Delapan : Sepenggal Rahasia
PERNAHKAH kamu menduga?
Kita yang tak pernah bertegur sapa
Kini justru saling menyimpan rasa
***
Lagu Cinta Dalam Hati milik Ungu terlantun dari radio kecil milik Kalila sewaktu Brian mendatangi stan gadis itu. Seperti biasa, Kalila memejamkan mata sejenak, meresapi setiap lirik yang termaktub pada lagu tersebut. Membuat Brian yakin jika salah satu hits milik Ungu tersebut adalah lagu favorit Kalila.
Tak ingin mengganggu keasyikan Kalila, Brian pun memilih segera duduk di sampingnya tanpa suara. Membiarkan gadis itu menikmati apa yang sedang ia dengar. Sembari menunggu, Brian mengeluarkan ponselnya lalu mengetik sebuah pesan.
"Brian?" Kalila yang membuka mata meski lagu yang diperdengarkan belum usai, terkejut sewaktu melihat kemunculan Brian. "Kok, kamu ada di sini? Kapan datang?"
"Barusan, kok. Kamu lagi asyik, jadi aku takut ganggu," jawab Brian. Ia telah selesai mengirimkan pesan dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaket.
Kalila tersipu malu. Tidak menyangka akan ada yang memergokinya bertingkah aneh saat mendengarkan lagu.
"Maaf."
"Nggak perlu minta maaf. Kan, kamu nggak salah apa-apa," balas Brian.
"Tumben mampir, Bri? Mau beli kue, ya?" tanya Kalila. Ia lalu memeriksa kue-kue dagangannya yang masih tersisa. "Tapi udah mau habis, sih. Tinggal ini aja."
Sejujurnya Brian hanya rindu pada Kalila. Pertemuan mereka di sekolah rasanya tidak cukup. Terlebih lagi mereka sudah bukan teman belajar kelompok. Tak ada alasan khusus bagi Brian untuk bisa ke rumah Kalila atau menemani gadis itu berjualan seperti biasa.
"Aku beli semuanya, deh," putus Brian, bersamaan dengan lagu favorit Kalila tadi berakhir. Berganti dengan cuap-cuap si penyiar acara.
"Ini ada Brian di Malang. Dia request lagu Sempurna dari Andra & The Backbone."
Gerakan tangan Kalila yang tengah membungkus kue untuk Brian pun terhenti. Ia menoleh ke arah pemuda itu. Tatapan matanya menyiratkan keingintahuan akan nama Brian yang baru saja disebutkan di radio.
"Salamnya 'untuk seseorang yang selalu tampak sempurna di mataku'."
Brian mengedikkan bahu sembari tersenyum. Sengaja membuat lawan bicaranya penasaran.
"CiDaHa itu lagu yang kamu suka, kan? Ungkapan hati?" Brian berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ada orang yang diam-diam kamu suka, ya?"
Hubungan Brian dan Kalila memang kembali membaik setelah insiden 'Pacar Kalila' tempo hari. Namun, gadis itu tak lantas merasa bisa membicarakan hal-hal bersifat pribadi pada Brian secepat itu.
"Ya, begitulah," jawab Kalila akhirnya.
"Apa orang itu Panji?" tebak Brian yang membuat Kalila melotot, tetapi akhirnya justru tertawa.
"Sok tahu," sergah Kalila, "kamu sendiri request lagu Sempurna tadi pasti buat Sienna, kan?"
Giliran Brian yang mengernyit heran. Sienna memang hampir sempurna untuk ukuran seorang gadis. Otak encer dan penampilan menarik. Namun, bukan kesempurnaan semacam itu yang Brian cari. Apalagi yang ia maksud dalam salamnya di radio tadi.
"Bukan. Mana mungkin aku mengagumi sepupuku sendiri," bantah Brian seraya menerima kantung plastik berisi kue-kue yang ia beli dari Kalila tadi.
"Oh," raut wajah Kalila kembali ke mode tenang, "kalau gitu pasti dia cewek yang lagi kamu suka. Siapa?"
"Pengin tahu aja," goda Brian, bertepatan dengan lagu Sempurna yang mulai diputar.
Kalila lalu membereskan barang-barangnya karena semua kue telah habis terjual. Dengan radio yang masih menyala, Brian ikut turun tangan. Berinisiatif membantu Kalila sambil lanjut mengobrol.
"Omong-omong, kenapa kamu suka dengerin radio, Kal?" tanya Brian penasaran.
"Simpel. Murah meriah dan yang pasti menghibur. Radio juga bikin yang jauh kerasa lebih dekat, karena banyak pendengar lain yang berbagi cerita di sana. Dengar mereka bikin aku bisa ikut ngerasain apa yang mereka alami."
Brian menangguk-anggukan kepala. Tangannya lalu merapikan beberapa wadah plastik lebar yang menjadi tempat Kalila memajang kue-kue buatannya.
"Pernah terpikir untuk jadi penyiar radio?" tanya Brian lagi.
"Pernah. Dan, kayanya nyenengin kalau sampai terwujud."
Tanpa terasa semua barang-barang milik Kalila telah dibereskan. Lagu Sempurna yang tadi mengiringi kegiatan mereka pun baru saja berakhir. Kalila lalu mematikan radio miliknya tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.
"Aku antar pulang, ya?" Brian menawarkan diri. Namun, Kalila menggeleng.
"Nggak usah, Bri. Bentar lagi Panji datang, kok. Dia bilang mau jemput aku."
Harus Brian akui, nama Panji seringkali membuat hatinya nyeri. Padahal ia sendiri belum sepenuhnya yakin akan perasaannya pada Kalila. Apakah cinta atau hanya ketertarikan sesaat. Akan tetapi, selalu ada rasa tak rela yang menyeruak kala ada Panji di antara mereka. Bahkan meski hanya namanya yang disebut.
Brian hendak bertanya lagi ketika ia melihat Panji datang mengendarai motor. Kalila berpamitan pada Brian dan bergegas menghampiri pemuda tinggi besar itu. Dengan berat hati, Brian pura-pura bersikap biasa saat Panji ikut berpamitan dan tersenyum padanya.
"Bodoh," maki Brian pada dirinya sendiri. Menyadari jika perasaannya pada Kalila serius. Kalau tidak, ia tak mungkin terus merutuki diri sendiri karena diam saja melihat pemandangan tadi.
***
"Bri, ganggu nggak?" tanya Sienna yang berdiri di depan kamar Brian, melongok dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Boleh aku masuk?"
Brian yang tengah serius menekuri sebuah buku menoleh ke arah Sienna, lalu mengiakan permintaan sepupunya itu.
"Masuk aja."
Senyum Sienna seketika terkembang. Ia membuka lebar pintu kamar Brian, melangkah masuk lalu duduk di tepi ranjang pemuda itu.
"Hari ini aku nginep sini, Bri," lapor Sienna. Ia mengedarkan pandang ke penjuru kamar Brian. Rasa bahagianya semakin membuncah karena tak ada yang berubah di sana. Kamar bernuansa monokrom itu masih memiliki isi yang sama. Letak benda-benda yang ada pun tak berubah dari terakhir kali Sienna ke sana. Bahkan, foto dirinya dan Brian sewaktu lulus SMP masih tergantung manis di salah satu sisi dinding.
"Tumben?" tanya Brian singkat. Pandangannya masih terarah pada buku di hadapannya.
"Kangen lah sama kamu. Akhir-akhir ini kamu jarang banget sama aku. Sibuk sendiri terus."
"Kaya orang pacaran aja pakai kangen-kangenan segala. Padahal di sekolah juga masih ketemu," balas Brian tak acuh.
Sienna mencibir. Sepupunya itu terlalu sibuk mengerjakan tugas hingga tak begitu mempedulikannya. Padahal Sienna serius. Ia rindu pada Brian. Ia ingin pemuda itu selalu ada di dekatnya.
Mereka memang saudara sepupu. Sienna menyadari status tersebut. Namun, siapa yang bisa mencegahnya melabuhkan hati? Perasaan seringkali bertindak sendiri, tak peduli apa pun. Sama seperti perasaan Sienna pada Brian yang tumbuh melebihi seorang sepupu.
Jenuh dengan respon Brian yang terkesan tak acuh, Sienna kembali menebarkan pandangan. Berharap menemukan hal lain yang menarik perhatiannya selain gelapnya langit malam yang tampak dari jendela kamar.
Senyum lebar tercipta di bibir Sienna tatkala mendapati ponsel Brian tergeletak begitu saja di atas nakas. Dengan cekatan, tangannya meraih benda tersebut. Namun, keningnya berkerut sewaktu melihat wallpaper ponsel tersebut. Foto seorang gadis.
Sienna mengamati dengan seksama sosok gadis dalam foto tersebut. Karena diambil dari samping, wajah gadis itu tidak bisa terlihat dengan jelas. Wajahnya juga menunduk karena tengah membaca.
Rambut ikal sebahu, ransel berwarna biru laut dan fakta jika foto tersebut ada di ponsel Brian mengarahkan Sienna pada satu kesimpulan.
Gadis dalam foto itu adalah Kalila. Tidak salah lagi.
Kenyataan tersebut sontak membuat dada Sienna sesak. Seolah hatinya terhimpit oleh sesuatu yang berat dan meninggalkan bekas yang dalam di sana.
"Sejak kapan kamu suka buka-buka hape orang, heh?" Brian segera merebut ponselnya dari tangan Sienna. Tak menyadari jika raut wajah sepupunya itu tak lagi secerah saat datang.
"Itu siapa? Cewek yang ada di foto wallpaper kamu," tanya Sienna. Suaranya parau karena berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. "Cewek yang lagi kamu suka?"
"Dih, pengin tahu aja," cibir Brian seraya mengamankan ponselnya. Khawatir Sienna akan merebut benda itu kembali.
"Huh! Dasar pelit!" Sienna mendengkus lalu tertawa masam. Memaksakan diri untuk tak tampak bersedih karena sejatinya dalam hati ia justru menangis. "Ya udah, aku balik, ya? Udah ngantuk."
Sienna buru-buru bangkit dan keluar dari kamar Brian tanpa menunggu jawaban pemuda itu. Ia tak ingin air matanya tumpah di depan orang yang menaruh hati pada orang lain, bukan untuknya. Karena ia tahu, hal itu hanya akan menyesakkan dada. Sienna tak mau berkubang sedih sendirian sementara Brian justru tengah tersenyum memandangi foto Kalila.
***
"Bri, kenapa kamu mau temenan sama aku?" Pertanyaan Kalila membuat Brian yang sedang mengikat tali sepatunya pun mendongak. Ia terkejut tanpa tahu jika hal itu sejatinya telah beberapa hari mengganggu benak Kalila, terutama setelah kesimpulan Winda mengenai kejadian di pasar dadakan tempo hari. Meski awalnya tak begitu mempermasalahkan, toh Kalila akhirnya ikut penasaran alasan pemuda dari keluarga kaya itu jadi begitu baik padanya.
"Kenapa tiba-tiba tanya gitu, Kal?" tanya Brian balik. Ia lalu menyenderkan tubuh pada sandaran bangku taman yang ia duduki.
Sore itu, Brian dan Kalila tengah berada di taman Bugenvil. Sebenarnya mereka tidak hanya berdua. Tadinya ada Panji dan Winda yang turut serta berkumpul, tetapi sakit perut yang dialami Winda membuat Panji harus mengantarkannya pulang lebih dulu.
Bukan berarti Brian senang dengan yang dialami Winda. Hanya saja, bisa menghabiskan waktu bersama Kalila adalah salah satu hal yang ia idamkan sejak lama. Tak ada hal khusus yang ia dambakan. Brian hanya ingin bersama Kalila. Hanya itu. Bahkan meski mereka hanya duduk berdampingan di bawah pohon bugenvil.
"Karena kadang aku mikir selain Panji dan Winda mungkin nggak akan ada orang lain yang tulus temenan sama aku."
Brian terkejut dengan pengakuan Kalila. Ia tidak pernah menyangka jika gadis tersebut ternyata menyimpan pemikiran semacam itu.
"Jadi, kamu juga nggak yakin sama aku?"
Sembari menjawab, Kalila mengarahkan tatapannya pada jalanan di depan taman. Sore hari jarang ada kendaraan yang melintas di sana, tetapi cukup banyak pejalan kaki yang lewat. Beberapa dari mereka terkadang bisa Kalila kenali karena sering muncul.
"Dengan perbedaan status kita saja, aku udah sulit untuk percaya, Bri."
"Memangnya apa perbedaan kita?" Tanpa tahu sebabnya, nada suara Brian mulai tersinggung oleh emosi. "Aku manusia biasa, Kal. Aku juga punya kekurangan seperti yang lainnya. Aku nggak sepintar Sienna, nggak sekuat Panji. Dan, aku juga nggak seganteng anggota boyband Korea."
Suasana yang awalnya sendu jadi berubah karena ocehan Brian tersebut. Kalila tersenyum kecil sembari menatap pemuda itu.
"Nggak akan ada habisnya kalau ngebandingin diri kita sama orang lain, Bri. Yang jelas, kamu adalah pengecualian. Aku percaya kamu nggak seperti yang aku takutin."
Seketika Brian merasa lega mendengar penjelasan Kalila. Embusan napas panjang lolos dari indra penciumannya. Jika gadis itu sudah percaya padanya, maka akan lebih mudah bagi Brian untuk mendapatkan hati Kalila.
"Makasih, Kal," ujar Brian. Tangannya memungut sekuntum bugenvil yang baru saja gugur di hadapannya. "Mau kuberitahu satu rahasiaku?" tawarnya kemudian.
Kalila bergeming sembari menatap Brian serius.
"Mau, sih. Tapi, apa boleh?"
"Boleh. Karena aku emang berencana membagi rahasia ini sama kamu." Brian memberikan kuntum bunga yang baru ia pungut pada Kalila, lalu mulai bercerita sembari menatap manik mata gadis itu dalam-dalam. "Sebenarnya aku selalu merasa menjadi pecundang dalam keluargaku."
Brian tersenyum tipis sewaktu melihat ekspresi Kalila seolah berkata 'bagaimana bisa?'
"Om Dennis, papa Sienna, adalah orang yang membantu merawat dan membiayaiku sejak kecil. Sejak papaku meninggal." Brian menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Beliau membesarkanku dengan cara yang justru membuatku tertekan. Beliau yang mengatur dan mengambil keputusan untuk semua hal dalam hidupku. Sekolah yang aku masuki, jurusan yang aku ambil, bahkan orang-orang yang harus kujadikan teman. Aku benci pada diriku sendiri karena semua yang beliau lakukan nyatanya nggak bisa membuatku unggul, bahkan hanya dari Sienna."
Kalila balas memandang Brian. Mencoba memberi pemuda itu kekuatan lewat keteduhan matanya.
"Kamu punya keunggulan tersendiri, Bri. Om kamu hanya belum bisa melihatnya," hibur Kalila. "Dan, jangan pernah ngerasa kamu pecundang. Justru, kamu hebat karena bisa bertahan sejauh ini."
Brian tersenyum. Entah mengapa keberadaan Kalila membuatnya merasa lebih baik. Padahal ia baru saja menceritakan kekurangan yang selama ini ia simpan sendiri.
"Makasih, Kal. Ini pertama kalinya aku cerita hal ini sama orang lain. Aku bahkan nggak pernah cerita ke Mamaku. Cuma sama kamu."
"Karena aku temanmu," ujar Kalila.
"Karena kamu lebih dari teman."
Brian serius dengan ucapannya jika arti Kalila baginya lebih dari seorang teman. Namun, sepertinya gadis itu salah menangkap maksud Brian.
"Kalau begitu, biar aku memberitahumu satu rahasiaku juga."
Brian kembali menatap Kalila lekat. Rasa ingin tahu menguasainya sedemikian rupa begitu Kalila menyebut kata rahasia.
"Rahasia apa?"
Kalila tersenyum, tetapi lengkungan di bibirnya itu lebih didominasi kesenduan yang dalam. Membuat Brian semakin bertanya-tanya mengenai apa yang akan ia dengar dari mulut gadis itu.
"Kalau aku bahkan tidak tahu siapa orangtua kandungku. Aku hanya anak angkat, Bri."
***
Mau bikin author's note, tapi nggak tahu mau nulis apa. Parah.
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro