Delapan Belas : Tak Mau Melupakan
TAKDIR suka sekali bercanda
Ia membuat ragamu dan aku bersua,
tetapi justru memisahkan rasa dalam hati kita
***
Brian memandangi wajah Farah yang tengah tertidur di atas ranjang rumah sakit. Wajah perempuan yang merupakan separuh jiwanya. Perasaan bersalah terus membayangi Brian semenjak Sienna memberitahunya mengenai kondisi sang mama, bahkan meski ia kini telah berada di samping Farah dan menjaganya.
"Maafin aku, Ma," lirih Brian. Ia menggenggam erat tangan Farah. Dalam hati, ia berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi mengabaikan sang mama.
Di salah satu sudut ruangan, di atas sofa panjang, Sienna duduk dalam diam. Memandangi Brian yang masih dilingkupi kesedihan karena kondisi Farah. Tadinya, ia lega sewaktu Brian bersedia datang untuk melihat mamanya yang jatuh sakit. Namun, kelegaannya hanya sebatas itu. Kenyataan mengadang harapan Sienna akan hati Brian. Lelaki itu tetap tak menggubrisnya sama sekali.
Dari tempatnya berada, Sienna hanya bisa menatap Brian hampa. Keberadaan lelaki yang dicintainya itu kini tak membuat hati Sienna merasa lebih baik. Sebab, bayangan akan kepergian Brian di hari pertunangan mereka tempo hari selalu melintas bak mimpi buruk.
Meski tahu tak akan mendapat respon yang baik, Sienna akhirnya bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Brian.
"Bri, kita perlu bicara," ujarnya datar.
Brian menoleh dan balas menatapnya tanpa ekspresi. Ia bahkan tampak enggan dengan keberadaan sepupunya itu. Namun, pada akhirnya ia melepaskan genggaman tangannya pada Farah lalu berjalan mengikuti langkah Sienna ke luar kamar.
Begitu keduanya telah berada di luar ruangan, Sienna berhenti di dekat kursi tunggu panjang lalu duduk di sana. Tindakannya kembali diikuti Brian tanpa berkata-kata. Mereka berdua duduk di sana dalam diam cukup lama, sampai akhirnya Brian angkat suara.
"Katamu ada yang mau dibicarakan?" tanyanya pada Sienna yang menatap kosong taman berumput di hadapan mereka.
Sebelum mengawali ucapannya, Sienna tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu, Bri?"
"Menurutmu? Apa aku akan baik-baik aja dengan kondisi Mama seperti itu?" tanya Brian balik. Ia sedikit terganggu dengan basa-basi sepupunya itu.
"Tante Farah begini pun karena kamu juga, Bri," jawab Sienna. Meski yang ia ucapkan terkesan menuduh, nada suaranya tetap tenang. "Kalau aja kamu nggak meninggalkan pesta pertunangan kita ...."
"Berhenti mengaitkannya dengan masalah itu, Na," hardik Brian. "Kenapa, sih, kamu nggak ngerti juga kalau kita ini sepupu. Kita saudaraan. Pertunangan itu cuma hal konyol."
Sienna menatap Brian yang mulai tersulut emosi, lalu berbicara, "Papaku dan papamu cuma saudara tiri, Bri. Nggak ada hubungan darah di antara kita. Sama sekali nggak terlarang buat kita untuk menjalin cinta."
Brian mengusap wajahnya kasar. Lelah dengan ambisi Sienna tentang perasaannya.
"Tapi aku nggak cinta sama kamu, Na," sanggah Brian, "kamu tahu betul kalau yang aku cintai itu Ka---"
"Kalila?" potong Sienna. Wajahnya mendadak muram. "Gadis yang pergi gitu aja ninggalin kamu, tapi masih kamu cari sampai sekarang. Gadis yang mungkin aja udah bahagia sama orang lain."
Brian tidak menyukai pembicaraan dengan Sienna tersebut. Ia bisa menebak jika pada akhirnya bukan soal Farah yang menjadi tema obrolan mereka, tetapi tetap tentang perasaan Sienna padanya. Selalu seperti itu.
"Kalau kamu cuma mau ngomongin ini, aku nggak berminat. Lebih baik aku jagain Mama." Brian memilih untuk bangkit dan beranjak pergi. Namun, ucapan Sienna menahan langkahnya.
"Jadi, keputusanmu mempermalukan keluarga kita juga karena gadis itu?" Brian berhenti dan berbalik melihat Sienna yang mengatakannya tanpa menatapnya sama sekali. "Meninggalkan pesta pertunangan dan membuat Papa menanggung malu?"
Brian mengepalkan tangan. Ia benci menyertakan Dennis dalam segala urusan hidupnya. Papa Sienna itu mungkin memang menjadi pengganti Danu, tetapi bahkan ayah kandungnya pun tak bisa mengekang perasaan Brian. Dennis tetap tak berhak mengatur dengan siapa Brian ingin mengarungi hidupnya di masa depan.
"Sienna, mungkin kamu masih nggak ngerti juga kalau aku datang karena Mama. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan kamu atau Om Dennis." Brian mulai meninggikan suara. Sikap Sienna dan nama Dennis benar-benar membuatnya muak.
"Aku ngerti, Bri. Bahkan aku selalu ngertiin kamu sejak dulu. Tapi kamu bahkan ninggalin kami dan perusahaan demi gadis yang bahkan nggak tahu ada di mana sekarang," ujar Sienna yang ikut terprovokasi dengan sikap Brian.
"Aku nggak peduli. Aku juga nggak peduli sama kamu, Om Dennis atau pun perusahaan. Keluarin aja aku dari perusahaan kalau emang itu yang kalian mau."
Brian memutuskan tanpa pikir panjang. Baginya, hidup di bawah aturan Dennis bukanlah sebuah hidup. Dan, ia tidak berniat menambah kekangan itu dengan menjadi suami Sienna kelak. Ia ingin memulai sendiri kehidupan cintanya tanpa campur tangan Dennis.
"Papa pasti nggak akan tinggal diam, Bri," balas Sienna yang terdengar sebagai ancaman di telinga Brian.
Menyadari jika obrolan mereka yang penuh emosi itu bisa mengganggu para penghuni rumah sakit, Brian memilih untuk segera mengakhirinya. Sebelum memutuskan kembali ke kamar Farah, ia mengucapkan kalimat terakhir pada Sienna.
"Berhenti mengharapkanku, Na. Kita nggak akan berakhir dalam satu hubungan cinta, karena aku udah nemuin Kalila."
Selesai dengan kabar tersebut, Brian akhirnya benar-benar melangkah pergi menjauhi Sienna. Meninggalkan gadis itu dalam keterkejutan yang luar biasa.
Seketika ketakutan yang dulu menghilang seiring kepergian Kalila kini kembali menghantui benak Sienna. Gadis bermata abu-abu itu memejamkan mata dalam kegetiran yang dalam. Sepuluh tahun tanpa Kalila saja ia tak dapat memiliki hati Brian, apalagi jika sekarang gadis itu muncul lagi.
Menyadari kesempatan yang ia miliki kembali menipis, Sienna buru-buru mengeluarkan ponselnya. Meski Brian baru saja mengutarakan kebenciannya pada ia dan sang papa, Sienna sama sekali tak peduli.
Menuruti keegoisannya yang masih berharap bisa memiliki Brian, Sienna segera menghubungi Dennis. Begitu panggilan tersambung, tanpa bertanya apa pun ia segera mengatakan kekhawatirannya.
"Pa, Kalila udah kembali. Brian sudah menemukannya."
***
"Kalila!" Seruan riang Winda menyambut Kalila yang baru saja pulang bersama Panji. Rasa lelahnya menguap dan segera terganti kegembiraan karena bisa bertemu lagi dengan teman lama.
Buru-buru Kalila melangkah mendekat. Winda datang bersama anak dan suaminya. Setelah berkenalan dengan keluarga kecil Winda, Kalila segera mengajak mantan teman sebangkunya di SMA itu untuk mengobrol di beranda. Sementara suami dan anaknya masuk bersama Panji, menemani Burhan yang masih terjaga menunggu putrinya.
"Kal, apa kabar? Aku kangen banget sama kamu, tahu. Waktu dengar kabar dari Panji dan suamiku dapat tugas ke Jakarta, aku langsung nyempetin ke sini, deh," ujar Winda. Di mata Kalila, paras perempuan berpipi tembem itu tampak semakin menawan saja. Namun, mengingat dirinya yang dulu pergi tanpa berpamitan membuat Kalila sedikit canggung. Keakraban yang pernah terjalin tak ia yakini bisa sedekat dulu.
"Maaf, Win," balas Kalila. Merasa itulah kata pertama yang wajib ia lakukan atas keputusannya dulu. Hal yang sama yang ia lakukan pada Panji tiga tahun lalu. "Aku pergi gitu aja. Nggak kasih tahu kamu alasannya."
Winda tersenyum, lalu menyentuh tangan Kalila yang terasa dingin oleh angin malam.
"Nggak apa-apa, Kal. Panji udah cerita, kok. Meski mungkin masih ada yang kamu simpan sendiri dari kami."
Kalila mengembuskan napas lega. Ia bersyukur memiliki Panji dan Winda sebagai sahabat yang tetap memahami meski ia jelas-jelas bersikap tak semestinya. Ia pergi tanpa memberi penjelasan apa pun pada mereka berdua.
"Makasih, Win. Aku selalu mencari kalian supaya bisa minta maaf."
"Dan, aku selalu nyariin kamu karena dua hal, Kal. Pertama karena aku kangen sama kamu. Dan, kedua, karena ada seseorang yang nggak capek nanyain kamu ke aku." Winda masih tersenyum saat mengatakan hal tersebut. Menyakini jika Kalila tahu pasti siapa yang ia maksud.
"Brian?" tanya Kalila retoris, karena sejatinya ia sudah menduga hal tersebut.
"Siapa lagi?" Winda balas bertanya sembari mengangkat bahu. "Tapi, aku dengar dari Panji kalau dia muncul di siaran radio dan cerita tentang kisah kalian. Hebat," pujinya.
"Bukan hebat, Win, tapi bodoh. Untuk apa dia nyari orang yang jelas-jelas udah ninggalin dia? Selama sepuluh tahun pula."
Winda tertawa kecil. Merasa lucu karena Brian dan Kalila ternyata sama sekali tak berubah. Baginya, kedua orang itu tak ubahnya remaja yang baru mengenal cinta seperti sepuluh tahun lalu.
"Kalian berdua sama-sama bodoh. Masih aja cinta dalam hati. Itu yang bener," ralatnya. Membuat Kalila mengernyit tak mengerti. "Kamu sendiri masih punya perasaan sama dia, Kal. Padahal kamu sendiri yang mutusin untuk pergi."
Kalila terdiam. Panji pasti sudah menceritakan semua yang ia tahu pada Winda. Entahlah itu kabar baik atau buruk, karena sejujurnya ia ingin menyimpan semua hal itu sendirian saja.
"Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa ngelupain dia. Kalau dipikir-pikir emang konyol, sih, ya?" Kalila mengatakannya sembari tersenyum miris.
"Bukannya nggak bisa, tapi nggak mau," balas Winda.
Kalila mendadak merasa tersudut akan ucapan terakhir Winda. Ia bukannya tak sadar jika dirinya memang tak mau melupakan Brian. Hanya saja, ia pun sadar jika hanya itu yang bisa ia lakukan demi perasaannya yang tak pernah terungkapkan. Rahasia kelam di antara keluarganya dan keluarga Brian masih menjadi tembok penghalang yang teramat tinggi. Tembok yang tak ia ketahui sampai kapan akan terus berdiri kokoh. Mungkin, selamanya.
"Bu, Bagus udah tidur, nih," lapor suami Winda yang keluar bersama Panji. Bayi mereka berdua memang tengah tertidur pulas dalam gendongan sang ayah.
Winda bergegas bangkit lalu meraih putranya. Mengambil alih dari sang suami. Ia kemudian menoleh pada Kalila dengan ragu. Merasa tak enak karena harus menghentikan pembicaraan serius di antara mereka.
"Kal, sepertinya aku harus segera pulang," ujar Winda. "Tapi lain kali pasti aku berkunjung lagi. Atau kalau nggak, kita chattingan, ya?"
Kalila mengangguk dan tersenyum memaklumi. Responnya Winda anggap sebagai persetujuan sehingga ia kemudian pamit pulang bersama sang suami.
Menyaksikan kepergian Winda dan keluarga kecilnya dari halaman rumah, Kalila mengembuskan napas panjang. Tindakannya itu disadari oleh Panji yang masih ada bersamanya. Belum beranjak pulang.
"Kenapa, Kal? Winda ngomong sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?"
"Nggak, kok," jawab Kalila, "dia cuma ngasih tahu kenyataan aja."
"Soal kalian? Kamu dan Brian?"
Kalila tak terkejut karena Panji bisa menebak dengan benar. Namun, ia tetap tak berniat membahasnya lebih lanjut dan hanya menjawab dengan seutas senyum.
Sadar jika Kalila enggan melanjutkan bahasan tersebut, Panji pun memutuskan untuk menyusul Winda pulang. Lagipula, hari memang sudah larut. Biasanya dia langsung pulang jika sudah mengantar Kalila pulang, tetapi hari ini pengecualian karena kedatangan Winda.
"Ya, udah. Kalau gitu aku balik, ya? Pakde masih terjaga, sih, tapi aku nitip salam aja, ya," pintanya kemudian yang dibalas anggukan oleh Kalila.
Panji kemudian meninggalkan rumah Kalila mengendarai motornya. Meninggalkan sang sahabat yang masih saja terngiang ucapan Winda.
Selepas kepergian Panji, Kalila memasuki rumahnya dengan sebuah pertanyaan yang bersarang di kepala. Tentang keyakinan hati yang ia sendiri masih tak mengerti. Sesuatu yang belum bisa ia putusi.
Kenapa sulit sekali melupakanmu, Bri?
***
Hai 👋👋👋
Cuma pengin menyapa para pembaca 😊
Semoga selalu bahagia dan dilimpahi keberkahan ya. Aamiin
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro