Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Mengerti.


"AUGHHH!"

"Eh, buseeet copot ayam!"

Menyusul kemudian hadirnya serangkaian bunyi 'buk' benturan ringan yang cukup mengagetkan.

"..."

"Eh, ayam? Eh, aya—lho ... Dara? Eh, astaga! Kenapa, Ra?"

Dalam posisi terduduk akibat barusan terjatuh di lajur paving block yang mengarah tepat ke barrier gate—actually, nggak jauh dari mulut basement—Dara yang pias cuma bisa menggeleng ragu dengan tangan yang terus meremat kuat tali tasnya. Ogh! Dia mungkin juga sama sekali nggak mengindahkan mengenai posisinya yang kini udah nyaris rebah di tanah sih.

Lagi, emang itu penting?

Dalam hal ini teresensialnya adalah dapat dipastikan bahwa Dara telah berhasil keluar dari kawasan basement yang gelap nan sarat akan kerawanan kan?

Augh, ya ... kendati dia hampir menabrak Mas Linggar—atau, obviously malah udah—yang tampaknya tengah bersiap-siap pulang lengkap dengan satu buah helmet di tentengan, juga tentunya Kawasaki Ninja sewarna kuning pisang andalannya yang beberapa saat lalu bagian ekornya agaknya betulan sukses ditubruknya.

Ugh! Sheesh.

Napas Dara masih tiada jeda memburu.

"Lihat setan lo?" tembak Mas Linggar tiba-tiba dalam semi bisikan seraya mengulurkan sebelah tangannya ke hadapan wajah Dara, sedang matanya lantas dengan ngeri ia picingkan untuk persis mengarah ke belakang punggung perempuan itu. "Di basement denger-denger sih emang ada setannya tahu. Lo beneran abis lihat penampakannya? Serius yang nunggunya Mbak Kunkun? Apa Poci? Hih! Ada yang bilang cewek baju merah, tapi punggungnya bolong. Bener?"

Ini Mas Linggar ngomongin apa sih?

Meresponsnya Dara cuma bisa menggeleng patah-patah.

"Nah, kalo bukan papasan sama hantu terus ngapain lo lari-lari?"

Lagi, Dara hanya membalasnya melalui sebuah gelengan pelan yang terkesan enggan.

Di depannya, Mas Linggar yang udah sepenuhnya menatap Dara kontan mendesah. "Miko nggak jemput?" tanyanya yang sepertinya belum mau menyerah mengajak Dara mengobrol begitu berhasil membantu Asisten Pribadi dari Bosnya tersebut guna kembali dengan tegak berdiri.

Dan, untuk ke sekian kalinya Dara cuma bisa menggeleng lagi.

"Mau nebeng gue aja? Yuk?" tawar Mas Linggar yang sesungguhnya lil bit gambling. Namun, surprisingly nggak butuh negosiasi lebih jauh karena sedetik dari ketika bibirnya kembali terkatup, kepala Dara telah dengan enteng menganggukinya.

Tumben.

Bukannya apa-apa cuma gimana, ya? Di antara cewek-cewek di VER bisa dibilang selama ini yang paling susah buat diajakin pulang bareng atau bahkan nongkrong ya ini ... Sandara lah orangnya—bahkan sejak sebelum dia menikah.

Nggak tahu deh emang dia orangnya tipe-tipe yang nggak enakan sehingga ogah ngerepotin orang lain, atau dia emang se-introvert itu, atau ... ya entahlah pokoknya gara-gara saking sulitnya Dara ini untuk digapai to be honest Mas Linggar sempat ada pernah em, sedikit naksir gitu lah. Tertantang lah jiwanya.

Cuma, ya udah keburu Dara nyebar undangan duluan bareng Miko. Aktifitas naksirnya pun resmi berakhir.

Awh! Iyalah. Sorry dorry strawberry pria itu boleh jadi gampang jatuh hati, tapi menyukai istri orang lebih-lebih istri temannya adalah amit-amit jabang bayi! Nggak ada dalam kamus fair play-nya!

"Eh, Ra bentar deh. Itu ... dengkul lo kayaknya lecet nggak sih? Gara-gara nubruk motor gue barusan?" tunjuk Mas Linggar sewaktu Dara telah berjalan mendekat serta hendak menerima satu helm yang Mas Linggar angsurkan.

Spontan mengikuti pandangan Mas Linggar, tampak jelas di mata Dara bahwa ada luka di lutut sebelah kirinya. Tak terlalu besar sih memang dan sepertinya bukan dia dapatkan dari peristiwa tubrukannya barusan. Tentu. Sebab, terang lebih masuk akal jika luka itu Dara peroleh akibat dia yang sempat terpeleset dua atau tiga kali sewaktu berlarian serta berkali-kali menyandung speed bump di dalam basement.

"Setannya serem banget apa sampai-sampai lo gaspol begitu?" gumam Mas Linggar. "Ya Tuhan! Pak Rega suruh panggil Ustadz aja nggak sih biar diusir, eh iya kan Ustadz apa mending Pastor eh, apa Biksu?" lanjutnya malah kebingungan sendiri. Nggak heran sih mengingat Mas Linggar sendiri setahun sekali suka ke Borobudur buat ngerayain hari raya bareng keluarga.

Mendengarnya Dara lantas berujar menenangkan, "Mas ... it's okay. Aku fine kok."

"Fine-fine!" semburnya galak. "Lo mah disuruh manjat genteng rumah mertua juga fine melulu!" lanjut Mas Linggar menggerutu. "Beneran nih, gue anter pulang apa mau ke klinik depan situ aja dulu? Jam segini Dokter Satria yang suka jaga di klinik depan kayaknya sih masih praktek. Obatin dulu, ya? Ntar kalo gue bawa lo pulang dalam kondisi lecet-lecet begini yang ada malah nanti gue yang diamuk sama Miko," Mas Linggar terus saja mengoceh.

Sementara Dara yang belum juga merasa selamat dari resah kembali menampik dalam gelengan. "Serius. Aku berterima kasih banget kalau seandainya Mas Linggar bisa langsung antar aku ke rumah." Perempuan itu bahkan masih sempat menutupnya dengan satu garis senyum sejuta dolar.

Yang otomatis bikin Mas Linggar berdecak-decak gemas. "Ya udah deh ya udah. Tapi, angin lho ini," tudingnya berupaya menyadarkan Dara bila malam ini dia hanya mengenakan selembar surplice blouse beraksen garis-garis yang tak seberapa tebal. "Bawa jaket nggak?" imbuh Mas Linggar yang terus-menerus hanya dapat Dara gelengi.

Meringis persis orang sakit gigi sambil menggaruk-garuk dagunya yang hari ini dipangkasnya bersih, pria itu kemudian mencetus, "Pake jaket gue, mau? Tapi, bau asem nggak sih?" Dia lantas mengendus-ngendus benda yang masih terpasang nyaman di tubuh tinggi-besarnya. Em, dia bahkan sedikit lebih besar dan tinggi dari Miko. "Mayan lah. Ntar gue semprot parfum dikit biar wanginya mendingan."

Mas Linggar sontak sibuk sendiri demi mencari-cari serta menyemprotkan parfum banyak-banyak dari dalam wadah bermerk high end yang berhasil dia keluarkan dari ranselnya. Setelahnya, jaket kulit hitam itu tahu-tahu udah membalut tubuh Dara secara sempurna bersamaan dengan menyeruaknya campuran harum lavender, bergamot, juga mungkin peppermint yang flowery nan menyegarkan.

Uwh!

"Nah, gini kan gue nggak akan disembelih sama Si Miko. Pake helmnya, Ra." Pria itu bahkan membantu mengaitkan helm ke kepala Dara.

Er, certainly bukanlah kebetulan sih Mas Linggar bawa dua helm malam ini. Oh, come on! Cowok ini Casanova-nya VER. Saban hari kerjaannya ngeboncengin cewek udah macem tukang ojek. Yang antri nebeng sama dia juga udah kayak antri bansos. Nggak cuma cewek-cewek dari VER, tapi juga dari kantor-kantor gedung tetangga.

Ya, makanya nggak aneh sih jika dia lah yang akhirnya justru Dara temui masih berkeliaran di VER. Mengingat pria ini memang salah satu yang punya hobi pulang belakangan entah karena kerjaan atau sekadar nungguin gebetan.

"Raaa?" Seruan ini terdengar sedikit samar-samar—mungkin, karena angin yang bertiup menghantam mereka dengan lumayan kencang—diujarkan ketika motor yang Mas Linggar kendarai telah memasuki kawasan perumahan yang keluarga Miko huni, dan Dara sendiri udah jauh lebih tenang.

"Miko belum balik gitu?"

"Belum beres meeting kali ya, Mas? Katanya, lagi ada masalah sama iklan," balas Dara berteriak.

"Oh, iya sih. Emang talent-nya mendadak hilang apa malah kabur, tahu deh! Anak muda jaman sekarang kan suka aneh-aneh soalnya polahnya! Tapi, Udah beres kok gue denger dari Priyanka. Lagian, Miko juga nggak jadi ketemu AE!" Ini ... Dara nggak yakin deh, entah dia yang emang salah dengar atau benar bahwa barusan Mas Linggar mengatakan semua hal itu?

Namun ....

"Nggak jadi? Terus, Bang Miko ke mana?"

Sialnya, bukannya menjawab Mas Linggar justru mengerem secara mendadak. Bikin Dara sontak menubruk punggung lebarnya dengan helm yang sukses saling terantuk.

"BUSEEET!" Bukan suara Dara. "Woi Kucing! Kalo  nyeberang nengok kanan-kiri napa, Tong!" omel Mas Linggar. "Lo nggak papa, Ra?" sambungnya kilat seraya menyerong guna memastikan kondisi perempuan yang kini berada tepat di balik punggungnya.

Mengangguk Dara menjawab gamang, "Iya, Mas."

"Lagian, roman-romannya kucing mahal tuh kalo nabrak barusan bisa panjang perkara," gerutu Mas Linggar yang masih saja terdengar kental betenya. "Eh, iya ... barusan lo ada nanya apaan dah?" tukasnya saat motor telah kembali digasnya maju.

"Mas Linggar tahu Abang ke mana?"

"Miko, ya? Yang jelas sih perkara AE mah udah beres. Apa dia masih di Tangerang?" gumam Mas Linggar yang sesungguhnya terlalu keras untuk tak Dara dengar.

Dan, Tangerang?

Dara nggak keburu mencecar Mas Linggar lebih jauh karena motor yang mereka tumpangi sudah betulan sukses tiba di depan gerbang megah rumah Mama Asmita.

"Bener di sini kan lo berdua tinggal buat sementaranya?"

Sementara, sementahun, atau malah selamanya? Ogh! Siapa yang tahu? Nasib pernikahannya sama Miko aja siapa yang bakal tahu?

Dara turun dari motor lebih dulu. Sembari melepas helmet yang kali ini dilakukannya secara mandiri, Dara lantas berkata tulus, "Makasih ya, Mas." Sebab, bukan sekadar mengantarkannya dengan selamat hingga sampai di rumah, tapi juga karena tanpa pria ini sendiri sadari dia telah membantu Dara untuk terbebas dari belenggu 'ketakutan' yang menjeratnya tanpa ampun malam ini.

"Yoi. Sekalian gue mau ngapel sih sebenernya." Pria sontak ngikik. "Si Noza anak Feliang kalo nggak salah rumahnya di sekitar sini juga kan?" Oh, My! Mas Linggar dan wanita. Selalu saja. Tak perlu heran. "Ya udah, gih masuk, Ra!"

"Mas Linggar duluan aja, gimana?"

"Oh? Gue? Oke deh kalo begitu. Balik dulu ya. See you tomorrow, Cantik!"

Lalu, motornya ngacir bak repsol yang dikendarai Marc Marquez. Dara masih setia mengikuti pergerakannya hingga motor kuning itu menghilang di satu belokan terdekat, sebelum akhirnya dia bergegas mendorong pagar untuk kemudian langsung menemukan sosok Mbah Nung yang sedang berdiri sambil menyilangkan lengan di dada.

Oh, shiznet! Senyum Dara yang tadi sempat mekar ibarat rose moss di jam 9 pagi sontak layu seketika begitu dia berhasil menyadari mengapa Mbah Nung kini menatapinya bersama ekspresi khas Wednesday Addams yang bikin grogi, julit, nan sinis.

"Ojeknya kok ndak dibayar?" Nada suaranya bahkan berkali-kali lipat lebih bengis dari raut wajahnya.

Dara menggigit samar bagian dalam mulutnya sebelum merespons ragu-ragu, "Oh, itu ... barusan teman kantor, Mbah."

"Sudah punya suami kok diantar teman lelaki?!" sambarnya telak. "Suamimu ndak ngasih duit transport tah sampai kamu ndak bisa mbayar angkutan umum? Terus, ini kerja capek-capek nyampe malem begini duitnya ke mana toh? Habis?" tembaknya yang terdengar lebih tajam dari sapuan anak panah. Sehingga karenanya Dara mungkin bisa sakit hati.

"Sudah saya bilang mending di rumah saja. Ndak perlu kelayapan ndak jelas, bareng laki-laki lain pula! Urus itu Miko. Seendaknya, kalo pun ndak iso masak mbok yo belajar sing bener! Bukannya malah mlaku-mlaku karo lanangan ketawa-ketiwi ndak jelas di luaran! Rumatin Miko wes ngono itu tok tugas istri!"

Dara belum merespons apa pun. Dia bahkan belum tahu akan menjawabi seluruh perkataan Mbah Nung dengan kata-kata apa, sewaktu pintu gerbang di balik punggungnya tahu-tahu ditarik lalu sosok Maula yang penampilannya nggak kalah lusuhnya dari Dara menyusul masuk kemudian.

Melalui netranya yang selibat saling bertumbukan Dara dapat menangkap jika Maula seolah melayangkan sinyal bertanya melalui pandangannya. Dan, karena cewek itu super-peka melalui satu saja cengiran rikuh Dara, Maula udah langsung terkoneksi serta dengan luar biasa sigapnya lantas berinisiatif demi lekas mengambil alih situasi secara lihainya.

"Ow! Ow! Ya ampun, Mbah ngapain berdiri di luar malem-malem?" Gadis itu berlari menyongsong, seraya begitu telah bersisian sontak tangannya bergerak guna mengapit erat lengan Mbah Nung. Biar nggak ke mana-mana. Biar nggak nge-gaplok orang juga.

"Mau tuku martabak aku."

"Ihhhh ingat kolesterol! Jangan makanin martabak. Minta Mama bikinin tahu isi jamur kukus aja yuk?" Ugh! Lihat saja! Kehebohan yang diciptakannya mendadak pun terkesan alami.

"Mamamu lagi ketempat Kuncoro."

"Malem-malem begini?"

"Iya, tadi bareng Papamu. Katanya, mau diskusiin soal tanah yang buat bangun villa di Bogor sama Kuncoro."

Maula mengangguk-angguk sok mengerti. "Ya udah, tapi jangan martabak dong. Makan anu ya, apa em ...."

"Mbah mungkin mau nyobain leker? Nanti biar aku coba bikinin?" Biarpun kalimat tersebut diucapkan dengan nada yang manis dan ceria. Namun, Dara boleh jadi kelewat nekat sih kala memutuskan untuk ikut terjun ke dalam obrolan sambil membawa-bawa penawarannya perihal masak-masak ini.

Dan, terbukti. Hanya butuh satu detik untuk mendengar suara Mbah Nung yang super-ketus datang menyahut, "Terus, bikin dapur anakku kebakaran?"

"Mbah ihhh itu musibah!" Maula memotong gereget. Lagi, orang tua perasaan susah amat sih lupanya. Dendaman amat pula! "Udah deh. Gimana kalo nanti kita minta aja Bang Miko pulangnya suruh mampir beliin sop jamur yang dari Warung Sampoerna favorit Mbah itu loh?"

"Emang Miko lewat situ?"

"Lewat lah kan Abang dari BSD."

"Yowes. Boleh."

"Okelah! Sip sip! Ayok kita tungguinnya di dalem, yuk?" Maula menggiring wanita berusia senja tersebut guna masuk lebih dulu. Sebelum berikutnya, dia sontak melempar kembali telusurannya ke arah Dara yang ternyata juga tengah balik menatapinya bersama sorot penasaran.

Maula refleks menyipitkan netranya. "Jangan bilang Bang Miko nggak ada ngomong lagi?" tebaknya dalam semi bisikan begitu dilihatnya Mbah Nung telah nyaris berhasil mencapai pintu utama. "Ck! Ra, lo mesti buru-buru ngobrol dari hati ke hati deh sama Abang. Komunikasi kalian as a couple aneh banget."

Okay. Tapi, bagaimana kira-kira caranya bicara dari hati ke hati sementara bicara biasa saja Miko kadang udah keburu emosi duluan? Atau, malah terlanjur enggan?

"Abang ke Tangerang," beber Maula membagikan informasi yang sama dengan yang tak sengaja udah Dara dengar dari Mas Linggar.

Berusaha buat tak berpikir terlalu melantur—kendati cukup sulit karena lagi-lagi semua orang tahu, tapi kenapa Dara enggak?—perempuan itu membenarkan, "Iya, meeting. Aku tahu."

"No." Maula menggeleng. Dia diam bahkan hingga sosok Mbah Nung tak terlihat lagi siluetnya ditelan pintu, Maula masih tak kunjung bicara.

Di depannya, Dara mengamati dalam keadaan yang setara bisunya bagaimana gadis berkemeja putih itu meremat kedua tangannya yang terkepal kuat. Oh, entahlah. Namun, Maula tampak sedang begitu intens berpikir. Apa gerangan yang sibuk dia pertimbangkan? Jujur, Dara tak mau menebaknya.

"Ra, sumpah!" Ugh! Bahkan suara yang sanggup Maula keluarkan setelahnya pun agak terdengar tercekat.

Dara memaku lurus-lurus pandangannya ke sisi wajah Maula yang malam ini terbias suntuk, ketika tiba-tiba gadis itu mengujar dalam nada yang hati-hati sekaligus rendah, "Gue bilang ini bukan berarti mau bikin hubungan lo sama Abang tambah runyam atau malah bikin lo ngerasa buruk sebagai istri." Muncul jeda sesaat yang digunakan Maula untuk mengatur napasnya. "Gue ... bilang ini, karena gue berharap kalian bisa mulai komunikasi dengan terbuka. Lo bisa tanya secara serius ke Abang tentang alasannya hari ini ke Tangerang dan ... bantuin Prita."

"A—" Dara udah membuka mulutnya.

"Jangan salah paham dulu!" halau Maula tanggap. "Tanya dan dengerin apa kata Abang dulu, ya?" sambungnya meminta. "Gue males banget sebenernya Abang mesti urusan sama Si Sialan Kavi. Tapi, gue denger-denger gosipnya emang udah dari lama kalo ... Prita jadi korban KDRT."

Dara membeliakkan matanya. Dia juga spontan menutup mulutnya melalui satu telapak tangannya.

Prita?

Namun ....

Bagaimana mungkin, Prita?

Prita yang itu?

Prita ... Si perempuan yang sangat independent itu? Perempuan yang di matanya selalu terpancar kilau yang penuh akan semangat kehidupan itu? Prita yang diam-diam suka bikin Dara bertanya-tanya mengenai bagaimana kira-kira rasanya seandainya bisa hidup sebagai sosok itu? Prita yang luar biasa. Tapi, mana ....

"Sad, but it's true. Bahwa Prita ... mungkin udah mati di tangan Kavi kalo nggak ada yang nolongin."

Dan, entah mengapa Dara merasa kalau dia bisa mengerti.

Mengerti bagaimana rasanya hampir mati tanpa ada satu pun yang bergegas datang untuk membantu.

Serta ya ....

Itu ... menyakitkan.

***

Halo, ketemu lagi kita 💜

Cerita ini udah mau satu tahun anyway dan belum juga tamat 🙈
Inget banget dulu ini ditulis sekadar karena saya bosen karena habis sakit dan dalam masa pemulihan saya nggak punya banyak aktivitas. Datanglah Miko dan Dara dan nggak kerasa mereka udah menemani saya nyaris setahun.

Terima kasih untuk teman-teman yang udah baca dari nyaris satu tahun lalu atau pun buat teman-teman yang baru menemukan cerita ini. Terima kasih udah menunggu dan selalu pengertian sama kebiasaan simbaak yang suka molor update cerita 💜

Udah mau lebaran nih. Selamat berlebaran untuk kamu yang merayakan. Maaf lahir bathin ya 💜

Yang nyari Bwang Mikoooh part depan doi comeback bisa dihujad lagi deh dia 😭🤣😈

Yang mau baca Special Part tentang Dara-Miko sebelum merit ada di sebalah ya. Terima kasih untuk yang udah mendukung dan selalu mendukung 💜

Duta Rahasia Ilahi ya kamu Bwang 😈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro