19. Okay.
"Why are we supposed to say 'it' s okay' when it's not? You know, Ra? It's healthy to admit you are not okay. And, when you can embrace that it's okay to not be okay, you become an 'honest' person in the eyes of many." Tadi, Ko Iyel berbisik begitu tepat sebelum dia melepaskan cekalannya pada lengan Dara demi membiarkan perempuan itu berjalan mengekori Miko untuk meninggalkan Klinik Amera.
Dan, di sini, di kamar Miko yang beberapa malam ini ikut dia huni, Dara masih saja sibuk mengulang suara itu di dalam batok kepalanya.
I am not okay, ya? Tetapi, benarkah? Kenapa Dara harus nggak okay?
Oh! Come on!
Dia bahkan pernah kelaparan sampai nyaris pingsan karena ibunya jatuh sakit sehingga nggak bisa bekerja, tetapi Dara baik-baik aja.
Dia nggak pernah ngerasain yang seperti apa itu gerangan main lompat tali sebab, nggak seorang pun sudi jadi teman mainnya, tetapi Dara masih baik-baik aja.
Dia sedari awal bersekolah nyaris setiap bulan selalu dipanggil ke BP gara-gara terlalu sering telat bayar SPP, tetapi Dara nggak apa-apa.
Dara baik-baik aja, kendati sebagian besar gajinya selalu ludes untuk dia pakai membayar utang ibunya yang dulu membiayainya hingga berhasil lulus jadi Sarjana.
Dara, dia ... baik-baik aja kok biarpun sedari pertama dia udah terbuang. Dia nggak masalah sih saat anak lain punya laki-laki yang kerap mereka sebut sebagai 'Ayah', sedang dia enggak.
Dara ... is okay meski dia harus menikahi satu pria yang tampak jelas belum move on dan masih suka ngintilin mantan pacarnya ke mana-mana.
She is just ... fine.
Namun, jika benar sebaik itu, mengapa dadanya seolah ditancapi paku dan sedang dipalu?
Ough!
Dara melirik sekilas antara nasi padang yang tadi sempat dia beli di kantin Amera Clinic yang pada akhirnya toh cuma dibungkus tanpa kunjung ia gerus di perutnya, juga ... selembar resep obat yang Ko Iyel selipkan ke dalam genggaman tangannya selepas pria itu melakukan sedikit aksi basa-basi super-singkat dengan Miko.
Dan, ya yang mana pun di antara kedua hal itu yang nantinya bakal menarik mulut Dara untuk melahapnya, satu yang dia yakin sih bahwa dia butuh minum. Maka, sambil membawa keresek berisi sebungkus nasi padang miliknya, Dara buru-buru keluar dari kamar Miko.
Telapak kakinya yang telanjang baru hendak menginjak ruang tengah—satu ruang di mana tepat di seberangnya, menyimpan sebuah kawasan dapur bersih berukuran cukup luas dengan peralatan memasak modernnya yang luar biasa lengkap—saat tiba-tiba telinga sensitif Dara sayup-sayup seperti disisipi oleh suara orang mengobrol yang bersumber dari area di sekitaran kolam renang.
Tapi, siapa? Sewaktu dia pulang tadi, seingatnya di rumah hanya ada Mama Asmita sih.
Em, actually, Dara nggak ada secuil pun niat menguping kok. Serius. Dia berencana buat tetap lanjut jalan ke dapur andai dia nggak keburu dengar omongan ini:
"Mama sih jelas seneng. Seneng banget malah kalau selamanya Dara tinggal di sini."
Oke, ada namanya dibawa-bawa. Anyway, why?
Dara secara refleks mulai merapatkan tubuhnya ke tepian tembok. Sedang matanya ia lempar ke luar, persisnya ke arah Mama yang tampak tengah berdiri sambil bersedekap.
"Cuman, seandainya memungkinkan setiap perempuan pasti pengen ngurus dapurnya sendiri, Ko." Ah, sepertinya Mama lagi ngomong sama Miko. Dara terus mengawasi mereka dalam diam, termasuk ketika Mama mulai menyambung melalui nada bicaranya yang lembut, tetapi juga agak menuntut, "Udah gitu, kamu juga lihat kan? Simbah selalu sinisin Dara. Nggak peduli mulut Mama nyampe pegel buat bilangin. Ada aja celahnya Dara di mata Simbahmu. Dan, ini tentunya bakalan nggak mudah buat Dara, Ko."
"Intinya aja. Jadi, Mama maunya aku gimana?" sahut Miko yang sosoknya berhasil Dara lihat sedang menyender di salah satu pilar beton tepat di hadapan Mama.
"Em, rumah yang udah selesai kamu bangun di Kalibata, apa nggak sebaiknya kamu ajak Dara tinggal di sana?" tanya Mama yang sukses membikin Dara membelalak.
Uh, iyalah!
Jadi, Miko punya rumah? Eung, tapi wajar kan kalau Dara baru tahu sekarang? Toh, mereka nikah juga belum lama. Baru saling kenal pula—beberapa tahun di VER jelas mereka cuman tahu selintasan-selintasan doang lah, terlebih Dara kan bukan golongan manusia yang suka mau tahu urusan orang lain. Selain itu, mungkin rumah ini pun sejenis dengan cutinya, di mana Miko menganggap di antara semua orang, Dara nggak butuh-butuh amat tahu.
Ironi? Nggak juga. Itu hak Miko dan Dara akan coba mengerti. Lagian, toh saat ini sama seperti agenda cutinya Miko yang batal, Dara pun akhirnya tahu juga perihal rumah pribadinya meski lagi-lagi harus dari mulut orang lain. Namun, ya she is okay.
Oleh sebab itu, dia kembali menarik fokusnya guna memerhatikan Mama yang tampak menodong Miko melalui pandangan lurusnya seraya berujar, "Di apartemen terus juga kan sepi, mana susah interaksinya, Ko. Belum lagi nanti kalau kalian punya anak pasti bakal serba terbatas banget lho kalau dia mau main-main terus—"
"Nggak," guntingan ini sama sekali tak terdengar keras, tetapi entah mengapa kesannya datang dengan sangat tajam. Dara bahkan sampai harus menelan ludahnya kelat.
"Nggak?" Di depan sana Mama Asmita bertanya. Intonasinya hanya jika Dara nggak salah tangkap barusan itu ... jujur, terdengar agak menipis. Nada yang rasanya belum pernah Dara jumpai sebelumnya. Nada yang sedikit menggigilkan.
Dan tak berselang lama, Dara menyaksikannya ketika kepala Miko terangguk yakin satu kali. "Aku nggak mau ngajak dia tinggal di sana."
"Nggak mau?" Terselip sedikit kesangsian dalam balasan Mama. "Ko, kamu udah bangun rumah itu sedari dua setengah tahun lalu lho, kalau nggak ditinggalin mau buat apa?"
"Yang jelas dia nggak akan aku ajak ke sana."
Mama Asmita ternganga, sebelum dengan mulutnya yang beberapa kali terpindai terbuka lalu tertutup—begitu terus nyaris lima kali—macam orang yang megap-megap, dia lalu menukas getir, "Jangan bilang ... Prita, ya?" Dara tanpa sadar menggigit bibirnya, sewaktu Mama menjeda singkat untuk kemudian justru hadir dengan serangan selanjutnya yang terkesan telak, "Ko, kamu ... masih ngarep?!"
Lalu, ketika Miko tak ada memberi tanda-tanda menyahut, Mama sontak menjerit tertahan, "Oh! Oh, Ya Tuhan Yesus!" Wanita yang masih tampak ayu di usianya tersebut mengusap wajahnya dengan dua tangan. "Oke, dulu kamu bangun itu untuk Prita. Tapi, Miko, Prita udah milih hidup yang mau dia jalani. Hidup yang nggak bareng kamu. Udah cukup. Lepas. Lepasin Prita! Kenapa sih, Sayang kamu nggak ngerti juga?"
"Karena bukan dunia, Ma. Hidupnya itu neraka!" ujar Miko nyaris meneriaki. "Dan, aku bertanggung jawab atas itu. Karena, kalau aku mampu lebih berani untuk melepas segalanya yang aku miliki, dia tentu nggak akan jatuh ke neraka sialan itu! Aku ... aku yang bersalah."
"Terus, kamu pikir dengan apa yang kamu lakuin ini kamu nggak ngedorong Dara ke neraka juga?"
"Aku nggak pernah janjiin dia surga juga kan?"
Dara mengedipkan matanya. Awalnya, dia kira bakal ada yang jatuh. Namun, nihil. Walau hatinya bak diiris tipis, tapi dia sama sekali tak berhasrat untuk menangis. Lagi, kenapa pula Dara harus menangis?
Bukankah sedari pertama pun dia udah duga ini? Di VER nggak ada satu pun yang nggak tahu secinta mati apa Miko kepada seorang Yashinta Prita Akbar. Mereka bahkan terprediksi bakal naik pelaminan biarpun memiliki banyak perbedaan.
Namun, sebeda-bedanya Miko dengan Prita, entah mengapa tampak jauh lebih berbeda Miko dengan dirinya kan? Mau diakui atau nggak terdapat jurang yang begitu lebar yang membelah Miko dan Dara, yang bilapun disambungkan oleh Suramadu mungkin tetap nggak akan muat.
Lagipula, dia nggak pernah berkeinginan menikah untuk dicintai, dinomor satukan, atau ya whatever you name it. Dara sadar betul hal-hal semacam itu untuk manusia seperti dirinya terkesan sungguh muluk-muluk dan ngelunjak.
Dara telah menancapkan kesadarannya kembali ke alam nyata saat dia mendapati suara Mama tahu-tahu menggema lantang, "Miko! Sadar!"
"Apa yang harus aku sadari? Mama yang suka dia, bukan aku. Harusnya kalau memang sesuka itu Mama aja yang nikahin dia!"
"M-Miko ...?" Mama terbata dan berikutnya cukup lama nggak ada suara lain yang terjaring lolos mengudara.
Sementara di tempatnya mematung, Dara udah bolak-balik ingin mendengkus sinis.
Dia, ya?
Apa seburuk itu namanya sampai-sampai mulut Miko ogah melafalkannya?
"Maaf." Itu suara Miko yang singgah mungkin setelah lewat satu menit yang penuh kebisuan. Berat serta kaku. "Tapi, tolong jangan bahas hal ini lagi, Ma."
Lalu, Dara mendengar bunyi derap langkah kaki terhentak yang mendekat, membikin dia sontak buru-buru bergerak untuk bergegas mencari tempat persembunyian. Sayangnya, dia belum sempat beranjak ke mana-mana kala pandangannya justru bersirobok dengan bola mata kelam milik Miko.
Dia beradu tatapan dengan pria itu sejenak. Kendati sejenak, Dara bisa menjala seberkobar apa amarah yang tengah Miko bakar di dalam dirinya. Panasnya bahkan bisa jadi sanggup memanggang Dara hingga menjadi debu-debu abu. Luckily, Miko lebih dulu memutus kontak dan menutup pintu kamar mereka dalam sekali bantingan—sebelum Dara benar-benar sukses gosong gara-gara terbakar oleh bola matanya—dan, meninggalkan Dara yang berdiri sambil diam-diam sibuk questioning herself.
Is she OK?
Ya, dia ... masihkah baik-baik aja?
Lagi, kenapa sih kehadirannya seakan selalu ditolak?
Oleh Ayahnya.
Oleh teman-temannya.
Oleh lingkungannya.
Oleh keluarga Miko.
Bahkan, oleh Miko sendiri, suaminya.
Juga, sialnya mungkin oleh takdirnya.
Oh, Sandara, kamu sungguh mengenaskan!
***
Halo, kami kembali lagi finally.
Selamat tahun baru, status KTP baru juga belum nih? 🤭🤭🤭
Betewe, konflik cerita ini tuh sumpahnya tebel dan berlapis kek wafer. Sabar ya. Karena, banyak banget konflik yang diangkat di satu cerita ini dan siap ya kita mau nanjak nih sebelum nanti turun dan nanjak lagi turun dan nanjak lagi 😈😈😈
Betewe, akyu suka banget pas ceritain hidupnya Mbak Dara semoga kamu bisa suka juga ya
Eh, sampai sejauh ini ada nggak sih tokoh yang jadi kesukaan kamu di cerita ini?
Keep healthy and safety.
Terima kasih udah menunggu dan membaca 💜💜💜
Ngelamun ajijah Bwang noh aurotnya ihhh malu diintipin Mbak Dara ntar loh
😏🙄😑
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro