Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

68. Pandora.

Kalo boleh nanti minta waktunya sedetik untuk lihat gambar di akhir bab ini ya 🙂

Peringatan, bab ini mengandung konten sensitif.

***

Dara terduduk di sebuah kursi plastik milik Warung Soto Betawi yang terletak persis di seberang jalanan kawasan Polres Metro. Tangannya masih erat-erat meremas satu botol air mineral yang tadi Ko Iyel angsurkan sebelum pria itu bergegas pergi terlebih dahulu untuk mengeluarkan mobil dari parkiran.

Sembari gantian menunggui Ko Iyel kembali—selepas pria itu bela-belain nongkrong di warung selama Dara melaksanakan pemeriksaan—kepala perempuan itu lantas tengadah. Memindai secara saksama langit kota Jakarta yang sukses menjingga.

Pantaslah telah sepetang ini. Dara bahkan menghabiskan lebih dari 5 jam untuk diselidiki, entah berapa banyak deh pertanyaan dengan struktur kalimat berbeda, tapi bermakna sama yang terus diulang-ulang guna diperdengarkan padanya.

Tentu tak hanya melelahkan, semua itu juga secara otomatis memaksa Dara buat mau nggak mau menarik ingatnya untuk kembali jatuh pada hari di mana Miko hampir-hampir dihabisi. Teriakkan Dara yang menggelegar di sepenjuru penthouse demi meminta seluruh penyiksaan tersebut berhenti bahkan rasanya masih mencipta serak di pita suaranya hingga hari ini. Lalu, betapa memualkannya penampakan merahnya darah yang berceceran di keramik sewarna porselen tempat itu, juga ya tersangka utamanya ... Si Bajingan Kapravda.

Uh, siapa yang sangka coba manusia biadab satu itu bisa segera diringkus? Dara kira karena setelah menghajar Miko dan sukses berlari pergi, laki-laki itu bakal hilang tanpa jejak layaknya yang pernah terjadi di 20 tahun lalu.

Nyatanya? Pasca-beberapa hari saja buron, dia dengan mudah digelandang dari kediaman mertuanya yang bisa-bisanya masih berani dia singgahi!

Namun, ya ... Dara percaya segalanya tak mungkin bergulir semulus ini bila dibiarkan berjalan dengan senormalnya saja.

Yang telah mencelakai Miko adalah Kapravda. Mertuanya sangatlah berada. Lebih-lebih dari orang tua Miko, dan nyaris hanya satu level di bawah sosial keluarga Pak Rega. Tak hanya itu, dia ternyata memiliki afiliasi keluarga dengan seorang Ilham Kavi. Jujur, Dara tak pernah tahu mengenai hal itu. Pun, mengingat begitulah faktanya, maka jika Dara sendiri yang nekat berjuang pastilah kasus tersebut tak akan bergerak ke mana-mana.

Orang-orang Ilham Faizan Ghazi, desas-desusnya memang sangatlah sulit disentuh. Kalau ada yang berhasil menggoyangkan singah sana milik mereka, Dara tentu patut curiga pada apa yang diam-diam Pak Rega lakukan melalui kemampuan sekaligus kekuasaan yang pria itu punyai.

Ah, ya, Pak Rega ....

Lantas, bagaimana semua hukuman ini bisa terealisasi?

Dara akan memulai cerita singkatnya dari hari itu. Sekitar empat hari seusai Miko dioperasi dan tak kunjung sadarkan diri. Ketika itu, Dara menangkap kelebat Akhyar di balik pintu ruang ICU.

Tentu, pria itu buru-buru berlari begitu menyadari Dara berhasil menangkap basah sosoknya. Dara sendiri terang tak diam saja dan membiarkannya. Dia menyusul berlari hampir-hampir tunggang-langgang hingga mencapai selajur lorong sudut rumah sakit yang cukup sepi. Yang merupakan jalan buntu.

Namun, Akhyar adalah seorang Informan, seseorang yang di-hire Miko berkat bakatnya dalam melakukan spionase. Dan, kabur atau pun berkelit hanyalah salah satu dari berderet-deret keahlian yang dia kantongi. Oleh sebab itu, andai Dara terlambat sedetik saja, pria itu pastilah telah berhasil melompati pagar setinggi tiga meter yang mungkin bakal membawanya mengeluari area rumah sakit. Meninggalkan Dara tanpa sedikit pun memberi penjelasan.

Beruntungnya seruan Dara masih mampu terhambur untuk mencegahnya melalui kalimat tuduhan ini, "Apa yang mau dilakuin Abang?!"

Bahu Dara dengan hebat naik turun—ngos-ngosan—ketika Akhyar justru langsung terdiam bagai arca.

Mendesaukan napasnya yang sesekali masih aktif memburu, Dara mengayun langkahnya mendekat sambil membeber, "Kemarin saya lihat Mas di VER ketemu Pak Rega. Ada kaitannya dengan Abang kan? Atau justru ada kaitannya juga sama saya?"

Oh, jelas! Memang apa urusannya Akhyar sama Pak Rega kalau bukan tentang Miko? Pak Rega rasa-rasanya nggak punya urgensi untuk menyewa jasa Akhyar. Pun, mereka saling kenal di mana bila bukan Miko lah jembatannya?

Dara nggak bisa menanyai Pak Rega sebab memasuki akhir November ini, ditinggal Miko yang koma, sekaligus Kapravda yang semula entah sembunyi di mana, Pak Rega menjadi sibuk sekali. Di samping Dara, dia bahkan sampai meminta dua Asisten tambahan guna mengurusi pekerjaannya yang membeludak macam air banjir. Yang belakangan justru Dara sadari bahwa berkat keputusan Bosnya itu, dia jadi tetap bisa pulang dengan tepat waktu. Tanpa sehari pun absen, dia bisa bergantian menunggui Miko di rumah sakit.

Kemudian, untuk ke sekian kalinya Dara membuang napasnya berat sesaat sebelum menuding melalui nadanya bicara yang terkesan mendesak, "Nggak bisa bilang sama saya karena masalah etik dan karena itu rahasia? Gimana kalau apa pun yang kalian rencanakan itu bakal membahayakan Abang? Saya tetap nggak berhak tahu?"

"Saya ...." Akhyar yang tampil tak mencolok dalam balutan selembar kemeja putih layaknya lelaki kantoran biasa, terlihat sempat mengurut keningnya sejenak. "Saya akan pastikan untuk nggak membahayakan Miko," lanjutnya dengan penuh tekad baik dalam suaranya maupun wajahnya.

"Dan, bagaimana saya bisa percaya? Kalian bahkan bisa dengan bebasnya nembak-nembakin peluru kapan hari," tandas Dara.

Yang tentu tak ditampik Akhyar. Karena, perempuan itu toh benar sempat menyaksikan melalui matanya sendiri. Betapa hari-hari mereka sering kali terasa brutal semenjak berurusan dengan Ilham Kavi beserta seluruh antek-anteknya.

Namun, sungguh, kendati memang penuh perjudian—mana nggak dapat sepenuhnya dibilang aman—rencana yang mereka susun telah matang. Keberhasilannya boleh jadi nggak akan mencapai angka seratus persen. Ilham Faizan Ghazi bersama seluruh orang-orangnya mungkin saja bisa kembali lolos, tapi Akhyar masih ingat betapa Miko sangat bertekad. Jadi, bagaimana bisa harus dia lewatkan? Mereka udah berkorban banyak. Gagal atau berhasil, pada akhirnya enggaklah sama sekali berarti jika tak betul-betul dicoba.

Merasa tak memiliki jalan lain di luar berterus terang, Akhyar pun berkata, "Besok ada acara besar di Yayasan Kavi. Beberapa waktu kemarin saya, Miko, dan Pak Rega sudah dealing untuk melakukan sesuatu."

"Lebih jelasnya apakah itu?" tuntut Dara.

"Salah satunya untuk menyelamatkan kamu," sambar Akhyar to the point.

Alis Dara merangkak naik, dia tak mengerti. "Menyelamatkan saya dari Kavi?" tanyanya.

"Dari masa lalu kamu," Akhyar lantas mengoreksi.

"Masa lalu saya ...?"

Akhyar berdeham sambil kemudian mengangguk. "Kapravda dan kasusnya tentang kamu 20 tahun lalu."

Tak ubahnya Akhyar yang tadi ketahuan bak maling yang tertangkap basah sewaktu mengintipi Miko, Dara kini berada di posisi yang tak jauh berbeda. Dia refleks menelan salivanya kelat. "M-maksudnya?"

Jika dugaanya tak meleset bahwa Akhyar tahu mengenai kenyataannya. Berarti Miko ....

"Saya harusnya datang sama Miko ke penthouse itu."

"Tapi, buktinya? Abang sendiri!"

"Karena, dia ingat sesuatu."

"Saya ... nggak paham." Dara menggelengkan lirih kepalanya.

Akhyar buru-buru membuka risleting ransel yang menggantung di punggungnya. Membawa keluar satu ampop cokelat berukuran sedang dari dalam sana, dia langsung mengangsurkannya ke hadapan Dara.

"Ini ...?" Dara takut-takut menerimanya.

"Tugas terakhir yang Miko beri kepada saya adalah untuk mengamankan isi dari amplop itu." Akhyar sesaat menjeda. Dia masih ingat betul kata-kata yang Miko ujarkan di pertemuan terakhir mereka.

"Kalau pun nggak ada good ending. Pastikan aja, gue yang dapatkan ending paling buruknya. Lo di sini gue tugaskan untuk pastikan itu!"

"Itu dari kamera Miko yang udah puluhan tahun nggak dia pakai motret lagi. Mungkin gara-gara apa yang dia potret hari itu, meninggalkan luka yang dalam. Dan, kamu bukan pembohong andai kamu punya itu di 20 tahun lalu." Akhyar menundukkan kepalanya, sebelum kembali mendongak diiringi oleh sorot matanya yang menajam. "Dan, Miko tahu betul kok bahwa dengan datang sendiri buat menyusul kamu, kemungkinan besar dia bakal celaka. Tapi, itu udah sesuai perhitunganannya. Rasanya, memang cuma itulah caranya untuk menghukum Kapravda secara setimpal. Dengan mengulang kejadian yang hampir sama. Karena, seberat apa pun tragedinya, jelas mustahil untuk bisa melaporkan kasus dari 20 tahun silam yang udah kadaluwarsa. Jadi, apa yang terjadi seluruhnya adalah atas pilihan Miko sendiri, Sandara."

Dara nggak lagi ragu. Miko tahu. Tahu tentang apa yang dengan pengecutnya dia sembunyikan. Pun, meski begitu, seolah tak peduli bahwa dia telah dibohongi, Miko tanpa ragu tetap berjuang demi menyelamatkan Dara.

Dan, Dara ... dia mendekap amplop itu di dada. Dia bahkan rasanya tak pantas untuk membukanya.

***

Saat itu, Miko mengatakan dia takut Dara jijik kan? Jijik kepadanya yang memiliki Kaisar?

Huh, sungguh, kenapa Dara harus jijik? Jika dirinya saja sebetulnya tak kalah menjijikannya.

Dara tak ingin mengingatnya. Bak bangkai dinosaurus memori itu telah terkubur oleh tak hanya tanah dan pasir, tetapi mungkin juga reruntuhan zaman. Sayangnya, tak ubahnya fosil dinosaurus yang bahkan telah menelan jutaan tahun mengendap, segala yang terkubur enggaklah lenyap. Mereka cuma tersembunyi. Seperti coretan noda, itu tak kan hilang sepenuhnya.

Dara ketika itu bahkan rasanya belum genap 7 tahun. Sepatu hitam-putih kebesaran yang dibeli ibu dari sisihan gaji dalam celengan ayamnya yang dipecah, yang gadis itu kenakan sejak dia mulai bersekolah, entah tertinggal di mana.

Dara ingin mencari serta memungkutnya kembali karena dia cuma punya itu. Namun, kepalanya terus menyuruhnya untuk tak berhenti berlari. Kendati telapak kaki berbalut kaus kaki putihnya udah terasa kebas nan panas. Meski dia telah terpeleset atau bahkan terjerembab menubruk tangga beberapa kali. Dia hanya perlu terus memacu diri. Pergi sejauh-jauhnya.

Dari apa?

"SANDARAAA!!" Ya, dari gelegar teriakkan ini. Mungkin, tak mengapa jika seruan itu layaknya cacian yang kerap dia dengar dari teman-teman yang suka menakalinya di sekolah. Dara bisa menahannya. Namun, yang kali ini ... entah mengapa Dara merasa dia perlu buru-buru menyingkir. Seakan ada alaram bahaya yang menyala dan berdering!

"Sandaraa!" Bahkan, dia langsung masuk ke salah satu kolong meja saking dengkulnya kelewat bergetar dia pacu melulu.

"Ra ...? Daraaa?!" Gadis pemilik nama tersebut refleks erat-erat memeluk kakinya yang dia tekuk di depan dada. Kedua telapak tangannya yang berkeringat pun saling meremas kuat saat telinganya mendengar tak sebatas repetisi panggilan, tapi sekaligus bunyi derap langkah kaki yang menjejak kian dekat.

Netra Dara kecil sukses meliar. Dara lekas berganti demi memilin pinggiran kemeja putihnya yang telah keluar dari jalinan rok seragamnya. Keringatnya terbentuk makin deras di sepenjuru tubuh kurusnya, khususnya pada area punggung dan dahi.

Tak cukup di sana, jantungnya pun mulai hebat bergemuruh. Terlebih ketika satu wajah yang semenjak tadi mengejar-ngejarnya tiba-tiba terlihat jatuh tepat di depan wajahnya di bawah meja. Persis kayak penampakan wujud badut bersenyum super-lebar di mana mulutnya seakan hendak robek, yang di mata Dara terlihat amat mengerikan, yang datang di tiap perayaan ulang tahun Kimberly—anak bungsu Cik Erika yang lebih muda dua tahun dari Dara.

Bikin Dara berjengit tak nyaman. Sayangnya, itu pun telah terlalu terlambat untuk menghindar sewaktu kakinya yang terlipat di dada tahu-tahu dengan kasar ditarik paksa.

Dara sontak terpelanting. Kepalanya bahkan mengantuk kerasnya lantai. Tapi, itu belum usai. Kakinya diseret, Dara layaknya seonggok karung sampah tak berharga. Punggungnya bahkan terasa nyeri sewaktu menabraki gundukan yang entah apa di lantai.

Namun, segalanya tak berhenti biar pun Dara udah berupaya berteriak-teriak memohon supaya segalanya lekas tersudahi. Hingga dia dihempas begitu saja ke atas selembar karpet di lantai tiga bangunan rumah megah entah milik siapa, yang Dara kecil masuki karena orang itu tadi bilang disuruh menjemputnya oleh Ayah.

Entah apa yang hendak ayahnya itu bicarakan. Berkali-kali bertemu ibu, pria itu tak sekali pun menoleh terlebih menyapa Dara. Oh, bukannya Dara seingin itu untuk disapa hanya saja, ya entahlah!

Dara memang bodoh. Dia hanya anak-anak yang terlampau naif dan bodoh!

Dara awalnya hanya merasa penasaran tentang apa yang kiranya ingin ayahnya yang brengsek itu katakan. Namun, tak ada lelaki yang suara bentakkannya sering kali bikin ibu ciut. Waktu Dara tiba di rumah tiga lantai yang bak kastil dalam negeri para Princess di buku dongeng koleksi Kimberly, yang terbilang juga cukup jauh dari lingkungannya. Ternyata, tak ada memuat batang hidung siapa pun kecuali mereka berdua di dalam sana. Di tempat yang luas, lengang, dan sunyi itu.

Dara tahu dia bodoh sehingga tak waspada. Dia bahkan baru berbalik badan hendak bertanya di mana ayahnya yang meminta bertemu? Tetapi, tiba-tiba dia dibuat menjerit dan ketakutan saat merasakan orang yang tadi duduk memboncengnya di motor tanpa dinyana langsung memanjangkan tangannya dan meremas dengan keras dada Dara yang rata.

Sadar bahwa itu tak seharusnya dilakukan oleh seseorang pada tubuhnya, Dara kecil sontak berlari. Sialnya, beberapa kali kakinya berhasil tergapai serta membikin badan mungilnya tersungkur-sungkur macam robohnya kartu domino. Namun, Dara tak menyerah. Dia melempar apa pun yang dia temukan untuk menghalangi cowok itu mendekat.

Sialnya dibanding Dara, cowok itu agaknya lebih familier terhadap medan tempat mereka berperang. Di mana pun Dara bersembunyi pada akhirnya dia ditemukan.

Dara enggak tahu. Suaranya yang tiada henti menjerit mulai menyerak. Rambutnya yang tadi diikat ekor kuda sekarang entah seperti apa bentuknya. Yang jelas surai-surainya memburai dan menempel lengket di kulit Dara berkat derasnya keringat yang tiada henti menetes dari tubuhnya.

Biar pun begitu Dara belum tamat kan?

Seenggaknya, hingga tetes terakhir keringatnya dia harus terus berusaha supaya bisa lepas serta terbebas dari sana.

Kaki-kaki pendek Dara tanpa lelah menendang ke sembarang arah. Meronta-ronta. Tetapi, mungkin sebab dia sendiri telah di ambang ketakutan yang teramat sangat maka, dari seluruh percobaan tersebut, bisa dihitung jari ketika kakinya berhasil mengenai tubuh satu sosok cowok yang seandainya Dara sadar lebih awal—di mana cowok ini bahkan beberapa kali terlihat nongkrong di sekitar sekolahnya, yang padahal jaraknya tak dapat dikategorikan dekat dengan sekolah menengah yang terjereng melalui almamater di seragam yang cowok itu kenakan.

Andai Dara tahu bahwa lirikkannya beberapa bulan belakangan terhadap Dara berbeda dari cara orang-orang lain melirik. Andai dia tadi tak kalah oleh rasa penasarannya sehingga memilih langsung pulang ke tempat ibunya bekerja, dan bukannya malah pergi tanpa pamit untuk menemui ayah yang bahkan harusnya tak sepantas itu untuk dia anggap ada. Oh, dan seribu penyesalan lainnya.

Dara tahu harusnya dia menangis. Tergugu-gugu bila perlu. Tapi, air matanya bahkan tak mampu merembes keluar saking tegangnya dia kala kulitnya mendadak terasa mendingin. Tak sekadar karena dia terbaring di atas karpet tipis, tetapi lebih kepada gara-gara tahu-tahu seragam lusuh yang semula membungkus tubuh Dara dengan amat tiba-tiba dilolosi semua kancingnya. Apakah hanya sampai sana?

Dara harap segalanya memang berhenti di sana. Cukup sampai di situ saja.

Namun, kapan sih harapan Dara dengan mudahnya terkabul?

Kemeja putihnya tersingkir, bahkan rok merahnya terasa jatuh meluncur ke sekitaran betis. Mempertontonkan kulit kelewat putih Dara yang kontan memerah saking mati-matiannya gadis kecil itu dalam menahan-nahan oksigen yang mengalir di tiap denyutan jantungnya.

Tuhan ....

Ibu ....

Siapa lagi yang harus Dara sebut dalam rintihan hatinya agar semua perlakuan menjijikan ini bisa berakhir?

Namun, nahasnya, bukannya berakhir satu-satunya kain yang tersisa, melekat untuk menutupi bagian terahasia milik Dara pun justru ikut direnggut paksa.

Dara menggigil. Gadis itu menggigit bibirnya yang bergetar kuat-kuat. Dia memejamkan matanya rapat-rapat.

Detik itu, Dara kecil tak hanya merasa malu sebab ada mata asing yang bak menyileti setiap jengkal kulit telanjangnya. Dia juga takut. Sangat takut. Takut Tuhan kecewa. Takut ibu marah. Takut bahwa ini baru bakal selesai saat Dara mati. Dia sungguh merasa ... kerdil. Jauh lebih kerdil dari sebutir debu sekali pun.

Dara kira dia betulan akan tamat di sana hari itu. Terlebih, ketika tangan asing itu mulai terasa meraba-raba di sepanjang betis hingga pangkal pahanya.

Dara merasa ... dia tak mungkin lagi terselamatkan.

Dia akan hancur tak ubahnya buku tulisnya yang kapan hari diinjak-injak, diludahi, dirobek-robek oleh teman-temannya di sekolah. Nasib Dara tentulah tak akan lebih baik dari buku yang kini mungkin telah teronggok di bagian paling dasar dalam tong sampah.

Kenapa?

Ya, kenapa nasib Dara begini? Apakah karena Dara terlalu payah?

Dia bahkan kesulitan melindungi dan menyelamatkan dirinya sendiri.

Dara ... huh, mungkin dia memang akan mati hari itu. Kendati dia berusaha mati rasa, tetapi jujur dia tetap sanggup mengenali perasaan terhina sewaktu organ paling rahasianya disentuh tanpa seizinnya.

Dara ....

Dia pikir awan gelap itu bakal menggelayut, setia mengiringi hingga nyawanya dilolosi. Namun, ternyata Tuhan memanglah Sang Juru Selamat.

Sebelum cowok yang mengungkung tubuh Dara berhasil membuka pakaiannya sendiri, ada derap langkah yang terburu mendekati. Lalu, suara tubrukan antara dua tubuh pun terdengar yang disusul oleh bunyi benda-benda jatuh.

Dara masih linglung. Tubuhnya yang merah-merah bahkan lebih lemas dari jelly kala seseorang yang tiba-tiba datang barusan cepat tanggap membantunya kembali berpakaian.

Sayup-sayup dia seperti mengatakan sesuatu. Sialnya, telinga Dara terlalu pengang untuk dapat menjaringnya. Yang jelas ketika seragam Dara kembali sempurna terpasang, tangan Dara hendak ditariknya untuk dibawa beranjak dari sana.

Dara yang mendadak bak disorientasi hanya menurut dan ikut saja.

Namun, langkah mereka baru terayun dua kali saat dari arah samping, Dara mendengar sebuah pekikan panjang. Yang berikutnya terhidang di sepasang bola matanya yang membola adalah sesosok wanita paruh baya seusia ibu yang tadi menggenggam tangan Dara, kini justru telah roboh bersama darah yang mengalir deras dari batok kepalanya. Pecahan guci yang dilempar berserakan di lantai.

Tak lagi tertahankan, Dara akhirnya melonglongkan jeritan sekeras yang dia mampu.

Tapi, apakah ada yang mendengar? Apakah semuanya tersudahi?

Sama sekali nggak. Cowok yang di tangannya tersimpan satu vas bunga itu terus memberondong. Memukuli perempuan yang menolong Dara dengan benda-benda yang membikin darah segar dengan banter menyembur bak air keran yang diputar dari tubuhnya.

Pertikaian itu bagai adegan film laga impor yang kadang disetel Cik Erika di warung andai warung lagi benar-benar sepi. Ada cekikan, tendangan, pukulan, segala pergerakan yang membuat darah tercerai-berai di lantai. Membikin pandangan Dara yang memburam sontak berputar macam gasing. Dara merasa mual. Terlebih sewaktu suara pecahan kaca yang kelewat nyaring tiba-tiba ikut menyusul terdengar, begitu saja memekakkan telinga.

Membikin mata Dara membeliak. Karena, di sana lagi-lagi hanya tinggal mereka berdua. Dia dan cowok itu. Sementara, perempuan tadi tubuhnya terdorong hingga jatuh keluar dari lantai tiga. Dara melihatnya dari kaca-kaca besar rumah itu, di bawah sana kepala ibu-ibu itu pecah, dan Dara ....

Dia udah berkata sejujur-jujurnya. Tentang apa yang dia alami. Tentang segala hal yang terjadi hari itu. Dia disentuh di sana-sini. Namun, mereka bilang Dara yang saat itu belum genap 7 tahun cuma mengarang. Dara mengada-ada. Dia haus perhatian. Dia kekurangan kasih sayang. Dia ... berbohong. Bocah ingusan yang Tukang Bohong! Layaknya anak-anak lainnya, perkataannya tak pantas secara serius dipikirkan. Kata-katanya tak perlu repot-repot dipercaya!

Meski Dara udah menangis kencang sekali. Mengiba pada ibu untuk mendukungnya. Bersumpah kalau dia nggak bohong, tapi tak ada yang peduli.

Pada akhirnya bukan Kapravda yang diberondong ke kantor Polisi. Anehnya, justru ayahnya yang berengsek lah, yang padahal tak ada di rumah megah itu saat hari kejadian—yang entah datang dari mana—nggak tahu apa kiranya bukti yang dimiliki Penyidik, hingga akhirnya lelaki itu ditetapkan sebagai tersangka atas kematian istrinya. Lalu, harus mendekam lama di penjara.

Kemudian, bagaimana dengan luka Dara? Terabaikan begitu saja. Seolah nggak pernah terjadi. Seakan dialah yang berhalusinasi.

Dan, di sinilah saat ini Dara, masih di bangku Warung  Soto saat suara klakson dari mobil Ko Iyel tahu-tahu membuyarkan seluruh lamunan dan kekalutannya.

Gegas bangkit, Dara melangkah dengan bergunung beban yang jauh amat berkurang. Bagaimana nggak? Hari ini, setelah menunggu 20 tahun, kenyang hidup sebagai pembohong, akhirnya dia baru saja bersaksi untuk menghukum Kapravda. Manusia Setan yang harusnya dihukum lebih awal. Dan, semuanya ... berkat pengorbanan serta pertolongan Miko.

"Feels better?" sambut Ko Iyel ketika Dara sedang memasang seatbelt.

"Seandainya, Abang bangun it's way better. Gimana pun, aku ada hutang ngomong makasih." Dara mengukir satu senyum getir. "Abang ... beneran bisa bangun lagi kan, Ko?"

Sayangnya, Dara tak bisa mendengar jawabannya dari Ko Iyel. Sebab, ponselnya keburu berbunyi. Suara Mama Asmita yang menahan tangis tedengar ketika Dara menempelkan handphone-nya di sisi telinga.

Dan, Dara ....

Perempuan itu hanya mematung diam. Bahkan, ketika suara Mama tak terdengar lagi dari ujung sambungan. Bahkan, ketika ponselnya jatuh ke atas pangkuan.

Ko Iyel menegur namanya beberapa kali, tapi Dara cuma menelan ludahnya bak dia sedang dipaksa menelan buah kedondong.

Dara ....

Dari semua ingatan yang dia simpan entah mengapa gelembung ilusinya terbang ke suatu dini hari saat dia dan Miko tengah berjalan pulang sehabis jajan mie tek-tek.

Dara ingat sambil berjalan bersisian, Dara yang mencuri-curi pandangan ke arah wajah Miko menggumamkan tanya, "Kaisar ... Abang nggak mau coba rawat sendiri?"

Miko tak langsung menjawab. Dara memerhatikannya ketika pria itu menyapu langit yang berhias kerlap-kerlip satelit di kejauhan melalui netra sewarna obsidian yang sorotnya terkesan tangguh, tapi rapuh di satu waktu. Ironi!

"Saya ... cuma ingin dia punya hidup normal yang bahagia. Sialannya, saya nggak tahu apakah saya ini mampu kasih kebahagian ke orang lain? Mengingat saya rasanya bahkan udah gagal buat membahagikan banyak orang termasuk ... kamu."

"Bang ...."

Miko menunduk, menyorot wajah Dara masih melalui netranya yang tadi digunakannya untuk mengabsen sepenjuru angkasa.

"Sandara?"

"Hum?"

"Kalau pun nggak bisa selamanya, sekali saja. Ya, seenggaknya sekali saja, saya ingin bisa menciptakan satu kesenangan untuk kamu. Is it possible?"

"Aku ... seneng kok," gumam Dara yang sontak bikin Miko otomatis melipat dahinya, bingung.

Dara menggigit bibirnya, berusaha menahan satu senyumnya ketika memperjelas, "Bisa makan mie tek-tek kayak barusan bareng-bareng sama Abang, aku senang."

Air muka yang Miko pajang tampak meragu. Sehingga Dara cepat-cepat mengimbuhi, "Serius!"

Namun, Miko justru menanggapinya dengan ringan mendengkus. Padahal, begitulah kenyataannya.

Dara ... senang.

Dan, karena dia udah senang, apakah itu berarti satu kali yang Miko niatkan telah lunas? Sehingga dia boleh pergi meninggalkan Dara?

Dara hanya ... ingin Ko Iyel mengebut. Dia ingin segera sampai di rumah sakit.

Itu saja.

***

Actually, di sepanjang cerita ini Sandara sering banget kena panic attack dari gejala yang ringan sampai berat, cuma saya memang belum menjabarkan masalah psikologis apa yang dia alami di Season ini.

Salah satu isu psikologis yang saya putuskan bawa di sini adalah clérambault’s syndrome or most common disebut erotomania. Which is delusional belief. Bahwa satu subjek percaya kalau target/objeknya sangat mencintainya. Madly. Meski, kontak di antara mereka boleh jadi sangatlah minim. Even, objeknya menikah, subjeknya akan tetap menganggap itu tidaklah valid. Karena yang dia sungguh-sungguh percaya bahwa objeknya hanya akan merasa komplit jika bersama dengan dirinya, tidak dengan yang lainnya. Di beberapa kasus subjeknya bahkan bisa sampai melakakukan aksi-aksi kekerasan seperti yang terjadi pada Kapravda. It's all about delusional being loved, not loving. Sebetulnya, lebih umum terjadi pada perempuan. Periodenya bisa in short term atau long term. Dan, tentu dibutuhkan pengobatan dalam pengawasan tenaga profesional. Lebih detailnya bisa baca-baca jurnal internasionalnya sih. Ada banyak ya.

Faktornya? Banyak. Tapi, sebagian besar masalah psikologis ditengarai oleh lingkungan. That's why menciptakan lingkungan yang ramah anak adalah esensial.

I just wanna share some awareness lewat cerita ini. Terhadap kesehatan anak-anak. Karena banyak masalah yang sejatinya timbul dari anak-anak yang terlanjur terluka. Entah fisiknya atau batinnya. Hanya karena mereka anak-anak bukan berarti perasaan mereka tidak valid ya. Semoga selaku orang dewasa kita bisa lebih perhatian pada anak-anak ini. Karena, nanti mereka juga akan dewasa. Jangan sampai mereka menjadi orang dewasa yang banyak lukanya.

Sekali lagi, jika kamu merasa punya masalah psikologis jangan pernah satu kali pun self diagnosis. Pergi ke profesional dan dapatkan jawaban atas masalah tersebut. Luka baik kecil atau besar pantas untuk diobati.

Terima kasih 💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro