46. Rengkuhannya.
"Dia udah tidur. Anaknya masih di inkubator." Adalah penjelasan singkat yang Miko berikan dalam nada semi bisikan saat Dara justru otomatis menghentikan langkah kakinya tak jauh dari ranjang di mana Prita yang tampak dalam balutan seragam rumah sakit berwarna merah muda tengah terbaring tenang di balik selimut.
"Prematur?" lirih Dara, matanya tak sedikit pun menyingkirkan sosok Prita dalam pindaian. Perempuan itu ... biar pun tidurnya tampak anteng—mungkin gara-gara efek obat—tetapi, wajahnya sama sekali tak bisa menyembunyikan raut yang telah ada di sana sejak dia datang dari balik pintu rumah Miko tadi. Betapa tumpukkan kelelahan juga ketakutannya adalah nyata.
"Ya, sedikit. Kondisinya tadi sempat agak kesulitan bernapas jadi perlu ditaruh sana. But, ya ... sejauh ini dipantau keadaannya udah oke."
Dara mengangguk mengerti. Biar pun sebenarnya dia mungkin nggak sungguh-sungguh dapat memahami rasanya menjadi bayi yang sedari dalam kandungan udah terlampau seringnya ingin disingkirkan. Bahkan, ketika lahir pun ternyata dia masih harus bertarung dengan segala kepelikan.
Ogh! Meski Ibu juga mengalami masa kehamilan yang enggaklah jauh lebih baik. Namun, membayangkan Ibu sampai disileti macam Prita hingga mungkin Dara bisa gugur sewaktu-waktu, itu ... entahlah, rasanya amat mengerikan!
"Mau langsung tiduran?" Miko melambaikan tangannya ke arah sofa single panjang di depan jendela yang kelihatannya terlalu sempit untuk ditiduri oleh dua orang begitu Dara berbalik badan. "Atau, kamu mau ambil satu inpatient rooms di sebelah saja yang kosong? Biar sekalian dirawat?" Mata Miko menyasar tubuh terluka Dara entah untuk yang ke berapa kalinya di sepanjang malam hingga dini hari ini.
Akan tetapi, Dara sontak bergeleng kepala ringan. "Banyak yang lebih butuh untuk pakai kamarnya." Mengingat tadi saat mereka menuju ruangan Prita, sepertinya cukup banyak pasien baru bergeletakkan di IGD. "Lagian, walau kelihatannya begini ...." Dara mengusap samar salah satu perban di tangannya sambil meringiskan tawa. "Tapi, beneran nggak terlalu sakit kok. Ko Iyel udah kasih obat, udah disuntik tetanus, udah semua-muanya. I am good, Bang."
"Gitu?"
"Hm. Abang sendiri nggak mau tiduran memang?" Dara kontan balik melontarkan tanya.
"Maulah."
"Tapi ...." Dara menggantung sahutannya. Kendati, tempat yang mereka huni sekarang adalah ruang VIP. Namun, di luar ranjang Prita yang tampak luas nan nyaman, satu pintu yang Dara duga di dalamnya menyimpan sudut kamar mandi, satu lemari pakaian, televisi layar datar yang menempel di dinding, praktis ya memang cuma ada satu sofa di sana.
"Mau bagi dua?" Miko tahu-tahu melemparkan sebuah tawaran yang bikin Dara refleks menggigit bagian dalam mulutnya. Karena, sumpah dengan ukuran tubuh Miko lengkap beserta bahu bidangnya, Dara yang biar pun nggak ada lima puluh kilo rasanya tetap sulit sih buat ikutan baringan di sana.
Tetapi, ya kali salah satu dari dia atau Miko mesti tiduran di lantai? Di saat di luar sana rintik hujan mulai singgah secara membabi buta, mencipta suara desau tubrukkan air dan tanah yang khas, juga geliat embusan AC di dalam ruangan yang kian menggigilkan. Ugh! Setelah semua hal yang terjadi hari ini, rasanya mau Miko atau Dara yang pada akhirnya harus nekat melemparkan diri rebah di lantai tentulah bakalan langsung opname besok!
Menghindari kemungkinan buruk tersebut, maka, Dara sedikit menimpali gamang, "Nggak papa memangnya, Bang?"
Miko mengedikkan bahunya. "Kamu mungkin akan pegal-pegal sih. But, wait ...." Dara memerhatikannya ketika Miko segera mengeliminasi jarak mendekati sofa. Mengambil satu bantal yang semula tergeletak di tengah-tengahnya untuk lantas dia letakkan di ujung dekat sandaran lengan. Pria itu juga kedapatan menepuk bantal tersebut beberapa kali, sesaat sebelum melengos sambil mengujar datar ke arah Dara, "Kaki kamu bisa ditumpangin di sini supaya nggak ketindihan."
"Hah?" Dara masih sibuk mencerna ujaran itu saat Miko tahu-tahu menggulurkan sebelah tangannya, menunggu untuk perempuan itu sambut. Dara nggak terlalu mengerti tentang situasi apa yang kira-kira kini tengah terjadi? Mengapa Miko yang dijumpainya di carport bak tak ada lagi? Okay. Bukan berarti pria itu ujug-ujug berganti kepribadian yang menjadikannya terkesan jauh lebih hangat nan penuh perhatian.
Hoho. Not really. Walau dia menawari Dara ini dan itu, tapi nadanya sewaktu dia berbicara masihlah sama dengan Miko yang normalnya Dara temui. Terkesan acuh tak acuh. Masih agak dingin-dingin kayak kulkas. Namun, tentu Dara tak akan tutup mata kok terhadap bantuan-bantuan yang telah Miko berikan kepadanya di sepanjang hari ini. Meski entah apa gerangan tujuan konkretnya dari pria itu hingga dia mau repot-repot melakukan semua hal-hal tersebut? Dara memilih untuk tak terlalu memusingkannya.
Tangan kanannya yang lamat-lamat bergerak demi menyambut juluran Miko pun seolah terprogram begitu saja. Termasuk sewaktu perlahan-lahan Miko justru membimbing Dara untuk berbaring lebih dulu hingga memakan nyaris dua pertiga bagian sofa.
"Abang ... gimana dong?" bingung Dara yang otomatis hendak berupaya kembali bangkit. Tak enak juga jika dia harus merasakan kenyamanan seorang diri. Padahal, nggak jauh berbeda dengan dirinya Miko pun baru saja mengalami tragedi. Yang tentunya sama-sama berat. Bahkan, sempat mengancam nyawanya kan?
Miko yang awalnya Dara tangkap masih menjulang berdiri di sisi sofa, tanpa penjelasan apa-apa malah dengan entengnya merebahkan tubuhnya dalam posisi miring. Persis di pinggiran sofa bak tengah memagari Dara. Udah macam ibu yang mau ngelonin atau bahkan menyusui buah hatinya saja.
Oh, oh, ough!
Dara sendiri tanpa sadar menelan salivanya kelat.
Oh, please! Seumur-umur Dara dewasa belum pernah tuh rasanya tidur dalam posisi macam ini—kecuali, boleh jadi saat bayi ya di mana dia sebetulnya udah tak lagi terlampau ingat sih, dan ya pas pagi dia bangun dalam pelukan Miko, tetapi itu agaknya nggak perlu masuk hitungan sebab, saat itu terjadi dua-duanya sedang sama-sama tak sadar!
Di mana jaraknya nggak hanya kelewat dekat hingga Dara samar-samar sanggup mendengar taluan jantung Miko yang berdetak konstan. Ini ... ugh, entahlah! Dara bingung menjabarkannya! Sungguh, a little bit awkward. Mana bagai tengah diawasi pula saking minimnya jarak yang memisahkan di antara tubuh keduanya.
Tak ayal Dara otomatis reaktif meremas kain pakaian di bagian dekat kerahnya. "Abang bisa tidur begini?" cicitnya kemudian, masih berusaha mempertanyakan keputusan Miko yang siapa tahu bisa berganti? Ogh! Ya kali dia bakalan mampu merem?! Miko saja udah macam mau mengendus pipinya!
"Coba saja," bisik Miko, his breath smells good bahkan sampai sedini hari ini, bikin Dara sontak menahan napas.
"Emangnya, Abang nggak takut jatuh?" Pertanyaan ini Dara ujarkan melalui gerakan mulut yang seminimalis mungkin. Bukannya apa-apa dia terakhir gosok gigi ya tadi pagi. Belum lagi Miko sempat protes gara-gara Dara yang menolak mandi, serta membuat pria itu terpaksa harus mengungsi ke kamar Akhyar biar nggak kebauan. Kejadiannya baru beberapa jam yang lalu loh ya! Bagaimana Dara nggak jadi insecure?!
Namun, ya ingat kan? Bagi Dara, Miko ini cukup sulit ditebak. Sangkaannya tentang pria itu nggak sekali-dua kali keliru. Termasuk ketika tiba-tiba Miko memberi jawaban yang amat di luar dugaan dengan mengatakan kalimat ini, "Saya lebih takut kamu ngegelinding sih. So, here I am biar kamu nggak nyusruk ke lantai."
What the—
Urung mengumpat, Dara memilih untuk mengabaikan perkataan sok chessy Miko.
Daripada itu dia memutuskan segera membalas begini, "Tapi, lengan Abang bisa sakit kalau ditekuk terus loh!"
Sumpah ya niat Dara adalah ingin memengaruhi keputusan Miko. Oh, iyalah! Tidur dalam posisi duduk dengan membagi rata sofa jelas adalah pilihan yang sejuta kali lebih baik dibanding mesti terlalu berdempetan macam sandwich begini!
Dara sama sekali nggak pernah memikirkan kalau kalimatnya bisa diartikan lain oleh Miko. Bukannya mengajak Dara untuk lekas duduk, dan membelah area sofa yang bisa masing-masing mereka kuasai. Pria itu justru mengurai lengannya yang sedia kalanya dia sedekapkan di dada. Di mana kali ini dia menumpangkan lengan kirinya di pinggang, sementara satu lainnya ... mau menebak?
Yaps.
Miko menjulurkannya ke bawah kepala Dara hingga kini perempuan itu sukses rebah di atas liatnya lengan atas Miko. Pun, membaui secara nyata betapa aroma pantai menguar kental dari tubuh pria itu yang kali ini bak rekat dengan tubuhnya.
Oh, Tuhan!
"Bang, ini ... it's okay kepala aku di sini?" tunjuk Dara ragu-ragu ke arah lengan Miko yang tiba-tiba menjadi alas kepalanya.
"Hm." Dan, ya ... apa Dara masih memiliki cara lain untuk berkelit?
Hish! Sial. Gagal udah semua percobaan Dara untuk membikin mereka tiduran dalam posisi lebih 'aman'.
Setelahnya, mereka bahkan sempat terjebak dalam kondisi saling mendiamkan. Hanya tersisa suara ributnya hujan di luar yang menyamarkan bunyi detakkan jantung Miko atau pun Dara.
Namun, nggak mungkin kan kecanggungan tersebut dibiarkan berlangsung hingga pagi? Bisa-bisa Dara betulan nggak mungkin bisa memejamkan mata, kendati jelas kondisi tubuhnya udah sangat lelah.
Oleh sebab itu, walau suaranya terdengar samar-samar, Dara tetap memaksa bicara, "Katanya, Abang mau bilang sesuatu ke aku?"
"Boleh saya bilangnya sedikit nanti?" sahutan Miko sedikit terlalu cepat dari yang Dara duga sih.
Namun, ya bukan masalah. Jadi, Dara cuma menyetujuinya, "Okay." Lalu, selesai. Pembicaraan mereka kembali berakhir. Dara sempat mengira Miko tidur. Tarikkan napasnya yang tampak dari gerakkan dadanya terkesan lumayan teratur.
Namun, sewaktu Dara memberanikan dirinya untuk mendongakkan pandangannya ke arah wajah Miko dia sontak dibuat terkejut karena, ternyata mata pria itu masih kelewat segar dalam menatapinya.
Oh, God! Dara nggak boleh terjabak kikuk lagi! Makanya, dia sempatkan diri guna berdeham pelan sebelum bertanya melalui suaranya yang tak gentar, "Abang capek?" Sebab, sekelebat Dara menangkap kerut-kerut di dahi Miko kembali terbentuk.
"Biasa saja," balas Miko pendek.
"Ihh, masa? Muka Abang lecek tahu!" Dara menunjuk-nunjuk wajah Miko dengan jarinya.
Miko menangkap jari itu dan menguncinya dalam genggaman satu tangannya yang bebas, seraya kemudian mendesis, "Ngaca sendiri. Lihat muka kamu tuh kayak habis disuruh ngegendong Calibra dari Senayan sampai Bogor sama Rega! Suram!"
Dara balas dengan memeletkan lidahnya. Yang untung nggak sampai ditangkap juga oleh Miko seperti yang telah terjadi terhadap jari-jemarinya.
Bahkan jari Dara yang lukanya sedikit lebih ringan itu masih erat berada dalam genggaman Miko saat perempuan itu mulai mengujarkan ini secara serius, "Bang, habis ini Mbak Prita gimana?"
Miko tak lantas menjawab. Dara mendengar suara embusan napasnya yang kasar ketika dengan nada menerawang Miko berujar, "Besok pagi Kavi pasti bakal nyamper ke sini."
Dara terhenyak. "Tapi, dia udah bikin kekacauan. Bukannya dia harusnya urusan dulu sama Polisi?"
"Kalau dia ketangkap semudah itu. Dia sudah mendekam di balik jeruji besi dari dulu."
"Terus ...." Dara tak sampai nyali rasanya menyelesaikan pertanyaannya, yang agak-agaknya kesimpulan dari jawabannya memanglah tak akan memuaskan baik untuk Dara atau bahkan Miko sendiri.
Akan tetapi, Miko sepertinya tak perlu menunggu rampungnya kalimat itu. Dia telah memetakkan segala situasinya sehingga dapat memberi balasan, "Saya akan lihat seberapa jagonya Pamela untuk mengurusi hal ini."
"Ya?"
"Kasusnya akan tetap jadi kasus bunuh diri."
Sekali lagi, kendati Dara udah mencoba menimbang mengenai setiap kemungkinan terburuknya. Tetapi ....
"Bang, kalau nanti ketahuan?" Tentu Dara digerogoti rasa waswas.
Ini ... bukanlah kasus biasa. Yang akan selesai dengan sekali lapor Polisi. Dara tahu itu. Orang-orang yang terlibat di dalamnya ada yang punya banyak uang macam Miko, ada informan yang ke mana-mana bawa pistol macam Akhyar, Prita yang dari golongan keluarga Politisi, Selebritis-Selebritis kenamaan negeri ini yang entah apa gerangan yang sanggup mereka perbuat, bahkan pelaku utamanya yaitu Kavi yang seolah tak hanya kaya raya, memiliki power berlebih, tapi juga ... kebal hukum.
"Nggak ada bangkai yang bisa disembunyikan selamanya," desau Miko.
"Nah, itu Abang tahu!"
"Tapi, bisa ditahan."
"Maksudnya?" Dara kontan melebarkan matanya.
"Sampai kasusnya kadaluarsa." Miko mendesah panjang. "Paling nggak harus berakhir dengan skenario bunuh diri hingga minimal 12 tahun."
"Bang, menyimpan rahasia nggak gampang," ujar Dara, rasanya masih saja keberatan. Itu ... bagaimana pun bakal sangat membebani Miko. Dara hapal bagaimana sulitnya menyimpan sebuah rahasia. Tidurnya tak pernah tenang. Dia tak ingin Miko terjebak untuk mengarungi keenggak nyamanan itu.
"Udah begitu, Ayumi punya satu adik yang bahkan lagi sakit." Ini tadi pagi Dara curi dengar dari pembicaraan yang dilakukan Miko serta Pamela di teras rumah Mama Asmita. "Apa ... bakal adil buat keluarganya?"
"Lalu, kamu berharap saya antarkan Prita ke kantor Polisi untuk menyerahkan diri?"
Dara tak bisa mengangguki atau menggelenginya. Perempuan itu ... Prita baru saja melahirkan. Anaknya prematur. Butuh banyak perawatan serta perhatian. Namun ....
"Saya tahu," Miko lamat-lamat melanjutkan, suara bisikkannya sedikit gamang. "Of course, I know bahwa itu nggak adil bagi semua orang. Tapi, apa kamu pikir saya bisa tega membiarkan anak yang masih bayi itu diasuh oleh orang yang bahkan selalu berambisi menghabisi nyawanya sejak dalam kandungan?"
"Tapi, masih ada orang tua Mbak Prita kan, Bang?" timpal Dara bukan bermaksud jahat lebih-lebih sampai hati membiarkan anak Prita diurus oleh manusia semengerikan Kavi. Hanya saja, dia sebatas ingin memeriksa semua kemungkinan yang ada sehingga jika pun Miko harus menjatuhkan keputusan. Maka, segala risikonya udahlah terinferensikan secara matang. Karena, sungguh, mengorbankan diri untuk menjaga suatu rahasia besar enggaklah mudah.
Namun, apa memang yang Dara mengerti soal Prita di luar tampilan luarnya yang terlihat sangat tangguh?
Miko jelas lebih paham mengenai perempuan itu beserta segala seluk-beluk ombak-ombak dalam kehidupannya.
Sama sekali enggaklah mengherankan setelah tahun-tahun perkenalan mereka Miko mampu mengujarkan ini secara lugas, "Kamu kira setelah Prita mengaku udah membunuh seseorang, orang tuanya bakal tetap mau menganggap dia anak?" Pria itu mendecih. Ada kelebat kebencian dalam sorot netranya yang kelam.
"Saya kenal baik seperti apa mereka. Prita nggak pernah punya suara di rumahnya sendiri. Jika mereka sampai hati untuk membuang Prita yang nggak lain merupakan darah daging mereka sendiri, apalagi cuma cucunya?" Senyum kecut membayang di bibir Miko. "Lagi pula, bisa jadi itu cuma asumsi Prita. Nggak ada yang bisa pastikan bahwa dialah yang benar-benar sudah membunuh Ayumi. Itu ... mungkin cuma ketakutannya sendiri yang telah mendorong dia untuk menganggap dirinya adalah pembunuh. Betul-betul belum ada yang bisa ... dipastikan di sini."
Dara tak lagi memberi sahutan. Sebab, ya ... tentu kemungkinan itu juga memang ada kok. Dalam ketakutan terkadang orang nggak mampu mengidentifikasi apa saja kira-kira yang mereka lakukan. Ada kecenderungan untuk enggak merasa yakin. Dara juga pernah mengalaminya, sehingga orang-orang lantas mengolokinya sebagai pembohong. Itu bukan karena dia nggak jujur sedari awal, tetapi karena semua ucapannya nggaklah terdengar meyakinkan bagi orang lain yang mendengar.
"Sandara ...?"
"H-ya, Bang ...?" respons Dara, tipis saja tergeragap begitu dipaksa menyelesaikan lamunannya.
Miko tak menatap mata Dara, dia melempar telusurannya ke luar jendela yang membiaskan luruhan hujan lebat di dini hari ini ketika menuturkan, "Saya akan usahakan segalanya untuk membereskan ini tanpa harus menyakiti Prita, anaknya, atau juga ... keluarga saya. Dan, kamu ... setelah semua hal ini usai, mau ke Pulau Pari bareng saya?"
"Gimana, Bang? Pulau Pari ... maksudnya?" Dara mengerjap-ngerjapkan matanya bikin Miko mendengkus seraya melepaskan pemandangan hujan di luar sana demi menggantinya untuk menatapi wajah penuh ekspresi tanya yang dipajang Dara.
"Saya inginnya ke Phu Quoc Island sih sebenarnya. Tapi, kita nggak punya banyak waktu untuk libur. Rega tentu nggak akan nge-acc juga sih kalau minta cuti. Apalagi dengan masalah yang saya ciptakan. Yang ada dia malah mencak-mencak. So, you wanna join me? I want to tell you something?" ungkap Miko.
"Nggak bisa bicaranya sekarang dan di sini aja?" lirih Dara yang dengan ringan Miko gelengi.
"Harus banget ke Pulau Pari?" desak Dara lagi.
"Hm."
"Beneran cuma sama aku?"
"Iya, sama kamu."
Dara belum tahu harus mengiyakannya atau enggak?
Bukan. Tentu bukan karena dia tak ingin pergi. Dara belum pernah ke Pulau Pari. Dia jarang sekali pergi-pergi. Terlebih, ini suaminya yang mengajak setelah empat bulan sudah mereka resmi menikah. Miko yang sedingin es batu selama ini, tahu-tahu menginginkan untuk pergi berdua. Sebuah kesempatan yang mungkin nggak selalu datang dua kali.
Cuma, kapan kiranya masalah ini bakal bisa terselesaikan? Benarkah mereka bisa lolos dalam menghadapi Kavi?
Dara enggak mengerti. Betul-betul enggak mengerti. Termasuk kala setelah bisu yang panjang Miko tahu-tahu menggumam pelan di sisi telinganya, "Sandara ...?"
"Hm?" Dara balas menggumam.
"Sandara ...?"
Dara sontak mendongak. Dan, Miko nggak sedang mengigau. Pria itu ternyata masih bangun. Kini mata mereka bahkan saling bertemu.
Sehingga Dara lekas menyahut lagi, "Iya, Bang?"
"I just want to call your name."
"Kenapa?"
"I just want to."
Dan, Dara hanya mengira-ngira. Entah benar atau justru kembali salah. Namun, sebelah tangannya yang entah memperoleh keberanian di mana langsung saja dia larikan untuk mendekap tubuh Miko. Bahkan tak peduli lagi dengan kakinya yang tak lagi bertumpu di atas bantal di bawah sana.
Pria itu boleh jadi terus saja mengelak jika dia tak lelah dengan semua ini. Dia boleh saja terus berlari untuk sibuk menyelamatkan semua orang. Namun, kerutan-kerutan di dahinya yang belum lama ini Dara temui nggak bisa bohong.
Dia juga frustasi dalam memerangi apa yang sekarang telah terlanjur terjadi.
Dara hanya berharap mereka betul-betul bisa menyelesaikan segalanya dengan baik sewaktu dia berbisik di dada Miko, "Ayo. Ayo, kita ke Pulau Pari nanti ya, Bang?"
Atau, ya ... ke mana pun asal mereka sungguh-sungguh dapat berhasil menghindari setiap serangan yang Kavi rencanakan.
***
"Gimana?"
"Lolos lah sesuai dugaan."
Ada decihan yang samar timbul. "Kita mulai rencana B kalau gitu."
"Lo yakin?"
"Hm. Seenggaknya, dia bakal sedikit sibuk. Enak bener gue doang yang dia bikin sibuk."
"Okay deh. Eh, lo udah ngomong?"
"Belum. Tapi, udah gue temukan caranya."
"Good. Lo harus beresin segera sebelum makin lama malah makin runyam."
"I know."
"Sip. Gue jalanin rencananya. Jangan kaget lo!"
Lalu, hanya ada satu decihan yang lantas menguar guna menanggapi.
***
Kami kembali. Cepet banget, ya?
Di sebelah kalau satu-dua hari ini saya merasa better, ntar saya update ya. Sekarang, beneran lagi ngerasa unwell. Nggak sanggup akyu kalau suruh ngedit, huhu. Jaga kesehatan selalu ya 💜
Eh, ya ada yang bilang buka QnA dums, Mbak. Boleh deh. Sini yo. Kalau ada yang mau ditanyain. Nanti disempatkan dijawab deh. Boleh terkait apa aja yang berhubungan dengan cerita ini kecuali kalau jawabannya dinilai akan terlalu spoiler wkwkkw.
Sandara?
Bang Miko?
Ko Iyel?
Kavi/Kapravda?
Simbaak?
Lainnya?
Terima kasih udah membaca cerita ini yo 💜💜💜
Lanjutan spoiler.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro