Dua Puluh Sembilan : Jalan Untuk Bahagia
BILA ada jalan untuk kembali bersama
Sediakah kamu melewatinya meski harus menciptakan luka?
***
Brian hanya bisa mematung di tempatnya berada. Tetap tegak berdiri kendati dedaunan dari pohon tempat ia bernaung sesekali jatuh dan mengenai tubuhnya. Ia juga mengabaikan tatapan penasaran dari orang-orang yang melintas. Membiarkan mereka berlalu dengan pertanyaan akan keberadaannya di sana. Bagi Brian, semua itu tak kasat mata. Kedua netranya hanya terpaku pada dua sosok di beranda rumah sederhana yang sedari tadi ia amati.
Kalila, gadis yang tak juga enyah dari pikiran Brian itu ada di sana. Menemani seorang lelaki tua yang duduk di atas kursi roda, gadis berhijab itu tersenyum. Seulas senyum yang begitu lembut dan menenangkan.
Namun, hati Brian justru berkecamuk menyadari jika senyum itu tidak tertuju untuknya, melainkan pada lelaki tua yang telah menghancurkan hidup Brian dan mamanya hingga sedemikian rupa. Mengambil kebahagiaan mereka hingga sudut terkecil.
Lelaki tua itu. Lelaki yang selama ini Brian dan Kalila panggil dengan sebutan ... 'Bapak'.
Sekuntum bunga bugenvil berwarna merah muda tiba-tiba jatuh mengenai Brian. Ia mendongak dan mendapati jika pohon tempatnya berteduh adalah pohon bugenvil. Mengingatkannya pada kenangan lama yang terhubung dengan bunga itu. Kemudian, ia mengembuskan napas panjang. Merasa tak lagi ada gunanya mengenang masa lalu bersama Kalila.
Suara kendaraan bermotor yang sesekali melintas menemani Brian di sana. Angin yang bertiup pelan menimbulkan suara gemerisik dari daun dan bunga bugenvil yang saling bersentuhan. Sejatinya, semua itu terasa indah, tetapi hati Brian sudah tertutup kabut sehingga ia mulai meragukan perasaannya sendiri. Ia selalu terperdaya kebencian ketika melihat Kalila dan Burhan.
Pandangan Brian masih terpaku ke halaman rumah Kalila. Namun, tanpa ia duga gadis itu mengetahui keberadaannya. Kalila menatap Brian dari kejauhan. Meski gadis berhijab itu tak mengatakan apa pun dan ekspresi wajahnya datar, Brian bisa menangkap satu hal dari sorot mata gadis itu.
Kalila pun merasakan kesedihan yang sama. Brian tahu itu. Namun, tindakan terbaik yang mampu Brian lakukan kemudian justru melangkah pergi. Meninggalkan Kalila dan segala kenangan mereka.
***
"Eh, undangan dari siapa, tuh, Ti?" tanya Alicia penasaran sewaktu melihat Kalila memegang sebuah undangan. Benda persegi panjang berwarna putih tulang dan berhias kertas berukir bunga-bunga itu sukses menarik perhatian Alicia malam itu.
"Brian," jawab Kalila pendek. Ia lalu berniat memasukkan kembali undangan tersebut seaktu Alicia dengan sigap merebutnya.
"Brian yang selama ini nyariin kamu terus?"
"Emangnya ada yang lain?"
Alicia mengedikkan bahu lalu membuka undangan tadi. Ia terperanjat ketika melihat nama kedua calon mempelai.
Brian Atma Wijaya dan Sienna Atma Wijaya.
Terasa aneh ketika melihat sepasang pengantin memiliki nama belakang yang sama. Tak lupa, Alicia juga masih menanti jawaban kenapa Brian yang berusaha keras mendapatkan Kalila kini justru akan menikah dengan orang lain.
"Sial!" umpat Alicia. "Nih, anak orang cari mati, ya? Baru beberapa waktu yang lalu dia minta kubantu deketin kamu, eh sekarang malah mau nikah gitu aja sama orang lain."
Kalila tak menanggapi dan hanya tersenyum tipis. Meski sejatinya dalam hati ia telah hancur sedemikian rupa.
"Anggap aja kami emang nggak berjodoh, Alice," ujar Kalila seraya meninggalkan sofa di lobi, tempatnya duduk sedari tadi menuju ruang siaran. Tergopoh-gopoh, Alicia yang masih melihat-lihat undangan pernikahan Brian tersebut sontak terkejut dan mengikuti langkah Kalila.
Alicia masih memasang tampang judes. Rasanya, penasaran dan kebencian akibat ulah Brian pada Kalila semakin menjadi setiap kali ia mengingat nama itu. Entahlah. Alicia seolah ikut merasakan perihnya luka dalam hati Kalila kala memandang rekan siarannya itu.
Menyadari jika mereka telah memasuki ruang siaran, Alicia pun bergegas meletakkan undangan di tangannya dengan asal. Lalu menempati kursi kosong di samping Kalila yang lebih dulu siap.
Gadis berhijab itu mengalungkan headphone ke leher, sementara tangannya dengan lincah memainkan mouse komputer. Menyiapkan playlist mereka untuk hari ini.
"Ti," panggil Alicia ragu. Namun, Kalila telanjur menoleh padanya.
"Kenapa, Alice?" tanya Kalila balik. "Kamu mau buat playlist untuk hari ini?"
Alicia cepat-cepat menggeleng. Tak tahan rasanya menatap wajah sendu Kalila selama beberapa hari ini. Untuk itu, ia berharap tindakan-tindakan kecilnya bisa mengukir sedikit senyum di bibir Kalila.
"Nggak, deh. Kamu aja, Ti," jawab Alicia. Kali ini ia ikut meraih headphone untuk dipakai di telinga. Ia melirik sekilas pada layar komputer yang sedari tadi diutak-atik teman siarannya itu dan tak berniat untuk menegur. "Terserah kamu, tapi kayanya bisa kita awali nanti dengan lagu yang mengentak. Biar nggak ngantuk. Apalagi tema Senandung Rindu hari ini berasa mellow banget. Perpisahan."
Kalila mengangguk mengerti begitu mendengar wejangan Alicia. Tangannya kembali bergerak lincah mengetik serta menggerakkan kursor di layar komputer. Setelah dirasanya pas, Kalila memberi tanda oke pada Satya dan Agung yang mengawasi kedua gadis itu kalau mereka sudah bisa mengudara.
Perlahan, opening tune Senandung Rindu pun terdengar. Alicia tak sempat melihat playlist yang disiapkan Kalila. Karena itu ia hanya bisa terdiam sewaktu suara Giring Nidji menggema di udara.
Hapus Aku. Begitulah judul lagu yang tengah Kalila putar. Namun, Alicia tahu itu bukan hanya sebuah lagu. Itu mewakili keinginan gadis berhijab itu untuk melupakan masa lalunya. Menghapus semua tentang perasaannya pada Brian.
Dan, memulai lembaran baru.
***
Kening Kalila mengernyit saat melihat sebuah mobil mewah parkir di depan rumahnya sewaktu ia pulang dari siaran. Mobil sedan hitam yang ia kenali sebagai milik Brian.
Mengingat Burhan sendirian di rumah, Kalila pun mempercepat langkah. Bayangan akan kebencian Brian pada ayahnya membuat gadis itu tak tenang. Bagaimana jika Brian gelap mata dan melakukan sesuatu pada ayahnya?
Namun, langkah cemas Kalila terhenti begitu yang ia temui kemudian bukanlah sosok Brian, tetapi perempuan paruh baya yang tempo hari membeli kue padanya. Seseorang yang kini duduk berhadapan dengan ayahnya, Burhan. Dan, sama seperti Kalila, wajah Farah pun diliputi kesedihan yang nyata.
"Kalila," ujar Farah. Ia lalu berdiri, mengulurkan tangan pada Kalila yang menerimanya dengan tatapan heran. Bertanya-tanya siapakah sebenarnya Farah. "Saya Farah Atma Wijaya, ibu dari Brian. Maaf mengganggu, tapi kedatangan saya kali ini untuk membicarakan hal penting. Tentang kamu dan Brian."
Kalila terdominasi oleh perasaan terkejut hingga tak serta merta menjabat uluran tangan Farah. Ia beralih menatap Burhan yang anehnya justru tersenyum padanya. Jenis senyuman yang entah mengapa tampak begitu melegakan bagi Burhan sendiri. Seolah sebuah beban baru saja terangkat darinya.
"Maaf, tapi sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dan, jangan khawatir, saya tidak akan lagi mengganggu Brian," balas Kalila akhirnya.
"Maaf juga, Kalila. Bukan hal itu yang ingin saya bahas, tetapi hal lain yang jauh lebih penting."
Dalam bayangan Kalila, Farah akan mengeluarkan selembar cek lalu melemparkannya pada Kalila. Sama seperti yang pernah Sienna lakukan padanya.
"Apa itu?"
Namun, dugaan Kalila salah besar. Farah tak mengeluarkan apa pun dari tasnya. Perempuan itu justru bergeming seraya menatap Kalila serius. Penuh misteri, sampai sebuah kalimat mengawali satu hal yang selama ini pernah menjadi rahasia sekaligus penoreh luka di hati Kalila.
"Bukan ayah kamu yang membunuh suami saya, tapi Dennis. Dennis Atma Wijaya, kakak ipar saya sekaligus ayah kandung Sienna."
***
Semakin dekat dengan akhirnya.
komen dong, guys.
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro