Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 26 - Lagu Untuk Pelangi

Pesta Sekala dan Arina terus berlanjut. Para tamu berdatangan silih berganti. Beberapa memang bertanya perihal Sena dan Pelangi yang mereka jawab hanya dengan senyuman. Meski begitu sama sekali tak mengurangi kemeriahan pesta.

Pelangi pun tetap menunjukkan tawa dan kegembiraannya. Para kerabat yang suka membicarakan Sena di belakangnya pun melihat gadis kecil itu yang sama sekali tak terganggu. Mereka semakin mencibir kala melihat Pelangi tampak dekat dengan seorang pria yang tak lain adalah Wisnu. Berbagai spekulasi mulai bermunculan di kepala mereka. Salah satunya adalah dugaan jika Wisnu adalah ayah kandung Pelangi.

“Mungkin laki-laki itu memang Ayahnya Pelangi. Kalau benar, apa mungkin akhirnya dia mau tanggung jawab. Bukannya terlambat ya, kalau mau tanggung jawab sekarang?”

Bisik-bisik tersebut tak sengaja terdengar di telinga Sena. Ia menggelengkan kepala melihat sikap para kerabatnya. Mengapa mereka selalu saja sibuk mengurusi masalah orang lain.

“Dia bukan Ayahnya Pelangi. Dia sahabatnya Mas Kal. Tolong jangan menduga yang bukan-bukan. Kasihan orang lain kalau sampai ucapan kalian jatuhnya menjadi fitnah.” Sena berucap tegas. Tak peduli jika para kerabat tersebut menganggapnya tak sopan. Ia hanya tak ingin mereka membicarakan hal buruk terhadap Wisnu.

Salah satu kerabat memandang Sena dengan tatapan mencibir. “Lalu, ke mana Ayahnya Pelangi? Kenapa kamu terus diam. Kamu nggak kasihan sama anakmu yang mungkin nanti akan bertanya di mana Ayahnya? Enggak kasihan lihat dia dicibir anak lainnya karena nggak punya Ayah? Dikatain anak ha –”

“Diam!” potong Sena keras sebelum kata itu terucap. Ia menatap marah pada kerabatnya. “Jangan sekali-kali mengatakan hal itu pada Pelangi. Bahagia atau tidaknya Pelangi, bukan menjadi tanggung jawab kalian. Saya bisa pastikan dengan atau tanpa Ayah, Pelangi akan jadi anak paling bahagia di dunia ini dengan caranya sendiri. Berhenti ikut campur dalam masalah orang lain. Selama ini saya diam karena saya masih menghormati hubungan kekerabatan yang terjalin antara keluarga kita. Jadi tolong, belajarlah untuk diam dan menghormati orang lain.”

Wajah para kerabat Sena memerah mendengar ucapannya. Selama ini mereka mengenal Sena sebagai pribadi yang tenang dan tak banyak bicara. Namun siapapun pasti akan bereaksi seperti Sena jika batas toleransinya diusik.

“Sena, jangan pikir karena kamu sudah berhasil membesarkan Pelangi lantas kamu sudah menjadi perempuan yang benar? Hah, mana ada perempuan baik yang punya anak di luar nikah?”

Suara yang cukup keras untuk dapat di dengar orang yang berada tak jauh dari mereka. Emosi Sena memuncak. Ia ingin membalas ketika dirasakannya seseorang menarik pergelangannya. Sena dan para kerabat langsung menoleh pada Wisnu yang entah kapan sudah berada di dekat mereka.

“Pelangi butuh sesuatu katanya,” ucap Wisnu tenang. Seolah pria itu tak mendengar perdebatan yang terjadi barusan.

Seketika Sena menyadari sekelilingnya. Sena menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Wanita itu merasa bersalah karena emosinya sudah terpancing dan membuat suasana pesta tak nyaman. Hanya saja ia benar-benar tidak dapat lagi membiarkan orang-orang yang berbicara buruk tentangnya. Beruntung Wisnu datang tepat waktu untuk menghentikan pertengkaran tersebut. Jika tidak pesta Sekala benar-benar akan rusak karena sikap Sena yang lepas kendali.

“Tolong segera pergi dari tempat ini kalau kalian hanya bisa membuat keributan!” usir Sena sebelum pergi meninggalkan para kerabat yang kini terperangah.

Mendapat pengusiran secara terang-terangan mereka pun langsung angkat kaki. Tidak ingin berlama-lama lagi di pesta tersebut. Walau suasana sejenak tidak kondusif, namun dengan kepergian para tamu tadi keadaan menjadi lebih tenang.

Sena tak menyusul Pelangi. Ia justru beranjak ke pelaminan. Menghampiri Sekala dan Arina. Lalu meminta maaf atas sikapnya yang justru merusak suasana di hari bahagia mereka.

“Bukan salah kamu, Sen. Jangan dipikirkan.” Arina mengelus pundak Sena yang sedang memeluknya.

“Kamu istirahat dan tenangkan diri dulu. Sebentar lagi acara juga akan berakhir, kan.” Sekala menyarankan.

“Tapi teman kerjaku belum datang, Mas,” tolak Sena.

“Kalau mereka datang, Mas akan hubungi kamu biar bisa menyambut mereka.”

Sena akhirnya menyetujui saran Sekala. Ia membawa putrinya Pelangi beristirahat ke dalam rumah orang tua Arina. Memang tempat diselenggarakannya resepsi adalah kediaman orang tua Arina. Dengan bantuan dan izin dari kepala lingkungan setempat, mereka diizinkan menggunakan jalan di depan rumah sebagai tempat duduk para tamu.

“Mama capek?” tanya Pelangi saat mereka sudah berdua saja di dalam kamar yang tersedia.

“Sedikit. Kenapa, sayang?”

Pelangi menggeleng. Ia mengusap lembut wajah Sena yang dihiasi make up. Gadis kecil itu tersenyum melihat penampilan cantik ibunya dengan kebaya berwarna putih gading. Ditambah rambut Sena dibentuk dengan sanggulan kekinian. Membuat paras wanita itu terlihat lebih dewasa.

“Mama sudah makan? Kalau belum, Pelangi ambilkan, ya?”

Sena memeluk putrinya. Merasa gemas dengan perhatian yang diberikan si kecil.

“Mama sudah makan. Pelangi sudah makan belum? Daritadi Mama lihat sibuk ngobrol sama teman-temannya juga Om Wisnu.”

“Sudah tadi. Makan sama-sama yang lain. Sama Om Wisnu juga.”

“Capek tidak? Mau tidur sebentar?”

Pelangi mengangguk. “Tapi mau dinyanyiin sama Mama.”

Sena tertawa. “Nanti suara Mama kalah besar sama suara Tante Penyanyi di depan.”

“Pelangi dengar, kok. Kan kita cuma berdua di sini.”

Sena tertawa mendengar jawaban putrinya. Ia pun akhirnya mengabulkan keinginan Pelangi. Keduanya berbaring dengan Sena yang mulai bersenandung. Pelangi selalu suka setiap kali Sena bernyanyi untuknya. Anak itu mengatakan jika suara Sena lembut hingga ia mudah terlelap. Seperti ada magnet yang menariknya untuk segera terlelap dalam buaian mimpi setiap Sena bernyanyi.

🎶 Bisikkan kisah yang lucu nyanyikanlah lagu merdumu

Merah kuning jingga dan ungu sentuhkan warnamu dalam gaunku

Ingin ku menari hingga kau sembunyi rindu pelangiku datang lagi 🎶

Pelangi mengerjap menatap Sena. Ia terlihat penasaran dengan lagu yang baru Sena dendangkan untuknya. Satu lagu yang Pelangi tahu menyebutkan namanya hanya lagu anak yang sering dinyanyikannya baik di rumah maupun di sekolah. Mendengar ada lagu lain yang menyebutkan namanya dan dinyanyikan dengan merdu oleh Sena, membuat gadis itu tersenyum senang.

“Mama lagunya bagus. Pelangi belum pernah dengar,” ucap anak itu tiba-tiba.

Sena tertawa. “Mama belum pernah kasih Pelangi dengar lagu ini, ya?” Pelangi mengangguk. “Suka dengan lagunya?”

“Suka. Suara Mama juga bagus. Merdu.”

“Tapi lebih bagus lagi suara penyanyi aslinya. Nanti kita dengar lagu aslinya sama-sama, ya.”

Ibu dan anak tersebut akhirnya memilih berbincang dan bernyanyi bersama. Banyak lagu yang dinyanyikan Sena yang baru kali ini didengarkan Pelangi. Hingga terdengar ketukan di pintu kamar. Membuat Sena dan Pelangi berhenti bernyanyi.

“Sekala minta saya kasih tahu kamu kalau rekan kerja kamu sudah datang.”

Sena mengerjap menatap Wisnu ketika membuka pintu. Terlebih saat pria itu yang justru diminta Sekala sebagai pengantar pesan.

“Om Wisnu?” Pelangi memanggil yang dijawab Wisnu dengan memberikan senyuman padanya.

“Terima kasih, Mas,” balas Sena. “Pelangi mau ketemu teman kerja, Mama?”

“Mau.”

Ketiganya berjalan bersama untuk menemui teman-teman Sena. Kala melihat Sena bersama seorang pria dan seorang gadis kecil, wajah rekan-rekan kerjanya tampak terkejut. Rekan-rekannya berpikir jika Sena sudah berkeluarga. Selama ini memang Sena jarang membahas kehidupan pribadinya pada mereka. Status Sena yang masih belum berkeluarga pun hanya diketahui oleh Ardi selaku Manajer.

“Terima kasih sudah mau datang. Sudah menyapa Mas Kal dan Mbak Arina belum?” tanya Sena kala menghampiri meja mereka.

“Sudah, Sen. Masmu dan istrinya serasi banget, deh,” ujar Riri melihat ke arah pelaminan.

Alhamdulillah. Mas Kal dikasih jodoh sebaik Mbak Arina.” Sena pun turut melihat ke pelaminan. “Oh, ada yang mau kenalan sama kalian. Ini, Pelangi. Anakku.”

Wajah-wajah terkejut tak bisa disembunyikan rekan kerja Sena. Terlebih Ardi yang jelas mengetahui status marital wanita itu. Sena tahu apa yang disampaikannya jelas akan membuat orang-orang terkejut. Tapi ia sudah tak ingin lagi menyembunyikan putrinya. Karena Pelangi adalah bagian dari hidupnya.

“Halo, Pelangi,” Riri yang pertama kali bereaksi.

“Halo, Tante,” Pelangi menyapa namun kali ini ia tak menyalami mereka seperti biasa. Anak itu memilih untuk merapat pada ibunya.

Suasana canggung jelas terasa. Bahkan Pelangi pun bisa merasakan atmosfir yang tiba-tiba berubah. Entah mengapa ia merasa tak nyaman kali ini. Terlihat dari gesturnya yang menempel semakin rapat pada Sena. Menyadari putrinya yang tak seperti biasa, Sena berusaha menenangkannya. Sebelum Wisnu yang lebih dulu mengambil alih.

“Temani Om Wisnu ngobrol, yuk?” ajaknya pada Pelangi.

Laksana mendapatkan pelampung penyelamat, Pelangi langsung menggenggam tangan Wisnu yang terulur. Keduanya lantas berpamitan pada rekan kerja Sena dan melangkah menuju meja yang lebih dekat ke pelaminan yang kebetulan kosong.

“Sen? Pelangi benar anak kamu?” tanya Riri memberanikan diri bertanya setelah Wisnu dan Pelangi pergi.

“Iya. Anakku.” Sena menegaskan tanpa ingin menjelaskan status dirinya maupun Pelangi.

Mendengar pernyataan Sena yang terbatas, mereka seakan mengerti bahwa ada hal yang tak ingin Sena bicarakan. Ia hanya berniat memperkenalkan Pelangi pada mereka tanpa perlu menjelaskan lebih lanjut perihal kehidupannya dan sang anak. Bekerja bersama Sena, membuat mereka mengerti pribadi seperti apa Sena.

Mereka mengerti semua orang memiliki masalahnya sendiri. Apa yang terjadi dalam hidup Sena baik itu masa lalu atau masa depannya, itu semua hanya milik Sena. Entah ia ingin membaginya dengan orang lain, itu pun menjadi haknya. Mereka hanya perlu mengerti Sena sebagai rekan kerja. Tanpa harus ikut campur dan mengorek lebih dalam kehidupan pribadinya.

Sikap pengertian yang ditunjukkan teman-temannya membuat Sena lega. Mereka memilih memulai perbincangan tentang pekerjaan dan pernikahan Sekala dibandingkan membahas kehidupan pribadi Sena. Hingga Sena merasa nyaman untuk berbincang dengan mereka. Perasaannya yang sempat kacau karena pertengkaran dengan kerabatnya pun perlahan sirna. Karena penerimaan teman-temannya, Sena semakin percaya jika masih banyak orang yang akan menerima dan mengerti dirinya dan Pelangi selain keluarga.

Memperbaiki hubungan nyatanya tak semudah mengatakannya. Meski Aditya berusaha untuk bersikap lebih baik lagi pada Netta. Tetap saja Aditya tak bisa mengenyahkan keinginannya untuk menemui Sena.

Pria itu selalu memikirkan Sena juga Pelangi. Aditya merasakan dorongan yang kuat untuk menemui keduanya. Seolah ada rasa dari dalam dirinya yang ingin dipuaskan. Mungkin setelah Aditya bertemu mereka, ia bisa menemukan jawaban dari keinginannya tersebut.

Namun menemui Sena juga bukan perkara mudah. Wanita itu jelas tak akan pernah mau secara sukarela bertemu dengannya. Mendatangi Sena ke tempatnya bekerja pun bukan pilihan yang tepat. Sampai Aditya berpikir untuk langsung menemui wanita itu di rumahnya. Aditya serasa menemukan jalan buntu jika memikirkan Sena.

“Pak, dokumen kerja sama dengan PT Karya Bakti apa sudah ditanda tangani?” suara Yulia tiba-tiba mengejutkan Aditya.

Ia memandang bingung pada karyawannya tersebut. “Sejak kapan kamu di sini?”

Yulia terperangah. “Sepuluh menit lalu. Saat saya mengetuk, Pak Aditya mempersilakan saya masuk.”

Kali ini Aditya yang tampak terperangah. Memikirkan Sena membuatnya sering kehilangan fokus saat bekerja. Ia pun akhirnya meminta Yulia menjelaskan lagi isi dokumen yang perlu ditanda tanganinya. Setelah mendapatkan penjelasan penuh, Aditya kemudian menanda tangani dokumen tersebut. Dan mengembalikannya pada Yulia.

“Yulia – ”

Yulia langsung menghentikan langkahnya yang akan keluar dari ruangan Aditya. “Ya, Pak?”

Aditya tampak berpikir sebelum akhirnya kembali bicara. “Kamu dan Sena, apa masih sering berkomunikasi?”

Mata Yulia membesar. Ia kembali dibuat bingung mengapa tiba-tiba atasannya ini bertanya tentang Sena padanya. Namun begitu, Yulia tak menutupi apapun saat menjawab pertanyaan Aditya.

“Cukup sering bertukar kabar, Pak. Minggu lalu Kakak lelakinya Sena menikah, saya dan beberapa teman yang lain juga datang.”

Aditya terperanjat. “Kakak lelakinya menikah?”

Yulia mengangguk. Kemudian dia seperti teringat akan sesuatu. “Ah, satu lagi, Pak. Ada berita mengejutkan. Ternyata Sena sudah punya anak.”

Ada tawa tertahan di nada suara Yulia. Bukan ia ingin menertawakan hidup Sena. Hanya saja ia tak menyangka jika temannya tersebut tahu-tahu saja sudah memiliki anak. Meski Sena tak menjelaskan siapa suaminya. Dan Yulia juga tak ingin mencari tahu karena akan membuat Sena merasa terganggu. Namun pemikirannya sama seperti rekan Sena lainnya yang menganggap jika Wisnu adalah ayah dari Pelangi.

“Sena sudah punya anak?” tanya Aditya seolah terkejut. “Dia memperkenalkan anaknya pada kalian?”

Yulia kembali mengangguk. “Iya. Mungkin itu juga alasan dia resign dulu. Ternyata Sena sudah berkeluarga.”

Berkeluarga? Aditya menggumam.

“Maksud kamu, Sena sudah bersuami?”

Untuk pertanyaan tersebut, Yulia tampak ragu. Namun ia memberikan jawaban berdasarkan spekulasinya. “Sepertinya begitu, Pak. Sena nggak menjelaskan. Tapi ada satu pria yang saat itu bersama Sena dan Pelangi. Mungkin itu suaminya.”

Mendengar jawaban Yulia, ada rasa tak rela yang Aditya rasakan. Ia seakan tak terima jika seandainya itu memang terjadi. Bahwa Sena telah memiliki suami. Jika memang benar Sena telah bersuami, lantas anak siapa Pelangi? Apakah Pelangi adalah putrinya dulu. Atau anak dari pria yang saat ini bersama Sena.

Merasa tak diperlukan lagi oleh atasannya, Yulia berpamitan pada Aditya. Sepeninggal wanita itu, pikiran Aditya kembali tak tenang. Rasanya saat ini ia ingin menemui wanita itu. Memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika benar Sena sudah menikah.

Namun niatnya tak dapat Aditya laksanakan. Karena tepat setelah jam kantor berakhir, ia diminta oleh orang tuanya untuk berkunjung bersama Netta. Mereka akan mengadakan jamuan makan malam bersama. Terpaksa Aditya harus menahan keinginannya menemui Sena.

“Gimana kandungan kamu, Netta? Sudah cek ke Dokter lagi?” Papa Aditya bertanya pada sang menantu begitu mereka hadir.

“Baik, Pa. Dokter bilang bayinya sehat dan berkembang dengan baik.”

Papa Aditya tampak puas. “Jaga baik-baik calon cucu Papa, ya. Aditya?” panggil papanya karena Aditya tampak tak fokus pada perbincangan mereka.

“Iya, Pa?”

Netta dan papanya menatap heran pada Aditya. Namun pria itu menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tak terlalu peduli pada pertemuan mereka. Membuat Netta kembali merasa cemas jika Aditya akan kembali mengabaikannya.

Selama makan malam berlangsung, Aditya pun tak banyak bicara. Hanya Netta yang berbincang dengan kedua orang tua pria itu. Itu pun hanya hal yang berhubungan dengan bayinya. Netta merasa bahwa yang dipedulikan keluarga Aditya hanyalah anak yang merupakan keturunan mereka. Sedang Netta hanya berfungsi sebagai wadah bagi calon cucu mereka.

Entah mengapa Netta makin merasa tak nyaman dengan perlakuan keluarga Aditya. Saat dirinya belum mengandung, mereka selalu mencari celah akan ketidak mampuan dirinya sebagai seorang wanita. Kini setelah dirinya akan menjadi ibu, mereka hanya peduli pada anak yang ada di dalam perutnya.

Netta tahu pernikahan mereka adalah persetujuan kedua keluarga. Di mana masing-masing keluarga akan mendapatkan keuntungannya sendiri. Tapi  tak bisakah mereka memperlakukan Netta sebagai bagian dari keluarga dengan tulus. Tiba-tiba perasaan menyesal merasuk ke hatinya. Netta merasa pilihannya menikah dengan Aditya adalah hal yang salah sejak awal.

Namun lagi-lagi Netta merasa tak sanggup jika harus berpisah dari Aditya. Cinta mungkin membuat orang jadi gila. Tak peduli seberapa sakit dan luka yang dirasakan karena cinta. Netta tetap tak ingin berpisah dari Aditya.

“Aku nggak akan bercerai dari kamu, Mas.”

Aditya yang baru saja mematikan mesin mobilnya ketika mereka tiba di rumah, seketika berpaling menatap Netta bingung.

“Kamu ngomong apa?”

Netta tak menjawab. Wanita itu memilih untuk keluar dari mobil. Membuat Aditya makin bertanyat-tanya. Pria itu tak langsung menyusul Netta ke dalam rumah. Ia memilih menyendiri di mobilnya sembari berpikir.

Netta yang sudah berganti pakaian dan siap naik ke ranjang seketika merasa ada yang salah. Aditya ternyata tak menyusulnya. Membuat wanita itu makin cemas. Netta mendudukkan dirinya di ranjang kemudian mulai menangis pilu.

Netta benar-benar tak tahu. Apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahnnya. Kapan kejanggalan dan sikap Aditya berubah, ia benar-benar tak menemukan jawabannya. Rasanya pernikahan mereka semakin menemui titik buntu. Ia seakan berjalan di seutas tali yang rapuh. Yang kapan saja bisa putus dan menjatuhkannya ke dalam jurang.

Aditya begitu terkejut kala mendapati Netta menangis saat dirinya memasuki kamar. Ia segera menghampiri wanita itu dan berusaha menenangkannya.

“Kamu kenapa?” tanya Aditya bingung.

Netta menaikkan pandangannya. Wajahnya yang bersimbah air mata menatap nanar pada Aditya.

“Huh, kamu yang kenapa, Mas? Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu belakangan ini? Kenapa pernikahan kita jadi seperti ini? Jujur sama aku, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang kamu sembunyikan?”

Aditya terperanjat. Tak menyangka jika Netta akan memiliki kepekaan seperti ini. Memang belakangan ini hubungan mereka sedang bermasalah. Dan Aditya lah penyebabnya. Namun mana mungkin ia akan mengatakan semua pada Netta. Perihal Sena dan Pelangi.

“Maaf. Belakangan pekerjaan di kantor sedang sibuk sekali. Jadi beban pikiranku sedang banyak dan mempengaruhi hubungan kita.”

Netta tak percaya. Aditya memang pekerja keras. Tapi selama ini Netta tahu bahwa pria itu sangat bisa mengatur urusan kantor dan pribadinya. Namun ia juga tahu semakin ia mendesak, Aditya tidak mungkin mau jujur padanya.

“Mas, saat ini aku butuh perhatian besar kamu. Tolong, demi aku dan anak kita. Berikan kami masa-masa yang menyenangkan selama kehamilan ini.”

Aditya kembali merasa bersalah kala menatap wajah sedih Netta. Ia hanya bisa mengangguk seraya menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Meski tak yakin bisa memberikan ketenangan tersebut pada Netta selama pikirannya hanya tertuju pada Sena. Namun Aditya akan berusaha untuk membuat Netta merasa nyaman menjalani kehamilannya.

Netta sendiri merasa tak puas dengan kebungkaman Aditya. Ia pun tak memiliki keyakinan jika Aditya akan mampu mengabulkan keinginannya. Namun Netta tak akan menyerah. Rasanya cukup dirinya dibuat was-was oleh sikap sang suami. Netta tak ingin terus berada dalam keadaan abu-abu di mana ia tak mengetahui apapun. Jika Aditya memang tak bisa memberikan jawaban padanya. Maka Netta sendiri yang akan mencari jawaban tersebut.

Note : Maaf gak bisa kelarin kemarin malam. Selamat membaca.

Ps : terima kasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 13/08/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro