04. Niat Untuk Bertemu
Di dalam balutan selimut, Arnand menggeliat. Tubuhnya terasa berat untuk diangkat, terutama kepalanya. Ia merasa kepalanya bertambah berat beberapa kilo.
“Arnand, bangun, Sayang. Sudah siang, nih.”
Meski berat, Arnand membuka mata. Namun, bola matanya langsung menyipit ketika berpapasan dengan cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah tirai yang tertutup.
Disibaknya selimut, lalu turun dari tempat tidur. Ia bergegas membuka pintu. “Ada apa, Tante?” tanya Arnand sembari mengucek kedua mata.
“Ini sudah siang, Nand.”
Arnand mengangguk. “Iya. Arnand sudah bangun, kok.”
Tante Hera menghela napas. “Apa yang terjadi semalam? Kenapa kamu sampai seperti itu, Nand? Apa kamu juga terbiasa seperti ini di Jakarta.”
“Maksud Tante apa?” Arnand merasa kepalanya semakin berat. Ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi tadi malam.
Arnand hendak menutup pintu karena merasa tidak ada yang terjadi tadi malam. Namun, Tante Hera menahannya.
“Nand, apa kamu ada masalah? Atau, apa kamu belum bisa melupakan ….”
“Arnand baik-baik saja Tante. Semalam tidak terjadi apa-apa.” Tidak membiarkan Tante Hera mengucapkan sepatah kata, Arnand langsung menutup pintu. Lalu dihempaskannya tubuhnya ke tempat tidur. Dengan mata terpejam, ia bergumam, “Memangnya apa yang terjadi semalam?”
Dering ponsel di atas nakas memaksa Arnand untuk membuka mata. Ia meraih ponsel, lalu menggeser tombol hijau. “Ada apa, Dik? Kenapa pagi-pagi sudah menelepon?”
“Lo belum bangun?” tanya Didik. “Ini sudah jam berapa?”
“Kenapa? Kamu mau ngajak keluar lagi?” Arnand mendesah, tenggorokannya terasa tidak enak. Dan, dari mulutnya menguar bau yang tidak sedap. “Maaf, Dik. Aku lagi tidak enak badan.”
“Siapa yang mau ngajak keluar? Aku cuma mau tanya, tantemu bilang apa? Kamu tidak diusir, 'kan?” Didik terdiam sejenak. “Aku takut sekali tadi malam. Om dan Tantemu seperti sepasang singa yang mau memakan kita. Itu baru pertama kali mereka melihatmu mabuk, ya?”
“Mabuk?”
Arnand bangkit dari tempat tidur. Ia lantas berdiri saking terkejutnya.
“Kamu tidak ingat?”
Arnand menggaruk kepalanya. “Aku mabuk semalam? Kok bisa?”
“Bisalah. Kamu minum banyak banget semalam. Bahkan, waktu aku minta kamu berhenti, kamu malah menyuruhku diam.”
“Kamu bercanda, 'kan?” ujar Arnand meyakinkan.
“Buat apa aku bercanda? Apa kamu juga tidak ingat semalam kita bertemu So Hyeon? Kamu berpikir dia adalah Lyra. Dan, kamu berlutut di depannya.”
“Apa?” Arnand berusaha mencari ingatan tentang apa yang dikatakan Didik. Namun, ia sama sekali tidak menemukan ingatan itu. Yang ia ingat, Didik membawanya keliling Seoul dan berhenti di sebuah klub malam.
“Aku saranin kamu minta maaf sama So Hyeon. Semalam, dia sangat ketakutan karena tingkahmu.”
Arnand menggeram kesal. Tangannya mengepal hingga urat tangannya seakan hendak menyembul keluar. “Apa lagi yang kulakukan pada So Hyeon, Dik?”
“Kamu muntah di bajunya.”
Kali ini bola mata Arnand melebar. “Muntah?” ujarnya tidak percaya.
“Jangan banyak tanya, cepat mandi dan temui dia. Jangan sampai kamu dikenal pembuat onar di komplek itu.”
“Ah, sudahlah. Memang apa gunanya aku minta maaf? Dia bukan siapa-siapa untukku. Dan, dia juga pasti tidak memerlukan permintaan maafku. Jadi, untuk apa aku melakukannya?”
“Untuk dirimu sendiri, Nand.”
Arnand kembali merobohkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Apa maksudmu mengatakan itu? Apa kamu masih berniat menjadikan So Hyeon pengganti Lyra?”
Didik tidak menjawab.
“Jangan diam saja,” bentak Arnand setelah beberapa menit Didik tidak merespons ucapannya.
“Kalau bukan untukmu, lakukan untukku. Kamu tahu kalau aku menyukai Lyra, 'kan?” ucap Didik ragu. “Tidak mendapatkan Lyra, setidaknya mendapatkan Se Hyeon.”
Arnand mendengkus kesal. “Jadi, kamu suka pada So Hyeon?”
“Iya. Dan, kamu harus membantuku,” tegas Didik.
***
Jika bukan karena permintaan Didik, Arnand tidak akan pernah mau melakukan ini. Berdiri di pinggir jalan, sambil sesekali menoleh ke pintu yang masih tertutup rapat. Sudah hampir setengah jam ia berdiri di sana. Namun, tidak sedikit pun ada dalam hatinya untuk pergi.
Terlalu besar jasa Didik untuk Arnand. Karena selama ini, hanya Didik yang tahan bersahabat dengannya. Seorang lelaki arogan yang tidak punya apa-apa.
Dan, dengan kesabaran, Didik akhirnya berhasil mengendalikannya. Meski awalnya menolak permintaan Didik, tapi pasti akhirnya Arnand akan setuju.
Puncak ketergantungan itu adalah pada saat Lyra memutuskan pernikahan mereka. Saking hancurnya karena keputusan Lyra, Arnand sempat berniat menghabisi hidupnya. Untunglah ada Didik yang mencegah dan sering menemaninya mengurung diri di dalam kamar.
“Ah, itu dia,”ujar Arnand ketika pintu dibuka. Namun, yang keluar ternyata bukan orang yang dicari. Yang keluar malah sebuah mobil yang dikendarai seorang pria paruh baya bermata sipit mengenakan kaca mata.
“Apa mungkin dia tidak ada di rumah?” pikir Arnand.
Arnand berlari kecil untuk mencegat mobil yang baru keluar itu. “Excuse me, Sir,” ujarnya sembari melambaikan kedua tangan.
“Excuse me, Sir. May i ask something?” tanyanya setelah kaca mobil dibuka.
“Ya.”
“Umm ….” Arnand menggaruk kepala. Bahasa Inggrisnya yang buruk membuatnya tidak bisa berkomunikasi dengan lancar. “Apa bahasa Inggrisnya, ya?”
“Kamu orang Indonesia?” celetuk pria di dalam mobil, membuat Arnand terkejut.
“Iya, Pak.”
Pria di dalam mobil tertawa. “Saya mengerti bahasa Indonesia. Soalnya, istri saya itu orang Indonesia. Nama saya, Im Se Hwan.”
“Nama saya Arnand Askandar,” kata Arnand sembari mengangguk.
“Arnand. Oh ya, tadi kamu mau nanya apa?” tanya Pak Se Hwan. Ia mematikan mesin mobil.
“Ah, tadi … saya …. Oh, saya mau tanya apa So Hyeon ada di rumah, Pak. Saya temannya dari Indonesia. Jadi, saya mau tanya restoran-restoran halal yang ada di dekat sini.”
“Oh. Apa kamu tahu masjid Seoul Central Mosque?”
Arnand menggeleng.
“Baiklah.” Pak Se Hwan menarik selembar tisu, lalu mengambil pulpen yang ada di saku jasnya. Ditulisnya sebuah alamat di tisu itu.
“87 Usadan-ro 10 gil, Hannam-dong, Yongsan-gu. Dua belas toko dari kanan masjid Seoul Cental Mosque?” Kening Arnand berkerut. “Ini di mana, Pak?”
“Itu alamatnya. Kalau tidak tahu, cari di map. Kalau masih bingung, naik taksi lalu berikan alamat itu sopir. Nanti kamu akan diantar langsung ke sana.” Pak Se Hwan kembali menghidupkan mesin mobil. “Saya pergi dulu, ya.”
Sebenarnya, Arnand masih ingin bertanya, tapi Pak Se Hwan telanjur menutup kaca mobil. Sekarang, ia hanya bisa mendesah dan menatap alamat di tangannya. Bagaimana ia akan ke alamat itu, sementara ia sama sekali tidak memegang uang?
Meminjam uang dari Tante Hera? Sepertinya itu sama saja cari mati. Pasti Om Heru akan marah besar jika mengetahuinya. Satu-satunya cara adalah meminta bantuan Didik.
Arnand pun bergegas mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menelepon Didik.
“Halo, Nand? Aku lagi sibuk, nih. Lagi survei lapangan. Kalau ada yang mau kamu omongin, nanti aja.”
“Survei? Itu bisa nanti,” tegas Arnand. “Kamu antarkan aku ke alamat ini dulu.”
“Aku hampir selesai, Nand. Nanti saja.” Didik menutup telepon.
Beberapa kata umpatan lantas keluar dari mulut Arnand karena teleponnya dimatikan begitu saja. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu Didik memang sedang sibuk sekarang. Sahabatnya itu pasti sedang ada di toko kosmetik atau tempat yang menjual benda semacam itu.
***
Apa yang akan Arnand katakan pada So Hyeon? Apa dia akan meminta maaf seperti yang direncanakannya? Atau dia membatalkan niat itu?
Tunggu di part berikutnya, ya.
:)
Terima kasih sudah mampir di cerita ini. Terus ikuti kisah Arnand dan So Hyeon dalam Semusim di Seoul, ya. Insyaallah menghibur dan semoga memberi manfaat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro