Dua Puluh Enam : Memulai Dari Awal
AKU bukannya tak mau menghapusmu
Hanya saja, kau yang tak mau beranjak dari hatiku
***
Apa kamu masih bisa menerimanya kalau orang yang dibunuh Bapak adalah Danu Atma Wijaya?
Brian terpekur di bibir ranjang kamarnya. Berusaha mengenyahkan kalimat Kalila yang terus terngiang di kepala. Namun, seolah kabut yang menyelimuti awal pagi, kata-kata gadis itu terus melekat dan mengusik. Memburamkan hati Brian sedemikian rupa.
Kedua mata Brian menatap nanar sebuah kotak beludru merah di tangannya. Kotak berisi cincin yang sejatinya akan ia gunakan untuk melamar Kalila itu seolah bara api yang membakar. Panas. Perih. Benda itu juga mengingatkan Brian tentang penantiannya selama ini. Hal yang nyatanya tak hanya berakhir sia-sia, tetapi juga menorehkan luka.
"Argh!"
Teriakan penuh emosi terdengar bersamaan dengan terlemparnya kotak cincin tadi ke dinding. Benda itu terhempas ke salah satu sudut ruangan, tetapi Brian tidak peduli. Hatinya jauh lebih terluka oleh hempasan kenyataan akan ayahnya dan ayah Kalila.
Napas Brian memburu. Segala benci dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Tangis tak akan cukup untuk mengungkapkan betapa kenyataan begitu pandai mempermainkannya. Ia dipertemukan dengan Kalila, jatuh cinta pada gadis itu setengah mati, tetapi lalu disajikan fakta yang seketika meluruhkan setiap titik kebahagiaan dalam dirinya.
"Bri," panggil Farah yang khawatir saat mendengar teriakan putranya. Ia berada di ambang pintu dan memandangi Brian cemas. Lalu, langkah Farah mendekat meski sang putra tak menggubris kehadirannya.
Telah terjadi sesuatu yang buruk. Farah bisa menebaknya dari ekspresi Brian yang sama sekali tak dihiasi rona bahagia. Ia tahu perdebatan kecil mereka sebelumnya memang bisa dikatakan sebagai hal buruk tersebut. Namun, Farah yakin ada yang terjadi lebih dari itu. Melihat dari pakaian Brian yang masih sama dengan terakhir kali ia pergi, pastilah hal itu berhubungan dengan orang yang ia temui sebelumnya.
Brian yang menyadari kehadiran sang mama tetap bergeming. Sama sekali tak menoleh, tetapi bibirnya bergerak. Menyuarakan sebuah pertanyaan tak terduga.
"Siapa nama orang yang udah bunuh Papa, Ma?" Farah terperanjat sehingga tak mampu berkata-kata, "apakah Burhan Purnomo?"
Masih tak ada jawaban. Bahkan hingga Brian akhirnya menatap sang mama dengan sorot mata penuh asa. Berharap kata-kata Kalila yang terus menghantuinya hanyalah sebuah omong kosong belaka. Namun, wajah Farah yang memucat, serta suara yang tak kunjung keluar sebagai jawaban memberi Brian satu kesimpulan.
Diamnya Farah berarti 'ya'.
"Kenapa Mama nutupin semuanya selama ini? Mama berusaha melindunginya? Kenapa? Apa jangan-jangan dia itu selingkuhan Mama, karena itu dia bunuh Papa?"
Dikuasai amarah, Brian meracau. Menyuarakan semua dugaan yang terlintas di kepalanya hingga sebuah tamparan mengenai pipi kirinya.
"Jaga ucapanmu, Brian! Mama tidak serendah itu." Wajah Farah memerah. Tak percaya putranya bisa melayangkan tuduhan sekeji itu. "Dan, tidak ada yang melindunginya. Burhan sudah mendapatkan hukuman atas perbuatannya."
Brian tersenyum sinis. Tak tahu harus percaya pada ucapan Farah atau menuruti dugaannya sendiri. Lagipula, pikirannya didominasi wajah Kalila. Gadis yang ia cintai, tetapi sekarang sengaja menumbuhkan kebencian di hati Brian.
Menyadari keraguan pada raut wajah Brian, Farah memilih untuk meninggalkan putranya itu. Menurutnya percuma meyakinkan seseorang yang sejak awal tak memiliki rasa percaya. Brian harus diberi waktu untuk merenung. Setidaknya untuk menjernihkan pikiran agar tak sampai menuduh mamanya lagi dengan dugaan yang kejam.
Brian tak peduli saat derap langkah Farah meninggalkan kamarnya. Namun, tubuhnya segera beranjak sewaktu telinganya mendengar dengan jelas suara kunci diputar. Farah menguncinya dari luar. Bergegas ia mendekat ke arah pintu.
"Ma, buka pintunya!" seru Brian sembari menggedor daun pintu kamarnya. "Aku bukan anak kecil."
Di luar, Farah menghela napas. Ia memang harus melakukan hal itu demi menjaga Brian dari hal-hal yang tidak diinginkan. Semarah apa pun putranya itu, setidaknya Farah bisa lebih tenang karena Brian tetap berada di rumah. Tak berisiko melakukan hal-hal buruk di luar rumah.
"Tenangkan dulu dirimu, Bri. Mama akan kasih kamu waktu," jawab Farah seraya melenggang pergi. Tak lagi peduli dengan seruan Brian dari dalam kamar.
***
Alicia baru saja memakai headphone ketika ia menyadari sesuatu yang tak biasa pada diri rekan siarannya. Malam itu, Kalila datang dengan mata sembab. Membuat Alicia khawatir.
"Kamu baik-baik aja, kan, Ti?" Belum sempat Kalila menjawab, Alicia mendadak teringat jika hari ini gadis itu janji bertemu dengan Brian setelah meminta kontak lelaki itu darinya. "Tunggu, Brian nyakitin kamu? Awas aja tuh, orang. Tahu gitu aku nggak akan kasih dia nomor kamu."
Kalila berusaha tersenyum merespon ucapan Alicia yang bersungut-sungut. Namun, bagaimanapun juga kesedihan yang menggelayuti hatinya tak semudah itu pergi.
"Nggak, Alice. Dia nggak pernah ngelakuin hal kaya gitu ke aku," jawab Kalila seraya memakai headphone-nya. Mengikuti tindakan Alicia.
"Terus, kenapa kamu nangis?"
"Lagi patah hati aja," jawab Kalila seraya tersenyum sendu, lalu memberi isyarat untuk fokus pada siaran yang akan segera dimulai dan melupakan sejenak pembicaraan mereka.
Alicia mengangguk mengerti. Ia juga membiarkan Kalila yang memilih lagu pertama untuk siaran mereka malam itu. Namun, ia tak menyangka jika lagu yang dipilih rekannya itu ternyata tak ada di playlist mereka.
Perlahan, suara Bunga Citra Lestari terdengar, melantunkan lagu dengan judul yang kini Alicia pahami maknanya. Karena itu, ia memilih diam dan tak menegur tindakan Kalila.
Cinta Pertama, begitu judul lagu yang terputar. Mewakili isi hati Kalila yang baru saja melepaskan cinta pertamanya.
Dalam diam, Alicia hanya bisa memandang sendu Kalila yang tengah merayakan patah hatinya.
***
Brian bergeming meski bisa mendengar dengan jelas suara kunci diputar di pintu kamarnya. Ia tidak peduli sekalipun Farah berniat menguncinya lebih lama. Brian sudah terlalu lelah menghadapi siapa pun.
"Wah, lihat siapa ini? Keponakan Om yang baru saja patah hati." Namun, ternyata Dennis yang menapak memasuki kamar Brian. Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu melangkah mantap. Memancarkan aura berkuasa yang paling Brian benci.
Muak, Brian memilih untuk tak peduli. Diam seribu bahasa.
"Lelaki tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Bangkit dan mulai hidup dengan keyakinan baru. Lupakan gadis itu."
Ucapan Dennis sukses membuat Brian melirik tajam ke arahnya. Lelaki itu sadar betul cara untuk memprovokasi sang keponakan.
"Apa yang Om mau?" tanya Brian datar, tetapi kebencian masih tampak dari sorot matanya. Ia mendengkus lalu berujar, "Menceramahiku soal Kalila? Lupakan saja."
Dennis tertawa kecil. Seolah ucapan Brian adalah hal yang lucu. "Tentu saja tidak, Bri. Kamu terlalu baik sehingga bisa tertipu oleh gadis itu. Tapi, kamu bisa memperbaikinya dari sekarang."
Sepertinya ucapan Dennis berhasil menarik minat Brian karena lelaki itu lalu menatap penasaran pada omnya.
"Caranya?"
Kali ini Dennis tersenyum mantap. Meyakini jika pengakuan Kalila tentang Burhan ternyata benar-benar memberinya keuntungan.
"Bagaimana kalau dengan mulai membuka hati pada Sienna?"
***
"Aku ingin bagian lebih banyak darimu, Dan," pinta Dennis dengan gusar saat menemui sang adik di ruangannya. Di hadapannya, Danu hanya menatapnya tanpa menjawab. Sama seperti tempo hari sewaktu ia meminta hal yang sama.
Dennis sudah membulatkan tekad. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mendapatkan bagian lebih banyak dari Danu atas harta warisan sang ayah. Dia adalah saudara tua, sudah sepantasnya memiliki hak yang lebih besar. Lagipula, Danu tak tahu menahan tentang perusahaan. Selama ini Dennis-lah yang mengelolanya.
"Mas Dennis sudah mendapatkan bagian yang semestinya, Mas," jawab Danu akhirnya. "Dan, aku harap kita nggak perlu lagi membahas hal ini. Papa sudah membagi secara adil semuanya."
"Omong kosong," sergah Dennis. Hanya karena Danu-lah anak kandung Atma Wijaya dan dia hanya anak tiri, tak lantas berarti dia tak berhak mendapatkan lebih. "Serahkan saja separuh dari bagianmu padaku, Dan. Setelah itu aku nggak akan meminta lagi."
"Maaf, Mas. Tapi, aku nggak bisa," tolak Danu yang seketika membuat emosi Dennis melonjak. "Jangan serakah, Mas."
Tanpa peringatan, Dennis segera menerjang adik tirinya itu. Menarik kerah baju Danu dan menatapnya penuh amarah.
"Serakah katamu? Aku hanya meminta hakku. Yang serakah itu kamu, Dan. Kamu bahkan nggak peduli dengan perusahaan, tapi justru mendapat bagian lebih besar dan nggak mau mengembalikannya padaku."
Danu menggeleng. Semua yang ia dapatkan bukanlah kehendak pribadinya. Namun, Dennis yang sedari awal merasa memiliki andil besar untuk perusahaan telah lebih dulu salah paham padanya.
"Maaf, Mas. Tapi itu memang hakku. Aku nggak bisa membaginya kecuali pada anak dan istriku."
Jawaban Danu membuat Dennis gelap mata. Ia menarik tubuh adiknya itu lalu mendorongnya dengan kasar ke arah meja. Sementara Danu sama sekali tak melawan. Ia masih menghormati sang kakak sekali pun tindakan Dennis sudah tergolong berlebihan.
"Jangan sampai aku melakukan hal yang lebih buruk dari ini, Danu!" ancam Dennis. Namun, adiknya itu tak merespon ucapannya. Justru terdengar suara rintihan kesakitan.
Dennis lalu kembali menarik tubuh Danu yang saat itu membelakanginya. Dan, kedua mata lelaki itu terbelalak sempurna sewaktu melihat kondisi sang adik.
Dorongan Dennis tadi ternyata mengarahkan Danu mengenai sebuah hiasan meja berujung runcing dan tajam. Benda serupa miniatur menara yang merupakan salah satu hadiah Sofia dari liburan ke luar negeri itu tepat menusuk perut Danu. Cukup dalam hingga membuat tangan adiknya itu kini berlumuran darah karena memeganginya. Berusaha menahan sakit.
Seketika ketakutan melanda Dennis. Ia berlari pergi alih-alih menolong Danu. Satu-satunya yang terpikirkan oleh Dennis saat itu hanyalah menyelamatkan diri.
Dennis terpekur di ruang kerjanya ketika ingatan masa lalu itu kembali melintas di pikirannya. Satu fakta penting yang selama ini tak diketahui oleh siapa pun.
Kalau saja waktu itu Dennis menolong Danu dan Burhan tak datang, mungkin semuanya akan jadi berbeda. Ia tak perlu menyimpan rahasia apa pun dan Burhan tak perlu menjalani hidup sebagai narapidana kasus pembunuhan.
Namun, tak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Kalau pun ada yang harus ia sesali maka itu hanya satu hal. Ia tak pernah berniat membunuh Danu, tetapi di mata Farah dan Sofia-dua orang yang mengetahui rahasianya-Dennis tetaplah seorang pembunuh. Dan, jika sampai hal itu terungkap, maka putri kesayangannya akan mendapatkan cap yang buruk. Julukan yang tak pernah Dennis harapkan akan tersemat pada putrinya.
Sienna, putri seorang pembunuh.
Dan, sebelum hal buruk itu terjadi, Dennis berharap bisa mewujudkan satu impian Sienna sejak lama. Memiliki Brian.
***
Jeng jeng jeng.
Ternyata oh ternyata. Apakah ada yang sudah menduga hal ini?
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro