0.8 Salah Siapa?
Mama kerap mengataiku anak kurang ajar karena aku tidak mampu memenuhi keinginannya untuk mempunyai anak baik-baik dengan segudang prestasi dan berpenampilan cantik. Padahal aku bersumpah sudah berusaha sekuat tenaga. Seperti menyisihkan uang saku untuk kebutuhan sekolah agar tidak perlu meminta mama, karena kutahu ekonomi kami sangat jauh dari kata berkecukupan. Aku bangun pagi-pagi betul sebelum matahari terbit, membantu membersihkan rumah, dan memasak. Sepulang sekolah aku juga membantu beliau berjualan.
Hanya saja mama tidak pernah puas.
Itu sebabnya, semakin ia mencoba membuatku selayaknya boneka impiannya, aku semakin beringas memberontak. Tidak peduli pada teriak-teriak bising atau makian yang tajam. Aku tetap berkeras kepala untuk melakukan hal-hal yang mama benci.
Puncaknya tiga bulan yang lalu, aku benar-benar sudah bulat untuk menjadi anak jahat yang benar-benar kurang ajar. Jadi malam itu aku putuskan untuk kabur dari rumah.
Lewat jendela yang bisa kubuka selebar ukuran tubuhku, aku keluar sambil memboyong satu ransel berisi pakaian dan barang-barang yang kuperlukan untuk bertahan hidup di luar sana.
Saat itu sebenarnya tidak ada tujuan yang kutuju. Aku hanya berjalan menyusuri trotoar, dipikiranku yang penting bisa pergi sejauh-jauhnya.
Aku meninggalkan ponsel dengan sengaja agar mama tidak bisa menghubungiku, dan tentu saja agar ia tidak melacak keberadaanku lalu membawa paksa aku kembali.
Satu hari setelah berjalan jauh dari rumah. Aku kelelahan luar biasa, kakiku berdenyut-denyut sakit. Kerongkongan kering dan perut keroncongan. Baru satu hari dan semua persediaan makanan dan minuman sudah habis.
Aku berhenti di sebuah ruko yang sudah tutup, kelihatannya tempat itu tidak akan buka dalam waktu dekat ini. Yah, paling tidak sampai penyewa baru datang. Aku putuskan untuk beristirahat di sana. Meletakkan kepala di atas tas dan menutup mata dengan lengan, aku tertidur.
Tidur setelah kecapean memanglah nikmat.
Tetapi sangat berbeda jauh dengan ketika bangun. Kepalaku masih sakit, dengan linglung aku celingak-celinguk mencari tas ku.
Benda itu tidak ada di sekitarku.
Dicuri!
Aku panik lalu berlari ke sana kemari.
Tidak ada. Kembali ke depan ruko kosong. Berjongkok sambil bersender. Derai air mata membasahi pipiku.
Baru sehari. Dan aku sudah kalah.
Namun, tidak ada niatan untuk pulang. Toh, itu sama saja menyerahkan diri untuk dibunuh.
Mama akan marah-marah dan mengutukku. Atau lebih gilanya lagi, ia akan mengusirku keluar.
Aku mengenal mama seumur hidupku. Kesalahan yang aku perbuat kali ini tidak akan pernah ia maafkan.
Jadi kupikir biarlah aku mati di sini saja
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro