20. Fate.
"Gue mau gagalin pernikahan mereka."
Urung mengulurkan tangannya untuk mencomot keripik gandum dari toples di meja, bak mendapati sambaran kilat di ujung wajah Sandara membeliakkan netranya. Sedang di depannya, ada Maula yang barusan bicara dengan rahangnya yang tampak mengetat.
Actually, sekali lagi, Dara cuma tahu sedikit sih mengenai cewek bernama Maula Jenarkadewi. Kayak misalnya, nama baptisnya tuh Dionisia. Usianya pas Mei kemarin tepat 29. Sebelum ini, Maula menetap di Batu, dia balik ke Jakarta baru-baru ini—beberapa bulan aja menjelang hari pernikahannya bersama Miko.
Dan, ya seperti yang Dara sempat singgung, Maula sangat rajin ikut tes CPNS di samping jadi Guru Honorer tentunya, di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Jawa Timur sana. Lalu, Ezio Nauerlino Prakosatama bisa dibilang adalah satu-satunya nama pria yang terlalu sering Dara dengar keluar dari mulut Maula.
Augh! Serius!
Dara bahkan masih ingat omongan-omongan Maula saat bersamanya yang selalu menyelipkan nama Ezio di mana-mana. Segelintir di antaranya seperti:
Ketika cewek itu lagi mampir ke apartemen Miko, terus kayak hantu kepalanya yang berambut pendek dengan poni lemparnya yang digunting lucu, tiba-tiba hadir menyembul di pintu dapur serta bikin kaget Dara dengan nyeletuk, "Ra, sibuk nggak? Udahan sih masaknya. Bang Miko mah empanin aja pake mie instan! Mending lo ikut gue! Ada film bagus tau. Filmya dari PH-nya Ezio. Beuh, pasti rame. Nonton, yuk?"
Atau, kala kebetulan Dara berkunjung ke tempat Mama. Tetapi, mendadak jatuh meriang sehingga nggak bisa gabung ikut acara keluarga. Maula bakal melipir ke kamar yang Dara tempati sambil berujar waswas nan heboh, "Ra, lo demam ya kata Mama? Kok bisa sih? Makanya, kalo disuruh rodi sama Bang Rega tuh sesekali tolak kek! Dipikir lo robot apa? Gue anter ke klinik Alfiat Raharja aja, yuk? Biar nanti lo diperiksa Ezio."
Atau, percakapan mereka baru-baru ini:
“Beda banget kan ya Pak Rega sama istrinya mah, sama adeknya Si Ezio apalagi huhu kayak Surga dan Neraka!”
"Ezio itu biar pendiem, tapi bikin kelepek-kelepek tau, Ra," puji Maula lagi, di suatu waktu saat sedang duduk nyantai di sofa ruang tengah rumah Mama, bahunya bahkan nyaris beradu dengan milik Dara—seperti malam ini—bersama jarinya yang terus sibuk menggulir media sosial kepunyaan pria itu yang memang begitu rutin dikepoinya.
"Ezio itu persis Ubi bakar yang paling enak di makan di Puncak. Tau nggak kenapa?" Dara nggak tahu pun tak tertarik menebak juga. Namun, untunglah Maula lantas melanjutkan, "Karena, sesuatu bakal terasa betulan hangat kalo mereka ada di tempat yang dingin." Tersampir segurat ringisan geli di bibir tipisnya. "Eum, bonusnya Ezio juga manis banget sih. Gue pernah cerita belum? Dia kan first kiss gue tau, hehe!"
Serta, ya Ezio begini dan begitu dan bla bla bla.
Sebelum ini, Dara nggak pernah menganggap terlalu serius ungkapan-ungkapan Maula yang kentara sekali menyukai adik dari Bosnya itu.
Tetapi, hari itu, saat Maula bertandang ke VER untuk mengambil sepucuk amplop yang Dara serahkan melalui tangannya sendiri. Dia agaknya sukses ditampar oleh kesadaran, bahwa perasaan suka yang Maula himpun di hatinya mungkin nggak sedangkal yang dia duga.
Ugh! Dara masih ingat, betapa gadis itu bahkan menangis tergugu. Seolah dunianya runtuh di detik itu.
Dara tak terlalu yakin sih, apakah dia pernah jatuh cinta atau nggak?
Namun, melihat Pak Rega yang sanggup melakukan apa saja dan terkesan sangat kacau bila ada sesuatu dengan Bu Meta. Atau, Mbak May yang acap kali berbinar-binar jika menceritakan pengalaman malam panasnya dengan cowok yang dia taksir dan cintai. Atau, ya bahkan Miko yang rasanya terlalu rekat menancapkan poros jagat rayanya pada Prita. Maka, cinta yang sesungguhnya mungkin nggak secetek apa yang Dara mengerti.
Jadi, wajar dong bila Maula memiliki reaksi yang seperti ini? Jangankan Maula yang jelas-jelas terindikasi menyimpan perasaan terhadap Ezio, Dara saja yang katakanlah sekadar tahu nama, tahu profesi, atau ya tahu silsilahnya doang, sewaktu membaca undangan pernikahan yang Ezio titipkan ... dia merasa what a surprise!
Come on! It happened out of the blue. She was shocked!
Lantas, Maula ....
Dara belum sempat menyiapkan tanggapannya perihal niatan yang secara nekat Maula suarakan, ketika adik iparnya tersebut justru lebih dulu kembali berkata, "Tapi, nggak jadi." Bahunya bahkan otomatis terkulai lemas.
"Kenapa?" refleks Dara menyahuti. Oh, bukannya dia berharap kalau Maula benar-benar bakal serius untuk menjalankan rencananya buat bikin huru-hara terhadap pernikahan Ezio!
Oh, no!
Ya, gila aja kali! Keluarga besar Ezio itu Pakuhardjaja. Masuk 50 besar orang terkaya di Indonesia versi Forbes tahun lalu. Memang mereka—oke, dalam hal ini tentu saja Dara, apabila dia memaksa ikutan membantu—mampu urusan sama orang-orang sejenis itu? Mengacaukan pesta pernikahan salah satu anggota keluarga mereka yang mungkin menelan biaya milyaran?
Bukan hanya Miko sih yang terang akan sangat bersedia guna menuntut balas makin gila padanya, tetapi juga boleh jadi Pak Rega yang bakal dengan semangat menggantung Dara di lobby VER!
HUH!
Sementara, Dara menelan salivanya kecut. Di hadapannya, Maula justru terpindai memajang satu senyum sumir. Mirip senyum Miko kalau pria itu lagi kecewa. Em, bagaimana Dara bisa tahu? Karena, dia memang pernah melihatnya. Satu kali, saat di altar, di hari pemberkatan pernikahan mereka.
"Dia hamil." Suara ini terburai, hadirnya serta-merta menyedot fokus Dara yang sempat melantur.
"Hah?"
Maula mendesau pelan. "Yang mau Ezio nikahin, dia hamil."
Dan, Dara nggak lagi memahami harus meresponnya dengan cara bagaimana?
Dia lamat-lamat mengamati saat pandangan Maula mulai terlihat menerawang. Mungkin tengah membayangkan Ezio? Atau, kisah mereka dulu-dulu yang nggak Dara ketahui? Oh, entahlah!
Dara, dia hanya ... dia ngerasa em, confused? Uh, mungkin lebih dari itu sih. Ayolah! Hamil? Dia bahkan nggak berani meraba seperti apa kiranya bentuk hati Maula saat ini!
Ugh! Ya, Tuhan!
"Lo paling suka ayat apa, Ra?" Sekonyong-konyong Maula melayangkan sebaris pertanyaan yang kontan menyentak Dara, sekaligus sama sekali gagal untuk Dara pahami bakal ke mana kira-kira arahnya?
Namun, toh dia tetap menjawab cepat, "1 Korintus 10 ayat 13."
Maula menggumam layaknya sedang menerka-nerka. "Gue udah banyak lupa sih," akunya bersama nada yang terdengar kian sumbang. "Yang ini bukan deh? 'Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melebihi apa yang dapat kita tanggung'?" Ya, benar. Dara lalu menganggukinya.
Tepatnya sih, 'Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.'
Sehingga, Dara akan baik-baik saja.
Ya, harapnya sih memang begitu.
Semoga!
"Lo banget ya," komentar Maula tak seberapa lama bikin Dara sontak mencuatkan sebelah alisnya. "Gue bukan orang suci," sambung cewek itu yang anehnya tiada henti menarik lebih dalam atensi Dara. Entahlah. Mungkin karena, sepersekian detik Dara merasa seolah sedang berkaca. "Gue juga paling males ikutan misa," beber Maula mengimbuhi. "Tapi, favorit gue selalu Yesaya 49 ayat 15. Lo tau kan isinya?"
Dara mengangguk lagi, kendati geraknya kini patah-patah. Itu ... ayat tentang cinta kasih orang tua kepada anaknya, kalau dia tak salah ingat. Salah satu yang juga merupakan kesukaan ibunya—heran deh, padahal wanita itu udah dibuang begitu saja macam makanan basi oleh orang tuanya sendiri lho, bisa-bisanya dia tetap sudi menjunjung tinggi persoalan cinta kasih, sesuatu yang sampai mati pun agaknya sih nggak bakalan sanggup Dara ngertii.
"Lo lihat gue kan?" ujar Maula seraya menuding dirinya sendiri melalui telunjuk.
Dan, biarpun mengunci mulutnya rapat, Dara toh terus mengawasinya.
"Gue berkali-kali gagal ujian CPNS. Gue cuma Guru Honorer. Di mana gaji gue bahkan nggak ada cukup buat makan. Jangankan bikin Mama dan Papa bangga, biaya hidup gue selama ini aja nyaris seluruhnya selalu mereka yang nanggung. Padahal, gue udah berapa tahun coba? Malu-maluin banget nggak sih?" Maula tampak mengusap kasar wajahnya, sebelum kembali menatap satu titik terjauh di depannya. "Tapi, di antara semua kekurangan, atau bahkan keenggak becusan yang gue miliki itu, ternyata, Mama sama Papa selalu bisa menerima gue dengan tangan terbuka." Ada secuil senyum yang Dara tangkap ternukil di bibir kemerahan milik Maula.
"Mau nebak nggak, Ra, apa yang mereka suka bilang kalo gue habis gagal?" Maula tiba-tiba menoleh, sayangnya Dara tak punya cukup keberanian untuk membalas monolognya sebab, rasa-rasanya dia secara pribadi tak pernah berada di sana—di strata tersebut.
Yah.
Jikapun perlu jujur, Dara betulan nggak tahu rasanya dikuatkan ketika gagal. Sungguh, Dara nggak ngerti apa yang sebetulnya Maula rasakan.
Oh! Come on! Berbeda dari Maula, Dara adalah manusia terbuang! Ingat kan? Keluarganya ya cuma ibu dan ibunya terlalu sibuk untuk sekadar berbasa-basi demi menguatkan Dara—mungkin juga gara-gara dia pun memang selalu sibuk guna menguatkan dirinya sendiri. Oh, entahlah.
Namun, jelas itu bukanlah salah Maula.
Jadi, Dara hanya terus berusaha makin setia untuk mendengar Maula yang kembali berujar demi menimpali tanyanya sendiri, "'Kamu baru coba sekali. Nanti, kamu bisa coba lagi'. Begitu, Ra. Mereka se-supportive itu. Kenapa? Karena, mereka ... orang tua gue." Maula menjeda dan Dara mampu mendengar tarikan napas gadis itu yang beberapa kali seolah tercekat. Entahlah. Boleh jadi karena kalimatnya yang berikutnya terlampau sukar untuk ia suarakan. Atau ....
Maula tampak meremat jari-jemarinya yang terpangku ketika ia dengan lambat berkata, "Gue bisa aja ngerebut cowok yang sangat gue cintai dari cewek lain, tapi gue ... gue ... gue nggak mampu sebrengsek itu untuk merenggut dia dari anaknya." Dan, detik itu air mata Maula yang jarang luruh tiba-tiba melintas jatuh di hadapan mata Dara.
Melihatnya, Dara bak dapat merasakan seporak-poranda apa ruang di hatinya. Anehnya, gadis itu tetap berupaya menjereng senyum di sela tangisnya. Gesture yang sontak mendorong Dara untuk gegas mendekat guna kemudian menepuk-nepuk lirih bahu Maula yang tiada jeda bergetar.
"La," bisiknya sembari mendekap erat tubuh Maula yang andai tadi Mama nggak pergi diantar Miko buat menjemput Mbah Nung di rumah Pakde, mungkin pelukan Mama Asmita bisa lebih hangat dari yang Dara kini saluran. "Bisa aja infonya salah," Dara mencoba mengais-ngais harapan yang dia sendiri sejujurnya tak terlalu yakin, masihkah ada?
"Mungkin, bukan Mas Ezio. Setahu aku, Mas Ezio orangnya nggak begitu. Kamu mau aku bantu cari tahu ke Pak Rega?" tawarnya.
"Emang bisa?" balas Maula dalam pelukan Dara.
"Maksa Pak Rega buat cerita?" tanya Dara balik yang ketika dirasai Maula mengangguk, dia justru langsung menggigit bibirnya resah. "Kayaknya sih ... enggak." Dia lantas meringis sungkan, meratapi kalimatnya di awal yang dia nilai terlampau gegabah. Tetapi, detik berselang nada bicaranya telah betul-betul sarat akan optimisme kala kembali menyambung tegas, "Tapi, aku bisa kok pake cara lain."
Contoh konkritnya sih, kayak mengemis info ke Bu Meta! Atau, dia juga bisa melobi Mas Linggar Si Raja Gosip di seantero VER, atau ... mengorek data bocor dari Miko, atau actually Dara akan mengusahakan apa aja sih untuk Maula—keluarga barunya.
Sayangnya, Maula malah menggeleng selepas mengurai rengkuhan Dara. "Nggak usah, Ra. Gue udah fix kalah."
Dara mendesah. Dia ingin membantah. Mau bilang, jika kita hanya kalah saat kita resmi berhenti. Sekecil apa pun suatu kemungkinan, Ko Iyel sering berkata, agar hal itu dia beri kesempatan. Karena, hasil selalu di akhir, dan ketika kita nggak bernyali buat membuka start bagaimana caranya kita bisa tiba dalam finish? Bagaimana kita bisa tahu hasilnya? Sumpah! Dara sungguh ingin membantu.
"Eh, tadi lo dari apotek depan? Cari apa?" Maula ujug-ujug membelokan topik obrolan dengan sangat tajam.
Dara bahkan sampai terkesiap. "Ah? Oh, itu ... obat."
"Obat puyeng, ya?" tebak Maula yang sama sekali nggak tepat sasaran. Sebab, pasca-menimbang-nimbang intens, Dara pun akhirnya memutuskan untuk menebus obat penenang yang Ko Iyel resepkan—meski, dia belum punya niat buat meminumnya kok. "Bang Miko emang muyengin sih! Suka kepo urusan orang lagi! Bikin bete, ewh!" gerutu Maula.
"Eh, betewe, beberapa hari belakangan lo ada lihat sesuatu dari Abang yang agak aneh nggak sih, Ra? Atau, lo pernah denger sesuatu kayak dia nyebut-nyebut soal Kavi gitu, misalnya?" selorohnya kemudian.
"Kavi suaminya Prita?" gumam Dara sembari benaknya secara otomatis berhasil menemukan potret sesosok laki-laki tinggi—serius, dia bahkan lebih tinggi dari Miko, nyaris setinggi Pak Rega jadi mungkin sekitar 187 sentian—badannya sedikit kurus untuk seseorang dengan ukuran tinggi segitu, kulitnya terang, tapi nggak seterang miliknya. Ah, dia juga punya jawline yang tegas sehingga bulu-bulu halus yang menggantung di area wajahnya tampak lumayan manly. Pokoknya, Kavi yang siang tadi Dara temui di Amera, memang terkesan agak ... apa, ya? Bahaya? Uh, entahlah. Namun, sorot matanya yang cekung dan tak ramah emang bikin siapa aja yang melihat kontan menciut sih.
"Ra?" Maula menegurnya, mungkin karena Dara terlalu lama diam.
"Ah, nggak ada sih kayaknya. Kenapa, La?" sahut Dara buru-buru.
"Ya, nggak sih. Cuma, belum lama ini ada kenalan gue di tongkrongan yang cerita kalau temen dia kebetulan ada masalah gitu sama Kavi. Nggak tau juga sih problem-nya apa. Tapi, udah beberapa hari ini orang itu jadi susah dihubungi dan keluarganya bahkan nyampe nyari-nyari. Emang belum tentu ada kaitannya sama Kavi sih, tapi ...." Maula berdecak. "Intinya, kalo lo denger dikit aja soal Abang yang terlibat macem-macem sama Kavi, lo baiknya larang deh, Ra. Lagi, Prita bukan urusan Bang Miko lagi. Abang nggak perlulah kejauhan ngurusin rumah tangga mereka melulu!"
Dara refleks membisu. Karena, tiba-tiba dia sadar bahwa ... tunggu! Jadi ... Maula tahu? Sungguh?
Oke, Mama Asmita, Maula, terus ... jangan-jangan perihal Prita ini pun sama dengan perkara yang udah-udah di mana semua orang tahu, kecuali ... Dara—yang pada akhirnya harus tahu belakangan. Hish! Dasar Miko Keparat! Kalau pun dia memang berambisi banget buat nguber-nguber Prita, seharusnya dia nggak sebego ini sampai-sampai ngebiarin semua orang tahu! Padahal, dia bisa pakai cara undercover kek, apa kek, bodo amat! Yang jelas caranya bukanlah cara yang dengan sintingnya justru bak menjebak Dara sebagai manusia paling bodoh dan menyedihkan seperti ini! Sialan!
"Dara?"
"Hm?"
"Sabar ya. Buat ngadepin Mbah Nung, sama ... Bang Miko juga. Lo pasti bisa!"
Dara sontak merekahkan satu senyum di bibir, kendati nggak dengan mata pun hatinya.
Lagi ....
Bicara soal omongan Miko yang sempat Dara dengar?
Jelas.
Satu-satunya percakapan Miko yang pernah dia dengar beberapa hari lalu pas masih di apartemen. Ketika tengah malam Dara haus, terus nggak sengaja lihat Miko berdiri di balkon adalah ....
"Why is this fate so fucking cruel? You loved me. And, I love you even more, Ta. But, why?"
Ya, this fate is so fucking cruel. Yang mengantarkan Dara untuk akhirnya bertemu muka dengan Kaprvada di ke esokan paginya, tepat di dalam lift di lobby VER. Laki-laki yang ternyata ... juga beraroma pantai.
Bagaimana mungkin?!
Sialan!
***
Halo, kami kembali setelah libur 10 hari kayaknya ya 😭😭😭
Nungguin nggak nih? 🙊🙊🙊
Bab depan kita bakal balik lagi dari sisi Bwang Mikooh biar Dara terkaget-kaget gitu dulu ae deh bareng VP baru itcuuu. Betewe, doi wanginya sama sama Bwang Gonjreng jangan-jangan anu 😈😈😈
Betewe lagi, menurut kamyu Kapravda itu siapanya Dara coba? Coba sini bisikin akyuuuu yang ketinggalan gosyip-gosyip hawt gegara seminggu libur 😭😭😭
Terima kasih udah menunggu dan membaca 💜💜💜
Mbak Maul rambut baru nih eaaak. Rambut patah hati 😭😭😭
Kamyu ki sopo jajal? 😈😈😈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro