Dua Puluh Lima : Kepingan Hati
BILA rahasia hanya memicu api dalam sekam
Lepaskan ia selagi air masih mengalir
Jika perih asa bak luka tertikam
Relakan ia meski cinta harus berakhir
***
"Bri, aku pengin kita ketemu," Kalila segera mengatakan maksudnya menelepon Brian begitu panggilan tersambung, "ada yang harus kita omongin."
"Boleh, Kal. Di mana? Kapan?"
Suara Brian terdengar sangat antusias. Kalila yang mendengarnya hanya bisa mengembuskan napas perlahan. Ia memang tak berbicara dengan ketus seperti biasa. Mungkin itulah yang membuat lelaki itu begitu bersemangat sewaktu Kalila mengajaknya bertemu. Padahal, hal penting yang ingin Kalila sampaikan bukanlah sesuatu yang indah.
"Di restoran Korea dekat Canetis. Kita ketemuan di sana selepas isya'."
"Nggak, Kal. Aku akan jemput kamu ke rumah. Tunggu aku," pinta Brian.
"Bri, nggak usah. Aku bisa berangkat sendiri," tolak Kalila. Ia tidak ingin memulai dengan memberi harapan manis pada lelaki itu, karena pada akhirnya bukan hal itu yang akan Brian terima.
"Udah, nggak apa-apa, Kal. Aku jemput kamu, ya? Sekalian pamitan sama Bapak juga. Assalamualaikum," pungkas Brian cepat sebelum akhirnya mengakhiri pembicaraan. Membuat Kalila hanya sempat membalas salam tanpa bisa memberi penolakan untuk yang kedua kali.
Lagi-lagi, Kalila hanya bisa mengembuskan napas berat. Meski tak memandang langsung wajah Brian tadi, ia bisa merasakan jika lelaki itu tengah tersenyum bahagia. Menampakkan lesung pipi yang menambah kadar ketampanannya. Brian pasti berpikir Kalila telah bersedia membuka hati.
Dugaan itu membuat Kalila merasa bersalah. Tak ada yang tahu, menyakiti Brian sejatinya sama dengan melukai diri Kalila sendiri. Selama ini, ia selalu berharap lelaki yang dicintainya dalam diam itu bisa menemukan bahagia tanpa harus bersamanya. Meski, seringkali hati Kalila berkhianat dengan berhasrat memiliki kesempatan untuk menggenapkan cintanya pada Brian.
Sayang, setelah bertahun-tahun didera dilema, kini Kalila tak hanya harus rela melepaskan. Ia akan menyakiti Brian dan membuat lelaki itu membencinya. Kebencian yang mungkin akan ia dapatkan seumur hidup.
"Nduk," panggil Burhan yang muncul dari ruang tamu. Ia sedang berjemur di teras depan ketika mendengarkan Kalila menelepon Brian. "Tadi yang telepon itu Nak Brian?"
Kalila menyongsong sang ayah, menarik kursi roda lelaki itu agar sejajar dengan kursi yang ia tempati.
"Inggih, Pak," jawabnya singkat. Teringat jika saat ini pun Brian memanggil Burhan dengan panggilan serupa. Bapak. "Kalila ambilkan minum, ya, Pak? Tadi baru sarapan aja, belum minum obat, kan?"
Burhan mengangguk. Membiarkan Kalila yang kemudian bangkit menuju kotak obat di dekat pintu kamarnya dan mengambil beberapa botol obat berbagai jenis.
Menatap sosok Kalila, Burhan serasa mendapatkan anugerah yang tak terkira. Putri yang dulu terpaksa ia tinggalkan kini telah tumbuh dewasa. Dan, tak menyimpan dendam pada ayah yang pengecut sepertinya. Kalila mengingatkan Burhan pada Nastiti, mendiang istrinya. Mereka memiliki kemiripan dalam sifat maupun penampilan. Sederhana dan bersahaja.
Kalila lalu kembali mendekati Burhan seraya membawa beberapa butir obat dan segelas air putih. Dengan telaten, gadis itu membantu sang ayah meminum obat-obatannya. Setelah selesai, gadis itu meletakkan gelas tersebut di meja dekat tempat ia duduk.
"Bapak mau ke teras lagi?" tanya Kalila yang kemudian meraih kursi roda Burhan menuju teras rumah mereka begitu sang ayah mengiakan.
Rumah sederhana yang Kalila dan Burhan tinggali tak seberapa luas. Namun, di halaman yang tak seberapa itu pun bisa ditempati beberapa tanaman hias seperti Aglaonema dan Anthurium. Pemandangan yang cukup menyejukkan untuk dilihat. Kalila terkadang menjadikan deretan tanaman hias itu penyegar bagi matanya yang kelelahan ketika berjualan kue.
Pagi itu pembelinya kebanyakan datang lebih awal, sehingga belum sampai matahari meninggi, kue dagangan Kalila sudah habis. Rezeki yang patut disyukuri. Ia juga sudah membereskan isi etalasenya sehingga kini bisa menemani sang ayah bercengkrama sembari menikmati suasana cerah hari ini.
"Nduk, boleh Bapak bertanya sesuatu sama kamu?" Burhan memulai percakapannya dengan sebuah pertanyaan. Kalila yang duduk pada sebuah kursi rotan di sampingnya pun mengangguk.
"Bapak mau tanya apa?" tanyanya balik dengan lemah lembut.
"Kamu masih cinta sama Nak Brian, kan?"
Pertanyaan tak terduga tersebut membuat Kalila terdiam. Ia memang pernah bercerita tentang Brian pada sang ayah. Namun, hanya sebatas tentang cinta pertamanya yang terpaksa ia lupakan karena perbedaan status sosial. Ia pikir tak perlu membeberkan satu fakta penting lainnya pada Burhan. Toh, menurut Kalila, Brian tak akan lagi mencarinya. Lelaki itu pasti sudah menemukan orang lain untuk menjadi pasangannya mencari bahagia.
Sayang, kenyataan ternyata tak sesuai dugaan Kalila. Ia mana tahu kalau Brian ternyata masih mencarinya. Masih mencintainya. Lebih mencengangkan lagi, Brian bahkan akhirnya berhubungan baik dengan Burhan. Lelaki itu berhasil mendapatkan hati ayah Kalila tanpa tahu hubungan yang tak terungkap di antara mereka.
"Masih, Pak," jawab Kalila jujur. Ia merasa tak ada gunanya berbohong pada sang ayah.
"Lalu, kenapa kamu nggak coba kasih dia kesempatan? Bapak bisa lihat kalau dia serius dan tulus sama kamu, Nduk."
Kali ini, Kalila menggeleng sedih. Dari semua ceritanya tentang Brian, Kalila lupa memberitahukan satu hal penting pada Burhan. Tentang asal-usul keluarga Brian.
"Nggak akan bertahan lama setelah dia tahu siapa kita, Pak."
"Maksud kamu apa, Nduk?" tanya Burhan penasaran. Raut sedih putrinya membuat ia diliputi perasaan was-was dan takut.
"Brian adalah anak tunggal Danu Atma Wijaya, Pak," jawab Kalila pelan. Namun, cukup untuk membuat Burhan tersentak. Sama sekali tak menduga karena selama ini Kalila tak menyebutkan nama itu jika mereka bicara tentang Brian. "Saat ini dia memang belum tahu. Tapi, nanti dia akhirnya akan benci sama aku, Pak. Sebelum itu terjadi, lebih baik dia membenciku lebih dulu."
"Maafin Bapak, Nduk. Ini semua salah Bapak," ujar Burhan yang kini tertunduk sedih. Penuh penyesalan.
"Nggak ada yang salah, Pak. Semua udah takdir. Mungkin, kami memang nggak berjodoh." Kalila berusaha menghibur sang ayah, tetapi pancaran sinar matanya tetap berisi kesenduan. Burhan yang bisa melihatnya hanya bisa semakin tertunduk sedih.
Suasana seketika menjadi hening. Hanya terisi oleh embusan napas ayah dan anak tersebut. Pandangan keduanya juga kosong meski tampak sedang memandangi deretan Anthurium yang mulai berbunga.
"Nduk, kalian saling mencintai. Kalian berhak bahagia. Bapak bersedia melakukan apa pun asal kamu bisa mendapatkan kebahagiaan itu."
Kalila tersenyum tipis pada sang ayah yang masih menatapnya sendu.
"Jangan khawatir, Pak. Aku sudah mengambil keputusan. Dan aku yakin itu yang terbaik buat kita semua."
Sembari mengatakan hal tersebut, Kalila menggenggam tangan sang ayah dan tersenyum. Berusaha meyakinkan Burhan jika semua akan baik-baik saja. Namun, sejatinya Kalila tak dapat memungkiri fakta jika sedih telah menyelimuti hatinya. Sebab, ia akan melepaskan orang yang ia cintai. Merelakan Brian.
***
"Pokoknya terus awasi Burhan dan putrinya. Pastikan mereka nggak macam-macam. Ngerti?"
Sienna baru tiba di rumah dan tak sengaja mendengar percakapan Dennis ketika memasuki ruangan ayahnya sore itu. Ia berniat melakukan apa yang dikatakan Kalila saat mereka terakhir kali bertemu. Soal alasan Kalila mau menjauhi Brian lagi tanpa menerima imbalan apa pun. Sesuatu yang gadis itu sarankan untuk Sienna tanyakan pada Dennis.
"Burhan itu siapa, Pa?" tanya Sienna seraya melenggang menuju sofa beludru di salah satu sudut ruangan. Menyandarkan tubuhnya yang lelah di sana.
"Bukan siapa-siapa, Sayang," jawab Dennis seraya buru-buru mengakhiri panggilan teleponnya. Ia menyimpan kembali ponsel miliknya lalu menghampiri sang putri. Mereka duduk berdampingan menghadap jendela kaca besar yang menyajikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian lantai tiga rumah mereka. "Tumben kamu ke sini, Sayang? Ada masalah?"
Ragu-ragu Sienna menatap sang ayah. Namun, melihat senyum Dennis membuat pikiran Sienna segera beralih dengan cepat. Seharusnya ia tidak perlu mempercayai Kalila. Bisa jadi Dennis sudah memberi gadis itu uang dengan jumlah yang lebih besar dari yang Sienna tawarkan. Penolakannya hanya tipuan. Bukankah itu lebih masuk akal?
"Nggak ada apa-apa, kok, Pa." Sienna merebahkan kepala ke pundak Dennis. "Oh, ya, Pa. Soal Brian, aku ma---"
Ponsel Dennis tiba-tiba berdering sebelum Sienna menyelesaikan ucapannya. Entah siapa yang menelepon, gadis bermata abu-abu itu tak dapat melihat dengan jelas nama yang tertera pada layar. Namun, panggilan telepon tersebut tampaknya sangat penting karena Dennis buru-buru beranjak menjauh dari Sienna untuk melanjutkan percakapan.
Pastinya telepon itu tentang perusahaan. Sienna hafal betul dengan ayahnya yang gila kerja. Bahkan, meski sudah di rumah pun Dennis masih saja berkutat dengan semua pekerjaan kantor. Untungnya mereka berdua sudah sama-sama tinggal di Jakarta sekarang. Sienna jadi tak harus menahan rindu lama-lama pada sang ayah seperti saat ia tinggal di Malang dulu. Dan, tinggal bersama juga membuat gadis itu tertular kebiasaan Dennis. Sienna juga sangat menyukai pekerjaannya.
Sembari menunggu Dennis selesai berbicara di telepon, Sienna pun bangkit. Ia lalu berjalan menuju meja kerja ayahnya. Meja dari kayu jati yang sudah berumur puluhan tahun dan masih kuat itu adalah salah satu benda kesayangan Dennis. Dulu, Sienna kecil suka bersembunyi di bawahnya sewaktu bermain petak umpet dengan Brian. Takut kedua anak kecil tersebut merusak dokumen-dokumen berharga, Dennis selalu memarahi mereka jika berani masuk ke sana tanpa izin.
Pandangan Sienna lalu tertuju pada tumpukan berkas dan map coklat yang tergeletak di atas meja. Tanpa ada prasangka apa pun, ia membuka map tersebut dan membaca isinya. Lalu, keningnya berkerut ketika sampai pada lembar kesekian. Ada foto seorang lelaki seusia Dennis dengan nama Burhan Purnomo. Bisa jadi orang tersebut adalah orang yang tadi namanya sempat disebut oleh Dennis. Namun, bukan hal tersebut yang membuat Sienna terkejut.
Pada lembar selanjutnya, ada foto seorang gadis yang sangat ia kenal. Gadis yang selama ini menghalanginya mendapatkan Brian. Kalila. Dan, tertulis keterangan yang sangat jelas mengenai statusnya. Kalila Putri Nastiti, putri dari Burhan Purnomo.
Sebuah pertanyaan sontak mengisi kepala Sienna. Yang ia tahu Kalila hanya memiliki seorang ibu angkat. Dan, jika Burhan ini adalah ayah kandung gadis itu, apa hubungannya dengan Dennis?
***
Brian tersenyum lebar sewaktu mendapati Burhan dan Kalila di teras depan rumah mereka. Ia sengaja datang sedikit lebih awal agar Kalila tak punya alasan lagi untuk menolak ia jemput.
"Assalamualaikum, Pak," sapa Brian begitu kakinya memasuki teras rumah Kalila. Ia mendekat pada Burhan dan mencium punggung tangan lelaki itu.
Burhan membalas salam Brian dan tersenyum tipis, lalu menoleh pada Kalila. "Kalila sudah bilang kalau mau pergi sama kamu, Nak Brian."
Brian tersenyum canggung sembari melirik ke arah Kalila yang bergeming di tempat. Tak disangka, tindakannya itu justru membuat Brian kembali terjerat pesona Kalila. Dalam balutan rok panjang berwarna cream, blus kuning bermotif floral kecil-kecil dan hijab polos berwarna senada, Kalila sukses menawan hati Brian dengan kesederhanaannya, lagi.
"Iya, Pak. Kami mau ke restoran dekat Canetis. Sekalian Kalila langsung ke radio untuk siaran," jawab Brian akhirnya.
Burhan mengangguk mengerti, lalu berkata, "Hati-hati, ya."
Setelah mencium punggung tangan Burhan dan berpamitan, Brian dan Kalila lalu beranjak meninggalkan rumah menuju mobil hitam milik Brian yang terparkir di depan halaman rumah Kalila.
"Aku senang kamu akhirnya mau melunak, Kal," ujar Brian begitu mobil yang mereka tumpangi mulai membelah jalanan. Kalila tak bersuara, membiarkan Brian kembali berbicara. "Makasih."
Kalila memalingkan wajah ke arah jendela. Memandang pemandangan jalanan alih-alih menatap lawan bicaranya. Namun, dalam kondisi seperti itu, ia justru berani mengeluarkan suara.
"Bri, jangan berharap terlalu jauh," pintanya tanpa mau berpaling pada Brian. "Aku nggak ada maksud untuk ngasih kamu kesempatan."
Brian terdiam. Tangan dan pandangannya fokus untuk mengemudikan mobil, tetapi hati dan pikirannya justru terpecah. Jujur, ia tidak suka dengan kalimat terakhir Kalila.
"Kenapa, nggak?" tanya Brian balik. "Kita sama-sama single, Kal. Aku tahu kamu dan Panji sama sekali nggak ada hubungan lebih dari sahabat."
Giliran Kalila yang terdiam. Kedekatan Alicia dan Panji memang menjadi alasan yang kuat untuk rasa tidak percaya Brian pada ceritanya. Karena itulah, ia memutuskan untuk membiarkan kebohongan itu terungkap, sementara dia sendiri akan membuka tabir rahasia lain di antara dirinya dan Brian.
"Memang. Aku cuma mau kamu nggak deketin aku lagi."
Brian mengembuskan napas kasar. Masih tidak habis pikir alasan Kalila merasa sangat perlu untuk menjauhinya.
"Kenapa, nggak? Aku punya perasaan lebih sama kamu. Perasaan yang udah kutahan bertahun-tahun. Kalau sekarang aku berniat melepaskan rindu itu, apa aku salah?"
Tentu saja Brian tidak salah. Kalila bahkan berharap bisa melakukan hal yang sama. Namun, ia tidak ingin menjadi egois dan harus belajar menerima kenyataan yang ada. Bahkan yang terpahit sekali pun.
"Ada Sienna, perbedaan status sosial dan juga kenyataan kalau kita nggak bisa bersama, Bri. Seharusnya kamu juga lebih menyadari hal itu," jawab Kalila.
"Omong kosong," sergah Brian. "Aku udah nggak peduli lagi sama semua hal itu."
Kalila tahu Brian akan bersikap seperti itu. Namun, bagaimanapun juga ia tidak boleh mengendurkan tekad. Ia tetap harus mengatakan kebenaran yang selama ini tersimpan rapi tanpa pernah Brian ketahui.
Emosi yang mulai meningkat membuat Brian mengurangi kecepatan lalu menepikan mobilnya di dekat sebuah lapangan. Kalila tak tahu di mana mereka berada sekarang. Ia hanya tahu jika mereka tak perlu pergi ke restoran. Mereka harus berbicara saat ini juga.
"Mari kita saling jujur, Bri," ujar Kalila. "Dan, izinkan aku yang pertama mengaku."
Entah sejak kapan kedua mata Kalila terasa buram. Ia menangis tanpa sadar. Tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir perlahan yang kemudian menyadarkannya akan hal itu.
"Kal, kenapa kamu nangis?" tanya Brian cemas. Dia benci melihat air mata mengalir di pipi gadis yang ia cintai. Terutama jika itu adalah tangis kesedihan. "Apa aku menyakitimu?"
Kalila menggeleng. Isak tangisnya mulai terdengar lebih jelas. Ia menatap kedua mata Brian ragu. Membuat lelaki itu khawatir karena menunggunya bersuara.
"Bri, aku cinta sama kamu. Sejak dulu." Meski kalimat yang Kalila utarakan adalah sebuah kebahagiaan, terutama untuk Brian, tangis gadis itu terasa jauh dari kata bahagia. Isakannya justru terdengar sedih dan semakin memilukan sewaktu Kalila melanjutkan ucapannya. "Tapi, kita nggak bisa bersama. Kamu nggak akan mencintaiku lagi setelah ini."
Antara senang, bingung dan marah, Brian memukul kemudinya. Ia menatap Kalila tak mengerti. Setelah melambungkannya begitu tinggi, memberinya harapan yang begitu besar, kenapa gadis itu justru menghentikannya saat itu juga?
"Kenapa kamu masih meragukanku, Kal? Aku cinta sama kamu."
Sesak di dada Kalila terasa semakin menghimpit. Ia berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin dengan menarik napas, tetapi perih yang terasa di hatinya tak juga memudar. Bahkan, tangisnya tak mau berhenti. Terus mengalir membasahi wajah yang saat ini ingin sekali Brian raup dalam pelukan.
"Bri, kita nggak hanya berbeda. Kita ... juga terikat rahasia yang telah lama ada." Suara Kalila hampir habis karena tak henti menangis. "Rahasia yang nggak akan kamu suka."
"Aku nggak peduli. Aku cinta sama kamu, begitupun sebaliknya. Apa lagi yang bisa menghalanginya?"
Sifat keras kepala Brian membuat Kalila semakin sedih. Ia takut, tekad kuat lelaki itu akan berubah menjadi kebencian yang sama kuat nantinya. Namun, sekali lagi ia menguatkan hati. Apa pun risikonya, Kalila harus mengatakan rahasia itu saat ini juga.
"Apa kamu akan tetap cinta sama aku setelah tahu Bapak pernah dipenjara karena membunuh?"
Brian sedikit tersentak atas pertanyaan Kalila, tetapi dengan mantap ia memberi jawaban.
"Setiap orang memiliki masa lalu yang kelam, Kal. Aku yakin bisa menerimanya."
Kalila kembali menggeleng. Rasa sedih dan tak rela bertarung di dalam hatinya. Mencoba membuat gadis itu mundur dari niat awal dan menjadi egois. Namun, Kalila yakin jika ia harus bisa bertahan dengan keputusannya. Maka, dengan tangis yang masih terdengar, terbata-bata Kalila mengucapkan fakta terburuk dalam hubungannya dengan Brian. Hubungan yang harus berakhir bahkan sebelum dimulai.
"Apa kamu masih bisa menerimanya kalau orang yang dibunuh Bapak adalah Danu Atma Wijaya?"
"Nggak mungkin," bentak Brian tanpa sadar. Berusaha mengingkari kenyataan akan fakta yang baru saja ia dengar. Namun, sorot terluka dari kedua mata Kalila menyadarkannya satu hal. Gadis itu serius. Kalila tidak berbohong.
Otak Brian serasa buntu. Hatinya terasa dicabik-cabik oleh kejamnya kenyataan. Cinta yang selama ini ia perjuangkan ternyata menjadi belati yang menusuk jantungnya begitu dalam. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Sekali lagi berharap semuanya hanya sebuah canda yang tak berarti. Hanya sebuah cara lain Kalila untuk menghindarinya. Namun, sekali lagi pancaran kesedihan dari mata Kalila mengalahkan usahanya.
"Aku anak dari pembunuh ayahmu, Bri. Orang yang kamu benci. Orang yang membuat hidupmu di bawah tekanan Om Dennis. Orang yang dengan gembira kamu panggil Bapak."
"Berhenti!" pinta Brian dengan suara parau. Ia kembali memukul kemudi mobilnya berkali-kali tanpa mau menatap Kalila. Tiba-tiba, ia merasa kebencian menjalari tubuhnya sewaktu mendengar suara gadis itu. "Kamu sama jahatnya dengan Om Dennis dan ayahmu. Kalian semua jahat."
Kalila sama sekali tak merespon bentakan Brian. Ia sadar, cepat atau lambat seperti inilah perlakuan yang akan diterimanya dari Brian begitu rahasia tentang Burhan terbongkar. Namun, ia tak bisa mencegah air matanya untuk kembali mengalir.
"Maafin aku, Bri." Kalila memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tanpa menunggu respon Brian, ia keluar dari mobil. Meninggalkan lelaki itu sendirian.
Dengan langkah gontai, Kalila berjalan menjauh. Tangannya menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi, tetapi ruang kosong di hatinya tetap berlubang. Kepingannya telah terpisah dan hancur. Begitupun dengan Brian.
Malam itu, mereka berdua telah kehilangan satu keping hati. Menyisakan sebelah kepingan lain penuh luka yang entah kapan akan kembali bersama.
***
Ehm, boleh tanya pendapat kalian tentang bab ini? 🤔
***
Salam Baca
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro