Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Pulang.

"Mau minum?" tanya Miko. Selepas menghidupkan AC, tangannya lantas bergerak guna meraih satu botol air mineral yang ia simpan di console box.

Dara mau menolak juga kayaknya percuma. Karena, selain telah mengansurkan botol tersebut ke hadapan wajahnya, Miko juga tak lupa untuk mencelupkan sebuah stainless straw melalui lubang botolnya. Jadi, Dara harusnya ya tinggal nyedot aja.

Tapi, ya kali langsung minum begitu aja sih?!

"Anu—"

"Baru itu. Bersih," tandas Miko yang agaknya mengira kalau Dara mau protes soal sedotannya. Padahal mah sama sekali bukan! Dia cuma ... ya em, lil bit confused. Haruskah dia minum sambil Miko yang pegangi, atau mestinya dia justru berusaha untuk pegang sendiri?

Dara lantas menalar bila opsi ke dua lebih normal dan masuk akal. Dia hendak meraih botol itu menggunakan tangan kirinya yang lukanya kebetulan memang tak separah bagian kanan, tetapi tangan Miko yang bebas tahu-tahu menampiknya ringan.

"Saya pegangin. Minum!" titah Miko yang ... kenapa sih perkara minum doang nyampe maksa amat?! Mana bersikeras megangin pula, sebegitunya kah dia takut dalam kondisinya ini Dara bakal menumpahkannya dan bikin kabin mobil mewahnya ini kotor?

Dara nyaris saja cemberut, tapi memilih untuk tak terlalu memusingkannya. Dia lantas minum beberapa tegukkan dari botol itu.

"So, beneran keserempet?" tanya Miko yang gara-gara Dara masih dalam posisi minum maka, perempuan itu hanya menjawab melalui pergerakan alisnya yang dia tarik meninggi.

"Terus, pelakunya? Damai?"

Kali ini Dara sontak menjauhkan bibirnya dari mulut botol. Dia juga sempat menggigiti samar bagian bibir bawahnya sebelum lantas menyahut ragu, "A ... aku sebenarnya nggak sempat lihat sih, Bang."

"Jadi, maksud kamu tabrak lari?" Miko segera menyimpulkan.

Dara otomatis mengibaskan tangannya, menolak gagasan Miko. "Nggak tabrak lari juga sih. Anu ... beneran cuman nyerempet aja kok, Bang."

"Kalau nyerempet saja begini, berarti kalau nabrak mati?"

"Bang ...."

Miko menarik kembali botol yang telah ditutupnya untuk kemudian dia lempar secara sembarang ke kursi belakang.

"Di mana kejadiannya? Beneran nggak kekejar orangnya? Tapi, ada yang lihat?" desak pria itu, matanya tampak memburu.

Dara menggeleng patah-patah. Sudah ia duga bahwa Miko akan memetik konklusi soal peristiwa serempetan tersebut dengan sarat akan perseptif. Kendati, dia sempat terang-terangan bilang jika kematian Dara bukanlah sesuatu yang terlampau berharga, tetapi bila benar itu terencana maka, mungkin dugaan Maula enggaklah meleset. Miko sedang diincar, berikut juga dengan para anggota keluarganya. Meski, Dara tetap berharap kalau semua ini terjadi hanya karena sebatas asas ... kebetulan.

Yah.

Itulah mengapa selanjutnya dia tetap berupaya memberi alasan, "Jalan yang aku lewatin emang nggak banyak yang make, Bang."

Namun, balasan itu malah berhasil mematik Miko untuk mengeluarkan desahan lelah.

"Sandara ... bisa nggak kamu kalau ngelakuin sesuatu itu yang benar dikit?" Dia bahkan memicingi Dara melalui netranya yang terkesan galak. "Jangan ceroboh! Belum cukup kamu membakar apartemen saya? Sekarang, ketabrak motor. Besok-besok mau apa lagi kamu?!"

Dara rasanya ingin buru-buru meremas jari-jemarinya, tapi sadar dengan kondisinya saat ini tentu nggak mungkin bisa. Oleh karenanya, dia lantas mengepalkan tangannya yang tak terbalut perban erat-erat di atas pangkuan, sambil lanjut menutur, "Maaf."

"Saya bahkan nggak ngerti yang mana yang perlu saya maafin di sini?" gerutu Miko. "Udahlah pakai seat belt-nya!"

Dan, Dara pun berakhir dengan lagi-lagi menurutinya. Hingga ketika suara mesin M4 milik Miko yang merdu menderu meninggalkan pelataran VER, bergabung bersama deretan mobil-mobil lain di jalanan yang ....

Tak lagi menatap ke depan, Dara gegas memalingkan wajahnya ke arah Miko yang mengemudikan mobil dengan cukup pesat—toh, rata-rata jam operasional kantor memang belum usai—untuk menuju lajur jalan yang nggak seharusnya mereka lewati andai mau ke rumah Mama Asmita.

"Bang, bukannya kita mau pulang?" tanya Dara tak tahan. Lagi pula, ya siapa tahu mendadak Miko berubah pikiran kan dan justru membawanya ke tempat Prita, misalnya? Siapa coba yang bisa menduga pria itu berserta apa yang terkandung di dalam benaknya?

"Memang," Miko menyahut cuek.

Kembali celingak-celinguk macam cacing kepanasan di kursinya, Dara memanjangkan matanya demi menembus kaca sewaktu mereka berbelok di dekat toko mebel.

"Tapi, ini kayaknya bukan jalan tercepat buat ke rumah Mama deh, Bang?" timpal Dara memvokalkan prasangkanya.

Miko menyalip satu motor di bahu jalan yang terlihat keberatan menandu kardus super-besar, ketika membalas tanpa sedikit pun menolehi Dara, "Kamu masih mau pulang ke rumah Mama dengan kondisi kayak gitu?"

"Hah?"

Kali ini pria itu seolah sengaja membunyikan aktivitasnya dalam membuang napas.

"Mama saya bisa jantungan lihat kamu sampai di rumah sudah dililitin perban kayak lemper begitu!" omel Miko.

Eung, iya juga sih. Miko enggak salah. Dara sama sekali nggak mempertimbangkannya. Pas Dara datang dalam kondisi baik-baik saja, tanpa adanya sebaret pun luka sewaktu apartemen Miko kebakaran, Mama Asmita bahkan sampai memeluknya erat bak Dara habis balik dari medan perang. Mana Mama juga sempat menangis histeris hingga bikin Maula sakit kepala untuk menenangkannya.

Lha, ini badan Dara bukan cuma terhiasi oleh segores saja luka. Dia tadi udah dapat jahitan sebanyak empat buah. Perbannya menyebar mulai dari kepala hingga kaki. Sekali melihatnya dalam kondisi ini, Mama Asmita jangan-jangan langsung pingsan atau bahkan serupa yang dibilang Miko, Mama Asmita mungkin saja bisa jantungan!

Terlebih, dengan masalah yang sedang menimpa Miko. Kalau Dara pulang dalam keadaan kayak begini, Mama Asmita bisa-bisa malah jadi tambah kepikiran. Dara cuma akan nambah-nambahin beban kecemasannya.

"Terus, sekarang kita mau ke mana, Bang?" ujar Dara seraya merebahkan punggungnya ke jok mahal mobil Miko yang terasa kontan mendekapnya erat.

Namun, ya sayangnya Miko agaknya nggak ingin berbagi apa-apa lagi dengan Dara sehingga sisa perjalanan mereka cuma diisi oleh suara Zyan Malik yang terus menyanyi, mengulang-ngulang lagu yang sama.

It's our paradise and it's our war zone.

It's our paradise and it's our war zone.

***

Berbeda dengan rumah Mama Asmita yang kendati hanya satu lantai, tapi memuat kesan homey nan classical. Satu banguan yang baru saja Miko buka pagarnya itu sangat ... em, bagaimana ya Dara menjelaskannya?

Dari luar, itu ... memang tak terlihat seluas rumah milik Pak Rega—salah satu konglomerat yang kediamannya sering kali Dara sambangi—tapi, estetiknya hampir-hampir berada di level sebelas-dua belas.

Dara bahkan dibuat terkagum-kagum kala menangkap banyaknya kaca yang melapisi bangunan dua lantai berbentuk kotak-kotak yang seolah ditumpuk tersebut.

Tak berhenti di sana. Lampu berpendar kekuningan yang bak menembus dinding kaca tampak bagai matahari yang menyala begitu mereka tiba.

Ah, ya biar pun halamannya tak seberapa luas, ada satu carport di sana. Miko baru saja memarkirkan M4 merahnya, membuka pintu kemudi pria itu sontak berlari-lari kecil demi kembali menutup celah di pagar. Dara mengamatinya termasuk ketika pria itu berjalan ke arah mobil, membuka pintu di sisinya duduk, lalu tanpa babibu lagi-lagi Miko ujug-ujug mengangkat Dara seenaknya dalam gendongannya di depan dada.

Dara tentu saja refleks berteriak bersama nada bak kakinya telah terinjak, "Bang! Aku bisa jalan sendiri!"

Namun, bagi Miko seruan itu mungkin rasanya cuma kayak bisik-bisik ya sebab, realitasnya jangankan menurunkan Dara sesuai yang terus perempuan itu serukan, saat membuka pintu utama rumah pun Miko tetap menyandra Dara guna melekat di tubuhnya. Entah bagaimana lah dia melakukannya!

Dan, Dara pada akhirnya justru cuma bisa dibuat terbengong-bengong lagi, karena ... di dalam rumah ini ternyata situasinya benar-benar kosong! Sungguh nggak ada tampak perabotan apa pun. Kecuali, kawasan dapurnya sih yang begitu langkah Miko membawa mereka ke sana, Dara bisa menjaring terpasangnya kitchen island dengan dua stool berwarna putih bersih.

Dara yang kemudian didudukkan tepat di atas salah satunya saja ngerasa penuh dosa banget pas bersentuhan secara telak dengan perkakas super-mengkilat itu.

Lidahnya yang gatal pun bahkan nggak bisa membendung dirinya untuk menahan diri agar tak menanyakan soal, "Ini ... rumah siapa, Bang?"

Sesungguhnya, Dara udah punya jawabannya. Cuma, dia ragu. Rasanya baru kemarin dia dengar sendiri di mana Miko sampai rela bersitegang dengan Mama Asmita di depannya. Miko jelas-jelas mengatakan kalau dia mustahil membawa Dara ke rumah yang telah disiapkannya andai dia menikah bersama Prita.

Namun, ini ....

"Sementara kita tinggal di sini," ujar Miko seraya berjalan meninggalkan Dara ke arah kulkas dua pintu di pojok dapur. "Seenggaknya, sampai luka-luka kamu nggak lagi berpotensi bikin Mama saya pingsan."

"Tapi, Bang ... kita belum ngomong sama Mama?"

Iya. Bukannya nanti Mama Asmita malah khawatir kalau mereka tiba-tiba ngilang dan nggak balik ke rumah? Ini juga baru kepikiran oleh Dara sekarang. Entahlah belakangan dia suka lelet banget kalau disuruh mikir, pantas saja Pak Rega suka mencak-mencak meladeninya.

"Ya nanti kita telepon," tegas Miko santai sembari mulai membuka kulkas yang begitu Dara intip ternyata isinya udah lengkap banget.

Aneh nggak sih? Padahal rumah ini beneran melompong loh, bisa dipakai main bola kali saking tiap ruangannya begitu terbuka. Apa jangan-jangan Miko sering tinggal di sini? Kalau nggak buat apa juga dia bela-belain nge-stok makanan? Kecuali, kalau dia tahu sejak awal bahwa hari ini Dara bakal kecelakaan, menderita luka-luka yang bikin dia nggak bisa tinggal di rumah Mama, terus Miko sengaja preparing semua itu. Sesuatu yang pastinya terlalu halu dan mustahil sih!

"Kamu doyan sosis?" tanya Miko dalam posisi setengah berjongkok entah untuk mengambil apa dari lemari pendingin.

"Hm," gumam Dara.

"Sosis barbeque, mau? Kayaknya ada nasi juga di sini."

Kali ini Dara tak langsung mengiyakan. Sambil mengikuti pergerakkan Miko yang memboyong daun bawang, kemasan sosis, juga bumbu-bumbu menuju dekat kompor, Dara yang sempat melirik ke arah tangan berbalut perbannya lamat-lamat mengujar, "Tapi ... Bang aku mungkin belum bisa masak—"

"Siapa yang suruh kamu masak?" gunting Miko bersama tubuhnya yang sukses ia putar ke arah Dara.

"Terus, siapa yang masak? Abang?"

"Iyalah."

"Tapi ... kenapa?"

Ya, kenapa?

Kenapa tiba-tiba Miko mau masak untuknya?

Oh, enggak. Ada yang lebih awal dari itu.

Kenapa Miko menggendongnya?

Kenapa Miko bahkan membawanya pulang ke sini?

Rumah yang ... tentulah bukan tempat yang pria itu harapkan sebagai arahnya pulang jika dia enggak bersama Prita.

"Rumah ini ...." Bukan dalam hati, Dara mengejakannya melalui lidahnya sehingga Miko pastilah mampu secara jelas mendengarnya.

"Bukannya ...." Perempuan itu menelan salivanya yang terasa pahit di ujung lidah. Tapi, dia tetap harus menyelesaikannya. Sehingga Dara lantas menyambung sumbang, "Ini rumah yang Abang bangun buat Mbak Prita. Iya kan? Kenapa tahu-tahu aku ada di sini?"

Dara sama sekali nggak mampu membaca raut wajah Miko yang tampak datar saja terpatri di matanya. Pun, dia masih menunggu pria itu tergerak untuk menjawab.

Namun, bukan suara Miko. Yang selanjutnya Dara dengar membanjiri area lubang telinganya adalah bunyi ketukan ringan di daun pintu.

Siapa?

Siapa yang datang kiranya? Karena, Miko bahkan nggak perlu menunggu lama untuk berjalan menghampiri itu.

Dara rasanya lagi-lagi tahu jawabannya. Hanya saja dia tak ingin menebak.

Jadi, dia memilih menunggu.

Menunggu kejutan apa yang akan Miko bawa kali ini.

***

Halo kami kembali.

Anyway, ada yang mau sharing bagaimana ceritanya waktu pertama kali bisa nemuin cerita Bwang Gonjreng Mikoh alay dan Mbak Dara ini?

Terima kasih udah menunggu, membaca, dan setia mengikuti cerita ungu ini ya. Juga, untuk dukungannya selalu 💜💜💜

Spoiler bab 50 dulu deh 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro