0.3 Sang Pencuri Hati
. . .
Aku tertegun ketika laki-laki itu mengikatkan tali sepatuku. Sekitar beberapa detik bergulat dengan tali sepatuku ia tersenyum puas dengan hasil kerjanya, matanya menatap lurus kesepasang sepatu Converse yang kukenakan.
Apakah lebih menarik sepatuku dari pada wajahku?
Aku menahan napas ketika ia tiba-tiba menatapku, seakan tahu apa yang kupikirkan. Atau jangan-jangan dia bisa membaca pikiran?
"Kalau pake sepatu, talinya jangan lupa diikat. Kalau jatuh kan sakit," cecarnya.
Aku menghembuskan napas lega, ternyata ia tidak bisa membaca pikiranku. Haha, aku pikir bisa.
"Tadi terlepas sendiri, makasih," kataku membuang muka, tak tahan berlama-lama menatapnya.
"Btw, lo digituin baper, nggak?"
Baper banget, kamvret!!
"Enggak! Ogah banget baper sama cowok kayak lo."
"Tapi di drama-drama yang sering adek gue tonton, cewek-cewek pada baper kalo digituin."
"Enggak berlaku sama gue," jawabku ketus, padahal 'mah, jantung aku udah loncat-loncat didalam sana.
Ia memasang muka datar yang biasanya dipasang bila jengkel.
"Gebetan baru?" Seru teman sekelasnya, yang kukenal bernama Rio. Aku kenal Rio karena satu tim sepak bola dengan laki-laki itu.
Dia hanya membalasnya dengan mengendikkan bahu, padahal aku berharap ia bilang 'iya' walaupun kutahu ia hanya bercanda.
"Hati-hati gebet dia, bisa habis dompet lo beliin makanan dia. Kempes motor lo kalo bonceng dia, pokoknya nggak enak," ucap Rio.
Aku terluka, tapi tak bisa menepis semua ucapannya. Dengan tubuh gempal nan gemuk, semua orang, tak hanya lelaki akan berpikiran seperti itu. Ini bukan kali pertama aku mendapat ucapan semenyakitkan itu, pernah ada yang lebih sakit lagi.
"Jadi cowok, mulutnya lemes banget kek ibu-ibu komplek."
"Selow dong, kan gue cuma bercanda."
Bercanda udelmu!!
"Lo nggak sakit hati 'kan?" Pertanyaan itu untukku. Dan aku hanya menjawab dengan gelengan.
"Tuh, dia aja ngerti."
"Bacot lo, cabut sana sebelum gue bogem wajah jelek lo," sarkas nya.
Rio memasang muka masam, tak urung akhirnya ia pergi juga.
"Kalau ada yang ngomong gitu, jangan diam aja! Gue aja yang dengar kesal," katanya sambil menatapku lekat.
Mama, Naava nggak sanggup buat nggak cinta sama dia...
Aku cuma mengangguk mematuhinya.
"Bagus, gue kekelas dulu 'ya, Va."
Dan ia berlalu, punggungnya semakin menjauh dari pandanganku, tapi anehnya hatiku terasa ikut menjauh. Apa mungkin terikut padanya.
Ah, dia mencuri hatiku.
. . .
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro