54. Mine.
Saat hari menjelang siang, selepas Dara berendam nyaris setengah jam di jacuzzi, merasai tubuhnya yang belakangan bak telah dipacu bagai kuda seolah dipijati, sambil memandangi laut yang tenang di balik jendela besar kamar mandi. Auh, Dara bahkan juga udah sempat menandaskan sepiring nasi lengkap dengan udang bakar saus madu hasil catering, ketika tahu-tahu Miko menunjukkan sebuah sepeda berkeranjang berwarna ungu terang ke hadapan mata perempuan itu yang telah terparkir secara ciamik di halaman villa.
"Mau ikut atau mau tidur siang?" tanya Miko sewaktu hari sedang terik-teriknya. Angin laut yang sesekali melintas terasa menusuk begitu membelai kulit.
Dara berada di tengah-tengah pintu. Selembar midi dress bermotif chastetrees dengan kerah spaghetti miliknya berkibar ringan tersapu angin, menerbangkan sisa-sisa wangi gardenia yang manis dari essential oils yang sempat tertuang dalam bak berendamnya, tatkala dia balik bertanya, "Ke mana?"
"Lihat peradabanlah."
Dara enggak tahu apakah itu karena dia betul-betul ingin jalan-jalan kendati matahari jelas-jelas terasa nggak ada bedanya dengan oven. Atau, karena sesungguhnya dia tak sanggup mengabaikan kilat mengimingi yang sempat mejeng di sepasang mata hitam legam Miko?
Oh! Mana pun dari keduanya, toh akhirnya Dara benar-benar mendudukkan dirinya dengan gaya menyamping di boncengan sepeda. Dia duduk sembari berpegangan pada besi awalnya, sebelum saat Miko mulai mengayuh ke arah jalan setapak yang sama sekali tak rata tangan Dara pun refleks berlari untuk mencengkeram erat-erat kemeja yang melekat di tubuh pria itu.
Dara kira begitu saja cukup. Namun, semakin kencang roda berputar, semakin dia terpuntal-puntal. Itulah mengapa sewaktu dia berusaha memegangi summer hat di atas kepalanya melalui satu tangan agar tak terbang, sebelah tangannya yang semula bertengger menjapit sisi-sisi kain kemeja Miko, tiba-tiba terasa tergenggam lalu dituntun untuk berpindah demi melingkari secara sempurna pinggang Miko yang terasa liat ketika terjamah.
Dan, Dara resmi terpaku. Mematut pandangannya lurus-lurus ke arah lengan kanannya yang kini membikin dia terkunci kian rapat menempeli punggung Miko. Mengendus aroma alga, garam, juga gardenia yang tersintesis begitu paripurna membelai lembut hidungnya.
Ah, ini ....
Sesaat Dara mengatupkan kedua netranya rapat-rapat. Menikmati semilir angin siang mengelus selembut kapas di area wajahnya yang hampir rebah di atas bidangnya punggung Miko. Betapa terik ternyata mampu tereduksi oleh rindangnya dedaunan dari pohon yang berjajar di sepanjang jalan yang mereka lintasi. Betapa rencana Miko mengajaknya jalan-jalan melihat peradaban di siang bolong agaknya bukanlah ide yang seburuk itu.
Dara baru kembali memekarkan kelopak matanya sewaktu di kanan-kirinya pemandangan tahu-tahu telah berganti dari pekarangan berisi tumbuh-tumbuhan menjadi deretan rumah serta warung yang berbanjar. Beberapa kali Dara dapat mendengar Miko disapa ramah oleh orang-orang yang mereka papasi. Sehingga kontan bikin Dara keheranan.
"Abang kenal semua orang di sini?" tanya Dara tak kuasa lebih lama memendam penasaran begitu baru saja ada segerombol anak memanggil-manggil Miko ceria sembari dadah-dadah depan warung.
"Nggak sih, tapi mereka mungkin iya."
"Kok bisa?"
"Punya villa di sini."
"Jadi, yang kita tempatin tuh villa Abang?!" seru Dara bersama penglihatannya yang dengan dramatis membola. Oh, bukannya apa-apa, villa itu bahkan lebih luas dari rumah Miko yang di Jakarta. Cakepnya nggak kalah sama villa-villa luxury yang acap kali ditempati Pak Rega bila ada dinas atau liburan ke Bali!
Okay. Mereka berada di sana berdua saja, emang sih Dara sempat curiga. Mana desain bangunannya juga mirip-mirip sama rumah yang Miko bangun pula. Udah begitu, di usianya sekarang Miko tentulah telah settle dan financial freedom. Jika Mas Linggar sama Mbak May saja yang sedikit lebih muda masing-masing bisa mempunyai coffee shop sama salon ya apalagi Miko kan? Namun ....
"Punya Papa lah," jawab Miko santai membubarkan angan-angan ribut Dara, seraya meluncurkan sepeda di jalanan yang sedikit menurun.
Dara sendiri lantas ber-oh panjang.
Punya Papa? Kalau Papa saja punya speedboat maka, nggak aneh sih jika beliau memiliki satu atau dua villa bernilai milyaran di sini. Bahkan, kalau Miko ngasih tahu jika Papa berencana mendirikan hotel atau resort terapung di sana Dara bakal percaya-percaya saja sih. Bagaimana pun usaha mertuanya memang semaju itu. Dara saja sedikit takut untuk membayangkan seberapa banyak kira-kira total harta yang dikantongi keluarga Miko.
"Kecewa?" tukas Miko tiba-tiba yang sontak Dara gumami melalui nadanya yang tak mengerti. Hingga akhirnya pria itu suka rela menyambung melalui nadanya yang terkesan mengentengkan, "Tenang, kalau untuk yang seperti itu saya pribadi punya satu kok di Labuan Bajo. Ah, sama satu juga di Uluwatu sih."
Dara terperangah. Bukannya seheran itu hanya saja ... sebagai seorang Manajer Sales and Marketing, ternyata Miko ahli juga mengimplementasikan strategi di kehidupannya sendiri. "Wow. Abang kaya, ya?" sindir perempuan itu kemudian bersama suaranya yang jenaka.
"Karena, saya kaya kamu boleh pakai uangnya." Tetapi, Miko justru membalasinya dengan serius.
"Hum?"
"Yang saya kirim setiap bulan. Ngapain nggak dipakai? Kamu kira kamu nggak menyinggung saya dengan kamu beli-beli pakai uang kamu sendiri?"
Oh, jadi soal itu belum selesai toh? Dara sedikit membasahi bibirnya sewkatu berupaya membela, "Tapi, itu kebutuhan aku." Merujuk kepada beberapa keperluan pribadinya macam skincare, make-up, atau bahkan ponselnya yang retak. "Abang ... nggak harus beliin."
"Tapi, saya mampu dan ...." Miko terdengar berdeham singkat sebelum melanjutkan tegas, "... saya ini suami kamu."
Okay. Untuk yang satu itu Dara tak ingin meneruskannya, sebab perlahan, tapi pasti seakan ada satu titik kecil api yang terasa hangat membakar di wajahnya. Jadi, sebelum makin tak terkendali, perempuan itu memutuskan guna menyetir obrolan ke arah lain seperti, "Eh, kata Pak Rega, Abang punya Mexican grill, ya? Kapan hari Pak Rega ada titip ucapan makasih buat voucher-nya. Aku lupa belum bilang."
"Kamu baru tahu?" tanggap Miko.
"Hah? Maksudnya?"
"Saya kira kamu sudah tahu. Saya sudah dari lama punya. Banyak anak VER juga suka makan di sana. Termasuk May. Kirain selama ini kamu tahu?" Nggak. Dara memang sering diajak kulineran sama Mbak May, tapi kayaknya belum pernah ke Mexican grill sih, terlebih ke Mexican grill Miko. Dan, seingat Dara, Mbak May juga nggak pernah ada bahas-bahas. Dengar dari anak-anak lain? Selama ini rasanya Dara terlalu sibuk ngurusin kerjaannya juga Pak Rega. Jadi, dia nggak ada sering-sering mingle. "Sekarang ada tiga cabang. Paling baru di Kemang. Kapan-kapan mampir deh!" imbuh Miko menginfokan.
"Mampir makan?" timpal Dara yang diam-diam disiram oleh hawa kelegaan karena baru saja dia mendengar melalui telinganya sendiri mengenai hal yang sempat sangat ingin dia dengar.
"Iya, makan. Tapi, habis itu bantu cuci piringnya," sahut Miko datar.
Dan, Dara tanpa sadar langsung mengangkat tangannya demi menggebuk ringan punggung pria itu. Dasar!
"Adalagi yang perlu aku tau nggak nih?" sungut Dara, sesungguhnya tak benar-benar kesal.
"Satu barbershop di Kramat Pela."
"Nggak kontrakan sekalian?" gurau Dara seraya menggeleng-gelengkan kepala karena, ya ampun Miko nih realitasnya produktif sekali. Dara sampai malu terhadap ketertinggalannya.
"Oh, hampir lupa, untung kamu ingatkan. Saya juga ikut invest di pembangunan resort terapung bareng Papa dan Pakde Kuncoro di salah satu jajaran Pulau ini."
"Resort?" Sebelah alis Dara spontan menukik naik.
"Itu kenapa kebanyakan orang barusan nyapa. Sebagian keluarganya ada yang ikut kerja di sana."
"Keren!" Rasanya, Dara bahkan ingin bertepuk-tangan selama tujuh hari tujuh malam kalau perlu.
"Semakin lama kamu sama-sama saya, tabungan harta gono-gini kamu bakalan semakin gendut."
Dan, Dara hanya memutar jengah bola matanya. Sekarang, dia tahu pasti mengapa Miko bisa berteman akrab dengan Pak Rega. Ternyata, mereka nih agak mirip loh sombongnya. Huh!
Tak lama setelah perbincangan terakhir mereka barusan, akhirnya Miko menghentikan laju sepedanya di salah satu kawasan pantai. Yang kendati ini weekend, tapi nyaris nggak ada orang lain yang seliweran di sana. Boleh jadi gara-gara terlalu panas kali, ya?
Dara sedang membenahi dress-nya yang sedikit kusut akibat telalu lama duduk di boncengan. Kala dari arah sampingnya dia mendengar Miko tiba-tiba bertanya, "Mau lihat bintang nggak?"
Perempuan itu mendengkus. "Ya kali siang bolong ada bintang?"
"Kalau saya berhasil kasih lihat. Kamu mau kasih saya apa?" ujar Miko yang mulai berjalan mendahului Dara menuju ke tepian laut berwarna kebiruan dengan pasir putih yang ombaknya tampak berdebur-debur lemah.
Dara sejenak berpikir sebelum menyahut asal, "Abang udah punya semualah. Kan Abang lebih kaya dari aku."
"Kalau begitu jangan offering sesuatu yang ada kaitannya dengan uang."
"Terus?" Dara sedikit berteriak. Suara angin dari laut sedikit mengaburkan volumenya ketika bicara.
"Kabulin satu saja permintaan saya?" tukas Miko bersama nada menawarkan.
Dara menggumam cukup panjang. "Asal Abang mintanya jangan aneh-aneh, ya?"
"Yang aneh misalnya apa?"
"Gantiin apartemen mewah Abang dalam tempo seminggu. Aku jual ginjal bahkan sekalian jantung atau ususku nih ya juga nggak bakal mampu kebeli tahu! Sumpah deh! Aku nggak akan bisa ngabulin kalo yang Abang mau itu!"
Miko terkekeh dan itu bikin Dara terkesiap hingga nyaris membatu. Lalu, tanpa sadar perempuan itu mencetus lirih seolah benar-benar tak menyangka, "Abang ... ketawa." Itu ... bukan pertanyaan.
"Hm?"
Itu ... pernyataan. Dan, itu adalah yang telah amat Dara cita-citakan. Bikin Miko ketawa. Bahkan, sejak hari pertama pernikahan mereka. Biar pun nggak lebar, tapi barusan Dara sungguh-sungguh berhasil melihatnya lagi: tawa di bibir Miko. Tawa yang dulu tiada henti pria itu tebar. Tawa yang Dara kira hanya akan muncul bila ada Prita di sisinya. Namun ....
Dara menggigit samar bibirnya ketika berupaya menahan seluruh euforia untuk kemudian mengujar antusias, "Okay. Aku bakal kabulin satu permintaan Abang." Tentu, untuk tawa Miko yang dia harap-harapkan ... rasanya, Dara bersedia melakukan segalanya!
"Good, then."
Lalu, tanpa babibu Miko segera menggeret pelan lengan Dara guna mengiringinya berlari lebih dekat dengan ombak.
Merasai air yang secara konstan datang dan pergi di kaki. Pria itu lantas terlihat selibat menunduk. Dara mencoba mencari tahu apa gerangan yang sedang pria itu lakukan? Akan tetapi, matanya agaknya harus rela kalah cepat dengan tangan Miko yang tahu-tahu telah menjulur kembali dari dalam air ke hadapan wajah Dara. Kali ini sembari membawa satu bintang laut di genggamannya.
"Here, Sandara." Bukan dari langit, Miko baru saja memetiknya di lautan. "The star is here."
Satu bintang untuk Dara. Berwarna sedikit lebih gelap dari pasir pantai, dengan duri-duri yang terlihat tajam, tetapi toh tak menyakiti ketika dia jamah secara perlahan. Dara menerimanya bersama matanya yang tiada henti terpana.
"Cantik," gumaman ini pun lolos begitu saja tanpa ada tendensi untuk menyudahi pengamatannya terhadap satu bintang yang kini berada dalam kuasa penuh tangannya.
"Kamu tahu?" Tiba-tiba Miko berbisik. Suaranya sedikit lebur oleh gemuruh angin laut di kejauhan.
Dara refleks mendongak. Untuk kemudian menjumpai Miko bergerak satu langkah mendekat ke arahnya. Lantas, melalui manuver jari-jemarinya yang sedikit basah, pria itu tahu-tahu membetulkan letak topi Dara. Sebelum, mulutnya membuka demi berkata, "Kamu ... juga."
"Hah?"
"Cantik."
"A—"
"Apalagi kalau tersenyum sampai mata."
Dan, Dara nggak tahu. Dara tak mengerti. Sungguh! Semudah itu senyum ketiga Dara tanpa tahu malu terbit lagi hari ini.
"Jadi, Abang mau minta apa?" Senyumnya bahkan masih begitu lebar sewaktu mencari tahu.
"Ada. Nanti."
"Ih, semuanya aja nanti! Katanya, Abang juga mau ngomong sesuatu. Belum mau ngomong sekarang?"
"Belum. Bentar lagi, ya?"
Dara mendesah. Namun, toh kepalanya tetap terangguk satu kali. "Okay."
"Anyway, siap snorkeling?"
Ugh! Ya! Tentu! Dara bahkan udah nggak sabar!
***
"Kenapa harus pake kaki katak sih, Bang?"
Miko sedang berusaha membantu Dara memasang fin di kedua kakinya saat gadis itu tahu-tahu melontarkan tanya tersebut.
"Salah satunya biar kaki kamu lebih kuat waktu ngedorong. Arus bawah laut nggak selalu bisa diprediksi."
Dara ber-oh pendek. "Tapi, aku bisa renang cuman nggak jago. Boleh turun?"
"Bolehlah. Cuacanya lagi bagus. Arusnya juga tenang. Lagi, udah pakai semua perlengkapan ya kali nggak turun?" Pria itu beralih demi menguatkan ikatan pada masker snorkel yang udah terpasang di wajah Dara.
"Iya sih."
"So, are you ready?"
"Boleh jujur? Aku deg-degan. Takut hilang di bawah laut, Bang!" aku Dara sambil sekilas kembali melongok-longok ke arah laut di bawah perahu yang kini ditumpanginya.
Miko tertawa rendah. "Nanti saya pegangin."
"Jangan dilepas?" tuntut Dara.
"Kalau mau naik bikin signal gimana?" ujar Miko.
"Kepalin tangan sama acungin ibu jari ke atas," balas Dara yang tadi telah mendapat kursus singkat soal apa-apa saja yang perlu dia lakukan saat nanti udah berada di bawah air.
"Jadi, ya harus dilepas dong?"
"Iya sih." Dara menggaruk kulit punggung tangannya yang terekspose. Bukti bahwa dia masih merasa grogi.
"Yang paling penting adalah tetap tenang. Dan, segalanya ... saya jamin pasti akan baik-baik saja."
Ibarat mantra Dara mencoba percaya itu. Kata-kata yang Miko perdengarkan kepadanya. Mereka menjatuhkan diri nyaris bersama-sama ke dalam air.
Semula, ada terasa dengung singkat di kuping, tapi Dara tak menyerah. Dia terus membelah air melalui dua tangannya ketika tubuhnya semakin jatuh lebih dalam.
Tak jauh darinya, dari balik masker yang menutupi hampir-hampir separuh wajah dia dapat menangkap sosok Miko yang seolah melayang di bawah tubuhnya untuk kemudian melesat cepat, mencipta buih-buih kecil saat dia tahu-tahu telah sukses berganti posisi menjadi di samping Dara dan meraih sebelah tangan perempuan itu untuk digenggamnya erat.
Satu tangan Miko yang bebas kemudian terlihat membuat simbol O, yang tanggap dibalasnya melalui hal serupa oleh Dara.
Saling tahu bahwa segalanya aman. Mereka terjun lebih dalam untuk disambut kawanan ikan-ikan kecil berwarna-warni bak pelangi yang bersembunyi malu-malu di sela terumbu karang.
Ah, benar kata Miko. Di bawah sangat menenangkan. Sepenjuru mata memandang cuma tampak keindahan. Ketakutan yang tadi mendera Dara entah udah raib ke mana. Bersama ekor-ekor ikan yang seolah menari, Dara rasanya mengerti mengapa Miko suka diving meski itu adalah hobi yang penuh bahaya.
Mereka berada di kedalaman tak sampai lima meter di bawah laut, tetapi toh faktanya banyak hal yang berbondong hadir guna memanjakan mata. Apalagi jika lebih dari itu kan? Bertemu hiu ... mungkin memang seseru yang Miko ceritakan.
Andai. Ya, andai saja itu bisa berlangsung selamanya.
Sayangnya, laut adalah tempat di mana banyak sekali badai sukses tercipta.
Dara merasa dia masih bau laut ketika malamnya Miko tahu-tahu meniupkan segulung angin tropis berkekuatan enam puluh empat knot yang serasa menerbangkannya bak Hurricane. Hingga dia terlempar tanpa ampun di bawah puing-puing rongsokan bangai kapal.
Dara tidak yakin terhadap pendengarannya. Mungkin karena tadi dia nyaris menghabiskan satu setengah jam di air sembari menunggu sunset tiba sampai telinganya pegang, kala dia meminta kejelasan, "Abang bilang apa barusan?"
"Kaisar ...."
"Anak Mbak Prita?"
"He is mine."
"Maksud Abang, Kaisar ...."
"Bukan Kavi. Saya ... Ayahnya."
Dan, rangkaian senyum Dara hari itu pun terhenti.
***
Kami kembali. Baru saja posting juga di sebelah. Tinggal 3 bab lagi tersisa. Legaaaa.
Hadeh, berat deh. Red flag ya doi? Haha.
Sesuai tebakan juga lah ya.
But, ya begitulah. Tak ada manusia yang sempurna karena sempurna hanya milik Andra dan Tulang Punggung.
Terima kasih udah mau mengikuti segala drama di cerita ini 💜💜💜
Bang Miko lagi menuai kerma eh karma tampaknya 😈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro