, bagi Brian justru sebaliknya. Pemuda itu sontak terserang kesal berlipat ganda setiap kali bertemu dengan Dennis. Seolah Dennis bukanlah orang yang selama ini ikut membesarkan dirinya.

Sienna sering tak habis pikir akan sikap Brian. Sepupunya itu tampak membenci Dennis, tetapi ia selalu datang setiap kali papa Sienna itu memanggilnya. Brian tentu bisa menolak dan tak perlu berakhir seperti sekarang. Berada dalam mobil yang mengantarnya pulang dengan suasana hati yang buruk.

"Nanti kamu langsung pulang aja, deh, Na. Aku lagi capek," pinta Brian tanpa memandang Sienna sama sekali. Kilasan tentang perintah-perintah yang Dennis berikan padanya terbayang lagi. Membuat permainan yang ia mainkan sekarang tak lagi menyenangkan.

"Tapi, Bri, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku cuma butuh tidur." Brian menghentikan gerakan jemarinya di atas keypad ponsel, lalu memasukkan benda tersebut ke saku baju.

Seringkali Sienna menyayangkan keputusan Farah, mama Brian, yang memilih mengajak Brian untuk tinggal terpisah dari Sienna. Ia sama sekali tidak masalah jika harus tinggal hanya dengan pembantu, tetapi Sienna kecewa sebab waktu yang ia habiskan bersama Brian jadi berkurang. Ia terpaksa harus menahan diri jika Brian sedang ingin sendirian seperti sekarang.

Respon diam Sienna meyakinkan Brian jika gadis itu menyetujui permintaannya. Ia sedikit lega. Segera Brian berpaling ke arah jendela mobil. Berusaha menikmati lalu lalang kendaraan dan berharap menemukan hal lain yang bisa mengalihkan pikirannya dari Dennis.

Kemudian, Brian melihatnya.

Kalila.

Gadis itu duduk di belakang etalase setinggi pinggang berisi aneka macam kue di depan sebuah minimarket. Berdampingan dengan stan penjual ayam goreng dan jus buah. Kepalanya tertunduk pada sebuah buku yang terbuka. 

Hampir seisi kelas tahu jika Kalila adalah salah satu penerima beasiswa di sekolah. Menurut obrolan teman-temannya yang tak sengaja Brian dengar, gadis yang jarang bicara, tetapi seringkali menyuarakan ide kreatif itu juga membantu ibunya berjualan kue. Namun, ini kali pertama Brian melihatnya langsung.

Tanpa Brian sadari, mobil yang ditumpanginya ternyata mengarah ke parkiran minimarket. Tepukan Sienna di pundaknya membuat Brian terperanjat.

"Aku mau beli minum dulu. Kamu mau nitip sesuatu?"

Brian cepat-cepat menggeleng. Ia tidak berencana menampakkan diri di depan Kalila. Apalagi jika sampai gadis itu tahu jika Brian hanya mengarang alasan untuk tak mengerjakan tugas bersamanya. Mungkin Kalila tidak akan mempermasalahkan hal itu, tetapi Brian tentu tak ingin mempermalukan dirinya sendiri.

Sienna mengedikkan bahu. Tak lagi bertanya. Ia lalu meninggalkan Brian di dalam mobil bersama sopir.

Sepeninggalnya Sienna, Brian kembali memerhatikan Kalila yang tampak serius membaca sesuatu. Beruntung kaca mobilnya tak memungkinkan Kalila melihat keberadaan Brian. Gadis itu juga terlalu serius sehingga tak menyadari Sienna yang baru saja melintas dan masuk ke minimarket.

Penasaran, Brian berusaha memperjelas pandangannya. Dan, ia sontak terkejut sewaktu berhasil melihat sederet tulisan pada sampul buku yang tengah dipegang Kalila. Buku di tangan gadis itu adalah buku yang kemarin Brian berikan padanya.

Setelah membolak-balik beberapa halaman, Kalila lalu meraih sebuah buku tipis dan pulpen. Ia sibuk mencorat-coret sesuatu di sana. Sepertinya mencatat sesuatu dari buku yang baru saja ia baca.

Tiba-tiba ada seorang perempuan muda menghampiri Kalila. Sepertinya seorang pembeli karena gadis itu dengan cekatan menyimpan buku-bukunya dan tersenyum ramah pada perempuan tersebut. Bertepatan dengan itu, Sienna telah selesai dan masuk ke dalam mobil. Membuyarkan perhatian Brian yang sedari tadi tertuju pada Kalila.

Mobil yang membawa Brian dan Sienna lalu beranjak meninggalkan minimarket. Namun, Brian masih tertegun. Memikirkan Kalila yang ternyata benar-benar mengerjakan tugasnya sendirian.

Mendadak Brian merasa bersalah. Namun, ia berusaha meyakinkan diri jika perasaan bersalahnya itu hanya sedikit.

Ya. Hanya sedikit.

***

Bisa dibilang saya ini penyuka bunga. Hobi selain menulis adalah mengumpulkan nama dan gambar bunga yang bahkan belum pernah saya lihat secara langsung. Sudah ada ratusan nama bunga yang saya kumpulkan, sebagian besar beserta informasi mengenai bunga tersebut. Bahkan, saya juga belajar untuk menggambarnya. Di satu sisi hal itu membuat saya bahagia, tapi juga karena saya berniat membuat sebuah buku tentang bunga yang sampai hari ini belum saya temukan. Bukankah jika kita nggak bisa menemukan buku yang kita cari, maka lebih baik jika kita menulisnya sendiri?

Dan, bunga juga sumber inspirasi terbesar saya dalam menulis. Hanya dengan membayangkan satu bunga tertentu, biasanya ide akan bermunculan. Salah satunya cerita Senandung Rindu ini. Berawal dari keseringan lewat satu taman yang penuh bunga bugenvil, jadi terbayang sebuah cerita romansa yang manis. 

By the way, hal yang sama juga terjadi pada cerita saya yang berjudul Angin Padang Rumput. Hanya saja bunga yang menjadi sumber inspirasi dalam cerita itu adalah Flamboyan atau Delonix Regia. Beberapa bilang jika cerita itu lebih sedih dari ini, tapi karena sudah terbit jadi di wattpad hanya ada sebagian. Namun, kalian bisa membelinya atau membaca lewat Lontara App. Kalau misal keberatan untuk membeli, kalian bisa hanya meminjamnya dengan harga murah meriah. Dua minggu masa peminjaman hanya kurang dari lima ribu rupiah. 

Yah, sekian dulu cuap-cuapnya. Saya juga heran, tumben bener saya banyak omong. Hehehe

Salam Baca 😉
Suki 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro