Dua Puluh Empat : Ketakutan Tak Berujung
BERTAHAN itu seperti puluhan temu aliran air
Desahan angin yang berdesir
Pada masa yang terus bergulir
Tanpa memberi rasa kita sebuah akhir
***
"Ma, aku ingin menikah."
Ucapan Brian tersebut sontak membuat gerakan Farah yang sedang menyuapkan makanan ke mulutnya pun terhenti. Perempuan paruh baya itu menatap putranya tidak percaya. Rasanya masih kemarin Brian meninggalkan pesta pertunangan dan membuat Sienna diselimuti tangis berhari-hari. Dan, tiba-tiba saja keputusan putranya berubah dalam hitungan waktu yang terbilang cepat.
"Ini kejutan, Bri. Sienna belum bi---"
"Bukan dengan Sienna, Ma. Tapi Kalila," potong Brian cepat. Tak ingin mamanya telanjur salah paham.
Benih bahagia yang tadinya siap bertunas di hati Farah seketika mati. Harapannya untuk mengakhiri kemelut di hati pun pupus sebab sang putra masih memilih Kalila. Memilih seseorang yang tak Brian tahu akan menguak rahasia keluarga mereka. Sesuatu yang hingga kini masih menjadi bayang-bayang penyesalan bagi Farah.
"Lalu?" Farah menatap putranya datar meski dalam hati menanti sebuah kejelasan.
Brian balas menatap sang mama. Makanan yang disajikan sama sekali belum tersentuh olehnya. Kepala lelaki itu hanya dipenuhi tentang cara menyampaikan keinginannya pada Farah.
"Aku mau minta restu Mama." Brian menjawab mantap. Ia hanya perlu jawaban ya dari Farah. Setelah itu, Brian bisa melanjutkan kembali usahanya untuk merebut hati Kalila. Berkat bantuan Panji, ia sudah bisa mengambil perhatian Burhan. Artinya, langkah yang ia tempuh sudah cukup jauh. Dan, pantang baginya untuk menyerah apa pun rintangan yang menghadang.
"Mama nggak bisa kasih kamu restu, kecuali dengan Sienna," putus Farah tegas.
"Ma," Brian mendesah kecewa dan frustasi, "aku nggak cinta sama Sienna. Kenapa semua orang nggak ngerti? Termasuk Mama juga."
Farah tidak bermaksud menghalangi keinginan putranya untuk bahagia. Namun, ada begitu banyak alasan yang membuat kebenaran sulit terungkap dari bibirnya. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan jika Brian mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan dengan baik oleh Dennis dan Farah.
Ini juga tentang Sienna. Farah sudah telanjur menyayangi gadis itu dan berharap mereka bisa terus bersama dalam sebuah ikatan yang lebih jelas. Sebagai mertua dan menantu, mungkin. Sayang, harapan Farah berbenturan dengan keinginan Brian yang tetap kukuh dengan pendiriannya untuk memilih Kalila.
"Dari awal udah jelas, Bri. Kamu dan dia berbeda jauh." Akhirnya alasan klise itulah yang Farah jadikan tameng. Padahal ada sesuatu yang lebih penting untuk diketahui putranya mengenai penolakannya atas Kalila. "Dan, dia bahkan udah ninggalin kamu gitu aja dulu."
Brian mengembuskan napas kasar. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sang mama yang selama ini ia sayangi ternyata masih memiliki pikiran sempit semacam itu. Menjadikan perbedaan status sosial sebagai hambatan akan kisah cintanya.
"Ini semua karena Om Dennis, kan, Ma? Tekanan apa lagi yang Mama dapat dari dia?"
Farah menggeleng. Meski hatinya dipenuhi ketakutan dan rasa bersalah, ia tetap berusaha tak terpengaruh oleh emosi Brian yang mulai meningkat.
"Ini demi kebaikan kita semua. Bahkan, untuk Kalila juga. Dan, sekali ini, Mama mau kamu menuruti kata-kata Mama, Bri," perintah Farah. Berusaha mengabaikan tangan Brian yang mengepal kuat. Pertanda amarah mulai menguasai putranya itu.
Omong kosong. Brian benar-benar tak percaya jika perempuan di hadapannya itu adalah Farah yang ia sayangi dan paling memahami dirinya. Saat ini, Brian hanya sedang berhadapan dengan perempuan yang tak ia kenali. Seseorang yang entah mengapa tampak seperti Dennis di matanya.
"Maaf, tapi aku akan tetap memilih Kalila, Ma," pungkas Brian seraya bangkit dan meninggalkan meja makan.
"Brian! Mau ke mana kamu?"
Farah yang terkejut berusaha memanggil Brian, tetapi hanya bisa melihat langkah putranya semakin menjauh.
Terduduk kembali dengan pasrah dan kesedihan yang mengaliri hati, Farah teringat pada banyak hal yang telah ia lalui selama ini. Semua hal indah bersama sang mendiang suami, juga kenangan pahit yang mau tak mau harus disimpannya rapat karena jiwa pengecutnya.
Tanpa terasa, air mata Farah mengalir. Sungguh, ia sama sekali tak berniat memutuskan harapan putranya. Ia tentu ingin Brian bahagia. Namun, gadis bernama Kalila itu pasti akan membawa kembali masa lalu yang berusaha mereka pendam.
Farah tidak ingin hal itu terjadi. Baginya, biarlah semua tetap menjadi rahasia. Dan, menjauhkan Kalila dari Brian adalah satu-satunya cara. Sebab saat semua yang selama ini sengaja ia kubur muncul ke permukaan, kenyataan yang ia takutkan akan terjadi.
Brian akan membencinya.
***
Sienna membuka pintu ruangan Brian yang tidak tertutup rapat. Celingukan mencari keberadaan sepupunya tersebut.
"Bri!" panggilnya. Namun, hingga kesekian kali, panggilan tersebut tak mendapat balasan. Ruangan itu kosong. Seharusnya tadi ia bertanya lebih dulu pada Dara sebelum datang.
Mungkin Brian sedang keluar untuk makan siang di area luar kantor. Dia tidak pernah pergi ke kantin perusahaan sejak insiden pertunangan mereka yang gagal. Namun, Brian memang semakin menjauh dari Sienna. Lelaki berlesung pipi itu selalu mencari cara untuk menghindari interaksi dengan Sienna kecuali untuk urusan kantor yang mendesak.
Sienna menempati kursi Brian alih-alih pergi dari ruangan tersebut. Membayangkan jika tempat yang ia duduki saat itu adalah kursi yang selalu Brian tempati. Menerbitkan perasaan bahagia yang tak beralasan di hatinya.
Sembari mengamati benda-benda di meja kerja Brian, Sienna bertopang dagu. Selain foto Farah berdua dengan Brian yang dibingkai pigura sederhana, tak ada benda yang menarik perhatian Sienna. Brian memang tergolong orang yang tak suka menumpuk barang tanpa prioritas, terutama dalam pekerjaan.
Sienna pun menyentuh wajah Brian dalam foto tersebut. Senyum lebar sepupunya itu tampak menawan. Senyum yang sama yang kerap membuat hati Sienna berdebar-debar dan bahkan tak jarang jadi sulit tidur. Namun, nyatanya rasa itu justru menyakiti Sienna sebab Brian tak menyimpan rasa yang sama.
Tangan Sienna kembali bergerak. Menjelajahi laci-laci meja kerja Brian. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari. Hanya berharap menemukan sedikit saja sumber kebahagiaan antara dirinya dan Brian yang kini jauh.
Gerakan tangan Sienna terhenti sewaktu membuka laci meja kerja Brian paling atas. Di dalamnya terdapat sebuah kotak beludru berwarna merah. Ragu-ragu, Sienna mengambil benda tersebut dan membukanya.
Sebuah cincin emas putih. Benda yang menimbulkan berbagai tafsir pada diri Sienna.
Mungkinkah itu sebuah cincin pernikahan? Tetapi, untuk siapa? Apakah akhirnya Brian bersedia membuka hati dan menerima Sienna?
Harapan indah yang menyeruak itu membuat kedua ujung bibir Sienna bergerak ke atas. Melengkungkan sebuah senyum. Namun, sebelum sempat bertunas, benih asa tersebut telah tercerabut lebih dulu sewaktu Sienna menemukan ukiran sebuah huruf di bagian dalam cincin tersebut. Sebuah huruf K.
Tak perlu mencari tahu, Sienna sudah bisa menebak siapa pemilik inisial nama tersebut.
Kalila.
Lagi, sesak dalam dada Sienna mendesak keluar. Meronta untuk melepaskan diri. Namun, tangis nyatanya lebih kuat dan memenangkan pertarungan emosi itu sehingga kemudian air matanya mengalir pelan.
Sienna segera menutup dan mengembalikan kotak berisi cincin itu ke tempat semula. Dengan tangis yang mulai memburamkan mata, ia bergegas keluar dari ruangan Brian sebelum sang pemilik kembali.
Namun, kali ini Sienna tidak ingin berdiam diri. Ia lelah mengalah dan diam. Maka sembari melangkah meninggalkan ruangan Brian, Sienna memantapkan satu tekad dalam hati.
Ia akan memperjuangkan Brian. Bagaimanapun caranya.
***
Kalila memainkan sedotan dalam gelas berisi jus jeruk pesanannya. Ia tengah berada di restoran Korea dekat Canetis. Menunggu seseorang yang tadi meminta janji temu dengannya. Sembari menanti, ia mengedarkan pandang ke sekeliling restoran yang dindingnya dihiasi foto-foto para artis K-Pop. Salah satu alasan Alicia menjadikan tempat itu favoritnya. Mau tak mau, Kalila yang kerap menemaninya pun ikut menyukai tempat itu.
"Kalila!" Suara perempuan membuat Kalila mendongak dan mendapati sosok Sienna di hadapannya. Seraya menempati kursi di hadapan Kalila, gadis bermata abu-abu yang tampak jauh lebih cantik dari terakhir mereka bertemu itu segera berbicara. "Aku to the point aja. Tolong menjauh dari Brian."
Kalila terlalu terkejut dengan kedatangan serta ucapan Sienna yang tiba-tiba sehingga hanya bisa bergeming. Membuat Sienna berdecak jengkel karena merasa diabaikan.
Namun, beberapa detik kemudian Kalila akhirnya bersuara. Membalas permintaan Sienna dengan raut wajah dan nada bicara yang datar. Seolah tak ada yang penting dari permohonan Sienna.
"Sudah kulakukan."
Sienna mengernyit menatap ekspresi Kalila yang tak terbaca. Ia menginginkan reaksi yang jelas. Apakah gadis itu marah, kecewa atau sedih? Setidaknya, bukan hanya Sienna sendiri yang kerepotan dengan emosinya. Seharusnya Kalila juga sedih karena tak bisa bersama Brian, sehingga patah hati yang menyakitkan tidak hanya dirasakan oleh Sienna.
"Aku serius," ujar Sienna.
"Aku juga serius," balas Kalila datar, lagi.
Di luar dugaan, justru Sienna yang terpancing emosinya dengan sikap Kalila. Ia berkali-kali menghela napas, berusaha menahan diri untuk tak membiarkan amarahnya meluap.
"Baiklah, begini aja." Sienna mengeluarkan sesuatu dari tasnya, lalu menyodorkan benda tersebut ke hadapan Kalila. Benda yang ternyata adalah sebuah cek. "Aku udah menulis sejumlah uang buat kamu. Anggap sebagai permintaan maaf karena keluarga Atma Wijaya tidak bisa menerimamu."
Kalila yang baru saja membersihkan sedotannya sebanyak dua kali sebelum menggunakannya untuk minum, menatap cek pemberian Sienna dengan dingin. Ia bisa melihat jumlah angka nol yang tertera di sana. Menggiurkan.
"Aku emang akan ngejauhin Brian. Dengan atau tanpa permintaanmu. Dan, sayang sekali, aku nggak menerima permintaan maaf berupa uang."
Kalila mengembalikan cek tersebut pada Sienna. Raut wajahnya berganti serius. Ia sudah kebal dengan gelar miskin yang disematkan padanya sejak dulu. Dan, hanya selembar cek yang tidak jelas alasan pemberiannya bukanlah sebuah anugerah. Justru bencana. Dan, kali ini bencana itu berhubungan dengan Brian. Lelaki yang ia cintai tetapi harus ia hindari.
"Kenapa? Apa kurang banyak?" tanya Sienna lagi yang masih merasa Kalila hanya mencoba memanfaatkan kebaikan hatinya kali ini.
"Nggak ada hubungannya dengan jumlah uang. Tapi aku juga nggak punya kewajiban ngasih tahu kamu apa alasanku sebenarnya."
Sienna tersenyum sinis. Sikap Kalila membuatnya muak sekaligus heran. Gadis itu bisa jadi hanya berpura-pura tak menginginkan uang pemberian Sienna. Kalaupun Kalila benar-benar tidak menginginkannya, lalu apa yang sebenarnya gadis itu mau?
"Aku belum bisa percaya padamu, Kal."
"Itu urusanmu, Sienna. Aku tidak berminat juga untuk meyakinkanmu," balas Kalila tak acuh. "Tapi, kalau kamu beneran pengin tahu, coba aja tanya sama papa kamu."
"Apa? Aku cuma minta kamu ngejauhin Brian. Nggak ada hubungannya sama Papaku," sergah Sienna tak suka.
"Ok." Kalila sengaja menjawab singkat. Lalu ia bangkit berdiri, bersiap meninggalkan Sienna. "Kalau nggak ada lagi yang mau diomongin, aku permisi dulu. Dan, makasih untuk undangan makannya, ya."
Sienna terdiam. Niat hatinya untuk menuntaskan masalah Kalila tak disangka justru membawanya pada satu teka-teki baru. Dan, misteri itu membuat keyakinan untuk memiliki Brian kembali memudar. Tergantikan oleh pertanyaan yang bergaung di kepala.
Apa yang Kalila ingin Sienna tanyakan pada Dennis? Sebuah rahasiakah? Dan, rahasia apa?
***
Scene Sienna nyogok Kalila berasa sinetron banget nggak, sih?
Cuma minus adegan saling julid, tampar atau jambak-jambakan. Hihihi
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro