2. Rumah.
Rumah itu satu lantai, tapi luasanya bisa untuk menampung penghuni satu kampung.
Oh, serius.
Di samping memiliki tujuh kamar yang nyaris sama besar, di rumah Mama yang mengadopsi arsitektur ala-ala Eropa Selatan lengkap dengan signature rustic: lantai batu, dinding berlapis ubin mosaik, furniture berbau vintage yang mungkin terbuat dari kayu-kayu pohon pinus. Oh, dan jangan lupakan juga soal bagian focal point-nya yang berupa tungku perapian—meski dengan suhu Jakarta itu jelas jarang sekali terpakai atau malah nggak pernah karena yah asal estetik kan—yang tertanam di tengah-tengah ruang keluarga di mana di sekelilingnya tergelarlah selembar permadani yang hampir sepanjang red carpet.
Dan, jujur Dara selalu suka rumah Mama. Tentu bukan hanya karena luasnya sih. Bukan pula karena di sana terdapat sekotak swimming pool yang pastinya selalu bebas ia gunakan setiap kali singgah berkunjung—berenang serta menyelam merupakan salah dua hal terfavorit Dara, anyway. Lebih daripada itu, rumah Mama tuh apa, ya? Selain earhty tones banget, buat Dara di sana juga friendly sekaligus homey abis.
Seperti apa yang saat ini bisa dilihatnya di meja makan.
Mama enam bersaudara. Dan, ke enam-enamnya yang tinggal di berbagai kota itu malam ini datang, belum lagi ditambah suadara-saudara dari Papa mertuanya yang nggak kalah banyak jumlahnya. Sepuluh kursi yang biasanya jadi penghuni ruangan tersebut bahkan telah tersingkir entah ke mana saking penuhnya orang-orang yang mendiami.
Bulik Dedes, Bude Gusti, Pakde Kuncoro, dan entahlah siapa lagi. Actually, ada beberapa yang Dara tak bisa ingat namanya sebab mereka memang baru bertemu dua kali ini—sebelumnya pas di hari pernikahannya—mereka semua tampak begitu asyik bercengkerama. Ada yang terdengar antusias ngobrolin isu politik, ada yang mengerubungi Mama seraya tertawa-tawa, ada yang icip-icip hidangan yang tersaji, dan nggak lupa di dekat tungku perapian yang agaknya bakal selamanya padam ada juga anak-anak Mbah Nung yang sedang memijit-mijit ringan bagian bahu ataupun kaki milik perempuan tua itu. Sesuatu yang nggak pernah serta boleh jadi malah nggak mungkin bisa Dara temui di tengah-tengah keluarganya. Sesuatu yang ....
“Disuruh bikinin teh sama Mbah Nung?” Maula—adik iparnya—tiba-tiba sudah berdiri di dapur. Kedatangnya yang entah dari mana itu sontak membuat kegiatan melamun Dara otomatis buyar bak debu-debu halus yang tersapu angin di angkasa. “Masukin aja gulanya yang banyak biar gula darahnya naek terus opname dan berhenti nanya-nanya kapan nikahlah, kapan punya momonganlah, kapan mati nggak ditanya sekalian?!”
Dara nyaris mendelik, tapi dia tahu memang begitulah cara Maula bercanda. Beberapa bulan lalu saat dia masih baru di lingkungan keluarga ini, Dara sempat kaget dengan candaan-candaan yang kerap Maula lontarkan. Namun, sekarang dia mulai agak terbiasa sih walau kadang masih suka sedikit jantungan kalau denger.
“Eh, Dar eh maksud gue Mbak Dara?” Maula dengan kilat mengoreksi sapaannya sambil melirik penuh antisipasi ke arah kerumuman orang-orang di meja makan khususnya ke arah Mbah Nung yang doyan sekali mengkritisi kesalahan serta membesar-besarkan masalah kendati itu mungkin hanya sesepele lidah yang kecele. Alasan bahwa Maula jelas-jelas lahir tiga tahun lebih awal dari Dara nggak lantas bisa meruntuhkan tahta unggah-ungguh bahwa dia tetaplah adik Miko. Tradisi yang sepertinya mesti dijunjung sampai mati oleh seluruh keluarga ini tentulah nggak mengijinkan mulut Maula buat mangap dengan semaunya. Kendati, Dara jelas nggak sekalipun mempermasalahkan soal adab panggil-memanggil yang baik dan benar ini, tapi ya daripada ujug-ujug Mbah Nung membangun mimbar dan berkhotbah mending nurut aja. Case closed deh!
“Kerjaan lo lancar?" lanjut Maula kala sudah dapat memastikan jika nggak ada yang mendengar ocehan blundernya. Orang-orang tetap sibuk bersama kelompoknya. Menegaskan bahwa hari ini sepertinya baru dimulai. "Bang Rega masih ngeselin?” sambungnya lagi, kali ini sambil menoleh ke arah Dara yang berdiri saling bersisian dengannya.
“Ya, gitu. Masih kayak biasa.” Ada tawa kecil yang menyusul Dara ulas demi melengkapi jawabannya.
Maula berdeham singkat. “Beda banget kan ya sama istrinya sama adeknya apalagi?”
Dara lantas menganggukinya.
“Denger-denger Bang Rega mau pindah ke Lyon? Bener?” tanya Maula.
“Rencananya sih akhir tahun ini.” Alias dua bulan lagi.
“Wuih, abis itu lo gimana dong?”
“Gimana ... maksudnya?”
“Ya, gimana? Kan Bang Reganya pindah, emang lo ngikut pindah juga ke Prancis? Nggak kan? Siapa yang mau lo asistenin dong di VER?”
Nah, itu dia. Beberapa waktu ini Dara pun diam-diam sedang memikirkannya. Status Dara sendiri masih belum jelas sih. Pak Rega pernah membeberkan tentang remote working. Seenggaknya sebulan sekali dia akan mengunjungi kantor Jakarta. Namun, kalau ditelaah lagi memangnya Pak Rega bakal sempat? Hijrahnya ke Lyon dan aktivitas baru yang hendak dijalaninya di sana pastilah bukan cuma menyita waktu dan tenaga, tapi juga fokus. Dara sih lebih yakin terhadap probability bila Bu Zianne—Ibunya Rega—lah yang akan kembali ngantor demi mengisi posisi yang segera Pak Rega tinggalkan di VER. Namun, jika betul Bu Zianne orangnya, beliau tentu sudah punya pilihan sendiri. Orang yang mau beliau percayai guna mengasisteni. Lalu, Dara? Akhir minggu ini jika sesuai dengan jadwal yang telah disusun maka, Pak Rega bakal mengeluarkan putusannya. Dan, hari itu Dara akan tahu bagaimana kira-kira nasib karirnya. Bisa bertahan atau ....
Apa malah sebaiknya Dara resign saja? Ya, entah dia bakal berakhir dengan di-keep atau didepak. Dara bisa pilih mundur. Setali dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Mbah Nung di awal pernikahannya dengan Miko.
"Habis ini, bener-bener loh ngurus Miko. Kalau perlu mbok yo di rumah aja."
Tapi, masa di rumah aja sih? Apa dong fungsi ijazah yang sudah susah-susah dia dapatkan? Gelontoran duit yang nggak sedikit untuk membiayai pendidikannya masa muaranya begini aja? Memangnya Dara telah sesukses apa? Lagi, kalau di rumah memang Dara mau ngapain?
Di sampingnya Maula baru terlihat mau kembali bicara saat nama Dara keburu dipanggil oleh suara lantang Mbah Nung.
Dara buru-buru mengangkat cangkir teh yang telah diseduhnya sambil sekenanya berpamitan pada Maula.
***
Dara tidak pernah membayangkan dia bakal menikah di umur tepat dua enam. Ya, terlebih itu dengan Miko. Laki-laki yang dikenalnya sering sekali mampir ke ruangan Sang Atasan. Laki-laki yang ocehannya sebelas-dua belas dengan Presiden Direktur VER Corporation. Laki-laki yang andai hari itu gereja yang biasa Dara datangi nggak penuh, atau andai dia memilih menunggu untuk dapat ikut misa berikutnya dan bukannya malah pindah gereja, mungkin tak akan pernah ia kenal lebih dalam dan parahnya justru menjadi suaminya. Laki-laki yang ....
Dara memanjangkan pengelihatannya demi menangkap sosok Miko yang tengah terlibat obrolan seru bersama segelintir sepupu-sepupunya. Pria itu memang suka sekali bicara. Pun, seingat Dara dulu dia juga suka tertawa. Tawa yang entah mengapa belakangan seperti enggan mampir di bibir Miko. Tepatnya, sejak empat bulan lalu setelah mereka resmi menikah atau malah jauh lebih lama dari itu?
Apa ... itu sungguh gara-gara Dara? Atau, itu justru karena Prita yang hilang dari hidup Miko sehingga tawanya pun ikut menghilang?
Ah, entahlah. Masa bodo karena siapa gerangan itu yang jelas dalam pernikahan yang sedang mereka jalani ini, sekuat tenaga Dara akan berusaha untuk mampu mengembalikan tawa itu. Tawa Miko. Tawa Jatmiko Sadewo, suaminya.
“Ra? Dara?!”
“Ah, i-iya iya? K-kena—owh, kenapa Bude?” Dara yang cukup terperanjat langsung celingak-celinguk sebelum akhirnya sadar apabila Sang Pemanggil berdiri persis di depannya.
Perempuan paruh baya yang Dara kenal sebagai Bude Anggun—salah satu istri dari kakak Papa—memutar bola mata. “Jadi, udah isi belum?” ujarnya kemudian, agaknya sih mengulang sebab kelihatan dari mukanya yang sedikit bete.
“Isi?” Dara menyalin dengan alis berkerut dan saat Bude memindai malas ke arah perutnya, Dara pun tahu isi yang sedang Kakak Ipar dari Mama Mertuanya tersebut pertanyakan.
Udah dong, Bude. Isi lontong sayur tapi. HEHE
Sayangnya mana mungkin dia mengatakannya kan? Bisa-bisa omongannya malah bikin Bude tambah bete, lebih-lebih bisa aja juga bikin kacau pesta istimewa Mama dan Papa. Jadi, Dara cuma mesem sambil memberi jawaban template ala-ala, “Doain aja ya, Bude.”
“Hadeh. Doa doang nyampe ndower kalau ndak ada usahanya ya buat apa, Ra? Makanya, jangan capek-capeklah. Ngapain sih ngoyo kerja emang uang Miko aja ndak cukup tah?”
“Lagian ya anak-anak jaman sekarang tuh kayaknya males banget kalau disuruh diem di rumah. Buanyaaak banget alesannya. Seolah Ibu rumah tangga tuh ndak ada keren-kerennya babarblas di mata mereka!"
Dara bingung juga ingin bereaksi bagaimana. Lagi, benar kata Maula. Manusia hidup nggak akan lepas dari pertanyaan yang nggak ada ujungnya itu. Pernikahan Dara dan Miko bahkan baru bakal genap menginjak usia angka empat bulan sekitar sebelas hari lagi terus, mesti gitu langsung punya momongan? Menikah kan nggak sebatas buat berkembang biak aja.
Namun, untungnya suara Mama yang mengumumkan bakal potong kue manjur guna menarik atensi semua orang dalam ruangan sehingga Dara bebas dari perhatian.
Lalu, di sana. Di sela derai tawa juga suara gemuruh tepuk tangan yang tiada henti terlontar dari mereka-mereka yang berada dalam ruangan pasca-kue resmi terpotong, tanpa mampu dicegah Dara yang berdiri jauh dari kerumunan pun sontak kembali meliarkan sepasang netranya.
Mengamati Papa yang memeluk Mama, menjaring Bude-Pakde maupun Bulik-Paklik yang saling melirik serta melempar senyum, Mbah Nung yang tetap duduk di kursinya sambil sesekali geleng-geleng kepala saat harus menyaksikan segala tingkah anak-mantunya lengkap dengan Maula yang sesekali tampak memutar bola mata. Lalu, ketika pandangan itu akhirnya jatuh pada sosok Miko yang juga sedang berdiri di dalam kerumunan yang sama ... Dara tahu, dia tidak perlu merasa begini sebab, dia tahu sebaik juga sesayang apa keluarga inti Miko kepadanya sejauh ini. Mama bahkan tadi beberapa kali membujuknya untuk mendekat. Namun, sungguh nggak tahu kenapa dia tetap merasa sendirian.
Kemudian, tiba-tiba dengan nggak tahu dirinya pikiran ini hadir menyelinap di benaknya.
Seandainya, kalau Miko jadi menikah dengan Prita seperti rencana pria itu, apakah Prita bakal merasa seterasing dirinya?
Dan, jawabannya tentu nggak kan?
Prita dan Miko telah menjalin hubungan nyaris lebih dari lima tahun. Mustahil kan jika dia nggak dekat dengan keluarganya? Sekali pun jika memang Prita nggak dekat dengan keluarganya, tapi toh seenggaknya Miko mustahil untuk ikut meninggalkannya kan? Seenggaknya dia nggak akan membiarkan Prita merasa sesendiri yang Dara rasakan.
Kalau nyatanya aja begini, niatan Dara yang ingin menjemput kembali tawa Miko gimana nasibnya? Di luar lidahnya yang suka sepanas oven, jelas tingkah Miko nggak pernah gagal buat sedingin kulkas!
Dara baru berniat menghela napas ketika dari arah kerumunan suara Mbah Nung yang khas tahu-tahu datang untuk menutur lantang nan tegas, “Sandara, kamu udah bisa masak bandeng?!”
Dan, hanya dengan satu kalimat itu seluruh perhatian yang sejak tadi coba Dara hindari tanpa perlu jeda langsung menyerangnya secara telak.
Jujur, Dara jarang sekali gugup. Di kantor dia bahkan terbiasa menghadapi naga terbang yang hobi sekali melontarkan api dari mulutnya—sebut saja Pak Rega. Beban kerjanya yang kerap kali nggak ngotak pun nyaris belum pernah membuatnya belingsatan. Namun, puluhan pasang mata yang kini menunggu itu betul-betul seolah sedang perlahan-lahan mengulitinya. Beberapa sorotnya ada juga yang seperti hendak bersiap guna meremehkannya.
Tanpa sadar buku-buku jemari Dara sudah bergerak membentuk sebuah kepalan. Melalui netranya, ia sempat mencari-cari wujud Miko. Dan, pria itu memang segera beranjak dari kerumunan keluarga besarnya. Sayangnya, bukannya berjalan ke arah Dara yang bahkan telah mengirim kode minta dibantu, Miko bersama ponsel yang betengger di sisi telinganya itu malah pergi entah raib ke mana rimbanya!
Ugh! Miko dan segala kecuek-bebek sialannya!
Dan, Tuhan kenapa sih Mbah Nung masih aja ingat soal bandeng? Kenapa juga dari semua usaha Dara untuk menjelma sebagai menantu idaman selalu aja ada halangannya?
***
Bwang Mikoh jan sok coolkas deh malu dong sama lambenya 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro