BAB 08 : Keberuntungan dari sebuah kebaikan
Sebelum membaca, tekan tanda bintang di ujung kiri bawah. Jika menemukan hal yang luar biasa, beri komentar. Jika menemukan kesalahan, beri kritik dan juga saran. Xoxo
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
hingga mereka mengubah diri mereka sendiri."
[Ar-Rad, ayat 11]
☔️☔️☔️
Pukul lima pagi lewat seperempat jam, saat dinginnya Bandung masih menusuk kulit, Mobil Yudis sudah terparkir di depan lorong. Aku tidak tahu, setelah menghubunginya semalam untuk menanyakan perihal lowongan pekerjaan, ia begitu antusias ingin membantu. Karena aku belum mandi dan masih harus menyetrika baju dulu, Yudis akhirnya menyusulku dalam kamar. Anak itu benar-benar tidak sabaran, hidupnya terlalu semangat.
Dengan kondisi kamar yang tidak begitu luas, Yudis harus merasakan sedikit sesak. Lagi pula ia sudah kuingatkan untuk menungguku di dalam mobil, tapi ngotot ingin masuk ke dalam indekos. Sebelum-sebelumnya ia memang tak pernah kuizinkan masuk, karena kamar ini terbilang kecil menurutku. Tidak enak saja membawa tamu di tempat yang pengap.
"Aku mandi dulu, ya. Maaf, kamarnya agak sumpek," ucapku yada Yudis sesaat ingin masuk ke kamar mandi.
"Enggak apa-apa. Kamarku juga enggak kalah dari ini."
"Enggak kalah apa?" Aku kembali berjalan mundur setelah berada dalam kamar mandi dan menoleh ke Yudis yang sedang berbaring, menatap langit-langit kamar.
"Ya, enggak kalah luas. Ha ha," tawa Yudis seperti mengejek.
Aku mendengkus kemudian tertawa masuk ke dalam kamar mandi. "Yudis ... Yudis." Aku tahu kalau ia bercanda.
"Mandinya cepetan, ya, Kang Alan. Lima menit cukup, lah."
"Iya, sabar," teriakku.
Mana ada mandi selesai dalam lima menit? Disangkanya aku kerbau sama si Yudis.
Satu menit berlalu, Yudis masih mengoceh di luar, mengajukan beberapa pertanyaan padaku dan kujawab seadanya. Anak ini, benar-benar mulutnya tidak bisa diam, bahkan berkas-berkas yang akan kubawa nanti ditanyakan juga, katanya ia mau melihatnya. Dan beberapa menit kemudian, Yudis tak lagi bersuara. Mungkin sedang melihat-lihat berkasku. Syukurlah, aku bisa mandi dengan tenang.
Entah sudah berapa puluh menit, aku baru selesai mengelap badanku dengan handuk lalu mengambil air wudhu. Kata Abi, menjaga wudhu adalah keutamaan seorang hamba Allah dalam berikhtiar agar dimudahkan mencapai asa. Aku juga tidak tahu kapan ajal menjemput dan aku hanya ingin ketika dipanggil menghadap ilahi, mati dalam keadaan suci.
"Selesai," ucapku setelah keluar dari kamar mandi yang kutujukan pada Yudis.
Sedikit terkejut ketika melihatnya tertidur dalam posisi terkapar seperti orang yang sangat kelelahan. Aku pikir, Yudis sedang mengotak-atik berkasku, makanya tak bersuara. Aku mendekati Yudis, menatap wajah yang seumuran denganku itu. Suaranya sudah sedikit mendengkur.
Apa benar ia dari rumah? Atau semalaman ia keluyuran tidak jelas lagi? Karena tidak enak hati, kuurungkan niatku untuk membangunkannya. Setelah menyetrika baju dan pakaian akan kubangun
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat pada arloji yang ada di pergelangan tangan kiriku. Setelah menyetrika dan pakaian, Yudis belum juga bangun dari tidurnya. Lagi-lagi kuurungkan niat untuk membangunkannya dan menyempatkan diri melaksanakan salat dhuha beberapa rakaat. Sudah lama rasanya meninggalkan salat sunnah yang satu ini.
Empat sampai enam rakaat telah berlalu, saat doa kututup dengan al-fatihah aku langsung menoleh ke arah suara yang berdeham keras.
"Astagfirullah, Yudis. Sudah bangun?" Aku terperanjat. Suara Yudis menggema di dalam kamarku yang kecil ini.
Mata Yudis memerah menatapku, lalu perlahan menyipit dengan alis yang menukik. "Kenapa nggak ngebangunin aku?"
Aku tersenyum sembari melipat sajadah. "Maaf. Tadi kamu tidur seperti orang yang kecapean. Jadi aku tidak enak untuk membangunkanmu."
Yudis mendengkus kasar, ia kemudian bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
"Lain kali kalau aku ketiduran, langsung bangunin aja ya," teriaknya dari dalam kamar mandi.
"Iyaaa."
Setelah selesai, ia kembali menghampiriku dan berkata, "Oh, iya tadi kamu salat apa?"
"Salat dhuha. Biar semuanya diperlancar hari ini."
Yudis mengangguk. "Kapan-kapan ajarin, ya. Agamaku masih kurang. He he."
Aku tersenyum mendengar Yudis yang ingin diajar salat dhuha. "Kamu enggak tahu kalau salat dhu—"
"Enggak usah sekarang ajarinnya, Pak Ustad. Nanti aja. Oke? Sekarang kita berangkat biar nggak telat."
Baru beberapa kata, Yudis langsung memotong pembicaraanku. Aku hanya bisa tertawa sambil menggeleng kepala. Terkadang Yudis selalu kuingatkan tentang salat, menyuntikkan sedikit pengetahuan tentang agama. Tujuannya untuk mengembalikan kembali ingatannya sewaktu kecil yang katanya rajin beribadah. Sebab sekarang, ia hampir lari dari Tuhan. Mungkin kurang perhatian dari orang tua.
Terlihat jelas wajah Yudis ingin kembali mendalami ilmu yang mewakili segala dunia dan akhirat. Katanya aku orang yang tepat untuk menjadi gurunya, untuk orang yang mungkin kelak akan ia dengar nasihatnya. Namun lagi-lagi aku tegaskan, mari kita sama-sama belajar. Karena aku sepenuhnya belum tentu benar.
Aku mengembuskan napas untuk ingatan tentang itu saat kami berdua bergegas keluar dari indekos menuju parkiran mobil.
Dengan mesin yang sudah menyala, Yudis langsung menancap gas menuju tempat yang belum aku tahu di mana. Aku juga tidak menanyakannya, ia hanya menyuruhku menyiapkan berkas dan mengikuti arahannya. Itu saja.
☔️☔️☔️
Mobil terparkir dengan sempurna di parkiran gedung Kejaksaan Negeri Bandung. Pikiran ini sudah ke mana-mana, mataku langsung menoleh ke Yudis dan berkata, "Kita ngapain ke sini lagi, Dis?"
"Ya buat setor berkas-berkas kamu. Paling CV doang, berkas yang lain sudah ada sebelumnya kan di gedung ini."
Aku langsung menelan air liur. "Kenalan kamu itu jaksa di sini?"
"Kamu enggak perlu tahu siapa. Ayo, sekarang kita turun," ajak Yudis yang membuatku sedikit penasaran.
Ah, pikiran ini sudah mengarah pada seorang jaksa. Apa tawaran pekerjaan itu adalah seorang jaksa? Apa benar hari ini cita-citaku akan terwujud menjadi jaksa? Yaa Kareem, jantung ini sudah berdetak cepat.
Setelah kami berdua turun dari mobil, aku menyamakan langkah dengan Yudis di belakangnya menuju kantor kejaksaan. Semua kuserahkan sama Yudis kali ini.
Hanya hitungan semenit, aku sudah berada di lobby utama gedung, antrian begitu panjang dengan dipadati orang-orang memakai pakaian formal hitam-putih sepertiku. Tapi entah kenapa, dengan entengnya Yudis jalan tanpa bertanya layaknya orang yang sudah tahu seisi gedung, dan setiap petugas yang berpapasan dengannya memberikan senyum ramah pada Yudis.
Posisiku saat ini masih di belakang Yudis, mantap mengikutinya menuju salah satu ruangan. Di dalam ruangan sudah ada seorang bapak yang menunggu kami berdua.
"Oh, ini yang namanya Alan, ya. Dari Makassar, kan?" tanya Bapak itu ramah saat kami bersalaman.
Aku senyum dan Yudis menjawab, "Enggeh, Pak Dadang."
Bapak dengan nama Dadang Mas Bakar. SH di tanda pengenalnya itu menyuruh aku dan Yudis duduk. Perbincangan singkat pun terjadi. Aku dimintai berkas berupa CV. Bapak berpakain dinas yang baru-baru saja mengaku sebagai kepala bidang itu sangat ramah menjamu orang baru sepertiku. Apa semua orang Bandung seramah ini, yah?
"Oke. Setelah saya baca CV, nanti menyusul saya cek berkas-berkas sebelumnya, ya. Insya Allah, Nak Alan akan keterima kerja di sini. Saya percaya dengan Bos kecil, pasti Nak Alan ini orang hebat, he he he," kekeh Pak Dadang yang memanggil Yudis dengan sebutan Bos Kecil.
Aku ikut tertawa, tapi kutatap Yudis dengan dahi mengerut. Aku semakin bingung dengan Yudis ini, semua orang mengenalnya. Yudis menatapku, menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa yang kurang meyakinkan.
"Jadi, Pak, saya keterima sebagai Jaksa?" kutanya dengan polos. Sebab aku benar-benar tidak tahu apa yang akan aku kerjakan kedepannya. Yudis pun tidak memberikan pernyataan padaku.
Pak Dadang kembali terkekeh. "Aduh ... bukan jaksa, Nak Alan. Staff pegawai honor."
Kudengan suara tawa Yudis tertahan di mulutnya. Aku hanya bisa mengangguk-angguk, menggaruk kepalaku oleh karena malu. Awas kamu Yudis!
Kata Pak Dadang, aku sudah bisa mulai bekerja minggu depan. Dan mengenai job desk, pengisian data-data akan menyusul dikirim via email nanti.
Alhamdulillah, aku mengucap syukur setelah diterima bekerja di Kejaksaan Negeri Bandung sebagai staff pegawai honor. Aku sudah tidak mengajukan pertanyaan lagi mengenai kenapa prosesnya begitu cepat, mengapa aku tidak seperti yang lain di luar sana. Semuanya sudah jelas, koneksi dan juga relasi Yudis sangat membantu aku dalam urusan pekerjaanku kali ini.
Setelah mengucapkan terima kasih banyak dan berpamitan ke Pak Dadang, aku dan Yudis langsung menuju parkiran. Aku butuh semua penjelasan Yudis di atas mobil, tidak enak saja jika masih di hadapan Pak Dadang, di dalam gedung, di tengah-tengah keramaian aku ingin menyerang Yudis dengan berbagai pertanyaan. Adanya, nanti terlihat seperti orang yang ingin berkelahi.
Memasuki mobil, baru saja aku ingin membuka mulut, Yudis langsung mendikteku. "Aku tahu, sekarang kamu akan menyerangku dengan banyak pertanyaan. Sebaiknya kamu urungkan. Tenang saja, semua ini halal, kok.
Yudis menstarter mobil, sedangkan aku mendengkus. "Ya, tapi, Dis. Kenapa bisa sesingkat ini? Aku curiga ayahmu orang tertinggi di kejaksaan Bandung," terkaku.
Sontak Yudis melirikku sambil tertawa. "Apa-apaan? Sudah, sudah. Daripada kamu membahas sesuatu yang enggak penting. Gimana kalau sekarang cari pakaian kantor? Minggu depan, kan, sudah mulai kerja?"
"Ah, kok langsung ke situ, sih? Aku belum selesai."
"Alannn. Sekarang kamu sudah keterima kerja, dan itu yang kamu mau, kan? Aku sudah bantu. Sekarang, kamu yang harus bantu aku. Berhenti bertanya, dan ayo kita cari stock kemeja buat ngantor."
Aku menggeleng kepala. "Tapi, Disss ..."
"Tapi apa lagiiii?!"
Dahiku sudah sangat mengkerut. "Uang bulananku sudah mau habis ... ahh." Aku mendengkus disertai tawa yang terpaksa.
Terkadang Yudis mengajakku ke suatu tempat tidak tanggung-tanggung. Dia tahu aku anak rantau, hanya tinggal di kos-kosan kecil di kota besar. Terus mengajakku belanja, makan di tempat yang berkelas. Gimana mau hemat kalau seperti ini?
Yudis tertawa. "Sudah aman! Aku yang bayar semuanya. Berhenti bacot, Kang Alan. Lets go, mari kita rayakan pekerjaan barumu," ucap Yudis dengan penuh antusias.
Lagi-lagi aku mengembuskan napas pasrah. Sayang jika menolak rejeki. Tapi, rejekiku dari Yudis keseringan. Bagaimana caranya nanti aku membalas semua kebaikan Yudis?
Mobil pun melaju menuju tak terbatas, Bandung sungguh ramah. Aku beruntung bisa mengenal Yudis di tanah rantau, dan tentunya dengan segala kebaikannya.
Ah, terima kasih, Sahabat.
☔️☔️☔️
[There should be a GIF or video here. Update the app now to see it.]
Dear all,
Video ini kupersembahkan sebagai ucapan terima kasihku pada pencapaian kita; 5K readers dan sekarang sudah masuk ke 6k readers :")
Bab ini sudah lama ingin saya posting, tapi karena terkendala dengan padatnya aktivitas duta, selalu tertunda. Dan mulai hari ini, I'm back!
Kalian rindu Alan? Tulis kerinduan kalian di sini :)
Terima kasih.
Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama
Published: Saturday, 29 June, 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro