Dua Puluh : Perasaan
HARUSNYA kamu tak perlu ragu
Bahwa perasaan ini telah lama terjalin
Hanya tertuju padamu dan tak ingin beralih pada yang lain
***
"Selamat pagi, Pak!"
Kedatangan Brian ke kantor setelah tak masuk berhari-hari ternyata masih mendapat sambutan hangat. Para pegawainya tetap menyapa ramah meski hampir semua pegawai PT. Buana Nusantara mengetahui insiden kaburnya Brian dari pesta pertunangannya dengan Sienna.
"Selamat pagi!" balas Brian. Ia juga menganggukkan kepala pada beberapa karyawan senior di kantor. Meski mereka adalah bawahannya, secara usia Brian masih di bawah mereka sehingga merasa perlu untuk tetap bersikap sopan.
"Selamat datang kembali, Bri," sapa Irman yang berpapasan dengan Brian di lobi kantor. Di sampingnya, Geri ikut tersenyum menyambut kedatangan Brian.
"Akhirnya kamu ngantor juga, Bri," imbuh Geri.
Brian hanya tersenyum tipis. Bagaimanapun juga ia rindu memakai setelan kerjanya. Dan, tentu saja, ia sangat sadar jika masih memiliki tanggung jawab di perusahaan. Pantang baginya pergi dengan meninggalkan tanggung jawab yang belum terselesaikan.
"Aku juga harus kerja buat ngidupin anak istri, lah," jawab Brian asal. Membuat Irman segera menonjok lengannya.
"Anak istri dari Hongkong? Cewek satu aja ngejarnya bertahun-tahun dan belum dapet," ejek Irman yang lagi-lagi ditanggapi Brian dengan senyum tipis.
"Tunggu aja. Orang sabar disayang Tuhan," balas Brian ringan.
"Sabar sampe sepuluh tahun. Itu menanti cinta apa cicilan rumah, Bri?" Irman masih saja menggodanya. Namun, Brian tak tersinggung sama sekali. Ia sudah terbiasa.
Sembari tertawa kecil bersama Geri, Brian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari sosok yang sangat ingin ia temui setelah berhari-hari ia coba hindari.
"Om Dennis, kok, belum datang?"
"Lagi ke luar kota. Cuma ada Sienna," jawab Geri.
"Dan, dia pasti seneng lihat kamu datang," imbuh Irman sembari tersenyum jail.
Brian mengabaikan tingkah Irman dan berpamitan untuk segera menuju divisinya. Kedua temannya itu pun memutuskan untuk berjalan berbeda arah menuju ruangan mereka masing-masing.
Brian mempercepat langkah menuju ruangannya. Ia perlu berbicara dengan Dara, asistennya, segera terkait kedatangan dari Sienna kemarin malam. Sesuatu yang ia yakini hanya akal-akalan sepupunya untuk memancing kedatangan Brian.
"Selamat pagi, Pak," sapa Dara begitu Brian memasuki ruangan divisi keuangan.
"Pagi, Dar. Sienna sudah ada di ruangannya?"
"Sudah, Pak. Baru saja beliau datang."
Informasi dari Dara tersebut membuat Brian buru-buru meninggalkan mejanya tanpa sempat duduk. Namun, sebelum beranjak pergi, ia berbalik dan memerintahkan Dara untuk melakukan sesuatu.
"Oh, ya, tolong siapkan proposal serta laporan keuangan untuk proyek perumahan yang ada di kota Malang."
Dara mengangguk mengerti sehingga Brian kembali melanjutkan langkah menuju ruangan Sienna.
Tak ingin berbasa-basi, Brian masuk ke ruangan Sienna, sang wakil direktur utama, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Dilihatnya gadis yang kini tampak elegan dalam setelan kerja berwarna nude itu tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Sembari duduk, Sienna menyilangkan kaki jenjangnya yang dibalut celana panjang berwarna senada dengan atasannya itu.
Brian memilih untuk menunggu. Ditempatinya kursi di hadapan Sienna, lalu ia mengamati wajah gadis itu. Wajah yang menurutnya sudah cantik meski tanpa polesan make up, tetapi pekerjaan membuatnya beralasan untuk memakai lipstik merah yang bagi Brian terlalu pekat.
Tanpa bisa dicegah, Brian teringat dengan sosok Kalila kemarin malam. Sejak dulu, ia lebih menyukai kesederhanaan gadis itu. Sekalipun Kalila mungkin juga berdandan, tetapi gadis itu tahu cara merias wajahnya tanpa harus terlihat berlebihan.
"Akhirnya kamu datang juga, Bri," Sienna yang sudah selesai menelepon menatap Brian dengan senyum di bibirnya, "aku pikir perusahaan ini benar-benar udah nggak penting lagi buat kamu."
Sembari merebahkan punggungnya ke sandaran kursi, Brian balas menatap Sienna tanpa senyuman. Bahkan, sorot matanya terkesan mengintimidasi sepupunya itu.
"Cepat katakan, penipuan macam apa yang dituduhkan mereka padaku?" tanya Brian to the point.
Kemarin malam sepulang dari menemui Kalila, Brian yang sudah kembali tinggal bersama mamanya mendapat kunjungan dari Sienna. Gadis bermata abu-abu itu datang tak hanya untuk menemui Brian, tetapi juga untuk mengabarkan jika salah satu klien mereka melayangkan tuduhan penipuan pada Buana Nusantara.
Sienna tak menjelaskan secara detail dan meminta Brian datang ke kantor untuk membahas hal itu lebih lanjut. Namun, tentu saja itu berita besar. Lebih tepatnya berita besar yang buruk.
Selepas kepergian Sienna, Brian cepat-cepat menghubungi Dara dan menanyakan kebenaran kabar tersebut. Selama ini, meski bolos kerja, Brian tetap berhubungan dengan Dara dan memegang kendali tugasnya lewat gadis itu.
Dara tak bisa memberikan informasi yang akurat sebab berita yang disampaikan oleh Sienna ternyata belum terdengar di kantor. Dan, hal tersebut menjadikan Brian mengambil kesimpulan sendiri atas tindakan sepupunya.
"Mereka bilang kamu menggelapkan dana untuk pembelian bahan-bahan bangunan. Kualitasnya jadi tak sesuai dengan kesepakatan awal," jawab Sienna. Ia lalu mengangkat telepon. Entah hendak menghubungi siapa. "Kamu mau minum sesuatu?"
Brian sontak menggeleng. Dia sedang tidak bernafsu untuk meminum apa pun.
Sienna ternyata menelpon sekretarisnya, meminta dibawakan secangkir coklat panas. Minuman yang Brian tahu menjadi favorit gadis bermata abu-abu itu.
"Mereka punya buktinya?" tanya Brian lagi. Masih berbicara dengan nada santai, tetapi serius. Berhadapan dengan wakil direktur yang juga sepupunya itu sama sekali tak membuatnya merasa perlu untuk takut.
Meski sama-sama menyandang nama keluarga Atma Wijaya, kedudukan Brian dan Sienna memang jelas berbeda. Sienna menduduki posisi wakil direktur sementara direktur utama dijabat oleh Dennis. Dan, Brian sudah cukup berpuas diri menjadi manajer keuangan. Baginya, Sienna memang lebih layak untuk jabatan itu dibanding dirinya.
Satu-satunya yang Brian sayangkan dari perbedaan di antara ia dan Sienna adalah sikap Dennis. Omnya itu selalu menuruti kemauan sang putri tanpa peduli dengan Brian yang berhak memiliki keinginan sendiri.
"Tidak ... maksudku belum," anehnya jawaban Sienna terdengar ragu, "aku sudah memintanya tapi belum ada jawaban lagi."
Ruangan Sienna lebih luas dari milik Brian. Kaca-kaca besar membuat cahaya matahari leluasa masuk sehingga ruangan tersebut selalu tampak terang. Sayangnya, cahaya tersebut tak mampu membuat penghuninya sadar akan kegelapan yang mulai bergelayut lewat perasaan cemburu.
"Suruh Dara ke sini," pinta Brian, "aku udah minta dia bawa semua rekapan tentang proyek yang kamu maksud. Semua perincian biaya ada di sana. Dan, semuanya sudah disetujui oleh pihak terkait. Bahkan, mereka mengirim perwakilan untuk mengecek langsung semua pembelian material."
Sienna terdiam. Namun, ekspresinya tampak tegang selagi menunggu Brian lanjut berbicara.
"Dan, kebetulan selama tidak masuk kerja beberapa hari ini, aku masih menghubungi perwakilan klien kita tersebut. Tidak ada keluhan apa pun."
"Mungkin ada sedikit kesalahpahaman, Bri."
Brian tersenyum. Lalu menunjuk telepon di dekat Sienna.
"Kalau begitu, telepon Dara sekarang. Kita luruskan kesalahpahaman yang ada. Kalau perlu, panggil juga perwakilan klien tersebut. Aku nggak mau menjadi tertuduh tanpa alasan yang jelas," pungkas Brian.
Sienna terdiam. Tak serta merta menuruti keinginan Brian yang sejatinya juga menyangkut nama baik perusahaan mereka. Padahal gadis itu biasanya lebih cekatan daripada Brian dalam hal pekerjaan. Melihat hal tersebut, Brian justru semakin yakin dengan dugaannya.
Brian melirik ke arah pintu di mana suara ketukan baru saja terdengar. Tak lama, sekretaris Sienna masuk sembari membawa secangkir coklat panas pesanan bosnya. Gadis yang baru dua tahun bekerja pada Sienna itu bergegas pergi setelah melakukan tugasnya, tetapi Brian segera memanggilnya.
"Tunggu, Nin," panggilnya pada gadis bernama Nina tersebut, "bisa tolong kamu hubungi Pak Bintara? Buatkan janji temu untuk kami."
Nina hampir mengangguk dan mengiakan perintah Brian ketika Sienna dengan cepat membatalkannya.
"Tidak perlu, Nin. Kamu kembali saja ke mejamu dan lakukan pekerjaan rutin."
Nina jelas lebih menuruti perintah bos besarnya daripada Brian. Gadis itu segera menyerukan kata ya kemudian keluar dari ruangan.
Sepeninggal Nina, Brian tertawa. Membuat Sienna memandangnya bingung. Merasa tak ada hal lucu yang perlu ditertawakan.
"Sienna, cukup sudah. Hentikan permainanmu," pinta Brian di sela tawanya. "Aku tahu, sebenarnya nggak ada keluhan apalagi tuduhan apa pun dari klien mana pun. Ini semua hanya rencanamu untuk membawaku kembali, kan? Oh, tentu saja rencana Om Dennis juga. Aku sama sekali nggak terkejut."
Wajah Sienna mendadak pias. Tadinya Dennis memang sudah mengingatkan akan kegagalan rencana Sienna, tetapi gadis itu bersikeras. Ia hanya ingin Brian kembali, setidaknya untuk bekerja di perusahaan lagi. Masalah perasaan, ia akan mengusahakannya kembali. Tak pernah ada kata menyerah untuk itu.
"Bri, aku nggak ber---"
"Cukup, Na!" Sentak Brian yang ekspresinya berubah drastis dalam sekejap. Ia berdiri dan memandang Sienna tajam. Bahkan, sorot matanya terkesan mengancam. "Kalau ini cara kalian untuk memberiku pelajaran, sayang sekali aku tidak terganggu sama sekali. Bukankah udah kubilang, kalian bahkan boleh mengeluarkanku dari perusahaan jika mau. Aku sama sekali nggak keberatan."
Sienna menggelengkan kepala. Raut wajahnya semakin tampak sedih.
"Nggak, Bri. Kamu juga berhak atas perusahaan ini. Aku cuma takut kamu beneran nggak peduli lagi sama perusahaan dan juga keluarga kita demi Kalila," jawab Sienna beralasan.
"Tanpa adanya Kalila pun aku sebenarnya muak menjadi bonekamu dan Om Dennis."
Kedua mata Sienna berkaca-kaca. Ia hanya ingin Brian mengerti akan perasaannya. Ia pun hanya memiliki harapan kecil bahwa Brian bisa balas mencintainya. Namun, bahkan harapan sekecil itu pun tak mampu ia wujudkan.
"Bri, aku cinta sama kamu," lirih Sienna.
Brian yang mendengarnya sontak mengusap wajah dengan kasar. Embusan napas panjang pun seolah jadi bukti jika ia lelah akan pernyataan perasaan Sienna tersebut.
"Sorry, Na. Aku terpaksa mengatakannya berulang kali, tapi aku nggak punya perasaan yang sama denganmu. Tolong mengertilah. Bagiku, kita adalah saudara dan akan selamanya begitu."
Berusaha menahan tangis akan penolakan yang ia terima untuk kesekian kali, Sienna berusaha tegar.
"Bri, Tante Farah dan Papa sudah memberi kita restu. Kenapa kamu nggak mencoba buka hati untukku?"
"Nggak bisa, Na. Dan, jangan membahas ini lagi. Keputusanku nggak akan berubah. Aku nggak peduli sekalipun Om Dennis nggak setuju. Dia berhak ngatur pendidikan dan pekerjaanku, tapi bukan perasaanku. Aku harap ini terakhir kalinya aku harus bicara seperti ini sama kamu."
Setelah mengungkapkan beban yang mengganjal hatinya selama ini, Brian bergegas meninggalkan ruangan Sienna. Perasaannya sedikit lebih lega.
Namun, berkebalikan dengan Brian, Sienna justru terduduk dengan lemah. Coklat panas yang biasanya bisa membuat Sienna merasa lebih baik, kali ini tak mampu memberi efek apa pun.
Hati Sienna sudah hancur karena penolakan Brian. Terlalu hancur, bahkan, hingga ia tak yakin apa masih ada cara untuk merekatkannya kembali.
***
Kalila terpekur di depan etalase kue dagangannya. Teringat akan Alicia yang memilih untuk mogok bicara padanya selain saat di ruang siaran.
Tindakan Alicia jelas bukan hal yang Kalila inginkan. Ini salahnya karena membawa Panji ke dalam urusannya dengan Brian tanpa mengingat keberadaan Alicia yang selama ini menaruh hati pada Panji.
Di sisi lain, Panji pun tak lagi menghubunginya selama beberapa hari terakhir. Sejak pertanyaan Kalila yang tak dijawabnya tempo hari, sosok Panji seolah ikut menghilang. Padahal, Kalila tahu pasti Panji masih berada dalam rutinitasnya. Lelaki itu masih bekerja sebagai sekuriti di salah satu bank swasta di daerah Sudirman. Hanya saja, tingkahnya seolah ia telah pindah jauh. Tak mau mengabari Kalila sama sekali.
"Dari tadi, kok, melamun terus, Nduk? Ada apa?" tanya Burhan yang sedari tadi memperhatikan gelagat putrinya. Ia menjalankan kursi rodanya mendekati Kalila.
"Mboten nopo-nopo*), Pak. Cuma lagi capek aja," jawab Kalila bohong.
Burhan tersenyum menanggapi kebohongan putrinya, lalu menanyakan hal di luar bahasan awal.
"Ngomong-ngomong, Panji kok nggak kelihatan beberapa hari ini? Kalian ada masalah?"
"Entahlah, Pak. Mungkin aku cuma salah ngomong dan Panji tersinggung," jawab Kalila.
"Memangnya kamu ngomong apa sama dia?" tanya Burhan lagi. Sedikit penasaran.
Kalila awalnya enggan untuk bercerita, tetapi akhirnya ia membeberkan semuanya. Dimulai dari soal Brian hingga Alicia. Bahkan ia mengulang pertanyaan yang membuat Panji pergi begitu saja.
"Apa pertanyaanku salah, Pak?"
Burhan menggeleng. "Nggak sepenuhnya salah, Nduk. Tapi, ini masalah perasaan. Kalau kamu nggak yakin, apalagi cuma buat main-main, lebih baik hentikan. Jangan sampai kamu mempermainkan perasaan orang lain."
"Aku cuma mau Brian ngejauh, Pak," sanggah Kalila.
"Tapi bukan dengan cara memanfaatkan Panji, Nduk. Kamu harus menyelesaikannya dengan Brian sendiri."
Kalila tertunduk. Merasa ucapan Burhan benar adanya. Namun, ia belum punya keberanian untuk menemui Brian dan menjelaskan semuanya. Hanya saja, ia tahu kalau ia bisa mencoba melakukan hal tersebut pada Alicia lebih dulu. Maka, seutas senyum terukir di wajahnya sewaktu menggenggam ponsel dan hendak menelepon Alicia.
"Makasih, Pak, sarannya. Aku akan terus coba ngomong sama Alicia biar dia nggak semakin salah paham. Juga Panji. Aku nggak mau kehilangan mereka berdua," pungkas Kalila.
Burhan hanya menanggapi dengan sebuah senyuman serupa, lalu meninggalkan Kalila menelepon salah satu dari dua teman baiknya itu. Dalam hati, sebuah doa terucap untuk putrinya tersebut.
Burhan ingin Kalila selalu bahagia.
***
*) Tidak apa-apa
~~~
Guys, apa kabarnya hati? 😅
Nggak jadi sate, kan? Mumpung hari raya kurban, nih.
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro