Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Telepon.


Dulu Dara masih sekitar lima tahuan waktu baru mulai belajar makan sendiri. Dan, dia ingat kalau itu hari Jum'at saat langit di sekitaran Pasar Randusari memutih terselimuti mendung. Gerimis terus turun sedari pagi. Mungkin itu jugalah yang menahan Ibunya di toko Cik Erika lebih lama. Sehingga setelah melewatkan makan siangnya—sebab, berpikir jika Ibu bakal datang menjemputnya tepat waktu—Dara akhirnya berhenti menolak tawaran Buliknya yang siang itu masak pepes bandeng. Jujur saja, sejak awal waktu Bulik mulai masak Dara udah sempat kepincut sama semerbak bau gurihnya sih. Cuma, ya selain emang betul-betul lagi nunggu Ibunya biar mereka bisa makan bareng-bareng di rumah, Dara kecil juga masih ingat malu. Ya kali tiap hari dia ngantong melulu. Walau Bulik keluarganya dan nggak pernah terlihat keberatan, tapi kan tetap aja Dara nggak ada nyumbang buat beli berasnya.

Jadi, ya dia sempat bertekad untuk nggak numpang makan hari itu. Meski niat itu akhirnya toh gagal tepat ketika sepiring nasi putih yang masih mengepul lengkap dengan lauk berupa seiris ikan bandeng sama sambal goreng kentang terhidang di depannya, sekaligus membikin cacing-cacing dalam perutnya kompak menyanyikan lagu wajib 'lapar lapar lapar'.

Bulik sempat mau menyuapinya yang tentu aja segera Dara tolak. Ya masa udah numpang makan dia mau numpang ngebabuin juga? Itu namanya ngelunjak kali! Biarpun Dara masih kecil, tapi dia bisa merasa nggak enak juga loh. Apalagi Ibu selalu mewanti-wanti supaya mereka sebisa mungkin nggak bikin repot orang.

Tangan-tangan kecil Dara sedang berusaha mencuil daging bandeng lalu menyatukannya dengan nasi serta kentang, mulutnya pun telah menganga selebar goa sewaktu suapan ketiga itu meluncur bagai pesawat. Dara mengunyah dengan hikmat melalui gigi-giginya yang ompong tengah. Entah itu sudah genap 32 kali kunyahan atau belum ketika dia mulai menelan dan merasakan sesuatu tiba-tiba terasa nyangkut di tengah-tengah tenggorokannya. Perih, nggak nyaman, sakit dan Demi Tuhan—setelah meminum bergelas-gelas air garam, menghabiskan satu sisir pisang, juga nyaris dibawa ke Puskesmas—jikapun cuma tersisa bandeng untuk dia makan, Dara sih mending puasa!

Ya, harusnya Dara puasa aja bukannya malah berdiri di dapur apartemen Miko—jujur, Dara masih nggak enak ngaku-ngaku sebagai pemiliknya juga, terlebih Miko pun nggak pernah tuh ngomong kalau Dara boleh menganggapnya sebagai rumah sendiri—sambil membagi pandangan ke arah buku resep pemberian Mbah Nung serta wajan berisi semur bandeng yang hampir tanak.

Dara baru mau mengaduknya satu kali lagi begitu dari arah balik punggungnya dia justru mendengar datangnya suara tegas Miko.

"Ibu hubungin saya katanya telepon kamu, tapi nggak kamu angkat."

Itu mungkin kurang dari sedetik kala Dara memutuskan untuk berbalik seraya menjawab, "Oh ... itu aku nggak denger."

"Dari seminggu lalu ditelepon tiap hari selalu nggak dengar?" Miko mengatakannya tanpa meninggalkan aktivitasnya yang sedang tampak repot membuka-buka lembar dokumen. "Hubungi baliklah. Beliau pasti cemas seminggu anak semata wayangnya nggak ada kabarnya. Tahu-tahu besok datang Polisi buat ngegerebek apartemen ini ngira saya sudah mutilasi kamu di sini kan berabe." Dia bahkan meminum kopinya sambil berdiri. "Kok diam?" lanjutnya sejurus kemudian sembari mengangkat pandangan sekilas ke arah Dara.

"Ya, terus?" Haruskah Dara goyang tik-tok di sini?

"Hubungi Ibu," titah Miko mengulang.

"Iya." Bawel deh ih! Biasanya juga suka nggak ngurus.

"Oh iya, kamu udah order grab kan?"

"Ngapain order grab?"

"Oh, kamu mau jalan kaki? Emang masih keburu?"

"Ngapain jalan kaki?" Gila aja nih Miko dikata Dara Rambo apa suruh jalan ke SCBD!

"Terus? Mau nebeng saya?" Bukannya emang tiap hari gitu di nyaris empat bulan ini? "Saya langsung jalan ke Soetta. Nggak ke VER."

IHHHHH JATMIKO SIMELEKETE NGAPA BARU BILANG?!

Dara langsung melirik jam dinding. Dia punya waktu kurang dari 20 menit. Atau, dia bakal telat dan otomatis potong gaji. Sial!

"Abang mau ke Soetta. Ngapain?" Setelah mengatakannya Dara sadar bahwa itu pertanyaan bodoh. Ya kali ke Soetta mau mancing? Mancing klien kakap mungkin iya. "Abang ada dinas keluar emang?"

"Saya mau ke Batam."

"Batam yang undangan event bareng Dekranasda?" Setahu Dara memang cuma ada agenda tersebut, tapi .... "Lho, bukannya itu Pak Rega sendiri yang berangkat?"

"Saya gantiin."

"Kok nggak konfirmasi dulu ke aku?"

"Handphone itu alat komunikasi bukan ganjel pintu. Ceklah!"

Dara berjalan ke sudut lain dapur. Meraih ponselnya yang ia geletakkan begitu saja tak jauh dari kitchen sink, dia lantas membuka benda yang tengah dalam mode hening itu.

Dan, benar.

Ada notifikasi pesan dari Pak Rega—Bosnya.

|01.17 a.m|

Pak Norega: Dara reschedules semua meeting to another date. Suddenly, something unexpected has came up.

Pak Norega: Masalah undangan ke kampung tenun biar Miko yang berangkat.

Pak Norega: Dan

Pak Norega: Jangan banyak komen!

|01.20 a.m|

Pak Norega: Dan

Pak Norega: Sehari aja jangan bikin kacau!

Pak Norega: Awas kamu.

"Calibra sakit semalam mesti ke ICU," ujar Miko.

Mata Dara melebar. Antara membayangkan satu wujud bocah berusia dua setengah tahun yang kerap kali menggelendot bak lintah pada ayahnya setiap kali datang berkunjung ke kantor, juga membayangkan kabarnya nanti ketika kembali ketemu ayah bocah itu yang mungkin sudah punya seribu kata-kata mutiara beraroma sambal matah yang hendak dilayangkan kepada Dara.

Hish! Kok bisa-bisanya sih Dara mengabaikan pesannya begitu aja?!

Secepat kilat Dara lalu menekan-nekan keyboard ponselnya.

Dara: Bqik paal

Saking cepatnya dia bahkan harus terjebak typo dan segera memilih opsi hapus pesan.

Anda telah menghapus pesan ini.

Dara: Baik, Pak.

Lalu berpikir bahwa ada yang kurang di sana sehingga buru-buru ia menambahkan.

Dara: Saya doakan Kakak lekas sembuh, Pak.

Dara: 🙏

Sebelum akhirnya melakukan manuver sigap untuk mencari-cari tabletnya demi dapat mengecek daftar list of events milik Pak Rega pada board yang telah disusunnya. Sekejap saja tangannya sudah sibuk memindah-mindahkan jadwal rega hari ini ke hari-hari yang sekiranya masih memungkinkan untuk disisipi satu-dua agenda. Selanjutnya, dia pasti akan sibuk menghubungi beberapa orang sehingga dia sempatkan buat menggarap list-nya sekalian.

Sementara Dara sedang sibuk meninjau, Miko sudah berdiri dari kursinya dan bergerak untuk menyambar satu koper berukuran 18 inchi yang Dara bahkan baru sadar ketika melirik jika koper itu sudah ada di sana .... mungkin sejak awal?

"Abang nginep?" tanya Dara. "Bukannya agendanya cuman ketemu dan bincang-bincang aja? Biasanya nggak nyampe jam empat pasti udah beres," kejar Dara.

"Habis dari Batam saya langsung ke Singapura."

"Bukannya conference sama B-Press media yang jalan Pak Amer. Memang Abang mau gantiin juga?"

"Yang bilang mau ke conference siapa? Saya ambil cuti buat besok," tukas Miko.

"Cuti? Cuti apa?"

"Cuti yang nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi, saya nggak perlu ngasih tahu kamu kan?"

Dara refleks menggembungkan pipinya gemas. Dasar Jatmiko Keparat!

Dara baru mau unjuk protes. Namun, ponselnya keburu berdering. Dering yang ....

"Wow, tetangga sebelah unit juga kayaknya bisa dengar deringnya tuh." Miko jelas menyindir Dara yang tertangkap basah berbohong perihal kondisi ponselnya. "Angkatlah. Keseringan pura-pura nggak dengar nanti budek beneran berabe kan?"

"Bang itu ...."

Miko menggapai semua berkas di meja dalam sekali sentakan, sebelum menyongsong pintu dia lebih dulu berkata, "Naik ojol aja daripada telat. Dan nggak usah ngantar ke depan. Angkat teleponnya!"

Dara mendesah ketika bunyi suara pintu ditutup hadir bersamaan dengan saat ia menggeser tombol hijau di layar.

"Ra?" Itu ... suara Ibu. "Ra? Kamu di situ kan?"

Menyenderkan pinggulnya pada sisi meja, Dara memijit pelipisnya ringan kala menyahut pelan, "Hm. Kenapa, Bu?"

"Ra ... kamu bisa bantu kan?" Ibunya bertanya begitu to the point, meski demikian Dara sanggup menangkap terselipnya nada hati-hati di sana.

Dara mendesah panjang seolah dia betul-betul habis berlari menuju SCBD. "Bu, kenapa masih peduli sih?"

"Iya dia mungkin salah Ra, tapi ...."

"Ibu lupa, ya? Bagi kita dia tuh udah lama nggak ada."

"Iya, Ibu tahu, tapi kita juga sama-sama tahu kan dia itu nekat, Ra. Gimana kalau dia malah datengin dan bikin masalah sama Nak Miko? Gimana kalau—"

"Bu," Dara memotong dingin. "Kalau dia sampai nyamperin aku atau bahkan Bang Miko yang dia nggak ada kenal lebih-lebih cuma buat bikin masalah ... itu namanya dia kurang ajar. Dan aku nggak akan diam aja." Kayak dulu.

"Ra ...." Kendati Dara mencoba berpura-pura nggak dengar, getar putus asa itu rasanya begitu menyakiti telinganya. Namun, dia telah bertekad. Dan, dia tak ingin terbujuk untuk ke sekian kalinya oleh suara semi persuasif—yang jujur saja, sangat berat untuk diabaikan—milik Sang Ibu.

"Jangan telat makan, Bu. Jangan tidur kemaleman juga. Terus, olahraga yang cukup. Nanti Dara minta Kim buat resepin Ibu vitamin. Dan, buat hal ini jangan kita bahas lagi, ya?"

Di seberang sambungan giliran Ibu yang menghela napas. "Iya, Ra. Kamu juga sehat-sehat ya dan yang akur sama Nak Miko," tutup Ibu berpesan.

Sambungan itu baru terputus. Dara bahkan masih menggenggam ponselnya erat di tangan saat dering yang sama kembali berteriak dari arah ponselnya.

"Kenapa, Bri?" Tanpa basa-basi Dara membuka percakan tatkala ia memutuskan menerima panggilan dari Brigita—Resepsionis VER.

"Mbak Dara udah on the way kan?" tanya Brigita bersama nada waswas yang kental.

"Kenapa?" Dara mengulang, kali ini lengkap dibarengi oleh intonasi waspada.

"Ini di kantor ada orang yang maksa ketemu Pak Rega padahal belum ada bikin appointment. Maksa banget Mbak orangnya. Bri nyampe pusing. Udah gitu dia juga—"

"Siapa?" gunting Dara tak sabar.

"Ya?"

"Siapa orangnya?"

"Itu anu—" Brigita belum menyelesaikan penjelasannya. Namun, satu wajah berkelebat begitu saja di pikiran Dara. Sehingga dengan kekuatan bernama kepepet dia pun menyambar apa saja yang mesti dia bawa.

Satu hal yang harus Dara pastikan—jikapun dengan itu dia mesti benar-benar berjalan kaki sampai gempor ke SCBD—segera sampai di VER jelas adalah sesuatu yang nggak bisa dia tawar.

***

Betewe, itu kompor Mbak Dara udah dimatiin belum sih? 🤣

Betewe kamyu seneng nggak kalau akyu update? 🤣

Peyutnya ulululu ntar dianu Bwang Mikoh Mbwak 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro