Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Tujuh : Kenyataan di Masa Lalu

LUKA asmara, seringnya tak menampakkan diri

Hanya perlahan menggerogoti hati

***

"Apa ini?" Farah menatap bingung beberapa lembar kertas undangan dengan berbagai warna dan model yang pagi itu Brian sodorkan padanya.

"Contoh untuk undangan pernikahanku sama Sienna," jawab Brian datar. Di sampingnya, Sienna menemani tanpa berkata apa pun. Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan rona bahagia layaknya calon pengantin lain.

Tak segera memeriksa tumpukan contoh undangan tersebut, Farah justru menatap Brian tak yakin. Baru seminggu yang lalu hati putranya itu dipatahkan oleh kenyataan tentang ayah Kalila, tetapi secepat itu dia memutuskan menikahi Sienna. Padahal, hal itu adalah sesuatu yang Brian yakini tidak akan pernah ia lakukan.

"Apa ini tidak terlalu cepat?" tanya Farah. Ia lalu duduk di kursi kayu berukir di ruang tamu. Tindakannya diikuti oleh Brian dan Sienna.

"Bukannya ini yang kalian semua mau?" tanya Brian balik. Ekspresinya datar. Dia bahkan tak peduli jika ucapannya itu membuat Sienna merasa tak nyaman. "Udah nggak ada alasan bagiku buat ngarepin Kalila. Jadi, aku harus nikah sama Sienna. Begitu, kan?"

Farah kembali menatap putranya tak percaya. Jawaban macam apa itu?

"Brian, pernikahan itu bukan hal main-main," hardik Farah. Ia jelas terusik dengan jawaban yang terkesan tak acuh itu. Selain sangat mengecewakan, kata-katanya sudah pasti melukai hati Sienna. Dan, Farah tidak berniat untuk membiarkan hal itu terjadi.

Sembari menghela napas panjang, Farah meletakkan kembali undangan di tangannya. Merasa perlu meluruskan pandangan putranya yang seketika berubah karena patah hati. Ia pikir perubahan sikap Brian yang kini menjadi lebih tertutup dan abai terhadap sekitar tak akan bertahan lama. Nyatanya, Brian malah mengambil keputusan penting dalam hidupnya sesuka hati. Mungkin, lebih tepatnya atas perintah Dennis.

"Yang terpenting kami menikah, kan, Ma. Jadi, keluarga Atma Wijaya tetap utuh," balas Brian. Lagi-lagi dengan ekspresi datar. "Mama, Om Dennis dan Sienna bahagia. Beres sudah."

"Bri---" Farah hendak menghardik Brian, tetapi putranya itu lebih dulu bangkit setelah melihat jam tangannya.

"Aku harus ke kantor lebih awal hari ini, Ma. Ada meeting sama klien. Kalau ingin diskusi soal pernikahan, sama Sienna aja. Aku nggak akan protes apa pun pilihan kalian nanti," sela Brian cepat. "Assalamualaikum."

Untungnya, Brian masih ingat untuk mencium tangan Farah sebelum berangkat. Ia tak lantas pergi begitu saja. Namun, Farah tetap tak dapat mengenyahkan kekhawatiran akan Sienna yang masih bergeming di tempat.

"Sienna," panggil Farah ragu. Kesedihan jelas terpancar dari wajah gadis cantik tersebut. Tak dapat dipungkiri sama sekali. Sosok Sienna jadi sangat jauh dari gambaran seorang calon pengantin. "Maaf, tapi Tante rasa ada hal yang lebih tepat untuk kita bicarakan selain undangan pernikahan kalian."

Sienna menatap sendu Farah lalu mengangguk. Ia seperti tak punya tenaga untuk membantah atau sekadar mengiakan dengan suara.
Farah lalu berpindah tempat duduk ke sebelah Sienna. Dengan suara lembut, ia memulai percakapan mereka tanpa Brian. Namun, kalimat pertama yang keluar dari bibirnya justru sebuah penghiburan.

"Kamu tahu, Tante akan berusaha untuk selalu ada buat kamu. Jadi, menangislah jika memang kamu nggak bisa lagi menahannya," perintah Farah seraya menyentuh lembut pundak sang keponakan.

Sienna tak menunggu waktu untuk menumpahkan tangisnya. Ia tersedu dan mengeluarkan air mata yang tampaknya sudah terlalu lama ia tahan sendirian.

Membiarkan Sienna membagi bebannya, Farah lalu memeluk gadis itu. Berusaha memberinya kekuatan.

"Tante, kenapa Brian nggak bisa membuka hatinya sama aku?" tanya Sienna di sela isak tangisnya.

Farah tak serta merta menjawab. Setelah beberapa detik terdiam, ia akhirnya berkata, "Sayang, ada kalanya cinta memang nggak harus memiliki. Kamu justru nggak akan bahagia kalau memaksakan diri. Seperti pernikahan ini."

Tak diduga, isakan Sienna yang tadinya mulai mereda kini kembali terdengar. Gadis itu menggelengkan kepala, lalu mengucapkan kalimat yang membuat Farah menghela napas untuk kesekian kali.

"Pernikahan ini emang harus terjadi, Tante. Mungkin, dengan begitu Brian akan balas cinta sama aku. Meski mungkin aku harus menunggu untuk waktu yang lama, lagi."

***

Pemandangan seorang lelaki tua memakai kursi roda di depan sebuah rumah sederhana itu membuat Farah tertegun. Benaknya seketika dipenuhi oleh rasa tak percaya. Yang ia tahu, Burhan tidak mengalami cacat apa pun selama di penjara. Ia memang tak mengikuti perkembangannya dengan detail, tetapi sewaktu Burhan dibebaskan, Farah sempat datang meski tak menampakkan diri.

Rumah sederhana Burhan tampak asri dengan deretan beberapa tanaman hias yang tengah berbunga. Pagi itu, Burhan sepertinya sedang berjemur di teras ditemani seorang gadis seusia Brian. Di sisi kanan teras tersebut diisi oleh sebuah etalase setinggi pinggang yang berisi aneka kue tradisional. Sesekali gadis berhijab yang menemani Burhan tersebut melayani beberapa pembeli.

Gadis berhijab itu adalah Kalila. Farah bisa menebaknya tanpa perlu bertanya. Selain dari deretan kue tradisional yang mengingatkan Farah pada oleh-oleh dari belajar kelompok semasa Brian SMA dulu, wajah gadis itu juga mewarisi orangtuanya.

Farah pernah bertemu Nastiti beberapa kali. Untuk itulah ia bisa segera mengenali Kalila yang menurutnya mewarisi kecantikan sang ibu. Dan, sejujurnya Kalila sangatlah tepat menjadi gadis yang dicintai Brian kalau saja kisah mereka tak terhadang rahasia mengenai Burhan dan Danu.

Memantapkan hati, Farah lalu memakai kacamata agar penampilannya tampak sedikit berbeda. Ia lalu berjalan menuju rumah Kalila dengan perasaan bercampur aduk. Gugup. Takut.

Meski tahu pasti jika menghindari keluarga Kalila adalah cara terbaik, Farah tetap melanjutkan niat untuk menemui Burhan. Setidaknya untuk melihat secara langsung kondisi mereka. Juga mengurangi sedikit rasa bersalahnya selama ini.

"Nduk, jangan terus-terusan sedih gitu. Nanti kue buatanmu jadi nggak enak, lho." Suara Burhan terdengar jelas sewaktu Farah telah memasuki teras depan rumah Kalila.

Kalila membalas dengan seulas senyum manis, lalu berkata, "Aku nggak sedih, kok, Pak. Cuma lagi belajar move on," jawab Kalila seraya terkikik bersama sang ayah. "Lagian, jodoh itu di tangan Tuhan, kan? Jadi, ngapain kita mesti repot banget mikirinnya? Yang penting kita udah usaha dan doa."

Farah yang bisa mendengarkan percakapan singkat itu segera bersikap wajar. Tak ingin tampak terlalu ingin tahu urusan orang lain.

"Mbak, saya lagi cari kue dadar gulung pandan. Di sini ada?" tanya Farah.

Dengan senyum yang seharian ini terpaksa menghiasi bibirnya, Kalila menjawab pertanyaan Farah dengan ramah.

"Ada, Bu. Tapi hanya tersisa lima potong."

"Oke. Saya beli itu aja deh."

Dengan cekatan, Kalila membungkus kue yang dibeli Farah. Dalam tenggang waktu yang tak banyak tersebut, Farah diam-diam memerhatikan sosok Kalila. Gadis itu jelas tak mengenalnya, jadi dia tidak akan tahu siapa Farah sebenarnya. Ya, semoga saja Burhan juga tak mengenalinya. Bagaimanapun sudah 20 tahun lebih berlalu.

"Mbaknya cantik, ya. Udah punya pacar?" tanya Farah basa-basi seraya menunggu pekerjaan Kalila usai.

Bukan sejenis senyum malu-malu, tetapi seutas garis lengkung di bibir dengan sorot mata yang tampak sedih.

"Tidak punya, Bu." Kalila menjawab dengan kalimat yang lugas, tetapi ia berusaha menuruti nasehat Alicia dengan berusaha menciptakan humor untuk menyelesaikan masalah seperti ini. "Ibu punya anak perjaka, ya, Bu? Mau dijodohkan ke saya?" canda Kalila.

Farah hanya bisa ikut tertawa mendengar lelucon garing milik Kalila. Ia menjelaskan jika dirinya hanya bercanda. Putranya memang masih perjaka, tetapi hatinya sulit ditaklukkan.

Tak jadi soal bagi Kalila. Sembari memberikan kue yang dibeli Farah, ia justru berpesan agar Farah kembali dan menjadi pelanggan Kalila jika makanan mereka benar-benar enak.

Farah mengangguk mengerti lalu berpamitan. Sudah waktunya ia pulang sebelum Burhan bisa mengenalinya sebagai istri Danu Atma Wijaya. Bergegas, Farah meninggalkan rumah tersebut. Berharap ada kebahagiaan yang bisa menghapus duka Kalila dan Brian.

Bagaimanapun juga, Farah tak rela Brian menikah dengan orang tidak dicintainya. Ia ingin Brian bahagia. Dan, Farah yakin hanya Kalila pemilik kunci bahagia Brian, putranya.

***

Farah terduduk di atas ranjangnya. Terpekur. Merenungkan takdir yang sudah membawa mereka semua hingga sejauh ini. Lalu, setelah cukup lama hanya bisa diam, ia akhirnya mengembuskan napas panjang untuk kesekian kali.

Mengingat Burhan dan Kalila, mau tak mau membuat Farah harus membuka kunci ruangan memorinya. Mengumpulkan semua informasi mengenai yang terjadi pada waktu itu antara Burhan dan Danu.
Ingatan Farah pun melintasi waktu menuju hari di mana persidangan memvonis Burhan atas tuduhan pembunuhan berencana pada Danu.

"Bu Farah, bukan saya yang membunuh Pak Danu. Saya mohon Ibu percaya pada saya."

Kala itu, Farah hanya diam dan mengabaikan ucapan terakhir Burhan. Membiarkan para petugas kepolisian membawa lelaki itu pergi darinya. Lagipula, kenapa juga ia harus mendengarkan ocehan Burhan jika polisi bisa membuktikannya bersalah dan menghukumnya?

Farah sejatinya masih belum percaya seratus persen dengan hasil sidang yang menyatakan Burhan bersalah. Lelaki itu sudah mengabdi belasan tahun sebagai supir pribadi. Rasanya sulit percaya lelaki itu memiliki niat untuk membunuh Danu. Namun, sekali lagi bukti-bukti yang ditemukan polisi mengarah pada Burhan, sehingga lelaki malang itu harus mendekam di balik jeruji besi dan meninggalkan keluarga kecilnya demi sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan.

Farah bertahan pada kesimpulan tersebut hingga ia mendengar suara pertengkaran antara Dennis dan Sofia, istrinya, sewaktu ia baru pulang.

"Berapa kali kubilang? Aku nggak sengaja. Aku nggak berniat bunuh dia, Sofia." Itu adalah suara Dennis.

Kata bunuh membunuh membuat sensor telinga Farah pun ingin tahu lebih banyak. Namun, ia tak berani menguping. Pembicaraan tersebut terlalu riskan untuk diketahui oleh orang lain.

"Sengaja atau nggak, kamu udah bunuh Danu. Lagipula dari awal kamu sudah mengincar bagian milik Danu, bukan? Kamu tetap saudara tiri yang jahat, Dennis." Kali ini suara Sofia yang sukses mengentak di telinga Farah. "Dan, aku nggak mau tinggal bersama pembunuh."

Farah urung pergi. Ia tidak percaya kalau barusan disebut tentang nama mendiang suaminya. Juga tentang harta warisan keluarga Atma Wijaya. Ia jadi makin penasaran sekaligus geram.

"Jaga ucapanmu, Sofia," bentak Dennis. "Lebih baik kamu pergi saja dari sini. Tapi, jangan pernah coba-coba untuk membawa Sienna ikut denganmu."

"Dia anakku. Aku berhak membawanya pergi supaya nggak jadi sejahat kamu."

"Cukup, Sofia!" Nada suara Dennis meninggi. Ia bahkan bersiap menampar Sofia, tetapi perempuan Italia tersebut bisa segera mengelak. "Jangan bawa Sienna pergi, atau kamu akan tahu rasa nanti. Kamu tidak mau berakhir seperti Danu, bukan?"

Farah merinding mendengar ancaman Dennis. Membuat langkahnya tertahan untuk muncul di antara sepasang suami istri yang sedang bertengkar itu. Namun, ia menyadari jika ada kemungkinan bukan Burhan yang sengaja membunuh Danu, tetapi Dennis.

"Kamu keterlaluan, Dennis," jerit Sofia kemudian keluar dari kamarnya sembari membanting pintu. Menyisakan Farah yang masih bergeming di depan pintu kamar.

Dennis yang tadinya duduk tenang, bangkit begitu melihat keberadaan Farah di ambang pintu kamarnya. Ia lalu berjalan mendekat.

"Sudah mendengar semuanya, Adik Iparku?" tanya Dennis dengan seringai lebar. Wajahnya jadi jelas menunjukkan sebuah ancaman yang didasari kesenangan bermain-main.

Farah bergeming. Bingung. Namun, akhirnya tetap bersuara.
"Aku nggak mengerti bahasan kalian apa," jawab Farah takut-takut.

Masih menyeringai, Dennis mendekati Farah yang mematung. Lalu sekali lagi ia mengatakan ancaman yang tak jauh beda pada Sofia tadi.

"Baguslah. Atau kamu mungkin akan kehilangan putramu."

Farah jelas takut kala itu. Suaminya sudah meninggal dan ia tak lagi memiliki saudara sehingga Dennis yang mengambil alih saham perusahaan serta pertumbuhan Brian dan Sienna. Mematuhi perintah kakak iparnya itu semacam sebuah keharusan. Lagipula, ia tidak berharap putranya mengalami sesuatu yang buruk. Jadilah Farah hidup dengan menyembunyikan kebenaran bahwa Burhan bukanlah pembunuh suaminya. Ya, Farah setega itu. Setidaknya sampai hari ini.

Embusan napas Farah terasa semakin kuat. Potongan ingatan tersebut membuat perasaan bersalah kembali melingkupi dirinya. Terlebih setelah mengetahui kondisi Burhan saat ini. Juga nasib putrinya, Kalila.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, batin Farah. Sembari menatap cermin di hadapannya, ia mengangguk mantap. Yakin dengan apa yang harus dilakukannya, juga konsekuensi yang akan ia dapat.

Farah tidak peduli. Ia hanya ingin putranya bahagia. Hanya itu.

***
Kalau saya masih single juga sebenarnya mau sama Brian. Pria setia begitu kan langka. Masalahnya, si Briannya mau apa nggak? Wong hatinya udah mentok sama Kalila gitu.

Atau kalian juga ada yang berminat jadi mantu Bu Farah?

***
Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro