Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

66. Kita.

Yang belum ikut sefruit kuis ala-ala masih bisa yes sampai cerita ini tamat pokoknya, masih dibuka.

Mau jawab di sini, di sana, asal jangan di kalbu yes karena eyke tidak bisa tahulah kalo begitcu huhu.

Kinipi kimi bici ciriti ini?

Dah, gitu tok wkwkwk. Betewe, jawabannya pada cihuy-cihuy harum pengalaman yes akyu jadi curiga tidak ada jomlo yang baca cerita ini 😈😭😈

***

"Lo bilang hari ini bakal ke Makau." Kavi yang duduk bertopang kaki, sambil sesekali meniup-niupi kukunya lantas menyuarakan tawa hambar sebelum tak lama dia mengimbuhkan cibiran, "Gagal, ya?"

"Gara-gara lo kan?"

Kali ini satu dengkusan kasar spontan meluncur dari mulut Kavi. Tak hanya itu, urat-urat di wajahnya yang semula kendur pun tampak berbondong bermanuver guna membentuk ekspresi congkak yang amat lawan bicaranya kenali.

"Gue?" Bahkan, intonasinya dalam menekan kata terkesan tak lagi dia sabar-sabari. "Heh, wake up! Kalau bukan berkat bantuan gue, lo nggak bakal bisa dekat sama Savina. Meski kesannya kalian kebetulan kenal di acara KL Marathon, jangan tutup mata kalau gue lah yang udah atur semuanya.

"Lo jelas nggak akan punya kesempatan untuk balik ke Jakarta andai nggak jadi suaminya dan nggak gue tolongin." Dari seberang meja kecil yang memisah duduk di antara mereka, Kavi menudingkan telunjuknya bak ia tengah menuding seonggok sampah tepat ke arah muka lawan bicaranya. "Yang udah membangun latar belakang palsu lo dengan sempurna hingga Savina dan keluarga besarnya yang konglo itu percaya bahwa lo memang sebersih pun sehebat itu, dan bisa mengijinkan lo masuk ke circle mereka adalah gue. Tanpa campur tangan gue, lo pastilah masih jadi kurir yang kerjaannya mindah-mindahin gepokan duit! Lo masilah akan luntang-lantung kayak layangan putus nggak tentu arahnya! Bahkan, lo boleh jadi malah udah sukses dituntut hukuman 20 tahun dan ngebusuk di penjara! Tapi, lihat! Apa yang selama ini selalu terjadi? Lo berasa ada di titik ini karena diri lo sendiri?"

"Lo bilang gue bisa ambil lagi Sandara."

"Siapa yang duga akhirnya dia kawin sama Si Tolol Miko?!"

"Lo bilang jika pun dia sama Miko, dia tetap akan memilih gue karena sejak awal dia memang milik gue."

"Terus?"

"Dia bilang dia nggak suka. Dia ... nggak cinta!"

"Dan, lo percaya?"

"Gue mampu berbuat apa aja untuk Sandara. Selama ini selalu begitu. Selalu. Asal dia nggak terluka, gue turutin apa pun perintahnya. Tapi, lo bahkan kirim orang buat diam-diam lukai dia!"

"Beuh, yang keserempet motor? Gue beneran nggak ada maksud buat bikin lukanya jadi separah itu," bela Kavi.

Namun, lawannya berdebat belum selesai. Pria itu lantas memberondong, "Lo bahkan pakai kendaraan atas nama gue. Biar terbukti gue yang bersalah? Padahal, melukai Sandara jelas-jelas merupakan hal terakhir yang mungkin untuk gue lakuin! Tetapi, demi ngasih makan perasaan dendam lo sendiri terhadap Miko dan Prita, Sandara juga jadi kena!"

"Oke, sorry soal itu. Puas?"

"Lo bilang kalau gue mau kotorin tangan gue untuk singkirkan Prita, maka lo bakal biarin gue bawa pergi Sandara. Lo akan urus Miko! Tapi, apa ini?!"

Tak lagi membalas, Kavi lebih memilih untuk mengamati tangan Kapravda yang dengan kuat saling meremat sampai-sampai urat-urat di sepanjang lengannya terlihat kontras bertonjolan di atas pangkuan. Juga, nggak lupa masih tampak nyatanya jejak-jejak darah yang menempel nyaris di seluruh bagian depan kemeja putihnya.

Ugh! Noda yang mungkin saking buru-buru serta kalutnya dia berlari, dia jadi tak sempat hilangkan atau ganti. Hal super-ceroboh yang otomatis mengingatkan Kavi terhadap sosok Kapravda dalam versi yang jauh lebih muda. Yang secara sembrononya juga melakukan suatu perkara. Kejadiannya tentulah nggak jauh berbeda baik yang hari ini atau pun yang telah berlalu nyaris puluhan tahun lalu. Kejadian yang kala itu terjadi di kediaman orang tuanya, jelas atas seizin Kavi sebelumnya. Kejadian yang ....

"Lo nggak sengaja ngebunuh Miko?" tebak Kavi kemudian. Mengeluarkan kalimat yang sama dengan kalimatnya di masa lalu walau dengan objek yang kini berbeda.

Di depannya, wajah Kapravda masih keruh. Matanya sejak tadi pun nggaklah fokus. Tak heran bila suaranya terdengar meragu ketika mengujar, "Gue nggak tahu. Lukanya parah. Mungkin bakal patah tulang tengkorak, gegar otak, atau justru mati sebelum sampai rumah sakit?"

Mendengar itu Kavi kontan mendesaukan napasnya panjang seolah dengan begitu dia sedang melepas seluruh bebannya, sebelum sesaat berikutnya dia justru memberi satu sesi tepuk tangan meriah, sembari lantas berkomentar, "Good job, dong! Lo bisa bawa Sandara habis ini. Dan, kembali berlari, lanjut sembunyi dengan aman kayak dulu. Apa masalahnya?"

"Masalahnya adalah Sandara nggak mencintai gue! Dia nggak suka gue! Setelah semua yang udah gue korbanin. Setelah semua yang udah gue perbuat demi bisa terus bareng-bareng dia. Gue cuma sayang sama dia! Dia nomor satu di hati dan hidup gue. Dia semesta tunggal gue! Dulu ... dia sayang sama gue. Iya em, seenggaknya, matanya kalau ngelihat gue kayak mengatakan itu. Lo tahu kan? Dia sama sekali nggak jijik. Ya ya ya, dia sayang. G-gue yakin banget! Kalau nggak buat apa coba dia baik sama gue kan? Bahkan, cuma dia yang bisa sebaik itu. Dia peduli. T-tapi ...."

"Heh, Goblok, dengar!" Kavi mencondongkan tubuhnya ke arah Kapravda. Netranya yang menajam telah lekat-lekat menyorot raut wajah milik pria yang selalu begini jika dia baru beres melukai seseorang. Entah itu dulu ketika luka itu dia arahkan untuk pertama kalinya pada ibunya, lalu belum lama ini pada Prita, dan sekarang. Pun, Kavi hanya perlu melakukan tugasnya seperti biasa guna mengembalikan kestabilan emosi pria itu.

Jujur saja, Kapravda bisa dengan drastis tenang jika dia diyakinkan bahwa keinginanya dapat terwujud. Dan, baik dulu atau hari ini Kavi sangatlah paham bahwa keinginan Kapravda tak pernah berubah serta hanya satu.

Oleh sebab itu, bersama kendali tersebut dia dengan piawai mulai bicara secara tegas nan persuasif, "Ingat nggak? Lo dan Sandara ... kalian punya masa lalu yang nggak Miko dan Dara punyai. Percaya deh! Yang pertama akan selalu lebih sulit untuk dilupakan. Lalu, apa? Nggak cinta? Cih! Cinta itu bisa dipupuk lagi nanti!

"Prav, semuanya masihlah berjalan sesuai rencana kita dari awal. Lo bisa milikin Sandara. Lo bisa ke Makau, ke Hainan, ke Lima, atau ke mana pun tempat yang mau lo dan Sandara tuju untuk hidup bersama! Kemudian, di sini apa pun yang lo tinggalkan entah itu Savina atau anak lo, di antara mereka nggak akan ada yang bisa menemukan kalian. Gue janji itu berlaku untuk selamanya. Persis kayak 20 tahun lalu. Gue dan tentu aja Bokap, sanggup buat pastikan itu!"

"Tentu aja kalian harus pastikan! Karena, gimana pun gara-gara Mama mati saat itu Bokap lo akhirnya berhak atas semua warisan yang ada!" Mengingat Ilham Faizan Ghazi dan wanita itu adalah saudara.

Namun, ya apa itu saudara? Kavi dan keluarga boleh jadi tak terlalu memusingkan mengenai maknanya. Asal tujuan yang mereka petakan tercapai, membuang satu-dua orang rasanya udah seperti kebiasaan yang wajar.

Tak heran respons Ilham Kavi sebatas begini, "Hish! Hidup pun belum tentu juga lo ikut dapat bagian kali! Lo kan cuma anak panti asuhan yang dipungut sedari bayi buat pancingan dia dapat anak. Tapi, bukannya beneran hamil dan dapat anak, eh Emak lo malah dapat anak dari suaminya dan cewek lain! Haha!"

"Gue bukan anak panti asuhan yang nggak jelas. Gue anak bokap gue," tandas Kapravda tak terima.

Kavi sendiri hanya berdecak malas. Tak pernah terlalu peduli terhadap pembelaan Kapravda yang terdengar template tersebut. "Percaya aja lo mah! Ya, bodo deh! Ngomong-ngomong soal Bokap lo yang burungnya suka menclok sana-sini itu, dia udah bebas dari tahanan beberapa bulan lalu. Dia juga sempat bikin rusuh sama Nyokapnya Si Dara noh! Mau gue bantu beresin?"

"Gue nggak peduli siapa pun di luar Sandara."

"Oke deh." Bak mengusir debu, Kavi menepuk-nepuk pahanya. "Terserah lo aja sih!" lanjutnya manggut-manggut sembari kembali merilekskan posisi duduknya.

"Lo sendiri mau tetap di sini? Dengan fakta gue lah yang mengeksekusi, lo bisa gampang bebas." Kapravda yang sesuai dugaan Kavi mampu ditenangkan dengan mudahnya melalui kalimat-kalimat motivasi terlebih bila dia mulai mengingatkannya kembali pada konteks semisal 'masa lalu yang dimilikinya bareng Sandara', tampak udah lebih santai ketika memutar arah pandangnya ke seisi ruang klinik yang belum kunjung Kavi tinggalkan.

Serta, ya, lagi-lagi Kavi mengeluarkan dengkusan kasarnya. "Lebih gampang di sini lah. Nggak ada yang nyorot secara berlebihan. Toh, gue tetep bisa main golf sesering yang gue mau. Main billiard dengan lawan yang bisa capcipcup gue pilih, makan sushi dan sashimi, masih bisa jalananin segalanya leluasa dari sini. Dan, paling penting gue bisa bikin anaknya Si Prita menderita digunjing nyampe mampus!" Lalu, Kavi pun tertawa. Bahkan, hingga ngakak-ngakak. Dia baru berhenti untuk tiba-tiba mengujar, "Anyway, gue penasaran apa yang terjadi sama Si Tolol Miko? Meski sedikit mengecewakan karena pembalasannya harus semudah ini, tapi moga aja dia beneran modar deh!"

***

Lalu, duduk di salah satu bangku ruang tunggu, bagi Dara waktu serasa melambat. Satu detik yang biasa berlalu dalam sekejapan mata, saat ini tiba-tiba bergerak layaknya seekor siput. Yang kendati dia melaju, tapi toh sama sekali tak terasa bukti lajunya.

Perempuan yang terus setia berlindung dalam rangkulan erat Mama Asmita, dia tiada henti-hentinya mengeja nama Tuhan di dalam hatinya. Berdoa, meminta tolong, segalanya.

Satu jam lebih tiga puluh menit udah terlewati semenjak saat terakhir dia melihat Miko yang dibawa masuk untuk menjalani operasi besar di kepalanya—ugh, entah apa tadi diagnosis yang disampaikan oleh Tim Dokter, Dara terlampau mengawang untuk menyimak. Namun, ya hingga detik ini tak juga ada berita baik yang datang. Dara rasanya udah begitu tak sabar.

Pun, di sela ketidak sabarannya itu, dia diam-diam terus berjuang menahan seluruh hal. Termasuk perutnya yang terasa teraduk sedari dia ikut memasuki ambulans dan menginjak kawasan rumah sakit. Kendati, sesekali di matanya pemandangan tahu-tahu mengabur bagai kaca yang berembun, serta berganti menjadi bayang-bayang lendir darah yang mengalir, dan berdebur tak ubahnya ombak di lautan, OGH!

Dara berkali-kali menggelengkan kepalanya. Berupaya mengusir semua bayang-bayang mengerikan itu. Namun, makin lama anehnya bukannya pergi dia justru membawa bau besi karatan yang serasa menyentuh ujung lubang hidung Dara dan bikin tambah mual saja.

Terlebih ketika telinga Dara mulai sayup-sayup mendengar bunyi-bunyi sumbang ini:

"Dara ...?" Bukan Miko. Bukan pula Mama Asmita yang tadi grasa-grusu diteleponnya untuk datang. Bukan juga Ko Iyel yang suka membantunya memperoleh kewarasan kembali.

"Sandara?" Itu suara panggilan dari masa lalunya—tepatnya, alam bawah sadarnya.

Mata Dara yang terbuka sontak nanar. Keringat yang dibekalnya dari perjalanan yang awalnya mulai perlahan mengering, lagi-lagi timbul deras di punggungnya. Napasnya juga tak lagi terembus teratur. Saat tiba-tiba telinganya justru menggemakan derap langkah kaki di atas lantai yang mendekat, Dara otomatis bersikap waspada.

Hingga bak letupan petir yang ujug-ujug hadir, dia menadahi desisan mengagetkan ini, "Nah, di sini kamu rupanya!" Satu wajah mengiringi muncul di hadapannya, membuat jantung Dara kian mencelus hampir copot bahkan. Dan, dia nggak mengerti apa yang harus dia lakukan sebab, rasanya udah sangat terlambat untuk mengelak ketika dua kakinya yang dia peluk erat-erat di bawah meja, tiba-tiba ditarik secara kasar hingga membuatnya jatuh terpelanting dan melonglong berteriak untuk mendengar sapaan cemas ini sesaat berikutnya:

"Ra ...?" Wajah dari masa lalunya kontan lenyap. Berganti dengan sosok Mama Asmita yang tengah menangkup rahangnya lembut melalui jari-jemarinya yang hangat kala bergesekkan dengan kulit beku Dara. Tak berhenti di sana, seolah paham apa yang Dara butuhkan, Mama lanjut membisik di tepi telinga Dara hingga rasanya menembus seluruh rongga tubuhnya termasuk hatinya yang lama mengarat, "Everything will be okay, Sayang."

Bukan kata 'okay' yang biasanya. Karena, yang mengucapkannya bukanlah Dara sendiri, melainkan seseorang yang tiada ragu untuk menerima Dara dalam dekapannya. Membiarkan Dara menghidu aroma segar Mama yang tak kalah menenangkannya dengan wangi lautan milik Miko.

Sehingga atas bentuk dukungan tersebut, Dara terdorong untuk berani memanggil, "Ma?" Biar pun pada akhirnya suaranya sedikit teredam di bahu Mama.

"Kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" tanggap Mama yang ternyata bisa menjaring cicitan tersebut.

Dan, ya jawabannya, ada. Hati Dara sakit. Bukan hanya karena dia dipaksa untuk melihat kembali salah satu masa lalu terburuknya. Tetapi, juga ... Miko.

Ya, Miko.

"Maafin aku karena aku, Abang ...." Dara kesulitan menyempurnakan kalimatnya. Namun, Mama agaknya bahkan mengerti walau tanpa Dara lancar bicara.

Mama Asmita mengelus surainya secara hati-hati sambil berujar melalui nadanya yang tiada jemunya menenangkan, "Yang paling penting, Dara nggak papa, ya? Miko bahkan pernah luka lebih dari ini waktu kecil. Dia kuat kok. Dia pasti bisa bertahan. Dan, kita pasti bisa lewatin ini." Tak hanya Dara, Mama juga sepertinya berniat menyakinkan dirinya sendiri.

Lalu, ya kita, bukan hanya Dara. Mama baru saja mengatakan 'kita'. Nggak harus lagi Dara sendiri yang sibuk jatuh pun tertatih layaknya yang selama ini dia jalani. Jujur, bila pun kalimat itu semata diumbarkan sebagai bahan hiburan, tapi Dara tak akan denial. Dia betulan seakan baru saja menemukan mata air di lahan gersang. Mata air yang telah lama dicari-carinya.

"Ma?" gumam Dara, lagi. Kali ini bersama nadanya yang lebih jelas.

Membikin Mama menyahut tak kalah tegasnya, "Iya, Sayang?"

"Makasih udah percaya aku." Saat dulu tak ada satu orang pun yang mau mendengarnya bahkan ibu.

Dara lega karena Mama yang padahal ditemuinya belakangan ternyata mau melakukannya. Bahkan, tanpa Dara perlu banyak berusaha.

Meski, Dara nggak tahu apakah setelah mendengar penjelasannya tentang segalanya yang berkaitan dengan masa lalu menjijikannya yang dia ucap dengan tak jelas tadi Mama paham atau nggak. Atau apakah beliau jadi kecewa padanya sebab dia tak terbuka sedari awal, atau ....

"Orang itu harus mempertanggungjawabkan semuanya. Nggak hanya karena dia udah bikin Miko seperti ini, tapi utamanya juga karena dia udah sangat jahatnya melukai Dara yang waktu itu masih kecil. Kita bisa lalu ini ya, Sayang? Bareng-bareng. Mama sayang banget sama Dara. Tahu kan? Jangan ngerasa sendirian! Dara bisa selamanya pegang tangan Mama, hm?"

Dara tak lagi kuasa merangkai kata. Yang dia sadari cuma dia yang bergerak guna membalas pelukan Mama kian erat layaknya akar pohon yang mencengkeram tanah. Netranya pun tak mau diam, mereka sekilas berlari ke arah Maula yang juga hadir bersama-sama Mama, yang kini tampak sedang berdiri sambil memberinya satu senyum simpul menenangkan. Bahkan, juga Papa yang masih duduk di kejauhan beliau sempat tertangkap memberi senyum penuh support beberapa kali.

Segalanya harusnya lebih baik.

Dara hendak mulai percaya.

Sebelum tiba-tiba pintu ruang operasi Miko terbuka lebar. Tapi, lampu indikatornya tak berubah warna. Tak lama, justru beberapa dokter dari luar mulai berlarian masuk. Tapi, tak ada satu pun yang mengajak mereka bicara.

Papa agaknya udah tak mampu duduk lagi. Beliau telah berdiri sambil memakukan pandangan lurus-lurus ke ruang operasi. Maula yang tak terlalu jauh jaraknya dari posisi Papa juga ikut melongok-longokkan kepala bersama netranya yang mulai berkaca-kaca. Lalu, Mama yang lengannya masih merangkul Dara ....

Dara merasakannya. Air mata yang jatuh menyentuh pundaknya ketika sebuah suara mesin yang memekakan telinga layaknya suara lonceng yang datang berdentang dalam kesepian gereja rembes keluar dari celah pintu.

Dara menggelengkan kepalanya.

Bukan.

Ya, bukan takdir ini yang dia inginkan.

"Nggak. Abang ...."

Kita yang Mama Asmita sebut, harusnya Miko masuk ke dalamnya juga kan?

Namun, suara mesin yang konstan dan nyaring itu ....

Apa kah itu suara perpisahan Miko? Sungguhkah? Nggakkah Tuhan mendengar doa Dara?

"Abang ...."

... jangan pergi, kata yang bahkan hanya mampu Dara sempurnakan dalam hati.

Hatinya yang sakit sekali.

Karena, apakah ini yang dinamakan kehilangan? Dara belum pernah mengalaminya. Dan, realitasnya, rasanya dunia mendadak meredup. Hanya hitam dan putih saja. Suara ... lambat-laun bahkan bak mengabur. Seakan seluruhnya tersedot oleh lubang besar di atmosfer.

Ini ....

Apakah begini yang dirasakan Miko saat kehilangan Prita?

Kenapa kini Dara seolah sedang merasakan hal yang sama?

Dia ... nggak ingin menjumpai suara berdenging itu. Satu-satunya yang Dara ingin dengar cuma suara yang bersumber dari mulut Miko. Seenggaknya untuk mengucap:

"Hai, Sandara?"

Tak ubahnya dalam pertemuan mereka di VER tiga tahun lalu. Ketika untuk pertama kalinya laki-laki itu mengucap namanya di sela senyuman.

Jika memang benar Dara harus kehilangan Miko hari ini, tentu akan lebih baik jika Dara tak pernah menemukannya sedari awal.

***

Yang belum baca POV Bwang Mikooh mana suaranya? Yakin nggak ingin baca nih? Selain alay doi bisa menyingkap tabir surya loh hoho.

Yakin tydack ingin memiliki yang gemas ini? Kamu berkesempatan mendapatkannya juga melalui kuis tipis-tipis itu loh
😭😈😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro