55. Debat.
Perempuan-perempuan di sekeliling Miko sangatlah drama. Mama, Mbah Nung, Maula. Tiga kombo so extra yang nggak pernah gagal bikin hari-hari Miko mendadak lawak kayak The Big Bang Theory, mumetin macam Criminal Minds, atau bahkan njelimet ibarat petualangan Dora the Explorer. Miko katakanlah udah sangat kenyang mengurusi segala tetek-bengek ke-absurd-an yang sering kali diciptakan oleh perempuan-perempuan setipe itu. Yang dikit-dikit emosi. Debat bentar marah-marah bagai sapi yang keseringan diperah. Habis itu nangis-nangis deh dengan sangat nggak jelasnya. Hih!
Oleh sebab itu, begitu dia bertemu Prita yang dari nada suaranya ketika bicara saja terdengar amat tegas serta nir-keragu-raguan, entah mengapa segalanya terasa menjadi sungguh menyegarkan. Bersama Prita nggak ada masalah yang tak selesai melalui duduk dan bicara. Bahkan, kemarahan Prita selalu coherent. Nggak yang cuma diada-adakan untuk cari-cari perhatian macam Maula, misalnya.
Prita adalah pribadi super-rasional yang datang sewaktu hidup Miko telah diluberi oleh hal-hal berbau irasional. Menemukan Prita udah seperti menjumpai iring-iringan ikan kaca di kedalaman 25 meter di bawah laut, selepas Miko jemu melihati ikan dengan warna-warna pelangi di kedangkalan.
Lalu, berbeda dengan perempuan kebanyakan, anehnya Prita juga sangat jarang menangis. Miko sangat menyukai sorotan tajam matanya yang seolah tak kenal bersedih. Hingga begitu saja takdir yang dilatari oleh ketololannya justru mengantarkan Miko untuk turut serta mengubah segalanya yang ada di hidup Prita.
Ah, bukan saja Prita sih, tapi hidup mereka semua yang dia tarik secara kejam ke dalam kemelut ini.
Miko yang hanya mampu mendesahkan lesah napasnya untuk ke sekian kali, akhirnya kembali melempar telusurannya ke arah sebuah daun pintu sewarna porselen yang ajeg tertutup.
Jujur, Miko telah mempersiapkan dirinya. Layaknya dia yang mungkin saja akan Tuhan garang di neraka, Miko siap untuk dikatai. Jika pun harus dipukuli dia juga tak akan menghindar. Sebab, dia tahu sebesar apa kesalahannya. Sememalukan apa dosa yang telah dia torehkan. Jika pun dia tak dapat pengampunan, maka Miko bisa memaklumi itu.
Namun tadi, seusai mendengarnya bicara Dara hanya bertahan diam, sebelum sejurus kemudian malah berkata, "Bentar ya, Bang?"
Kemudian sosoknya berjalan ke arah kamar.
Miko pikir, seenggaknya Dara butuh membawa bantal untuk menggebukinya atau kalau perlu sekalian selimut untuk melilit lehernya. Akan tetapi faktanya?
Satu jam setelah perempuan itu tak juga kunjung kembali, Miko sempat mengetuk pintu kamar yang ternyata dibiarkan tak terkunci. Begitu dia memutuskan merangsek masuk kendati tak ada yang menyahuti, dia langsung disambut oleh sosok Sandara yang tertidur sambil memiringkan tubuh membelakanginya.
Miko mengamatinya hampir-hampir lima menit. Namun, sama sekali tak tampak pemandangan berupa bahu yang berguncang, tak pula ada suara tangis yang tergugu-gugu, atau napas yang tercekat memilukan. Perempuan itu ... benar-benar jatuh tertidur.
Dan, Miko ... entah dia harus bereaksi bagaimana kiranya? Legakah karena dia tak jadi dihakimi? Atau ....
Tunggu! Ini bahkan udah lewat hampir lima jam lho. Benarkah Sandara itu cuma tidur? Semudah itu? Sungguh?!
Jangan-jangan ....
Netra Miko spontan membeliak ketika sekelumit asumsi melintas liar dalam benaknya. Dia baru saja bergegas bangkit dari stool yang dia duduki di bar dekat kamar, sewaktu bunyi pintu yang berderit lebih dulu menyela terdengar di tengah kesunyian malam.
Serta, di sana dari poros pintu yang sejenak lalu terkuak, sosok Dara yang tampak baru membasuh wajahnya terlihat melangkah santai untuk kemudian mengambil tempat guna mengempaskan dirinya pada kursi di samping kiri Miko.
Sementara itu, Miko sendiri tak sedetik pun melepas Dara dari sergapan matanya. Dia yang mau tak mau menarik lagi bokongnya demi menempel di kursi tanpa henti mengintai melalui tatapan yang saking tajamnya, rasanya sanggup untuk membolongi. Huh, untung saja gelas yang diisi air oleh Dara tak lantas pecah gara-gara tatapan itu. Sehingga Dara dapat meneguknya minus secuil pun tendensi grasa-grusu.
Bahkan gerakkannya ketika meletakkan kembali gelasnya yang sisa separuh ke atas meja terkesan sangat teratur. Tak heran bila suaranya pun bisa amat terukur kala mencetus ini secara tiba-tiba, "Sekarang, aku yakin aku nggak lagi mimpi."
Miko masih intens menebar afeksi pada tangan Dara yang kini beralih untuk menggoyang-goyangkan gelasnya, mencipta riak-riak gelombang layaknya arus lautan yang hari ini sempat mereka arungi.
"Walau pun ya jujur, aku sempat kira ini cuma akal-akalan Abang sih." Ada jeda singkat, tangan itu juga berhenti bergerak. Pun, bagai orang dungu Miko mendadak tak berani menggeser tatapannya terlebih untuk memandangi wajah lawannya bicara.
Hingga tak seberapa lama Dara menyambung melalui nadanya yang meneduhkan, "Gimana pun situasinya bisa dibilang sekarang udah jauh lebih terkendali kan? Gosip soal Abang udah reda. Mbak Prita udah melahirkan. Orang tuanya mungkin juga udah tahu soal kekerasan yang sering suaminya lakukan. Mereka mungkin bakal segera pisah. Jadi, Abang ngarang begini supaya aku minta pisah juga kan?" Satu helaan napas pendek keluar tepat sebelum Dara mengimbuhkan, "Tapi, aku lalu sadar bahwa situasinya jelas nggak selucu itu untuk dijadiin bercandaan. So, sejak kapan Abang tahu soal Kaisar?"
To be honest, Miko nggak ada menyangka mengenai ini. Maksudnya, reaksi Dara. Okay, Dara nggak memukulinya. Boleh jadi karena perempuan itu enggaklah segolongan dengan Maula yang anarkis. Tapi, menyebut satu nama yang layaknya bom atom dengan seramah itu? Sandara, seriously? Apakah dia ini beneran normal?!
Melarikkan matanya dari tangan Dara menuju wajahnya yang terlihat segar meski dini hari telah sukses menyapa, Miko sama sekali enggak paham dengan apa yang mendadak dia rasakan. Dia bahkan cuma mampu mengeluarkan sebaris balasan super-lirih, "Sejak Prita mengaku hamil."
"Dan, sejak kapan tepatnya itu?" Auh, daun jatuh pun boleh jadi akan kalah tenangnya bila diadu dengan suara Dara ketika mengujarkanya.
Alis Miko sampai-sampai sempat sedikit mengerut keheranan, tapi toh dia tetap jujur menjawab, "Sebulan."
"Sebulan?"
"Satu bulan setelah pernikahan saya dan kamu. Saat kandungan Prita menginjak usia dua puluh dua minggu."
Ah, itu tak lama berselang dari kunjungan Miko menemui Ibu di Semarang. Kunjungan yang agaknya mencipta sebuah kesan yang dalam bagi perempuan yang telah melahirkan Dara. Kunjungan yang ....
"Itu ... akan lebih baik kalau Abang tahu lebih awal," gumam Dara kemudian, yang nyatanya sama sekali tak sanggup Miko sahuti.
Hingga pangkalnya di antara mereka cuma terdengar suara hela napas masing-masing, samarnya bunyi jarum jam yang berputar, serta ombak di kejauhan.
Menentramkan andai segalanya berjalan dengan senormalnya liburan. Sayangnya ....
"Boleh aku tanya beberapa hal ke Abang?" tukas Dara, kali ini sembari menoleh ke arah Miko.
Dan, apa ini gerangan? Kenapa pembicaraan mereka bisa sekalem ini? Come on! Miko baru saja menjatuhkan bom!
For heaven's sake! Mamanya, Mbah Nung, atau bahkan Maula mungkin akan langsung kompak bergelimpangan pingsan setelah terlebih dahulu memastikan ramai-ramai menyabeti kepala Miko—yang tentu bakal mereka sumpah-serapahi nggak ada otaknya—menggunakan stick golf Papa bila mereka lah yang duduk di sini, mendengar dosa sialan apa yang telah Miko akui.
Lalu, Sandara? Kalau pun memang enggak hancur, Dara boleh jadi seenggaknya mungkin terluka kan? Biarpun itu sedikit saja? Namun, realitasnya nggak ada yang tampak berbeda dari gesture-nya dalam memperlakukan Miko. Di luar fakta bahwa mendadak wajahnya menjadi agak sulit dibaca.
"Aku nggak boleh tanya?" todong Dara sewaktu cukup lama dia menunggu, tapi Miko tak kunjung mengeluarkan balasan.
Dan, Miko entah mengapa suaranya justru sedikit mengandung getar sumbang kala akhirnya dia membalasi kelewat cepat, "B-boleh."
Lalu, dari jarak yang memisah mereka kini, Miko pun dapat menjaring secara nyata betapa netra Dara yang kecokelatan tampak begitu jernih berkilat-kilat. Persis lautan yang biasanya dia selami. Bedanya, malam ini Sandara menjelma menjadi pribadi yang sukar diterka. Miko tak kuasa melihat hingga ke dasarnya.
"Abang pernah tidur sama Mbak Prita?" Miko sontak membolakan netranya saat Dara tahu bahwa ada yang keliru dalam kalimatnya. Ya, kali dari mana Kaisar datang jika mereka nggak tidur bareng untuk prosesnya kan? Maka, selintas Dara memperjelas, "Maksudnya, setelah kita menikah. Abang ada tidur sama Mbak Prita?"
"Nggaklah," sergap Miko tanggap.
"Okay."
Kali ini Miko sontak mengerutkan dahinya mendengar sahutan Dara yang masih saja terkesan nir-emosi. Ada apa ini sebenarnya?!
"Kalau cium bibir?" lanjut Dara tiba-tiba ketika Miko sedang sibuk-sibuknya menebak-nebak sehingga demi membalasnya dia hanya sanggup menggeleng tegas.
"Cium dahi?"
"Nggak."
"Pipi?"
Pria itu refleks menghela singkat napasnya, sebelum menyugar rambut dan mengaku, "Setelah kita menikah saya cuma lakukan itu sama kamu. Saya nggak pernah lakukan itu ke yang lainnya."
"Kalo peluk?"
Entah apa sesungguhnya tujuan Dara mengajukan pernyataan-pertanyaan ini. Miko mendadak bak terlalu bego untuk memahaminya sehingga lagi-lagi dia cuma kuasa dengan jujur menyahut, "Kamu lihat sendiri kemarin di rumah. Pernah, dan hanya sebatas itu."
Dara manggut-manggut bak menemukan konklusi. "Okay. Terus, dengan bicara begini dan mengakui semuanya malam ini, Abang mau aku bagaimana? Abang pengen aku lepasin Abang? Abang betul punya rencana balikan sama Mbak Prita untuk mengasuh Kaisar sama-sama, mungkin?"
"Kalau pun saya punya, Prita tentu nggak. Dan, entah kamu percaya atau nggak, saya sungguh nggak ada rencana untuk itu."
"Kalau gitu kenapa dong Abang milih kasih tahu aku? Kenapa nggak rahasiakan aja selamanya?"
"Kamu lebih suka begitu?" lirih Miko. Dia menyipitkan kelopak matanya yang sejak tadi irisnya tiada henti bertalian bersama iris teduh milik Dara yang tak setetes pun menyimpan bahan air mata.
"Bukannya Abang juga lebih suka pakai cara kayak gitu, ya?" timpal Dara pelan, yang sejurus kemudian menyambung gamblang, "Abang aja bisa komit untuk tutupin kasus Ayumi. Kenapa yang ini lain?"
Miko mendadak menelan salivanya kelat. Dia bahkan sepersekian detik membisu entah sedang menimbang apa, sebelum meloloskan jawaban pendek, "Karena, kamu berhak tahu."
"Setelah berminggu-minggu terlewati dari sejak Abang kantongi tentang semua kenyataannya?" Dara menerbitkan satu senyum tipis. "Okay." Dara lalu manggut-manggut. "Aku udah tahu nih sekarang. Terima kasih untuk kejujuran Abang."
"Sudah?" tuntut Miko selepas tak ada indikasi Dara ingin lanjut mengkonfrontasi.
"Apa?" Kemudian, seolah sengaja Dara justru bertingkah dengan menelengkan kepalanya lengkap dibarengi oleh raut sok tak mengerti.
Bikin Miko tak sanggup untuk tak menggeram protes, "Demi Tuhan, Sandara, saya pantas kamu sumpahi! Seenggaknya marah! Lampiaskan semuanya! Kenapa sih kamu sok berlaku baik-baik saja?!"
Miko enggak tahu.
Namun, Dara sudah marah. Nyaris lima jam dalam tidurnya dia melepas segala emosi yang mendadak tumbuh subur dalam dirinya. Hingga sesaat sebelum dia berhasil keluar dari tahap rapid eye movement yang secara alami dia lakukan—di mana gara-gara saking seringnya dan berlangsung selama berpuluh-puluh tahun, sukses bikin Dara merasa begitu terbiasa—tiba-tiba, dalam tidurnya suara Ko Iyel datang menggema di seluruh batok kepalanya.
Pria itu mengingatkan, "Orang baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan. Setiap orang punya masanya sendiri, Ara."
Kaisar udah ada sebelum Miko menikahi Dara. Dia ada bahkan jauh sebelum Miko menyadarinya. Okay, Miko membohonginya. Bahkan boleh dibilang secara sengaja selama berbulan-bulan setelah dia tahu mengenai kenyataannya. Tapi, bukankah selama ini Dara juga punya keenggak jujurannya sendiri sedari awal? Miko mungkin hanya enggak beruntung dia ketahuan lebih dulu. Atau, justru beruntung? Karena, nyatanya Miko nggak sepengecut Dara?
Lalu, menangis?
Dara kecil sudah menangis. Satu kali. Menangis seperti orang kesetanan, tapi tak ada yang sudi mendengar tangisnya. Tak ada yang menganggap bila tangisnya adalah sesuatu yang berharga. Sejak itu, Dara tak lagi mau kenal dengan air mata. Toh, nggak ada hal yang berubah jika pun dia menangis atau nggak. Tak ada masalah yang selesai dengan berbekalkan air mata belaka. Itulah mengapa hingga kini ibunya masih menderita.
Meratapi nasib? Nasib Dara memang udah buruk sedari lama.
Dara membuang samar karbon dioksida dari celah bibirnya. "Kalau ini bisa bikin Abang merasa lebih baik. Tadi, aku sempat agak kaget. Tapi, mungkin ya begitulah yang dirasain oleh istri Ayahku waktu dulu dengar kabar soal Ibu yang hamil aku. Tapi, Abang bukan Ayahku. Jangan jadi kayak Ayahku! Kalau memang benar soal apa yang Abang bilang maka, Abang nggak perlu ragu untuk tunjukan pada Kaisar kalau Abang ... ayahnya."
"Sandara ...."
"Abang memang udah seharusnya bertanggung jawab. Jangan lari! Jangan jadi orang brengsek yang pengecut! Penuhi semua yang Kaisar butuhkan. Sayangi dia! Beri dia segala yang bisa Abang beri. Tapi ... itu bukan berarti Abang mesti menikahi ibunya kan? Aku nggak akan mendorong Abang untuk menikahi ibunya dan menghancurkan pernikahanku sendiri. Aku ... nggak sebaik itu."
"Sandara ...."
"Kecuali, kalo memang Abang udah nggak mau sama-sama aku lagi. Kalo memang Abang udah muak dengan pernikahan yang kita jalani dan nggak lagi punya keyakinan kalo kebersamaan kita bikin bahagia juga ada masa depannya. Seperti yang aku bilang maka, aku akan terima jika pun kita harus udahan. Cuma sebelum itu, tolong jawab dengan jujur satu pertanyaan terakhirku." Dara menjeda cukup lama, matanya yang sedalam lautan bak menenggelamkan Miko melalui segulung ombak besarnya.
"Kenapa Abang memilih menikah sama aku?" lirih Dara kemudian. "Di antara semua orang, kenapa itu ... justru aku lah orangnya?"
Ya, dari semua orang dalam hidupnya yang begitu gemar mendorongnya jauh. Mengapa Miko justru menariknya hingga begitu dekat? Terlampau dekat malah di sisi pria itu?
Dara ... seenggaknya ingin tahu alasannya? Alasan dia menjadi istri Miko kini? Alasan kenapa dia pantas untuk mendapat semua takdir ini? Karena, bagaimana pun tahu-tahu ketika Dara sadar, Miko adalah pemilik kali pertama paling banyak di dalam perjalanan hidupnnya.
Lalu, jika jawabannya sesuai dengan dugaannya, sungguh betapa pun Dara menginginkan pernikahan ini berjalan baik sebagai salah satu mimpi kecilnya, Dara tak akan keberatan untuk segera menyingkir.
Letting go means coming to the realization that some people are a part of history, but not a destiny.
Dan, Dara mungkin bukanlah takdir yang tepat bagi Miko.
Sesederhana itu.
Ya, andai bisa sesederhana itu saja.
***
Kami kembali. Kali ini menyisakan dua bab lagi sebelum tamat wkwkwk. Gimana kamu udah baca bab 66 di sebelah? Senang? Happy? Lega?
Datar banget ya Sandara di bab ini? Kok bisa?
Sebelum menulisnya saya lempar pertanyaan yang sama dengan fakta yang didengar Sandara ke banyak sekali orang yang saya temui bahkan saya lempar ke diri saya sendiri juga.
Jawabannya tentu macam-macam. Alasannya beragam. Pertimbangannya bervariasi. Karena, sifat dan latar belakang masing-masing dari mereka juga beda. Begitu pula Sandara. Dia punya sifat dan latar belakangnya sendiri. Saya rasa responsnya nggaklah melenceng dari karakternya selama ini sih. So, ya begitulah Sandara yang mungkin sebagian kamu bete gegara doi kurang NGEGASSSSS, NGGAK BADDAS. But, it's okay.
Terima kasih udah membaca cerita ini 💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro