Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Relationship.

Everyone loves money.

Begitu pula Dara, tentu saja.

Namun, acap kali Dara tergoda untuk pakai uang yang setiap bulan Miko kirimkan ke rekeningnya, entah mengapa rasanya dia selalu dihantui oleh pemikiran bahwa, emangnya dia nih udah ngasih apa sih buat Miko?

Please!

Di apartemen Dara kan memasak tiap hari. Iya, memang. Tetapi, bukankah dia sendiri juga butuh makan? Dara jelas-jelas masak karena, itu lebih ekonomis daripada beli-beli di luar. Toh, selama ini kayaknya dia juga jarang kok misalnya masak-masak secara khusus gitu buat Miko, kecuali ya ... yang semur bandeng kemarin, itu pun bukan berdasar pada keingian Miko, tapi lebih ke request dari Mbah Nung.

Lalu, apa? Cuci baju? Dara pernah bilang kan jika Miko punya langganan laundry sendiri? Jadi, pria itu nyaris nggak pernah tuh titip-titip supaya Dara cuciin.

Beberes rumah?

Saat weekend, setelah mengitari jogging track di kawasan komplek apartemen biasanya sebelum pria itu pergi jalan buat main fun football bareng Mas Linggar atau nge-gym, Miko pastilah bakal lebih dulu meluangkan waktu guna mengelap-lap atau ya menyedot debu di seluruh ruang apartemen hingga kotoran-kotoran tandas tak bersisa. Menyisakan Dara yang lantas kebingungan mau memakai hari liburnya buat apa?

Actually, Dara lumayan sering sih bikinin kopi atau teh untuk sekadar menemani Miko baca berita pagi selagi menungguinya bersiap-siap sebelum mereka pergi ke kantor bersama.

Hanya saja, ya ... memang sebatas itu doang. Jadi, ya kali Dara bisa tega ambil uangnya?

Mana kalau kata Mbak May, "In all relationships there is what we call 'give and take'. Apalagi dalam pernikahan, Ra. Dua orang selalu butuh an equal balance. Jangan sampai yang satu kerjaannya cuma bisa ngasih-ngasih terus dan yang lainnya terlalu banyak menerima. Nggak bakal berhasil. Percaya deh, that the more time and energy we invests in the relationship, the better things are going to get."

Sudah dibilangin begitu, masa Dara nggak tahu diri juga?

Bagaimana pun Miko adalah orang pertama. Dara nggak pernah memiliki pengalaman dalam berhubungan seserius itu dengan seseorang sebelumnya. Jadi, ya ... bisa dikatakan dia buta dalam banyak hal. Maka, setiap nasihat yang dia dengar tentu berharga.

Lagi pula, setelah Dara berada di dalam ruang bawah tanah yang mendadak benderang—agaknya, Prita berhasil menemukan saklar yang ditanam untuk kemudian menyalakan lampunya—tiba-tiba dia merasa kalau jangan-jangan Miko nih sebetulnya cuma serasa sedang buang receh ke rekeningnya? Pria itu mungkin hanya mengirimkannya dan langsung melupakannya. Masa bodo mau Dara apakan toh, bagi Miko itu nggak seberapa!

Iya, bisa jadi kan?

Karena, kala Dara melihat melalui mata kepalanya sendiri betapa basement yang Miko sebut realitasnya lumayan melenceng jauh dari ekspektasinya.

Oh, iyalah!

Dari luar tempat ini tadi tampak begitu gulita. Udah macam lubang sumur tua gitu lah. Tetapi, ketika makin masuk ke dalam ternyata sama sekali nggak ada aura kegelapan. Pengap yang kerap kali menghantui di basement, nggak hadir di sana. Tempat itu juga nggak terkesan menyeramkan macam kebanyakan basement yang sering kali Dara temukan. Sungguh, dibanding basement itu justru lebih terkesan kayak mini galeri sih.

Kenapa?

Soalnya, cukup banyak foto-foto berbingkai kaca yang tergantung di dinding. Di sudut juga ada semacam theater mini gitu. Lengkap dengan sebuah televisi layar lebar yang menempel di tembok. Sofanya berwarna merah khas Cinema. Dan, mungkin hanya muat diduduki oleh dua orang. Prita sedang berdiri di sana, sambil sesekali mengelus permukaan punggung sofa.

"Saya suka nonton," bebernya tiba-tiba melalui nada bicara yang seolah jauh menerawang. "Dan, kalau ke bioskop buat nonton film pas midnight, itu pulangnya udah dalam kondisi tepar banget. Rasanya, pasti seru sih seandainya bisa nonton kapan saja di rumah. Saya pernah ngomongin itu ke Abang. Nggak nyangka Abang kepikiran untuk bikin hal kayak begini."

Tentu saja Prita bukan kepedean. Dara tahu kok rumah ini kan jelas-jelas dibuat untuk Prita. Agaknya, Miko memang telah menyiapkan segalanya guna mengarungi perjalanan kehidupan berumah tangga yang luar biasa bersama kekasihnya kala itu. Mini theater ini hanyalah salah satunya.

Yah.

Sebab, ketika menggeserkan mata ke arah dinding yang memuat potret-potret dalam bingkai kaca, yang disusun dalam pola super-aesthetic, Dara bak sedang digiring ke tengah-tengah acara photography exhibition. Nggak cuma satu-dua, nyaris semua jepretan kamera yang dipasang di sana adalah foto dengan substansi utama sosok Miko serta Prita. Kebersamaan keduanya. Pun, ya ... sepertinya, segala cerita tentang petualangan hubungan mereka.

Ah, inikah alasannya mengapa Miko bersikeras menentang untuk membawa Dara pindah ke rumah itu? Jujur saja, di tempat kini Dara berdiri ... sangat kuat menguarkan aroma Miko juga Prita. Serta ya, Dara nggak berhak protes juga sih. Bagaimana pun, sekali lagi rumah ini awalnya sengaja diciptakan Miko untuk Prita seorang. Memakai uangnya sendiri dan terjadi jauh sebelum Dara datang ke kehidupannya.

"Abang suka fotografi," Prita mengatakannya sewaktu Dara tengah lurus-lurus menatapi satu potret yang memuat landscape area pegunungan berselimut salju tebal, bersama bubuhan keterangan di sudut paling bawah gambar bertuliskan: Here, in Sa Pa.

Actually, Dara pernah ke Sa Pa. Hanya saja apa yang dilihatnya dalam foto kini sungguh berbeda dengan apa yang sempat dilihatnya secara langsung di hampir lebih dari dua tahunan lalu. Dalam foto yang menguasai penuh atensi Dara saat ini, tampak pemandangan pohon-pohon tertutupi guyuran salju. Terasa dingin menembus tulang. Namun, juga ... ya cantik.

Sementara, yang masih tertinggal dalam memori Dara adalah sebatas sebuah kota kecil yang di tengah hari pun suara jangkriknya terdengar cukup nyaring mengerik, yang jalanannya begitu sempit serta basah, yang gugusan kabutnya mengaburkan jarak pandang karena, ketika itu saat Dara berkunjung sepanjang hari hujan turun dengan lebat di Sa Pa. Seakan ingin membuktikan betapa dia enggak beruntung.

"Sayangnya, pas kuliah udah nggak lagi," imbuh Prita tiba-tiba yang sontak membuat Dara segera menolehkan kepala.

"Kenapa?" tanya Dara hati-hati. Takut pertanyaannya ini terkesan terlalu mau tahu.

Prita sendiri hanya menggeleng. Dara kira perempuan itu tak ingin memberitahukannya kepadanya. Ya ... mau gimana juga mereka pernah punya hubungan kan? Mungkin memang ada hal-hal yang Prita rasa nggak perlu dia bagikan pada Dara. Bagi Dara sih itu wajar jika mereka mau menyimpan kenangan mereka sendiri.

Namun, Prita justru menepis asumsi ngaco Dara tersebut melalui kalimat lugasnya, "Everyone has a secret yang andai saja bisa mungkin nggak bakal mereka ceritakan juga ke Tuhan. Iya nggak? Dan, boleh jadi itu adalah salah satu ... rahasia kecilnya Abang. Dia nggak pernah ngomong apa-apa sih ke saya soal itu. Lagi pula, kayaknya Abang juga udah nyaman sama interest barunya. Dia suka diving. Dia sempat dapat sertifikat juga dari Padi pas di Vietnam. Ah, sama dia juga suka shooting sih."

Dara yang mendengar penjelasan Prita kontan mengerjapkan pelan netranya. Bertambah lagi hal-hal yang baru dia tahu tentang Miko. Selain itu, ya ... Dara merasa bahwa dia bisa mengerti sih. Sebab, nyatanya toh Dara pun punya rahasianya sendiri yang hingga detik ini bahkan cuma sanggup dia bagi untuk dirinya, Tuhan, Ibu, dan Ko Iyel.

Tanpa sadar membuang napasnya berat, Dara lantas menuding melalui telunjuknya potret kota Sa Pa yang di pojokkannya juga diselipi tulisan tanggal yaitu 24 Desember.

"Terus, ini ... Bang Miko yang foto, Mbak?" tanya Dara menyadari jika gambar itu diambil baru sekitar satu tahunan lalu.

Prita kembali bergeleng. "Abang mana mau pegang kamera lagi. Itu ... saya yang foto di liburan bareng terakhir kami."

Dara kemudian ber-oh pelan.

"Anyway, Ra ...?"

"Iya, Mbak?"

Masih sambil berdiri dengan meremasi telapak tangannya, Dara bisa melihat wajah Prita yang tak hanya terkesan lelah, tapi juga tampak begitu muram bak dia tengah memikul satu gunung di pundaknya. Bahkan, ketika tadi Prita sempat tersenyum sewaktu bercerita soal Miko, senyumnya sama sekali tak lahir dari hati. Bagaimana Dara bisa tahu? Karena, dia sendiri juga cukup sering sih melakukannya.

"Maaf ya?" Lalu, Prita tahu-tahu mengutarakannya bersama matanya yang terlihat mulai intens berkaca. Dara terus lamat-lamat memerhatikannya sewaktu perempuan itu lanjut berkata dengan sedikit terbata-bata, "S-sungguh, saya nggak bermaksud buat jadi beban dalam rumah tangga kamu sama Abang, Ra. Saya beneran pengen Abang melanjutkan hidupnya sendiri bersama siapa pun pasangan yang dia pilih. Kami nggak berjodoh. Sesederhana itu yang perlu kami percaya. Dan, memang itulah faktanya.

"Saya ... dari awal nggak ada niat untuk membiarkan Abang berurusan dengan Kavi. Kami udah selesai dan Abang nggak ada lagi kaitannya sama saya. Tetapi, apa yang justru saya lakukan? Saya malah selalu datang kembali ke Abang dengan semua masalah-masalah yang saya miliki!

"Tetapi, sumpah, untuk yang satu ini saya ... betulan nggak sengaja. Demi Tuhan! Cewek itu ...." Bibir Prita mendadak gemetaran hebat. Agaknya dia kembali teringat mengenai peristiwa yang diakuinya sebagai pembunuhan itu. Dara ingin menyentuh punggung tangan Prita yang telah membentuk satu kepalan keras. Tetapi, urung sebab tangan itu tiba-tiba berlari kencang ke atas kepala perempuan itu demi meremat surai panjangnya yang tergerai dengan sedikit kusut. "D-dia ... dia eung, dia tiba-tiba datang ke rumah dan dia ... dia ngaku sendiri! Dia beneran ngaku sendiri di depan saya sambil bawa pisau kalau dia mau celakai anak saya! Ugh! Saya tahu itu pasti gara-gara Kavi!

"Lalu, itu ... itu ... terjadi begitu saja. Saya nggak ngerti kenapa bisa? Saya cuma lempar balik pisau yang dia arahkan ke saya, tapi ... tapi pas tubuhnya yang berdarah dibawa sama Kavi, cewek itu udah nggak ada napasnya! Saya ... saya bingung! Saya nggak ngerti! Saya-"

Kata-kata Prita tak selesai. Sebab, naga-naganya tak hanya Dara yang berhasil mendengarnya. Prita pun begitu.

Sebuah suara yang tiba-tiba hadir dari atas kepala mereka.

Suara yang Dara kira nggak bakal tembus terdengar hingga ke ruang bawah tanah. Namun, sungguh, benturan yang barusan terjadi seolah sangat dekat jaraknya dari tepi telinga Dara. Bunyinya begitu nyaring. Bak suara benda jatuh yang disertai pecahan sesuatu entah kaca atau barang pecah belah.

Lalu, tak berhenti sampai di sana. Dara tak terlalu yakin apakah dia sukses menghitung jedanya hingga lima atau enggak? Akan tetapi, desingan itu benar-benar terdengar dua kali dan saling berurutan, menyerang indra pendengaran Dara secara telak.

Nggak, Dara tak ingin percaya! Tetapi, itu ... rasanya memang betul-betul suara peluru yang dilesakkan.

Dan, tanpa sanggup berlama-lama dia cegah, kepala Dara spontan mendongak. Menatapi nanar atap di atas wajahnya yang tengadah. Kemudian, kelebat bayangan Miko yang tadi menerima satu revolver dari Akhyar bak menggantung di pelupuk mata Dara.

Perempuan itu bahkan belum sepenuhnya mampu menerjemahkan situasi yang saat ini sedang terjadi sewaktu telinganya sayup-sayup mendengar rintihan lirik dari arah Prita.

Begitu berbalik, Dara akhirnya dihadiahi atau justru dikutuki sewaktu matanya menemukan pemandangan berupa Prita yang meringis bak menahan sakit dengan darah segar yang mulai mengalir di betis wanita itu.

Itu ... jangan bilang, janinnya luruh? Atau, malah mau lahir?

Oh, Tuhan!

Nggak, nggak, nggak! Seenggaknya, jangan sekarang dan di sini!

Dara yang otomatis berlari segera meraih badan Prita yang sempoyongan agar bersandar di tubuhnya yang sebetulnya terasa mulai dihinggapi oleh nyeri di mana-mana. Namun, ya sakitnya bisa menunggu. Dara tetap harus melakukan sesuatu!

Tapi, apa? Apa kiranya yang bisa dia lakukan sekarang untuk menolong Prita dan bayinya? Untuk menepati janji yang telah Dara buat sebelumnya kepada Miko untuk menjaga keduanya?

Oh, Tuhan ....

Apa?!

***

Kami kembali 😳😳😳

Oh ya. Di Semestinya Cinta ini eyke selalu membuka bab pakai narasi-narasi atau dialog berisi masa lalu, sad fact, fun fact, sekilas info, atau bahkan persepsi dari tokoh utamanya khususnya Dara. Itu bukan paragraf gaje yang nggak ada maknanya. Bukan asal ditulis biar panjang. Huhu. Sama sekali bukan. Itu adalah jawaban dari segala pertanyaan yang perlu ditanyakan dalam cerita ini. Salah satunya mungkin kenapa Dara menikah sama Miko? Bahkan udah sempat dijawab. Kenapa dia pilih Miko? Udah sering disinggung. Kenapa respons Dara begini-begitu? Udah sering dijembrengin apa-apa aja yang dia lalui. Yang belum diketahui di sini adalah kenapa Miko ini dan itu? Selama ini Miko dikenal hanya sebatas dari asumsi Dara, hehe.

Eyke nggak menciptakan Dewa di sini. Semua eyke pastikan punya kecacatan. Semua tokoh yang sering di-mention punya andil dan peran mereka sendiri yang ada kaitannya sama tokoh-tokoh utamanya. Bahkan di opening bab 14 yang kamyu mungkin belum tahu artinya hari ini, akan datang harinya bakal tahu kenapa adegan itu perlu ditulis.

Alur yang lambat sekali lagi sorry nggak bisa eyke hindari. Ayo, kita ketemu alur cepat di judul cerita yang lain aja yo 🙏😭😳

Terima kasih untuk kamyu Si Luar Biasa yang udah selalu bersabar dalam menghadapi cerita ini sampai sini. Dapat hug dari Mimi Peri nih 💜💜💜

Spoiler bab 56.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro