0.5 Semangat
Tidak ada yang peduli padaku.
Begitu pikirku awalnya. Sebelum sebuah pesan singkat dari kamu mampir pada aplikasi percakapan, sesaat setelah aku menghidupkan data seluler. Jaringan dengan cepat membawa sebaris kalimat yang kini tengah aku baca untuk yang kesepuluh kalinya semenjak pesan tersebut kubuka.
[Hai, Na. Apa kabarmu?]
Kita sudah hampir satu tahun tidak berkomunikasi, hanya pernah sesekali bertukar senyum ketika berpapasan di lorong koridor, atau ketika tidak sengaja bertemu di jalan.
Aku mengoreksi berkali-kali nomor pengirim beserta nama kontak dan pesan itu lagi-lagi aku baca menyusuri satu persatu huruf yang menyusunnya.
Biasanya orang-orang bertanya seperti itu untuk orang yang dekat dengan mereka. Aku kenal denganmu, tahu namamu, tetapi kita tidak memiliki hubungan seakrab itu.
Terbesit pikiran negatif di kepalaku, mungkin saja kamu hendak meminjam uang padaku.
Aku menggeleng. Yang, benar saja, tidak mungkin begitu.
Mengabaikan analisa berlebihan yang aku lakukan kurang dari sepuluh menit, akhirnya aku memutuskan untuk membalas pertanyaanmu.
Aku baik. Bagaimana denganmu?
Ponsel dengan casing berwarna merah muda itu sudah hendak aku letakkan di atas tempat tidur, tanda ceklis dua yang berubah biru membuatku mengurungkan niat. Kamu sedang mengetik, cukup cepat untuk ukuran satu paragraf teks muncul detik berikutnya.
[Lega mendengarnya. Aku harap dirimu benar-benar baik-baik saja. Jika kamu butuh temn untuk curhat, kamu bisa mengirimkan aku pesan, atau meminta bertemu. Aku akan selalu ada untukmu.]
Kali ini pesan itu membuat keningku berkerut, mulutku terbuka seusai membaca kata terakhir. Ada apa denganmu?
Cepat-cepat aku mengetik balasan lagi.
Ada apa? Mengapa tiba-tiba mengatakan seperti itu?
Lagi-lagi, kamu membalas dengan sangat cepat seakan sebelumnya kamu sudah mempersiapkannya.
[Na, jangan putus asa, yaa. Dunia memang keras, berat dan sulit. Tetapi kumohon jangan menyerah. Kamu kuat kamu hebat, kamu bisa melewatinya. Aku yakin! Na, kalau kamu butuh apa-apa hubungi saja diriku, ya.]
Keterlaluan, ini sungguh keterlaluan. Kata-katamu seolah mengetahui diriku saja!
Jemariku menari di atas keyboard ponsel hendak mengirimkan berisi balasan kasar, lalu aku berencana untuk memblokirmu.
Namun, kamu lebih cepat. Satu bubble pesan baru muncul sebelum aku mengirimkan balasan.
[Jangan menyerah dengan hidupmu. Terima kasih kemarin kamu tidak jadi melakukannya. Aku sudah hendak berlari untuk mencegahmu. Tetapi aku salah, kamu kuat. Kamu tak jadi menjatuhkan diri dari jembatan tersebut. Jangan lagi ya, aku percaya kamu kuat.]
Jantungku berdebar kencang, mataku membulat. Kamu melihatku hari itu.
Pesan balasan tidak jadi aku kirim. Aku memilih untuk langsung memblokir kontakmu.
Aku tutup jendela dan mengunci pintu. Lekas aku naik ke atas kursi yang telah aku persiapkan. Tali yang telah aku ikat simpul telah menggantung di langit-langit kamar, aku menarik napas dalam-dalam. Kulihat keadaan kamarku yang kacau seperti isi kepalaku, ponsel itu sudah tergeletak dengan daya sudah kumatikan. Tidak ada lagi yang bisa mengganggu.
Menarik napas dalam-dalam, kumasukkan kepala ada tali gantung tersebut.
"Semuanya akan berakhir setelah ini."
Satu persatu detik aku hitung perlahan, mencari-cari waktu yang tepat untuk melakukannya. Bulir-bulir keringat jatuh membasahi wajah, satu aliran berhasil lolos menerobos alis mataku mengenai netraku, kandungan urea dan garamnya menimbulkan rasa perih.
Aku melepaskan diri dari simpulan tali, mengucek mata. Lalu Karen tidak melihat situasi, aku oleng hingga terjatuh.
Setetes dua tetes berjatuhan dari kelopak mata, disusul isak tangis tersedu-sedu. Aku mengambil gawaiku kembali, mencari kontakmu dengan gesit, tak lupa membuka blokirnya.
"Gy, aku tidak baik-baik saja. Aku sedih, Gy. Aku capek banget sama hidupku. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku nggak kuat Gy."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro