62. Maaf.
Miko sedang melarutkan sesendok madu ke dalam cangkir berisi chamomile tea yang telah disiramnya menggunakan air panas sewaktu Mama Asmita tahu-tahu datang untuk menyejajarinya berdiri di sekitaran meja counter dapur.
"Dara agak diam. Kamu ngelakuin kesalahan, ya?" Ugh, bahkan caranya menembak terdengar begitu tiba-tiba. Tipikal Mama Asmita sekali!
Sayangnya, Miko jelas telah bersiap. Sejak dia membawa Dara yang tak lagi banyak bicara dari halaman gereja hingga tiba di kamar dan tak keluar-keluar lagi—uh, perempuan itu bahkan absen ikut makan malam keluarga untuk pertama kalinya dan membikin Mbah Nung tadi justru sempat sok malu-malu nyari—Miko tahu, kendati Maula mungkin nggak ada cerita mengenai apa yang terjadi kepada orang rumah. Namun, ya Dara malam ini memang sedikit lain dari Dara yang biasanya mereka kenal.
Pun, dibanding menebak ada masalah di kantor, Mama Asmita langsung saja secara to the point menuding Miko sebagai penyebabnya. Sesuatu yang sebetulnya tak di luar dugaan atau pun keliru. Miko memanglah salah seorang yang harus bertanggung jawab. Sehingga Miko sama sekali tak terdengar terkejut saat akhirnya memutuskan guna membalas pendek, "Hm."
"Hm-hm-hm! Minta maaf!"
"Hm."
"Hm lagi lho ya kayak orang sakit gigi aja kamu!" Mama Asmita berdecak-decak. "Jangan suka bikin masalah larut-larut ah! Kalau sadar udah bikin salah harus cepat minta maaf. Meski kedengarannya simple dan nggak bisa mengubah apa yang udah terjadi, tapi kadang itu bisa mengubah apa yang akan terjadi."
"Katanya, manusia forgive but do not forget?"
"Makanya, selain maaf pakai mulut dan kata-kata harus minta maaf juga dengan hati dan action yang nyata."
"Kalau pun kesalahannya besar, bisa dimaafin?"
"Tugas orang yang bersalah itu menyesalinya lalu berubah jadi versi yang lebih baik bukan mikirin mau dimaafin atau nggak!" balas Mama Asmita telak yang seketika membuat mulut Miko refleks terbungkam. "Omong-omong kamu nggak sedih?" Mama lantas terlihat bergeser ke depan lemari pendingin, membukanya entah untuk mengambil apa.
Berhenti mengaduk tehnya yang tentulah telah tercampur rata, Miko kontan membalasinya melalui gumaman bingung, "Sedih?"
"Soal Prita? Berbulan-bulan kamu masih suka kayak cacing kepanasan kalau menyangkut dia. Kapan hari Mama masih ingat lho gimana kamu kayak kesurupan setan satu kompleks waktu kita bahas soal rumah, eh tahu-tahu kamu toh bawa Sandara tinggal di sana. Sekarang, Prita udah pergi. Serius kamu ngerasa biasa aja?"
"Sedih." Masih berbekalkan satu kata yang sama, tapi kali ini Miko mengutarakannya dengan intonasi yang terdengar agak sepah. "Tapi, sedih pun toh nggak akan bisa bikin sesuatu yang pergi balik. Terlebih, sesuatu yang bukan punyaku kan?"
"Itu kamu ngerti! Kenapa nggak dari dulu-dulu coba?" timpal Mama Asmita.
"Hm?"
"Jangan sampai kehilangan yang kamu miliki. Sedih dan sakitnya akan terasa jauh lebih besar lagi." Mendengarnya Miko hanya tersenyum getir.
"Aku mungkin memang udah kehilangan?" timpalnya kemudian.
"Terus nyerah? Semudah itu? Usaha dong supaya nggak kehilangan!"
Tangan Mama kemudian menaruh dua potong red velvet yang beliau ambil dari kulkas ke atas piring kecil. Red velvet yang spontan bikin Miko teringat pada suatu hari Minggu di mana sejak subuh Dara udah sibuk sekali di dapur apartemen yang mereka tinggali. Suatu hari yang dia jalani dengan sungguh-sungguh untuk bikin seloyang red velvet yang dia niatkan sebagai hadiah di perayaan ulang tahun pernikahan Mama dan Papa. Tetapi, Miko bahkan telah melenyapkan harapan itu. Harapannya yang padahal cuma sesederhana itu. Lalu, usaha supaya nggak kehilangan? Terlalu melunjak sekali rasanya!
"Tahu kenapa Sandara?"
Miko menoleh tepat ketika Mama sedang balik memandanginya. "Karena, Mama suka? Karena, dia bantuin Mama di salah satu situasi terburuk Mama?" Atau ya, setahu Miko itulah alasannya. Karena bagi Mama, Dara gadis yang luar biasa baik. Dara adalah seseorang yang mampu mengesankannya. Membuat Mama jatuh cinta dengan segala pesonanya.
"Bukan tentang Mama, tapi tentang kamu."
"Aku?"
Mama terdengar menghela napasnya pendek, sebelum berikutnya mengujar dengan nadanya yang luar biasa tenang bak suara siraman rohani, "Karena, Dara punya sesuatu yang bisa melengkapi kamu. Kamu suka nge-gas terus, kamu butuh rem. Dan, Dara mampu jadi itu. Kamu gersang. Sering kali kamu butuh disiram oleh tetes-tetes hujan. Dan, Dara bisa berikan itu. Dia kadang adalah kebalikannya dari kamu. Lalu, karena dia sanggup berikan hal-hal berharga itu, Mama kenalkan kamu sama Dara supaya kamu juga bisa berikan hal yang sama berharganya. Mama dulu berharap kamu bisa cintai dia sebesar itu. Supaya dia nggak hanya punya senyum yang begitu indah di mulutnya, tapi juga ... di hatinya."
"Ma?"
Mama Asmita mengangkat matanya. Seolah dengan gerakan itu dia bisa menahan air mata yang mungkin telah bersiap jatuh.
"Sandara akan selalu jadi kesayangan Mama?" ujar Miko.
"Dia putri bungsu Mama. Keluarga Mama. Selamanya, Dara tentu akan jadi kesayangan Mama." Meski, benar suaranya mulai terdengar serak, nyatanya Miko tetap mendengar getar ketulusan dari statement tersebut.
"Kalau aku?"
Mama Asmita merengut, tapi matanya yang memerah tetap berbinar seolah ingin memberi tahu pada Miko kalau-kalau selama ini dia lupa bahwa memiliki keluarga ini adalah berkat tak terhingga yang telah Tuhan anugerahkan.
"Udah gih ntar tehnya dingin. Buat Sandara kan? Kalau susah tidur jangan cuman dilihatin, tapi diusap-usap! Masa gitu doang masih harus diajarin sih? Umur doang tua bangka!"
"Ma, come on!"
Kini giliran Miko yang memutar kedua bola matanya jengah sembari berlalu dari sana dengan membawa satu nampan bermuatan teh serta kue. Untuk kemudian, menemukan Sandara yang sebelumnya tampak duduk sambil memandangi sesuatu di kejauhan dari balik jendela kini telah jatuh tertidur, meringkuk di ranjang mereka.
***
Miko baru tidur ketika dia merasakan sesuatu tiba-tiba mencolek-colek ringan lengannya di tengah malam atau malah hari udah pagi? Oh, entahlah!
Namun, sebab, di kamar tak hanya ada dia, tapi juga Sandara. Maka, Miko cukup yakin sih bahwa pelakunya bukanlah hantu.
Netranya baru berubah jadi segaris sewaktu telinganya mulai mendengar bisik-bisik serak ini, "Pengen mie tek tek goreng."
Miko menguap lebar, tetapi toh dia tetap menyempatkan melirik jam di dinding sebelum mengujar, "Serius? Di jam 2 pagi?"
"Pengen nyium aroma smoky-nya."
"Kamu ngidam?" balas Miko asal yang bikin Dara sontak mendengkus gemas.
"Dari siang aku belum makan. Aku lapar. Di depan ada tukang gerobakan yang mangkal. Dia suka buka nyampe jam 4 pagi," terang Dara menggunakan suaranya yang entah mengapa terdengar telah seceria biasanya.
"Kamu mau saya beli?" Kali ini tak sekadar segaris, sepasang mata Miko udah sukses secara sempurna terbuka. Oh, dia bahkan udah tak lagi merebahkan tubuhnya di kasur. Miko tanpa ada tendensi ogah-ogahan telah mendudukan dirinya dengan tegap nan sempurna sehingga detik itu bila Dara mengiyakan pertanyaannya, dia mungkin akan langsung berlari mencari.
Namun, ya sekali lagi Dara tuh tak ubahnya petasan. Dia kerap mengeluarkan ledakan yang terkadang tak diduga-duga termasuk keputusannya yang satu ini, "Nggak. Kita belinya sama-sama aja."
Kendati masih dengan separuh nyawanya, sebelum mereka benar-benar meninggalkan rumah Mama yang telah gelap nan sepi, Miko tetap memastikan Dara keluar berbalut jaket tebal dan di saku Miko udah bersemayam dompet lengkap dengan uangnya, tentu saja!
Walau pun beli sama-sama merupakan sesuatu yang awalnya Miko pikir enggaklah praktis. Tetapi, ya Sandara selalu membawa penuh kejutan, anyway. Realitasnya benar apa yang gadis itu katakan. Di depan kompleks perumahan Mama ada tukang nasi sekaligus mie goreng gerobak yang mangkal. Padahal, seingat Miko nggak ada loh. Pria itu sering kali pulang-pergi di jam-jam kalong rasanya nggak pernah tuh dia sekali pun ada melihat, atau memang dianya saja yang jarang merhatiin?
Oh, entahlah!
Dara udah duduk di salah satu bangku plastik yang di sekitarnya tampak segelintir orang sibuk makan sambil bertukar obrolan. Perempuan itu meniup-niup teh hangat tawar yang belum lama ini dihidangkan sembari menunggu mie pesanannya matang digoreng.
Dan, ya biar pun dini hari ini dingin, tapi entah mengapa terasa lumayan hangat di sana. Mungkin karena kompor yang tiada henti menyala? Menerbangkan wangi gurih sekaligus harum-harum asap yang khas?
"Kamu pernah makan di sini sebelumnya?" Miko bertanya selepas pandangannya kenyang mengamati mie yang dibolak-balik dalam kuali super-lebar tepat di atas nyala api yang kiranya sanggup membakar hangus manusia-manusia berdosa saking besarnya.
"Kapan hari Maula pernah ngajakin cuman karena bukanya udah larut dan dia sibuk belakangan soal Ezio. Jadi, belum sempat sih."
"So, it's your first time?"
Dara mengangguk. "Huum. Kalau dipikir-pikir ya Bang first time aku banyak banget perasaan yang ada Abangnya." Kemudian, dia terkekeh riang bersamaan dengan terhidangnya dua piring mie goreng yang masih mengepulkan uap-uap halus di atas meja mereka.
Miko mengamatinya saat Dara mengucapkan terima kasih bersama matanya yang berpendar memandangi mie yang dia inginkan. Akan begitukah selalu saat dirinya memperoleh semua yang dia mau? Betapa luar biasa indahnya.
"Hmm, beyond expectation banget sih ini!" puji Dara begitu mulutnya yang sempat penuh tahu-tahu dengan cepat telah kembali kosong dan melengkung tersenyum saat berhasil menelan seluruh suapan pertamanya. "Abang mau coba nggak? Punya aku lebih pedes dan enak bangeet!"
"Nggak. Saya nggak begitu suka pedas."
"Hm, Abang mah sukanya yang hambar-hambar, ya?" komentar Dara mencela.
"Bukan hambar, itu tuh sehat. Buktinya, sampai setua ini saya nggak pernah punya masalah maag!"
"Hilih hilih!" dengkus Dara yang langsung lanjut lagi makan. Agaknya, gadis itu sungguh-sungguh sangat kelaparan! Oh, jelas dia bahkan menahannya sedari siang!
"So, kamu sendiri selain pedas suka apa lagi? Jadi PA karena kamu emang suka juga?" ajak Miko mengobrol di sela-sela hadirnya sayup-sayup bunyi desisan minyak yang dituang dalam kuali.
Dara meletakkan siku kanannya yang tertekuk di meja. Sejenak dia terlihat memutar-mutar garpunya yang terselip di antara jari-jemari ke udara saat pelan-pelan menyahut, "Lebih ke karena aku nggak kompeten di bidang lain sih. Aku cuma percaya diri untuk bantu-bantu. Bahkan, jadi PA pun aku masih suka lemot!"
"Tapi, Rega betah tuh," Miko mengatakannya sembari mengambil suapan pertama dari piringnya.
"Itu karena aku yang paling tahan denger omelannya!"
Masih bersama mie dalam mulutnya, Miko samar terkekeh. "Masa sih? Tapi, kamu lumayan loh."
"Lumayan buat digodain kalau ada rapat?" timpal perempuan itu enteng.
"Sering digodain memang?"
"Pas belum nikah lumayan sih hampir tiap meeting di luar."
"Hampir tiap meeting?" Miko nyaris melotot. "Siapa?"
"Kalau aku bilang Abang mau tonjok orang-orangnya?"
"Nggaklah. Paling saya kempesin ban mobilnya."
"Dasar!" dengkus Dara geli seraya kembali menyuap penuh-penuh mie miliknya. "Tapi, sekarang tinggal kasih lihat cincin di jari aku dan sebut nama Abang semua langsung mundur teratur sih." Mulut Dara masih tampak menggembung lucu sewaktu mengakuinya.
"Saya baru tahu kalau nama saya lebih nyerimin dari racun tikus," tandas Miko.
"Abang kan beken tahu!"
"Kamu loh ya yang bilang bukan saya yang ngaku-ngaku." Dara refleks tertawa rendah. Tawa yang bikin Miko ingin mengatakan sesuatu. Dan, benar saja pria itu langsung memulainya melalui, "Anyway, Sandara?"
"Hum?" Dara baru beres menandaskan teh tawarnya begitu suaranya yang lembut datang menyahut.
Miko lurus-lurus menatapi wajah Dara yang entah efek lampu di sana yang kekuningan atau cahaya api dari gerobak yang rembes di belakang punggung Dara, tapi wajahnya sungguh tampak merah muda di mata Miko. Yang bila disentuh mungkin akan terasa hangat.
Entah karena melihat hal itu atau didorong oleh alasan lainnya. Yang pasti suara Miko terdengar melembut begitu menukas kalimat ini, "Jangan merasa sendiri, ya? Kamu punya Ibu. Punya Mama, Papa, Maula, lalu meski galak kamu juga punya Mbah Nung. Ah, tadi Mbah nyariin kamu loh."
"Masa?" Miko mengangguk. "Keren! Terus, aku punya Abang juga nggak?"
"Ya, tentu. Saya kan suami kamu. Kita semua ... keluarga." Miko melampirinya dengan satu senyum tipis. "So, sekarang habisin makanannya. Biar nggak sakit!"
"Andai sakit yang lain bisa hilang juga dengan makan ya, Bang?" gumam Dara yang masih terlalu nyaring untuk sanggup Miko dengar.
Sehingga tak berselang lama, pria itu pun membalasi, "Mungkin memang nggak akan hilang cuma dengan makan. Tapi, seenggaknya dengan makan kamu akan punya kekuatan untuk hidup sehari lagi dan sehari lagi hingga nggak ada satu pun orang yang mampu menghentikan kamu untuk terus menjalani hidup yang adalah milik kamu sendiri."
"Uh, yang ngasih nasihat barusan ternyata adalah orang yang suka susah makan kalau lagi banyak pikiran loh!"
Miko lagi-lagi terkekeh dini hari ini. Di susul oleh Dara yang bak tertular. Sampai-sampai membikin sosoknya tak lagi tampak seperti Dara yang tadi sebelum tidur Miko temukan duduk sambil melamun di depan jendela.
Namun, legakah Miko mendapati perubahan ini?
Sayangnya, enggak. Dia justru semakin khawatir. Tentang luka yang selama ini Dara tahan dan derita.
Luka yang membuat Miko rasanya ingin segera ikut menumpasnya.
"Bang?"
"Ya?"
"Makasih udah bawa aku ... pulang."
Dan, ya di bawah meja tanpa banyak bicara kaki mereka yang hanya dibalut sandal rumahan bagian jari-jemarinya pun sesekali terayun untuk saling menyenggol.
Andai, segalanya dapat berakhir dengan sederhana dan semanis itu saja.
***
Kami kembali. Ada yang udah ngintip POV Miko di sebelah? Alay belum? Masih ada yang lebih alay khususnya di Season 2 😭
Terima kasih udah bersabar membaca cerita ini ya. Kamu kereenn deh pokoknya 💜💜💜
Season 2 versi digital kapan, Sim? Mungkin sekitar Januari ya.
Ya memang alay 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro